webnovel

Anak Keempat

"Mbak nunggu apa sih?" tanya Nimas penasaran saat Sekar sejak tadi tidak berhenti melirik jam yang ada di dinding. Sekar salah tingkah dan mencoba mengalihkan dengan cara bertanya apakah makanan pendamping asi milik Alleia sudah masak atau belum.

"Mbak mabok ya? Alleia masih empat bulan loh," balas Nimas yang semakin curiga dengan tingkah Sekar sejak kedatangan tamu asing tadi. Sekar memang tidak memberi tahu Nimas tentang siapa dan kenapa anak itu mencarinya tapi Nimas bisa tebak kalau anak itu ada hubungan dengan Ardan.

"Hah? Maksud Mbak itu sebentar lagi Alleia berumur enam bulan dan seharusnya kita mempersiapkan semuanya dari sekarang," kilah Sekar sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Nimas semakin curiga tapi ia memilih tetap diam sambil terus memperhatikan tingkah Sekar yang masih berusaha melihat jam secara diam-diam.

"Ya Tuhan, kenapa aku jadi segugup ini. Entah apa rencana Ardan dan aku tidak tahu langkah apa yang akan aku ambil jika dia benar-benar datang. Kenapa jarum jam itu berdetak sangat lambat! Menyebalkan!"rutuk Sekar dalam hati. Sekar lalu meletakkan sendok serta serbet dan berniat kembali ke kamarnya untuk menenangkan diri tapi bunyi bel menghentikan niatnya.

Jantung Sekar berdetak tak karuan, peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya. Sekar mengutuk reaksi tubuhnya, seharusnya ia bersikap acuh dan mengabaikan kedatangan Ardan bukannya salah tingkah seperti ini.

"Aku buka dulu," ujar Nimas.

"Tu … tunggu dulu, siapa pun yang mencari Mbak tolong kamu usir atau bilang Mbak lagi nggak ada di rumah," ujar Sekar. Nimas mengerutkan keningnya dan melihat raut wajah Sekar yang panik dan salah tingkah, Nimas bisa pastikan kalau tamu itu adalah Ardan.

"Mas Ardan pulang?" tanya Nimas to the point.

"Arghhhh," Sekar lalu masuk ke dalam kamarnya dan langsung mengunci pintu agar Ardan tidak masuk dan mengganggu hidupnya lagi. Nimas tertawa dan membuka pintu apartemen.

Nimas memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk mencari sosok yang dipikirnya akan berdiri di depan pintu, bukannya anak yang tadi datang dan bocah laki-laki berusia sekitar empat tahun.

"Hai," sapa anak itu.

"Loh kamu," anak itu menjulurkan tangannya ke arah Nimas.

"Aku Yana dan ini adik aku namanya Galih, mulai hari ini kami berdua akan tinggal di sini bersama tante Sekar dan om Ardan. Eh salah, ibu Sekar dan ayah Ardan. Kami berdua secara hukum sudah menjadi anak angkat ibu dan ayah," Nimas ternganga dan tidak berhenti mengedipkan matanya.

"Wait … kalian anak angkat Mas Ardan?" tanya Nimas tak percaya. Yana mengangguk sedangkan Galih bersembunyi di belakang tubuh Yana.

"Oke, anggaplah apa yang kalian bilang benar lalu Mas Ardan eh maksud saya ayah kalian mana? Kenapa kalian datang hanya berdua," tanya Nimas.

"Ayah sedang merapal doa agar usahanya malam ini berhasil. Oh iya, ayah bilang malam ini dia nggak mau diganggu oleh siapapun. Katanya kalau ibu nolak rujuk, ayah nggak akan segan-segan melakukan … melakukan hal gila, emangnya ayah mau melakukan apa tante?" tanya Yana dengan wajah lugunya. Nimas menggaruk kepalanya dan bingung mau menjawab apa. Nimas akhirnya mengajak Yana dan Galih ke apartemen yang sudah ia sewa persis di samping apartemen Sekar.

"Hmmm pokoknya Yana doa ya supaya ibu dan ayah bisa rujuk lagi," hanya itu yang bisa Nimas jawab.

Sekar bolak-balik sambil menggigit kukunya. Entah sudah berapa kali ia meletakkan telinganya di daun pintu untuk mendengar suara Ardan atau pergerakan Ardan untuk mengganggu hidupnya lagi.

