9 Hazard

Pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan yang mengguyur semalaman hingga dini hari mengakibatkan beberapa genangan air di jalanan. Seorang gadis tengah melangkah dengan hati hati agar tak tergelincir dan terjatuh dalam kubangan air. Bisa dibilang ia takut seragamnya kotor karena ini adalah satu-satunya seragam yang ia miliki. Harus mengumpulkan beberapa hari dari uang hasil part time untuk membeli seragam baru. Michelle tak akan seboros itu tentunya.

Dengan sepatu usangnya ia kembali melewati jalanan yang telah ia lalui sepanjang hari. Rasanya bahkan ia hafal dengan pak tua yang selalu menyiram tanaman di kiri jalan. Juga seorang anak kecil penjual koran yang biasa berlalu lalang dari pagi sampai siang. Hati Michelle sedikit tenang, ia merasa lebih beruntung dari setiap orang yang bahkan tak punya rumah. Walau ia sendiri tak bisa menyebut tempat ia tidur adalah sebuah rumah.

"BAA!!"

'BUGHH!'

Tas nya tepat mengenai wajah seseorang yang secara tiba-tiba muncul di hadapannya. Wajah itu meringis menahan sakit. Bertanya dalam hati apa yang Michelle bawa hingga tasnya seberat itu.

"Kenapa mengagetkan ku hah ?! memangnya kau tak bisa menyapa seperti biasa ?" omel Michelle pada gadis yang tadi mengejutkannya. Walau terdengar sarkas, tapi Michelle nampak terlihat khawatir. Gadis itu masih menunduk memegangi wajahnya.

"Eugene ? kau tak apa-apa ? sungguh terasa sakit ?" Michelle meraih dagu Eugene, membuat gadis itu mendongak agar ia bisa melihat seberapa parah luka yang di timbulkan.

Eugene tersenyum jahil dan mencubit kencang pipi Michelle.

"Kena kau !" Dan gadis itu berlari mendahuli Michelle setelah menjulurkan lidah tanda mengejek.

"YAK KAU INI !!!"

Dan sepanjang jalan dilalui dengan tawa Eugene dan teriakan tak terima Michelle. Jalanan yang tadinya terasa biasa saja langsung berubah dengan kehadiran Eugene yang mengagetkan Michelle dari balik halte. Gadis berambut sebahu itu sudah menunggu setengah jam dan rela bangun sangat pagi hanya untuk menunggu Michelle di halte tempat terakhir kali mereka pulang bersama.

"hosh... hosh.. hoooshh..."

Gemuruh nafas yang saling bersaut. Masing-masing dari mereka berlomba meraup udara sebanyak mungkin. Rasanya rongga paru-paru mereka mengkerut tak tersisa. Eugene berpikir bahwa sepertinya ia lebih cocok menjadi atlet maraton setelah melalui perjalanan yang cukup panjang dengan lari sprint.

Berbeda dengan Michelle yang nampak setengah mati. Raganya ada namun jiwanya entah kemana.

"YEAY AKU MENANG!"

Entah sejak kapan ini menjadi ajang menang atau kalah. Michelle tak peduli dengan hal itu. Ia tak mau meraih kemenangan jika caranya membuat ia diambang Kematian. Maafkan pemikiran hiperbola gadis berambut kecoklatan itu. Tapi sungguh, tenggorokan nya terasa terbakar.

"ohook ohoook...!!"

"Karena aku menang aku akan membelikanmu minuman, tunggu disini"

Bahkan untuk merespon ucapan Eugene saja Michelle tak kuat. Raganya lemah sekali jika berurusan dengan lari. Eugene memang menang, tapi ia juga bertanggung jawab karena membuat orang seperti dirinya lemas tak berdaya. Jadi dengan Eugene membelikannya minuman bukanlah sebuah keberuntungan tapi kewajiban.

Di tengah memilih rasa minuman di dalam vending mesin, seseorang tiba tiba datang dan bersandar pada kotak besi dingin itu. Menatapnya penuh intimidasi dari atas hingga bawah. Seakan-akan Eugene adalah mangsa baginya.

"Kalau kau mau beli, antri lah" Jelas Eugene pada gadis itu. Victoria Jang memutar matanya malas. Ia menyilangkan tangan didepan dada dan menatap tak suka pada Eugene.

"Kau pikir menjadi akrab dengan Anak baru dapat membuatmu populer hah ?!" Nada sing a song nya membuat Eugene ingin sekali menyiram dengan minuman kaleng di tangannya. Tapi ia harus menahan, Michelle yang marah karena minumannya tak diberikan lebih menyeramkan.

"Ternyata kau sadar juga yah jika Casey lebih cantik dari pada dirimu. Oh, atau aku jodohkan saja Casey dengan Aiden tercintamu ? bukan kah itu akan sangat cocok ?" Tak ingin kalah tentu saja, Eugene balas dengan nada sing a song juga.

