webnovel

Pembalasan Setimpal

Yana mengeluarkan foto keluarga Mahesa yang sengaja ia ambil sebagai kenang-kenangan, Airmata tidak berhenti membasahi pipinya. Keputusannya untuk pergi Yana ambil setelah mendengar pertengkaran Galih dan kedua orangtuanya. Yana merasa menjadi penyebab pertengkaran itu dan yakin pertengkaran itu tidak akan pernah terjadi andai sejak awal keluarga Mahesa tidak mengadopsinya dan Yana memutuskan pergi untuk mengembalikan ketenangan keluarga Mahesa.

Kini Yana berdiri di depan panti asuhan yang sudah delapan belas tahun yang lau pernah menjadi tempat Yana hidup dan bertemu orang-orang yang Yana cintai. Panti asuhan ini tidak berubah sejak terakhir ia di sini. Masih penuh canda dan gelak tawa penghuninya, Yana menghapus airmatanya dan mencoba tersenyum meski matanya bengkak.

Tok tok tok

Tak lama pintu terbuka dan Yana melihat seorang ibu berusia lima puluh tahun menyambutnya dengan senyum ramah.

"Cari siapa dek?" tanya ibu itu. Yana lalu meletakkan tasnya di lantai dan menyalami ibu itu.

"Nama saya Ayana dan kedatangan saya untuk mencari dokter Ismail," jawab Yana.

"Dokter Ismail?" Ibu itu mengerutkan keningnya dan akhirnya ingat kalau dokter Ismail adalah pemilik panti asuhan, "Oh dokter Ismail pemilik lama panti asuhan ini ya dek? Dokter Ismail sudah lama meninggal dek dan panti asuhan ini dia hibahkan ke mesjid belakang dan sejak lima tahun yang lalu saya diangkat sebagai pengurusnya," ujar ibu itu.

Yana cukup kaget mendengar berita dokter Ismail sudah lama meninggal dan merasa kedatangannya menjadi sia-sia. Yana mengambil tasnya kembali dan ingin mencari tempat tinggal lain.

"Tunggu …" ibu itu menahan kepergian Yana, "Adek sepertinya ada masalah ya? Butuh tempat tinggal?" tanya ibu itu lagi. Yana mengangguk malu dan merasa tidak enak tinggal secara gratis.

"Sebenarnya saya …" Yana menggaruk kepalanya karena malu orang bisa tahu kalau kini ia sedang menyimpan masalah.

"Masuk dulu dek dan kita bisa bicara dengan tenang di dalam," ibu itu menarik tangan Yana untuk masuk ke dalam panti asuhan. Tidak ada perubahan di panti asuhan ini, isinya masih tetap sama walau tidak seramai dulu. Dulu anak asuh dokter Ismail sangat banyak dan biasanya setiap minggu selalu ada orangtua asuh datang untuk memberi donasi atau mengadopsi anak yang mereka suka. Kali ini lebih sepi dan hanya ada beberapa anak sedang bermain dengan mainannya.

"Adek pasti mau bertanya kenapa panti ini sepi?" tanya ibu itu.

"Setahu saya panti ini cukup ramai atau waktu sudah berlalu dengan cepat dan saya tidak tahu kalau ternyata panti ini sepi dan kosong," ibu itu mengangguk dan memberikan segelas air sirup ke tangan Yana.

"Beruntung panti asuhan ini punya salah satu donator tetap yang selalu memberikan bantuan. Setiap ada anak yang dibuang orangtuanya atau anak yang dititipkan orangtuanya donator itu selalu mencarikan orangtua angkat untuk mereka. Bahkan dia bisa mencarikan dalam waktu singkat," ujar ibu itu memberi tahu Yana. Yana hanya bisa membuat gerakan huruf o dengan mulutnya.

Yana senang mendengarnya, ternyata di luar sana masih banyak manusia berhati baik. Seperti ayahnya dulu saat bersedia mengangkatnya sebagai anak, "Aku kangen ayah dan ibu. Maafin Yana sudah membuat kalian kecewa," ujar Yana dalam hati.

"Adek tahu dari mana panti asuhan ini?" tanya ibu itu lagi. Lamunan Yana langsung buyar dan ia sedikit salah tingkah mendengar pertanyaan ibu itu.

"Dulu saya pernah tinggal di sini sebelum orangtua angkat mengadopsi saya," ujar Yana.