"Kenapa aku jadi gugup ya, seharusnya aku tegas kalau sampai kapanpun tidak akan pernah bisa memaafkan dia," ujar Sekar berusaha menenangkan pikirannya. Sekar menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya. Sekar mengikat rambutnya dan memoleskan sedikit lipstick berwarna merah menyala.

"Ya ampun! Kenapa aku harus dandan segala. Nanti dia pikir aku sengaja dandan untuk menyambut kedatangannya," Sekar mengambil tissue dan menghapus lipstick tadi lalu menyemprotkan parfume ke bajunya.

"Kamu lebih cantik pakai lipstick itu," Sekar kaget dan menjatuhkan botol yang dipegangnya ke lantai. Sekar memutar tubuhnya dan melihat Ardan sedang berdiri di depan pintu dengan kondisi sangat berbeda dibandingkan saat mereka terakhir bertemu sebulan yang lalu. Ardan terlihat lebih kurus, bola matanya menghitam, dan rambut-rambut halus memenuhi wajahnya.

"Si … siapa yang mengizinkan kamu masuk?" tanya Sekar dengan terbata-bata. Ardan lalu keluar dan menutup pintu lalu membukanya kembali.

"Pintunya tidak dikunci … ya sudah berarti aku diizinkan untuk masuk," balas Ardan.

Sekar mengutuk kebodohannya dan teringat kalau tadi ia memang mengunci pintu tapi langsung membukanya lagi, "Sekar … Sekar …" rutuk Sekar dalam hati. Sekar sengaja menunjukkan wajah angkuhnya agar Ardan tahu kalau ia sedang tidak ingin diganggu.

"Bisa kita bicara baik-baik?" tanya Ardan sepelan mungkin.

"Nggak ada yang perlu dibicarakan. Hubungan kita sudah berakhir sejak aku tahu kalau kamu … kalau kamu bajingan itu," mata Sekar berkedip-kedip saat mengatakan itu.

Ardan berjalan selangkah demi selangkah dan berhenti tepat di depan Sekar yang sudah antipati sambil memegang benda yang bisa ia pergunakan saat Ardan berani menyentuhnya.

"Aku tahu tapi aku tidak akan pernah menceraikan kamu,"

Sekar tertawa miris dan menatap Ardan dengan mata bulatnya, "Kamu masih punya muka berdiri di depan wanita yang kamu hancurkan hidupnya?" tanya Sekar.

"Awalnya aku tidak punya muka makanya aku memutuskan untuk pergi, tapi aku sadar sejak awalpun aku sudah kehilangan muka karena mencintai wanita yang dulu pernah aku jadikan budak," Ardan semakin mendekati Sekar hingga Sekar mencoba mundur agar mereka tidak semakin dekat.

"Kamu itu brengsek!"

"Dan kamu itu my beauty slave, budak tercantik yang pernah aku kenal dan aku cintai," rayuan Ardan langsung membuat Sekar salah tingkah. Wajahnya memerah dan udara kamarnya terasa pengap.

"Berhenti! Atau aku akan semakin membenci kamu." Ancaman Sekar sedikitpun tidak membuat Ardan ciut, Ardan semakin mendekat hingga Sekar bersandar pada dinding. Ardan mengunci Sekar dengan menahan tangan Sekar di dinding.

"Satu bulan ini aku sangat merindukan kamu, merindukan bibir merah dan sensual, merindukan desahan saat kamu memanggilku, dan merindukan setiap inci tubuh kamu. Oh Sekar, kamu berhasil membuatku gila!"

Sekar semakin kehilangan kata-kata dan membuang wajahnya agar Ardan tidak tahu kalau ia merona mendengar kata-kata yang diucapkan Ardan barusan. Ardan berusaha menahan tawa melihat reaksi malu-malu mau yang ditampilkan Sekar.

"A … aku tidak merindukan kamu, aku malah bersyukur hidupku selama ini tenang tanpa kamu. Aku bodoh karena tidak sadar kalau laki-laki yang aku cari ternyata hidup dan tidur di sebelahku,"

"Oh ya, tapi apa yang kamu lakukan tidak sesuai dengan ucapan kamu. Aku melihat baju kaos milikku di keranjang baju kotor, di box bayi Alleia, bahkan aku bisa tebak jika kamu memakai pakaian dalamku." Ardan melihat ke bawah Sekar. Sekar langsung bergegas menutup rapat kaos miliknya yang sedikit terangkat.

