11 B.Y.S

Beberapa pelajaran terlewati dengan cepat. Eugene menghantukkan kepalanya pada meja berulang kali. Rasa bosan serasa membunuhnya perlahan. Gadis berambut ikal nampak fokus menulis beberapa kata yang terpatri di papan tulis.

Pandangan mereka bertemu dan sejenak Eugene terpana oleh wajah gadis itu. Hidungnya yang mancung, bibir yang tipis dan berwarna pulm, rambut ikal alami yang berwarna keemasan. Sulit mendeskripsikan betapa sempurna pahatan wajah Casey.

Bel pulang berbunyi, serentak murid memasukan peralatan belajar mereka di tas masing-masing. Begitu juga dengan Eugene, yang sangat kelelahan hari ini berkat olah tubuh yang ia dapatkan sejak berangkat sekolah. Dimulai dengan bermain kejar-kejaran dengan Michelle. Sepertinya Eugene mendapatkan ide baru untuk menggoda gadis itu.

"Kau akan langsung pulang ?" suara itu berasal dari gadis berambut ikal yang berdiri tepat di samping mejanya. Eugene mendongak walau sudah dipastikan itu adalah Casey. Suaranya bahkan sangat sopan masuk kedalam rongga telinganya.

"Hu'um , aku sangat lelah hari ini rasanya seperti semua sendiku akan lepas.." Eugene dengan hiperbolanya memperagakan tubuh yang tak bertulang.

Casey membalas dengan sebuah tawa kecil yang ia sembunyikan di balik tangannya yang lentik. Eugene semakin di buat terpana olehnya. Kali ini ia merasa menyesal menjadi wanita.

"baiklah, mungkin lain kali saja aku akan mengajakmu.. sekarang, bolehkah aku menemani sampai gerbang ?"

Eugene tentu saja mengangguk, siapa orang yang mampu menolak pesona gadis itu. Terkecuali dengan Vicky Jang, gadis itu bahkan mendengus sesaat mereka berpapasan di koridor.

"Vicky itu masih saja bersikap begitu.." Eugene berdumel samar walau hal itu masih didengar oleh Casey.

"Mungkin saja karena dia iri melihatku dekat denganmu Eugene" Jawab Casey.

"Mana mungkin !!" Elak Eugene tegas.

"You know, people have been talking about you ever since you played basketball" Casey menyenggol lengan Eugene, menggoda gadis jangkung itu.

"Just joking about that cheese~" Eugene melontarkan sebutan baru untuk menggoda gadis itu sembari merangkul Casey.

Di ujung koridor sosok gadis tengah berdiri sembari menggenggam ponsel. Perawakannya terasa familiar bagi Eugene. Tak lama pandangan mereka bertemu, dan seakan waktu terasa melambat. Eugene merasa semuanya bergerak dalam slow motion, perasaan aneh ia rasakan saat menatap gadis itu.

Michelle langsung memasukan ponsel ke sakunya, membawa kakinya melangkah kearah gerbang tepat dimana ia meninggalkan pelataran sekolah. Eugene hanya melihat itu tanpa mengejar.

"Hanya perasaanku saja atau dia sedang marah" Eugene bergumam samar.

"kau bilang apa ?"

"Ah, tidak.. hehehe"

Yah, Eugene memilih tak membahasnya, lagipula ia belum tau apakah Michelle benar-benar marah atau cuma perasaannya saja.

.

Pagi hari yang tak terlalu cerah, langit nampak lebih gelap dari biasanya dan cuaca terasa lebih dingin. Eugene masih berkutat didepan lemari dengan beberapa baju dan celana yang di biarkan tergeletak di beberapa tempat. Bisa di tebak ia kini tengah kebingungan memilih pakaian yang akan ia kenakan.

"Ku kira kau sudah terbiasa dengan jadi wanita, ternyata salah yah"

'BRUUK!'

Naas Eugene terjatuh dengan tak elit di akibatkan tersandung baju yang ada di lantai, dan juga berkat suara mengagetkan dari sosok yang kini duduk manis di tepi ranjang.

"Aduuuuh, berapa kali sudah ku peringatkan agar kau tak muncul tiba-tiba" Gadis berambut sebahu itu nampak kesal, rasa sakit kini Eugene rasakan pada pantat indah yang dulu ia elu-elukan sebagai aset menggaet wanita.

"Jangan menganggap ini sebagai kencan, dasar Playboy caplang" Ujar Anastasya dengan nada mengejek. Eugene nampaknya sudah terbiasa dengan mulut pedas gadis mungil itu. Maka tak perlu beradu argumen, Eugene kembali pada kegiatannya memilih pakaian yang bahkan terlalu beragam.

Bagaimana ia punya pakaian wanita seperti ini, rok mini ? kaos crop top ? kemaja yang bahkan tak cocok dengan seleranya. Bukan dirinya saja yang berubah tapi pakaian sehari-hari nya juga sama.

"Bukan kah kau suka gadis yang menggunakan kemeja dan celana pendek ?" tanya Anastasya, berusaha mencari solusi dari rasa kebingungan Eugene.

"iya aku suka, tapi bukan berarti aku mau memakainya, duh kenapa pula wanita selalu memakai pakaian serumit ini.." masih mendumel tak jelas kini Eugene beralih membereskan pakaian yang tergeletak tak berdosa di lantai. Membereskan beberapa dan ia akan memilih dengan sangat acak, toh semuanya nampak bisa di pakai. Tangannya memungut satu persatu baju, dan terdiam saat menggenggam sebuah benda berbentuk setengah bulatan.

