webnovel

Dicampakkan

Suasana kembali tegang setelah Daniel dan Jessy kembali ke rumah setelah Alleia menceritakan pertengkaran orangtuanya dan Galih. Wajah Daniel ikut tegang dan untungnya Jessy selalu memberi semangat dan selalu ada di sampingnya.

Ardan duduk di kursi tanpa banyak kata, Sekar masih menangis sambil menatap Galih. Galih duduk di depan Ardan dengan kepala masih menunduk. Alleia, Daniel, dan Jessy duduk di samping Galih dan menunggu Ardan mulai bersuara.

"Sejak kapan kamu tahu tentang jatidiri Biyandra?" akhirnya Galih berusaha mencairkan ketegangan dengan bertanya langsung ke Daniel. Daniel langsung belingsatan dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Sejak awal," jawab Daniel berusaha untuk jujur.

"Sejak awal? Sejak Ibu Marinka membawa kamu ke sini?" tanya Ardan lagi. Daniel mengangguk lalu menundukkan kepalanya. Ia tahu sebentar lagi Ardan pasti murka dan akan sangat marah karena merasa ditipu.

"Maaf Ayah," Daniel hanya bisa minta maaf walau kesalahannya kali ini akan sulit dimaafkan Ardan.

"Ayah tidak akan menyalahkan kamu. Waktu itu kamu masih kecil dan Ayah yakin kamu dipaksa melakukan itu. Hanya saja Ayah kecewa kenapa kalian tidak jujur dan membiarkan kami berpikir kalau selama ini kami sudah benar,"

"Maaf Ayah," lagi-lagi Daniel hanya bisa minta maaf atas kesalahannya.

Ardan membuang napasnya dan melirik ke arah Galih sekali lagi, "Dan kamu sejak kapan tahu tentang semua ini?" tanya Ardan berusaha untuk tenang walau tubuhnya bergetar. Rasa bersalah membuat Ardan tidak sanggup menatap Galih terlalu lama. Ardan merasa gagal menjadi Ayah bahkan ia baru sadar dirinya dan Galih punya banyak kemiripan setelah kemarahan Galih tadi.

"Sejak awal," jawan Galih singkat.

"Sejak awal? Dan kamu diam selama ini," ujar Ardan tidak percaya.

"Galih …" Sekar masih menatap Galih dengan berlinang airmata. Sekar merasa tidak pantas memeluk dan menerima cinta Galih saat mengingat apa yang selama ini ia lakukan.

"Aku bisa apa? Ibu tidak pernah menginginkan aku ada di dunia ini. Apa aku harus koar-koar memberi tahu kalian 'hey aku loh Biyandra bukan dia?' sedangkan aku tahu kalau Ibu tidak pernah mencintaiku," sindir Galih.

"Kak, please jangan mancing keributan lagi. Kakak sudah janji kan kalau akan bicara dengan kepala dingin?" Alleia berusaha menenangkan Galih agar tidak terpancing dan kembali bertikai dengan orangtuanya.

Galih berusaha menenangkan emosinya, "Maaf aku keterlaluan tadi," ujar Galih. Ardan menatap mata Galih dan merasa melihat dirinya sewaktu muda dulu. Emosian, ego tinggi, tidak peduli dengan perasaan orang lain, dan mau menang sendiri.

"Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Melihat kamu seperti ini membuat Ayah merasa melihat diri Ayah sendiri saat masih muda. Emosi meledak-ledak demi keinginan sendiri tanpa bisa berpikir terkadang tidak semua hal bisa didapatkan dengan cara marah,"

"Aku sangat mencintai Ayana dan penolakan kalian membuat aku marah dan merasa tidak diinginkan oleh orangtua kandungku sendiri. Aku pikir aku pun berhak bahagia seperti Daniel, aku pikir aku pun berhak memiliki cinta Ayana," kata-kata Galih sangat menyayat hati Ardan dan Sekar.

"Maafin Ibu Galih," Sekar memegang dadanya yang terasa sakit. Rasa bersalah sangat besar di hatinya.

"Kami tidak pernah melarang kamu jatuh cinta ke siapapun tapi jangan Ayana. Ayah dan Ibu mempunyai mimpi bisa melihat kalian hidup sebagai kakak dan adik sampai kami berdua meninggal dengan tenang," Ardan masih sulit menerima Galih dan Ayana bersatu.

