webnovel

Bersiaplah!

Raut muka Sekar langsung berubah dari keras menjadi lunak. Sekar sadar kalau hubungan antara dirinya dan Ardan tidak akan pernah bisa putus selagi Biyandra masih hidup.

"Maaf Mbak … Arjuna lancang membahas masalah itu. Aku akan memarahinya dan menyuruhnya untuk tidak pernah ikut campur urusan Mbak lagi," Nimas mencoba menarik tangan Arjuna tapi Arjuna langsung menghalau dan masih ingin menumpahkan unek-unek yang selama ini ditahannya.

"Tahukah Nyonya kalau selama saya menjadi pengawal keluarga Mahesa sekalipun saya tidak pernah melihat Tuan selembut ini ke orang lain. Tuan sangat arogan, egois, dan mau menang sendiri tapi sekarang Tuan berusaha untuk berubah. Demi apa? Demi Nyonya yang sangat Tuan cintai,"

"Juna!"

"Kamu tahu? Tadi Tuan hampir membunuh dirinya sendiri!" emosi Arjuna semakin tinggi dan akhirnya memberi tahu Sekar tentang kejadian tadi. Sekar masih diam dan tidak memberi reaksi apa-apa.

"Juna," Nimas tahu Arjuna sangat memuja Ardan dan melihat Arjuna sampai seberani ini membela Ardan membuat Nimas ingin membantu memperbaiki hubungan Ardan dan Sekar.

"Mbak, aku tahu kalau sekarang Mbak masih marah dan emosi tapi tolong pertimbangkan sekali lagi. Kita sama-sama tahu kalau manusia itu tidak ada yang sempurna. Mas Ardan salah karena menyakiti Mbak tapi bukankah Mas Ardan berhak mendapat kesempatan kedua?"

Sekar lalu berdiri dan meninggalkan meja makan. Pikirannya kacau dan sulit membuat keputusan. Sekar butuh air hangat untuk menenangkan pikirannya yang kacau sejak pagi. Sekar menutup pintu dan berjalan menuju box bayi Alleia yang akhirnya tidur setelah rewel sejak kepergian Ardan.

"Apa yang harus ibu lakukan, nak?" tanya Sekar dengan nada prihatin.

"Sudahlah Juna … berikan Mbak Sekar waktu untuk berpikir lebih tenang. Kita sudah berusaha dan semua keputusan berada di tangan mereka berdua," Nimas mencoba menenangkan Arjuna. Arjuna membuang napasnya dan berharap Ardan segera pulang.

Yana meletakkan sepiring pisang goreng dan segelas teh di atas meja dan menyuruh Ardan untuk mencicipinya. Ardan berterima kasih dan penasaran kenapa anak sepintar Yana bisa hidup di panti asuhan.

"Sudah berapa lama kamu di sini?" tanya Ardan.

"Sejak kecil om," balas Yana dengan senyum sumringan. Ardan tertawa dan melirik ke arah Galih yang masih tetap di posisinya seperti tadi. Sibuk menggambar dan mengacuhkan kondisi di sekitarnya.

"Kalau Galih?" tanya Ardan penasaran.

"Hmmm satu atau dua bulan om," jawab Yana. Entah kenapa Ardan penasaran dengan Galih dan ingin mengorek informasi tentang jati diri Galih. Ardan yakin Galih bukan cucu kandung bapak pemilik panti asuhan.

"Galih sini dong," panggil Yana. Galih tidak mempedulikan panggilan Yana dan sibuk dengan buku gambarnya.

"Sejak datang dia selalu menggambar dan tidak mau bermain dengan teman-teman yang lain, aku selalu mengajaknya tapi dia menolak bahkan terkadang ngamuk nggak jelas,"

Ardan mengangguk dan reflek melihat ke arah Galih. Ardan lalu mengambil sepotong pisang goreng dan ingin memberikan pisang goreng itu untuk Galih. Ardan mendekati Galih dan jongkok di depannya.

"Galih lagi apa?" tanya Ardan dengan mata melihat apa yang sedang digambar Galih. Kali ini Galih tidak menggambar nenek sihir jahat dan anak kecil tapi ia menggambar ayah, ibu, dan anak laki-laki saling bergandengan tangan.