"Aaaaaakkh! " Eugene langsung melemparkan benda itu sejauh mungkin, dirinya jatuh terduduk dengan wajah syok.

"Ya ampun, ini sudah beberapa Minggu dan kau masih tak terbiasa dengan itu ? Ayolah.." Anastasya kembali mencemooh.

"Jangan menggampangkan sesuatu.. ughh, kemana dadaku yang bidang penuh otot ? kenapa aku harus menyangga dada berlemak ini dengan benda menggelikan itu?" Gadis itu membuka lebar telapak tangannya sembari membayangkan pertama kali saat ia memakai benda 'penangkup dada' itu.

"Cepat kau pakai.." Anastasya maju perlahan seraya menyodorkan bra kehadapan Eugene. "aku akan membantumu memilih pakaian, jadi menurut lah"

"AAAAARGH ! GELIIII~"

.

Sukses dengan kaos putih polos yang di balut cardigan Baby blue, Eugene mengikat rambutnya menjadi ponytale. Menunggu dengan sabar di halte tempat mereka janji untuk bertemu. Cukup lama dan Eugene harap-harap cemas karena langit yang kian mendung.

"hosh.. hosh.. maafkan aku, kau menunggu lama ?"

Gadis yang ia tunggu kini tepat berada di hadapannya. Menggunakan kaos lengan panjang berwarna hitam dan celana joger yang warnanya senada. Eugene sedikit malu karena hanya ia sendiri yang excited dengan jalan-jalan mereka. Terlintas kembali ucapan Ana saat di kamarnya.

'ini bukan kencan'

Tunggu, jika ia kecewa bukankah berarti ia ingin menganggap ini bukan hanya sekedar jalan-jalan biasa ?

'apa yang kau pikirkan bodoh, dia temanmu.. tapi wajar saja, aku kan pria'

Sebuah percakapan monolog bodoh yang terlintas di otaknya. Eugene berdehem untuk menutupi sebuah rasa gugup. Walau Michelle hanya menggunakan pakaian seadanya, dia terlihat lebih cantik dari saat menggunakan seragam sekolah.

"ah, tidak, aku juga baru sampai.. ayo sini kau duduk dulu" Tangannya menarik Michelle untuk duduk di sebelahnya. Bangku panjang itu hanya terisi oleh mereka berdua, mungkin saja orang lain lebih memilih tinggal di rumah mereka karena cuaca yang tak bagus.

"Kau yakin ingin melanjutkan ini ? langitnya mulai gelap" Pertanyaan ini sebenarnya agak di takuti oleh Eugene, takut jika Michelle menolak dan perjalanan mereka gagal.

"tenang saja aku bawa payung" ujar Eugene penuh ceria sambil menepuk ranselnya. Ia yakin sudah membawa payung lipat saat berangkat tadi. Michelle hanya mengangguk saja, sepertinya Eugene sudah mengatur semuanya dengan baik.

"ayo bus nya sudah sampai.." Eugene menarik tangan Michelle yang masih kebingungan.

"mau kemana kita ? kenapa tak jalan kaki saja ?" rasa khawatir mulai Michelle rasakan. Ia tak membawa uang banyak, Ini saja ia harus mengorek tabungannya.

"Aku yang akan membayar kau tenang saja"

"tapi kan, "

"anggap saja sebagai permintaan maaf ku karena kemarin" akhirnya Michelle menurut di tarik ke dalam bus oleh Eugene. Michelle bernafas lega karena ia tak perlu mengeluarkan uang untuk biaya bus, yang bahkan lebih mahal dari uang saku hariannya.

Di perjalanan keduanya hanya terdiam. Michelle yang melihat keluar pemandangan, dan Eugene yang diam-diam memperhatikan wajah Michelle.

"apa yang kau.." Michelle terkejut saat sebuah benda tampak menutup telinganya. Earphone warna putih menghubungkan telinganya dan telinga Eugene.

"ini lagu yang sering ku dengarkan akhir-akhir ini.. ku rasa bagus saat mendengarkannya di perjalanan" Jelas Eugene sembari menyetel musik pada ponselnya.

"So afraid to give and take your pain

(Know better but I pay no mind

Get me inside 'fore I go one time)

So afraid to give your love away

(Know better but I pay no mind

Get me inside 'fore I go one time)

You don't gotta worry 'bout nothin'

Baby girl, you know that I ain't leaving

Don't cry, alright

Don't cry, alright"

—B.Y.S(Keshi)

Sebuah alunan dari petikan gitar membuka lagu, lirik yang sendu namun terkesan ingin menguatkan. Sebuah realita dari kehidupan percintaan remaja, namun makna nya lebih dari itu. Michelle tersenyum samar saat melihat Eugene nampak sangat menikmati sepanjang lagu di putar. Tak jarang Eugene menganggukkan kepala atau bahkan menjentikkan jari-jarinya. Matanya tampak terpejam seakan tak perlu lagi melihat keluar, hanya mengikuti aliran lagu dan menikmati dalam diam.

Arti lagu yang menceritakan tak perlu merasa takut karena pasti ada seseorang yang akan meraih tanganmu dari kegelapan malam. Michelle rasa, ia tak perlu takut kehilangan lagi.

_To be continued_

avataravatar
Next chapter