Galih tertawa miris dan akhirnya berdiri dari tempatnya duduk, "Perbincangan ini tidak akan ada gunanya. Sampai kapanpun kalian tidak akan pernah mengerti apa yang aku rasakan," Galih lalu meninggalkan ruang keluarga lalu naik ke lantai atas untuk mencari Yana.

Galih membuang napas dan melihat ke arah Daniel, "Ibu Marinka masih menghubungi kamu?" tanya Ardan.

"Masih," jawab Daniel singkat.

"Masih memaksa kamu untuk mengeruk harta Ayah?" tanya Ardan lagi.

Daniel mengangguk, "Aku dan Galih ingin membuat Ibu Marinka berhenti meneror kami,"

"Caranya?"

"Entahlah, masalah demi masalah dalam beberapa hari ini membuat kami tidak terpikir cara terbaik untuk membuat Ibu Marinka berhenti meneror kami," jawab Daniel.

Ardan lalu membuang napas dan menggenggam tangan Sekar yang terasa dingin. Mata Sekar masih menatap ruang atas untuk menunggu Galih.

"Kali ini biarkan Ayah turun tangan. Kamu fokus dengan pekerjaan di kantor dan rencana pernikahan kamu dengan Jessy. Kali ini Ayah yang akan menyelamatkan anak-anak Ayah dari Ibu Marinka," ujar Ardan dengan wajah sendu. Alleia memeluk Ardan agar rasa sedih ayahnya hilang.

"Jangan sedih ya yah. Kak Galih hanya sedang galau dan tidak tahu kalau perkataannya menyakitkan Ayah dan Ibu. Aku yakin kak Galih itu sebenarnya sayang sama Ayah dan Ibu, buktinya dia masih tetap tinggal bersama kita. Ya kan?" tanya Alleia.

"Ibu ingin jelaskan apa yang sebenarnya terjadi ke Galih. Galih harus tahu alasan kenapa Ibu menelantarkannya," Sekar lalu berdiri dan ingin mencari Galih tapi ia urungkan saat melihat Galih turun dengan langkah gontai dan wajah terlihat tidak bersemangat.

"Galih," Sekar mendekati Galih dan memegang pipinya.

"Aku hancur Ibu … aku kalah dan kehilangan Ayana untuk selama-lamanya," ujar Galih dengan terbata-bata.

"Ada apa?" tanya Sekar.

"Aku dicampakkan lagi Bu, kenapa semua orang yang aku cintai membuangku?" Galih memperlihatkan kertas yang ditemukannya di kamar Yana. Ardan, Daniel, Jessy, dan Alleia langsung mengerumuni Galih dan Daniel mengambil kertas yang dipegang Galih dan memberikannya ke tangan Ardan.

To : My Family

'Maaf aku pergi tanpa minta izin. Maaf keberadaanku di rumah ini membuat kalian bertengkar dan aku sadar aku bukan siapa-siapa di sini. Aku pergi bukan karena aku membenci keluarga ini tapi karena aku mencintai kalian. Aku pergi agar hubungan kita akan tetap seperti ini. Hubungan orangtua anak dan kakak adik. Aku tidak mau mengubah hubungan itu demi cinta yang kami rasakan.'

Love 

Ayana Mahesa

"Galih,"

"Aku hanya ingin mencintai dan dicintai, salahkah aku Bu?" Sekar langsung menggelengkan kepalanya.

"Tidak nak … Ayah dan Ibu yang salah. Kami terlalu egois hingga melupakan kalau kalian pun punya hati dan perasaan. Ibu minta maaf kalau selama ini tidak peka dan tidak sadar kalau ternyata kamu adalah Biyandra. Tuhan akan mengutuk semua kesalahan yang Ibu lakukan," Galih memegang tangan Sekar dan merasa ini seakan mimpi bisa merasakan tangan Sekar di pipinya.

"Apa yang harus aku lakukan Bu. Dia pergi meninggalkan aku, dia menghancurkan hatiku Bu."

"Ayana pasti kembali karena rumahnya di sini. Ibu yakin dia pasti akan kembali," ujar Sekar berusaha menenangkan Galih. Ardan meremas surat yang dipegangnya dan merasa semua ini tidak akan pernah terjadi andai Ibu Marinka berhenti mengganggu keluarganya.