"Galih mau pisang?" tawar Ardan. Galih mengangkat wajahnya dan melihat Ardan dengan mata bulatnya. Galih lalu menggeleng dan menutup buku gambarnya.

"Galih nggak mau? Pisangnya enak loh," ujar Ardan mencoba membujuk Galih sekali lagi.

"Dia tidak akan mengambil pisang itu nak," ujar bapak tua dari pintu masuk. Ardan lalu berdiri tapi Galih langsung mengambil pisang goreng itu dan memakannya. Ardan dan Bapak tua itu cukup terkejut.

"Dia kenapa Pak?" tanya Ardan penasaran. Bapak tua itu melepaskan jaket dokter dan meletakkan di atas kursi. Ardan lalu duduk di samping bapak tua itu dan mulailah bapak tua itu bercerita tentang Galih yang ia selamatkan dari keluarga yang menyiksanya.

Ardan langsung jatuh hati dan ingin menjadikan Galih anak angkatnya. Awalnya bapak tua itu tidak setuju dan merasa tidak bisa melepaskan Galih ke tangan orang lain tapi melihat kesungguhan Ardan, akhirnya bapak tua itu mengizinkan dengan syarat Ardan tidak boleh menyakiti dan menyia-nyiakan Galih.

"Saya penasaran kenapa nak Ardan bisa bersembunyi di sini?" tanya bapak tua itu. Ardan menggaruk kepalanya dan merasa malu jika sampai bapak tua itu sampai tahu perbuatannya.

"Saya hanya ingin mencari angin segar agar masalah yang saya hadapi bisa terselesaikan dengan baik," balas Ardan. Bapak tua itu mengangguk dan meminum kopi buatan Yana.

"Masalah hati?" tebak bapak tua itu lagi.

"Bisa dibilang begitu Pak. Intinya, kesalahan saya sangat besar dan istri saya sulit memaafkannya," balas Ardan.

"Suami istri bertengkar itu masalah biasa, seharusnya nak Ardan jangan lari dari masalah. Hadapi dan yakinkan istrinya kalau nak Ardan bisa berubah menjadi lebih baik. Yakinkan kalau kesalahan itu bisa diperbaiki dengan memberinya cinta tulus. Nak Ardan sudah punya anak?" tanya bapak tua itu lagi.

"Ada," jawab Ardan singkat.

"Pikirkan anak kalian jika orangtuanya masih kekanakan," Bapak tua itu tidak berhenti menasehati Ardan agar berusaha memperbaiki hubungannya dengan Sekar.

"Saya paham maksud Bapak. Biarlah untuk saat ini kami sama-sama introspeksi diri dan setelah kondisi tenang saya akan pulang dan menyelesaikan masalah di antara kami," jawab Ardan dengan diplomatis. Bapak tua itu mengangguk dan kembali meminum kopinya.

Satu bulan kemudian,

Sekar membuka balkon kamarnya untuk menghirup udara malam. Sudah sebulan ini Ardan menghilang dan tidak memberinya kabar. Walau mulutnya belum bisa memaafkan Ardan tapi ada saatnya ia mulai merindukan kebawelan dan sikap pemaksa Ardan yang terkadang menyebalkan tapi juga sangat ia rindukan.

"Mbak ada tamu," suara Nimas membuyarkan lamunan Sekar tentang Ardan. Sekar menghapus airmatanya agar Nimas tidak melihatnya sedang menangis. Sekar kembali masuk ke dalam kamarnya.

"Siapa?" tanya Sekar penasaran. Nimas mengangkat bahunya dan melihat Alleia sedang bermain dengan boneka yang diberikan Ardan. Nimas tanpa sengaja melihat baju Ardan dibawah bantal Alleia dan itu tandanya Sekar mulai merindukan Ardan walau belum mengakuinya.

Satu bulan ini Sekar memang tidak pernah membahas atau bertanya tentang Ardan ataupun menunjukkan ketidak sukaannya saat Arjuna dan Nimas sengaja membahas Ardan di depan Sekar. Sekar lebih memilih fokus membesarkan Alleia dan sesekali menitipkan Alleia sedangkan Sekar menghabiskan waktu dengan jalan-jalan ataupun merawat diri di salon.