"Wah ternyata adek dulunya anak asuh panti ini ya. Kalau saya boleh tahu siapa nama orangtua angkat adek? Siapa tahu saya kenal dan pernah bertemu mereka," tanyanya lagi.

"Ardan Mahesa, itu nama ayah saya bu." Yana tersenyum dan bangga menyebut nama Ardan sebagai orangtua angkatnya.

"Ardan Mahesa? Namanya sangat familir dan sama persis dengan nama donator yang saya ceritakan tadi. Ardan Mahesa dan Galih Mahesa … mungkinkah adek kenal dengan donator kami?" tanya ibu itu.

"Galih? Sejak kapan dia menjadi donator panti ini. Aku pikir anak itu hanya bisa seenaknya dan tidak akan pernah bisa dewasa tapi nyatanya hatinya sangat baik," Yana hanya bisa menggelengkan kepalanya agar ibu itu tidak bertanya lebih lanjut.

"Ardan Mahesa … tumben kamu datang ke rumah Ibu?" tanya Ibu Marinka saat melihat Ardan berdiri di depan rumahnya bersama Arjuna. Ardan tidak menjawab dan memutuskan masuk meski Ibu Marinka belum mengizinkan.

"Aku mau bicara," ujar Ardan dengan dingin.

Ibu Marinka penasaran kenapa Ardan bisa datang ke rumahnya tanpa pemberitahuan, "Jangan-jangan jatidiri anak bodoh itu terbongkar? Ah tidak mungkin dia tahu tentang anak itu bukan anak kandungnya,"gumam Ibu Marinka dalam hati.

"Silakan duduk,"

Ardan duduk di sofa dan melihat Ibu Marinka dengan tatapan kesal, marah, dan muak dengan ketamakan Ibu Marinka yang tidak pernah berubah meski sudah menghabiskan delapan belas tahun di penjara.

"Jauhi anak-anak aku," kata-kata Ardan tegas dan keras.

"Maksud kamu apa sih? Bahkan kita belum berbasi basi dan kamu sudah memberi peringatan keras agar ibu menjauhi anak-anak kamu sedangkan sampai detik ini ibu belum pernah bertemu cucu-cucu ibu," jawab Ibu Marinka dengan wajah lugunya.

Ardan tertawa sinis dan mengaitkan kedua tangannya lalu menatap Ibu Marinka dengan tajam dan dingin, "Oh ya? Ibu bisa berkilah tapi aku sudah tahu semua rencana busuk Ibu. Aku pikir dinginnya penjara bisa mengubah Ibu, aku pikir dengan dinginnya penjara Ibu bisa tobat dan kita bisa damai,"

"Damai?" Ibu Marinka tertawa sinis dan mengepalkan tangannya. Delapan belas tahun ia di dalam penjara dan entah sudah berapa kali ia ingin bunuh diri tapi selalu ia urungkan saat teringat dendam yang belum terbalaskan. Ia ingin menghancurkan Ardan sehancur-hancurnya dengan merebut semua harta yang Ardan miliki. Ibu Marinka yakin Ardan akan hancur jika kehilangan semua hartanya.

"Jadi …" Ardan lalu mengangkat tangannya ke arah Arjuna dan Arjuna langsung mengeluarkan dokumen yang sudah ia persiapkan. Ardan lalu melemparkan dokumen ke atas meja. Ibu Marinka melirik sekilas dokumen itu lalu fokus ke mata Ardan.

"Itu apa?" tanya Ibu Marinka penasaran.

"Apa yang selama ini Ibu inginkan. Harta, saham, dan surat berharga lainnya," balas Ardan. Ibu Marinka shock dan tidak menyangka Ardan akan semudah itu menyerahkan seluruh hartanya. Ibu Marinka menggeleng dan masih tidak percaya Ardan menyerahkan semua hartanya.

"Ini jebakan?" tanya Ibu Marinka.

"Aku lebih memilih hidup miskin tanpa harta tapi anak-anakku hidupnya tenang dan tidak perlu takut dengan ancaman Ibu. Sudah cukup Ibu membuat Biyandra menderita, sudah cukup Ibu menggunakan Daniel untuk menggantikan posisi Biyandra yang Ibu telantarkan karena penganiayaan. Aku belum membuat perhitungan atas kesakitan yang dialami Biyandra, betapa teganya Ibu menganiaya anak seumur Biyandra hanya karena membenciku," Ardan akhirnya tidak bisa menahan emosinya dan meluapkan semua kemarahannya.