Ardan menuangkan air putih ke dalam gelasnya. Sekar akhirnya tidur dengan tenang setelah bicara dengan Galih tentang alasannya kenapa dulu ia menyerahkan Galih ke tangan orang lain.

"Nyonya sudah tenang Tuan?" tanya Arjuna. Proses pemakaman Tuan Felix membuatnya tidak tahu kegemparan yang terjadi di rumah keluarga Mahesa. Arjuna baru tahu saat Nimas menghubunginya dan menceritakan kejadian besar hari ini.

Ardan membuang napasnya lalu duduk di kursi meja makan. Ia menatap Arjuna dan memijit kepalanya yang mulai berdenyut, "Masalah selalu saja membuat kepala saya pusing," ujar Ardan lemah.

"Galih hanya termakan omong kosong Ibu Marinka makanya dia bersikap seperti itu," Arjuna pun membuang napasnya. Ia ingin memberi tahu Ardan tentang kematian Tuan Felix dan rencana jahat Ibu Marinka tapi rasanya ia tidak tega menambah beban pikiran Ardan yang sudah pusing dengan kemarahan Galih dan perginya Yana dari rumah.

"Ibu Marinka … saya tidak menyangka dia akan setamak itu hingga berani mengorbankan dua anak tidak bersalah demi ambisinya. Entah apa rencana jahat Ibu Marinka dan Paman Felix ke depannya,"

Arjuna akhirnya memutuskan untuk memberi tahu Ardan tentang kematian Tuan Felix, "Tuan Felix sudah meninggal Tuan. Kondisinya sangat menyedihkan dan sampai kematian menjemputnya pun tidak ada keluarga yang mendampinginya," kata-kata Arjuna membuat Ardan langsung berdiri.

"Meninggal? Kapan? Dari mana kamu tahu?" tanya Ardan bertubi-tubi.

"Maaf saya lancang menyembunyikan ini dari Tuan. Rencananya saya akan memberi tahu Tuan secepatnya tapi …" Arjuna menggaruk kepalanya dan merasa tidak enak menyembunyikan ini semua dari Ardan.

"Saya sangat lelah dengan semua ini. Entah kapan saya bisa hidup tenang bersama Sekar tanpa harus memikirkan masalah demi masalah, ada kalanya saya ingin melepaskan ini semua agar Ibu Marinka berhenti mengganggu anak-anak saya. Harta? Seberapa lama semua ini akan saya pegang? Mati pun saya tidak akan bisa membawanya ke kuburan," ujar Ardan lemah.

"Apa yang akan Tuan lakukan?" tanya Arjuna.

Ardan menuangkan air ke dalam gelasnya lalu meminumnya sampai habis, "Sudah waktunya kita bertemu Ibu Marinka. Sudah waktunya saya melindungi Galih dari orang-orang jahat yang mengambil keuntungan darinya," ujar Ardan.

"Tuan akan bertemu Ibu Marinka?"

Ardan mengangguk, "Dia mau harta keluarga Mahesa? Saya akan serahkan semuanya tapi dengan syarat jangan pernah mengusik keluarga saya lagi," ujar Ardan putus asa. Harta bisa dicari tapi tidak dengan ketenangan batin. Keputusan Ardan sudah bulat dan tidak ada satu orang pun bisa mengubahnya.

"Tuan serius?" tanya Arjuna.

"Tidak pernah seserius ini. Andai kamu di posisi saya apa yang akan kamu lakukan?" tanya Ardan lagi.

"Mungkin saya akan melakukan hal yang sama Tuan. Buat apa harta melimpah tapi hidup tidak tenang, buat apa harta melimpah tapi anak kita hidup dalam ketakutan. Kali ini saya mendukung apapun keputusan Tuan," jawab Arjuna.

Ardan tertawa walau terdengar sangat miris, "Jika saya miskin kamu masih tetap akan menghormati saya?" tanya Ardan.

"Saya akan selalu menghormati Tuan. Saya yakin jika semua ini memang ditakdirkan Tuhan akan menjadi milik Tuan, sekuat apapun Ibu Marinka ingin merebutnya saya yakin tidak akan ada gunanya,"

Ardan setuju dengan ucapan Arjuna dan ia langsung menyuruh Arjuna menghubungi pengacara pribadinya untuk memindahalihkan semua harta keluarga Mahesa ke tangan Ibu Marinka.

Next chapter