Sekar lalu keluar dan melihat seorang gadis berusia tujuh tahun terlihat antusias melihat isi apartemen. Gadis dengan rambut hitam lebat memakai kaos serta celana pendek khas anak-anak.

"Ehem," Sekar sengaja berdeham agar gadis kecil itu menoleh ke arahnya, "Kamu siapa?" tanya Sekar penasaran. Gadis itu memutar kepalanya dan menilai Sekar dari atas sampai ke bawah, walau belum berbincang dengan Sekar tapi gadis kecil itu tahu alasan kenapa orang yang mengirimnya ke apartemen ini galau sejak tinggal bersamanya. Sekar sedikit salah tingkah apalagi ia hanya memakai baju kaos milik Ardan yang sengaja ia ikat agar pas ditubuhnya.

"Tante Sekar ya?" tanya gadis itu sambil menunjuk ke arah Sekar. Sekar mengangguk dan memilih duduk untuk bertanya siapa gadis itu dan kenapa gadis itu mencarinya.

"Iya, saya Sekar. Kamu siapa?" Sekar balik bertanya.

"Ayana dan aku disuruh om Ardan menyerahkan ini," Yana lalu mendekati Sekar dan menyerahkan sebuah kotak berwarna pink ke tangan Sekar. Sekar cukup kaget gadis cilik yang berdiri di depannya ini bisa mengenal Ardan. Bahkan dari gayanya menyebut nama Ardan tersirat kalau gadis kecil ini sangat dekat dengan Ardan.

"Ini apa? Dan kenapa kamu bisa kenal suami saya?" Sekar menggoyangkan kotak yang terasa ringan.

"Tante Sekar cukup buka kotak itu dan semua jawabannya ada di sana, aku pergi dulu ya. Aku senang bisa bertemu tante Sekar. Om Ardan selalu memuji kalau tante itu wanita paling cantik di dunia dan aku akui om Ardan ternyata tidak bohong," wajah Sekar langsung merona mendengar pujian gadis asing yang ia tidak tahu asal usulnya.

"Oh ya? Ardan cerita apa lagi?" tanya Sekar penasaran.

"Hmmm, om Ardan bilang kalau dia sudah melakukan hal yang membuat tante sedih makanya om memutuskan untuk pergi. Kata om Ardan, dia pergi bukan karena nggak sayang tante lagi tapi takut tante semakin marah dan membencinya," hati Sekar tersentil mendengar ucapan Yana.

"Kamu kenal Ardan di mana?"

Yana tertawa lalu mengangkat bahunya, "Interogasinya nanti lagi ya, waktu kita masih panjang kok." Yana melambaikan tangannya dan meninggalkan Sekar yang masih diam sambil menatap kotak yang diserahkan Yana tadi.

Sekar menimbang apa yang akan ia lakukan dengan kotak yang dipegangnya. Jika Sekar buka berarti Sekar harus siap berurusan dengan Ardan atau membuang berarti hubungan mereka memang tidak akan pernah bisa diperbaiki dan perceraian merupakan jalan terbaik.

Perlahan demi perlahan Sekar membuka kotak itu dan menemukan sebuah amplop kecil berwarna putih. Sekar membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya.

Dear my wife,

Aku tahu kalau kamu pasti sulit memaafkan bajingan seperti aku. Aku sadar kalau kesalahan yang aku lakukan tidak akan pernah bisa kamu lupakan seumur hidup. Satu bulan ini aku merenung dan mencoba menenangkan pikiranku yang sempat kacau dan akhirnya aku menemukan satu jawaban.

Aku tidak akan pernah melepaskan kamu.

Bersiaplah sebentar lagi kamu akan kembali berurusan dengan Ardan Mahesa dan bersiaplah kalau seumur hidup yang berhak menjadi suami kamu hanya aku.

I love you and miss you so much.

Nb : Nanti malam jam 7.00 teng aku akan datang. Bersiaplah!

Sekar tertawa sinis dan meremas surat yang dikirim Ardan, "Kamu pikir aku akan menerima kamu dengan mudah," Sekar meletakkan kotak itu dan berniat kembali ke dalam kamarnya. Baru beberapa langkah Sekar berhenti dan menoleh untuk melihat kotak tadi dan Sekar memutuskan mengambil kotak serta surat itu dan membawanya masuk ke dalam kamarnya.

Next chapter