Ibu Marinka langsung pucat mendengar Ardan membongkar semua rencananya, "Jadi aku memutuskan menyerahkan semuanya ke tangan Ibu. Ambil dan nikmati sepuasnya tapi satu hal yang perlu Ibu ingat. Harta tidak akan bisa membeli kebahagian dan kedamaian. Harta tidak akan bisa membeli keluarga dan cinta tulus dari anak-anak. Aku pernah hidup dalam kesepian karena ego dan ketamakanku tapi aku sadar semua itu hanya pekerjaan sia-sia. Aku mengenal cinta dan memiliki anak-anak yang sangat aku cinta dan mereka membuatku sadar kalau arti keluarga lebih penting dari uang dan harta," Ardan lalu berdiri dan meninggalkan rumah Ibu Marinka.

"Ah aku lupa memberi tahu Ibu kalau Paman Felix sudah meninggal. Sendirian di panti jompo tanpa keluarga, Ibu mau merasakan hal yang sama? Kalau iya silakan lanjutkan ketamakan Ibu. Nyawa kita di dunia tidak akan lama dan kita tidak tahu kapan Tuhan mencabut nyawa kita," setelah itu Ardan dan Arjuna meninggalkan rumah Ibu Marinka.

Ibu Marinka masih tidak percaya Ardan semudah itu memberikan hartanya, "Ini pasti jebakan! Anak itu pasti ingin membuatku senang dan merasa menang tapi nyatanya semua surat ini palsu," Ibu Marinka menyambar surat itu dan ingin mengembalikan ke Ardan.

"Anak itu tidak akan bisa menipuku!" Ibu Marinka melihat Ardan dan Arjuna di depan gerbang rumahnya.

"Hey berhenti!" teriak Ibu Marinka. Ardan dan Arjuna mengacuhkan panggilan Ibu Marinka dan langsung naik ke dalam mobilnya. Ibu Marinka lari dan mengejar mobil Ardan yang mulai meninggalkan rumah Ibu Marinka.

Ibu Marinka tidak patah semangat dan masih mengejar Ardan tanpa memakai sandal. Ia ingin melemparkan surat-surat yang dianggapnya palsu itu ke muka Ardan.

"Aku tidak akan segampang itu masuk ke jebakan kalian, kalian pikir karena aku sudah tua dan lemah kalian bisa mempermainkan aku. Jangan harap!" Ibu Marinka tidak berhenti mengoceh dan tetap mengejar mobil Ardan yang mulai menjauh meninggalkan dirinya.

"Ardan! Berhenti!" Ibu Marinka terus berlari dan saat akan menyeberang sebuah truck melaju dengan kencang dan menghantam tubuh tua Ibu Marinka sampai terlempar jauh. Surat-surat pemindahalihan semua harta Mahesa lepas dari tangan Ibu Marinka dan jatuh beterbangan. Darah keluar dari mulut, telinga, dan hidungnya. Napas Ibu Marinka mulai sesak dan matanya melotot melihat surat-surat itu jatuh tepat di mukanya.

"Aku … tidak akan kalah … aku tidak akan kalah …" ocehnya. Warga mulai mengerumuni Ibu Marinka dan tidak ada satupun yang berani menolongnya. Ocehan Ibu Marinka membuat warga mengira Ibu Marinka orang gila. Truck yang menabrak Ibu Marinka melarikan diri dan meninggalkan Ibu Marinka dalam kondisi parah.

Perlahan namun pasti napas Ibu Marinka akhirnya berhenti. Ibu Marinka meninggal dengan mata masih melotot dan kondisi menyedihkan. Pembalasan setimpal atas kejahatan dan dosa yang pernah ia lakukan semasa hidupnya.

Di lain tempat,

"Tuan tidak menyesal?" tanya Arjuna.

"Tidak pernah seyakin dan setenang ini. Rasanya semua beban terangkat dari bahu saya, kini saya hanya ingin hidup tenang bersama Sekar dan anak-anak kami. Memperbaiki hubungan dengan Galih dan membuatnya menerima Sekar sebagai ibunya. Menikahkan Daniel dan Jessy, membesarkan Alleia dan melihatnya menjadi wanita dewasa. Tapi, sebelum itu kita harus mencari Ayana, keluarga Mahesa tidak akan lengkap tanpa kehadirannya,"