Alis Victoria berkedut mendengar jawaban yang sangat menjengkelkan baginya. Baru saja ia akan melayangkan tangannya ke arah Eugene, seseorang mendekat kearah keduanya.

"Eugene ? kau berangkat pagi sekali" Sosok pangeran sekolah yang menjadi rival Eugene dulu. Aiden Lee dengan cengiran polosnya bertanya hanya pada Eugene, seakan melupakan Victoria yang juga ada diantara mereka. Merasa kesal gadis berkaki jenjang itu pergi seraya menghentakkan kakinya.

"Harusnya kau bertanya saja pada Vicky" Eugene menunjuk Victoria yang berlalu masih dengan ekspresi kesal.

"aku tak butuh dia, aku hanya membutuhkanmu"

Seluruh bulu kuduk Eugene berdiri saat mendengar rayuan murahan keluar dari mulut Aiden. Demi apapun, kenapa harinya diawali dengan dua makhluk paling dihindari ini.

Mungkin harinya akan bertambah buruk karena meninggalkan Michelle yang sekarat dengan minuman yang masih ada di tangan Eugene.

"Kau kenapa ?" Pertanyaan Casey bukan sekedar basa-basi. Dilihat bagaimana wujud Eugene saat masuk kelas patut dipertanyakan. Rambut berantakan dan juga benjol di dahinya.

"ughh~ ini karena...." kata-kata Eugene terhenti saat melihat sosok Michelle berjalan melewati kelasnya dari jendela. Michelle menatap tajam tepat kearah Eugene seakan mengatakan ia bisa menghabisi Eugene saat ini juga.

"Ti.. tidak jadi" Eugene memilih bungkam. Siapa lagi orang yang berani melakukan ini padanya tanpa berperikemanusiaan.

'Set..'

Sebuah kompres serbaguna tergeletak diatas mejanya. Eugene menolehkan wajahnya mencari tahu siapa gerangan yang memberikan benda itu.

"di pakai yah" Casey membuka mulut tanpa suara, karena guru mereka telah masuk. Eugene mengangguk dan memakai itu sembunyi-sembunyi.

Walau jarang di pakai tapi Casey selalu membawa barang-barang sepele seperti kompres, perban, obat merah, bahkan termometer. Bukan kehendaknya tapi sudah seperti rutinitas yang tak bisa lepas selama ia hidup. Menjadi orang kaya memang sedikit susah baginya. Bahkan Casey hanya makan makanan yang diberikan oleh maid di rumahnya. Semuanya memang terpenuhi tapi tidak dengan teman. Sebelumnya ia tak pernah punya teman seperti Eugene dan Michelle. Dengan kepribadian unik mereka, membuat Casey lebih merasakan tingkat pertemanan yang berbeda. Bukan hanya karena uang.

Eugene sedikit melirik kearah Casey. Gadis itu cantik, lembut dan juga sangat perhatian. Mungkin jika ia masih menjadi sosok lelaki, ia tak akan punya pikiran untuk berteman. Dan mungkin saja ia akan menggoda Casey dan membuat hatinya terluka.

Entah sudah berapa banyak gadis yang ia sakiti dulu. Dan meninggalkan para gadis itu dengan dendam tersendiri. Berpikir paling superior membuat Eugene bisa bertingkah semaunya.

Menjadi perempuan juga tak semenakutkan itu ternyata. Beberapa hal terlihat berbeda saat ini. Ia kini tak melihat wanita sebagai barang, tapi sebuah makhluk yang juga berhak bahagia. Terutama dengan orang-orang terdekatnya. Mama, Michelle, Casey, lupakan tentang Victoria. Gadis itu lebih mirip seperti Medusa.

'aku tak suka laki-laki'

percakapan pertama saat ia bertemu Michelle kembali terngiang. Walau kemarin Gadis berambut coklat itu berkata tak suka dengan apa yang di katakan Eugene, bukan Eugene namanya jika tak nekat.

"Casey.. hey.." Eugene berbisik memanggil gadis ikal yang duduk tak jauh darinya.

"ada apa ?"

"aku mau tanya.." sedikit mencuri pandang pada guru didepan yang tengah menulis dan berharap tak mendengar bahwa salah satu muridnya berbisik-bisik.

"Apa kau masih single ?"

Mata Casey melebar dan sedikit bingung bagaimana menjawabnya. Namun ia rasa tak ada masalah dengan pertanyaan sepele itu. Mungkin saja hanya sekedar iseng kan. Casey akhirnya mengangguk.

Nampak mata Eugene berbinar, seperti anak kecil yang mendapatkan mainan favoritnya.

"HATCHIIIIM~"

Sedangkan di kelas lain, Michelle tiba-tiba bersin. Seseorang baru saja membicarakannya. Firasatnya mengatakan badai sebentar lagi akan datang.

To be continued

avataravatar
Next chapter