"Aku …"

"Sudahlah Sekar, akui saja kalau kamu pun merindukan aku."

Sekar menggigit bibirnya dan kehilangan kata-kata untuk menjawab semua tebakan Ardan yang 100 % benar. Sekar akui ia sangat merindukan Ardan makanya tak jarang ia memakai pakaian milik Ardan, tapi Sekar belum bisa memaafkan semua perbuatan Ardan yang merusak hidupnya.

"Berhentilah memaksakan kehendak kamu. Kamu mungkin bisa memiliki tubuhku tapi tidak dengan hatiku," Sekar mendorong Ardan dan sengaja menjauhi Ardan. Ardan membuang napasnya dan berusaha untuk tetap tenang, sejak awal ia sudah yakin akan sulit mendapat maaf Sekar.

"Aku akan memiliki keduanya, hati dan juga tubuh kamu. Kita akan hidup seperti keluarga, ah iya aku sampai lupa tentang satu hal." Ardan mengeluarkan sebuah amplop dari dalam jaketnya.

"Di dalam amplop itu ada surat adopsi, keluarga kita akan bertambah dengan dua anak yang lucu dan menggemaskan. Di dalam surat adopsi itu, aku adalah ayah mereka dan kamu adalah ibu mereka," Sekar memelototkan matanya dan mengeram kesal.

"Anak adopsi?" tanya Sekar. Ardan mengangguk dan membuka pintu kamarnya lalu menyuruh Arjuna memanggil Yana dan Galih. Dua anak yang statusnya kini sudah menjadi anak Ardan dan Sekar.

"Kamu selalu bertindak seenaknya," Sekar melihat Arjuna membawa anak yang tadi bertemu dengannya dan bocah laki-laki yang terlihat takut menatapnya.

"Perkenalkan ini anak pertama kita," Ardan memanggil Yana untuk mendekat padanya, "Namanya Ayana Mahesa dan umurnya tujuh tahun," awalnya Ardan hanya ingin mengadopsi Galih tapi ia batalkan saat tahu Galih sangat menyukai Yana begitupun sebaliknya.

"Hai ibu," Sekar menelan air ludahnya dan tidak bisa berkata apa-apa saat mendengar Yana memanggilnya ibu.

"Hai juga," balas Sekar.

"Dan ini anak kedua kita namanya Galih Mahesa, usianya empat tahun dan dia sedikit pemalu saat bertemu dengan orang baru," Galih semakin bersembunyi di belakang Yana. Sekar mencoba tersenyum tapi Galih menatapnya kesal.

"Hai Galih, kenapa kamu tidak mau menyapa ibu?" Sekar lalu jonggok di depan Galih lalu menyentuh kepala Galih. Galih menghalau tangan Sekar dan berlari ke pelukan Ardan.

"Dia punya trauma mendalam dan sulit untuk dekat dengan orang lain, kamu butuh waktu untuk bisa dekat dengannya," Ardan menyuruh Arjuna membawa Yana dan Galih agar ia bisa melanjutkan perbincangannya dengan Sekar.

"Anak-anak itu lucu kan?" tanya Ardan.

"Kamu sengaja mengadopsi anak itu untuk mengikatku?" tanya Sekar dengan kesal.

"Bisa dibilang iya dan juga tidak. Iya, karena kehadiran mereka bisa membuat kamu tetap di sampingku. Tidak, karena aku merasa terpanggil saat melihat mereka hidup di panti asuhan tanpa ada keluarga yang menyayangi mereka," jawab Ardan dengan tulus.

"Dan tentu Alleia akan menjadi anak ketiga kita. Ternyata ini rasanya punya keluarga besar dan aku sangat tertantang menjadi ayah dari tiga orang anak," Ardan tertawa.

"Bukan tiga Ardan … tapi empat," Ardan dan Arjuna langsung menoleh dan melihat Ibu Marinka sedang berdiri dan di sampingnya berdiri anak seusia Galih.

"Ayo Biyandra … sapa kedua orangtua kamu," ujar Ibu Marinka. Mendengar nama Biyandra diucapkan Ibu Marinka langsung membuat Sekar shock dan akhirnya jatuh pingsan.

"Sekar!" teriak Ardan. Ibu Marinka tersenyum penuh kemenangan, rencananya untuk menukar Biyandra asli dengan Biyandra palsu akhirnya tercapai.