webnovel

Ibu

Ibu Marinka menuangkan teh ke dalam cangkir saat Ardan bertanya siapa Biyandra dan kenapa anak itu ada bersama Ibu Marinka. Arjuna mengeram kesal dan ingin memberi tahu Ardan kalau Ibu Marinka tidak sebaik yang Ardan kira tapi Nimas melarang dan meminta Arjuna untuk diam.

"Jadi siapa Biyandra itu?" tanya Ardan dengan nada cukup tinggi. Ardan masih menyimpan banyak pertanyaan tentang rencana jahat Ibu Marinka dan Tuan Felix, tapi sekarang Ibu Marinka membawa anak seusia Galih dan mengaku kalau anak itu adalah anak kandungnya dan Sekar.

"Anak kandung kamu," jawab Ibu Marinka penuh percaya diri. Ardan terdiam dan melirik anak kecil yang duduk di samping Ibu Marinka. Anak itu memegang ujung baju Ibu Marinka dan sesekali menatap Ardan.

"Anak aku? Rencana apa lagi yang sedang Ibu susun hah! Maudy? Paman Felix? Belum cukup, Bu?" tanya Ardan dengan nada tinggi.

Ibu Marinka tertawa sinis, "Ternyata dia sudah tahu tentang Maudy. Anak bodoh ini satu-satunya cara untuk menghancurkan Ardan. Aku berhasil membuatnya tunduk dan mengikuti semua perintahku," ujar Ibu Marinka dalam hati.

"Ibu tidak merencanakan apa-apa. Anak ini memang anak kandung kamu, namanya Biyandra. Kamu bisa tanya langsung ke wanita yang tega membuang dan menelantarkan anak kamu hanya karena anak ini hasil dari perbuatan bejat ayahnya," sambung Ibu Marinka. Ardan terhenyak dan kehilangan kata-kata mendengar penuturan Ibu Marinka.

"Sudah cukup! Aku muak dengan semua kebohongan Ibu!" wajah Ardan langsung merah menahan amarah.

"Tuan … apa yang dibilang Nyonya Marinka semuanya benar, hanya saja kita belum bisa pastikan anak itu apakah benar Biyandra asli atau tidak," sela Arjuna.

Ibu Marinka menatap kesal Arjuna, "Bajingan ini sepertinya bisa merusak segala rencanaku, seharusnya aku menyingkirkan dia terlebih dahulu," ujar Ibu Marinka dalam hati. Arjuna menantang Ibu Marinka dan tidak takut walau keselamatannya akan menjadi taruhan jika berani menantang Ibu Marinka.

"Tunggu … jadi Sekar hamil dan membuang anaknya?" tanya Ardan masih tidak percaya.

"Nyonya Sekar memang hamil tapi dia menyerahkan anaknya diasuh salah satu temannya. Kejadian itu membuat mental Nyonya Sekar terguncang ditambah kehamilan yang tidak dia inginkan semakin membuat kondisinya memprihatinkan. Makanya, Nyonya memutuskan menyerahkan anak itu agar diasuh wanita yang lebih sehat fisik dan mentalnya. Saya penasaran kenapa akhirnya anak itu jatuh ke tangan Ibu Marinka," sindir Arjuna tajam.

Ardan terduduk dan memegang kepalanya yang terasa berat, "Anak? Ya Tuhan! Apa yang sudah aku lakukan!" Ardan sangat-sangat menyesal telah melakukan perbuatan sebejat itu hingga menghasilkan anak yang tidak berdosa.

"Jadi … anak itu," Ardan melirik anak yang dibawa Ibu Marinka.

"Ya, anak ini anak kamu dan sudah seharusnya kamu menjaga dia karena dia satu-satunya keturunan keluarga Mahesa," sambung Ibu Marinka. Ardan tertawa sinis dan menatap Ibu Marinka tajam.

"Siapa yang tahu kalau ternyata anak itu hanya anak yang Ibu peralat untuk menghancurkan aku? Seperti Ibu memperalat Maudy dan membuat aku seperti orang bodoh. Aku tidak akan membiarkan Ibu membodohiku lagi," Ibu Marinka lalu berdiri dan mendekati Ardan.

"Zaman sekarang tekhnologi sudah semakin maju dan untuk tahu apakah anak ini keturunan kamu atau tidak pun bukan masalah sulit. Ibu mempersilakan kamu mengecek sendiri apakah anak itu anak kamu atau tidak," ujar Ibu Marinka dengan wajah pongahnya.

Ardan tertawa sinis, "Tanpa Ibu suruh pun aku akan pastikan anak itu benar-benar anak kandungku atau hanya alat untuk memuluskan rencana jahat Ibu," jawan Ardan.

"Bagus, kamu selalu menganggap Ibu orang jahat. Selama ini Ibu selalu memperlakukan kamu seperti anak kandung sendiri tapi balasannya hanya tuduhan tidak mendasar dan kecurigaan kalau Ibu ini sedang merencanakan sesuatu,"

Ardan semakin tertawa dan menantang mata Ibu Marinka, "Sudahlah Bu, sejak awal aku tahu kalau kehadiranku membuat posisi Ibu terancam dan ditambah Papi menyerahkan semua … SEMUA harta keluarga Mahesa untuk aku kelola dan jaga dari tangan-tangan manusia maruk seperti Ibu dan Paman Felix," sindiran Ardan cukup tajam dan membuat wajah pongah Ibu Marinka langsung memerah. Ibu Marinka mencoba tetap sabar dan mengalah sampai Ardan bisa menerima Biyandra palsu sebagai anaknya dan setelah itu Ibu Marinka tinggal menggunakan remote control untuk mengendalikan Biyandra palsu.

"Hentikan semua basa basi ini, kita bertiga harus segera ke rumah sakit untuk melakukan tes DNA. Ibu akan buktikan kalau tuduhan kamu itu salah, Ibu tidak mungkin memperalat anak sekecil dia untuk menghancurkan kamu," Ibu Marinka mendekati Biyandra palsu dan menyuruhnya berdiri agar mereka bisa segera ke rumah sakit.

"Ar …dan," panggilan Sekar membuat Ardan, Arjuna, dan Nimas langsung masuk ke kamar dan meninggalkan Ibu Marinka.

Setelah tidak ada yang memperhatikannya Ibu Marinka mengambil kesempatan untuk masuk ke dalam kamar mandi dengan tujuan mengambil beberapa helai rambut Ardan atau Sekar supaya ia bisa menukar hasil tes DNA yang nanti akan mereka lakukan.

"Kamu pikir bisa menang melawan Ibu," Ibu Marinka menyimpan beberapa helai rambut ke dalam tasnya lalu mendekati Biyandra palsu yang masih duduk sambil memainkan tangannya.

"Ingat, nama kamu mulai sekarang Biyandra dan mereka semua adalah musuh oma. Kamu di sini untuk menghancurkan mereka, paham!" ujar Ibu Marinka agar Biyandra palsu mengingat semua kata-katanya. Biyandra palsu mengangguk ketakutan dan menyimpan semua perintah Ibu Marinka dalam otaknya.

Nimas membantu Sekar minum segelas air putih agar bisa lebih tenang. Airmata Sekar tidak berhenti turun sejak ia sadar dari pingsannya. Nimas beberapa kali mencoba menenangkan Sekar walau selalu gagal.

"Apa yang akan kita lakukan dengan Ibu Marinka dan anak itu Tuan?" tanya Arjuna dengan suara pelan agar Sekar tidak mendengar pembicaraan mereka.

"Kamu awasi Ibu Marinka dan anak itu. Untuk sementara kamu jauhkan anak itu dari Ibu Marinka sebelum kita melakukan tes DNA. Anak itu terlihat tertekan dan saya yakin Ibu sudah merecoki otaknya dengan kata-kata jahat," balas Ardan. Arjuna mengangguk dan memanggil Nimas agar meninggalkan kamar dan membiarkan mereka menyelesaikan masalah tanpa gangguan pihak lain.

"Jadi … kita punya anak?" akhirnya Ardan memberanikan diri untuk bertanya. Sekar menghapus airmatanya dan menatap Ardan dengan mata sendu.

"Kamu mau jawaban apa? Buat apa kamu tahu?"

"Sekar,"

"Walau kita punya anak keputusanku sudah bulat untuk mengajukan gugatan cerai dan kamu tidak bisa mengubah keputusanku," jawab Sekar dengan yakin. Ardan menarik napasnya dan membuang pelan-pelan.

"Aku tidak akan menghakimi kamu tentang anak itu. Kenapa kamu menyerahkannya ke orang lain atau kenapa kamu diam selama ini. Aku yakin kamu punya alasan kuat melakukan itu," ucapan Ardan cukup mengagetkan Sekar. Sekar pikir Ardan akan menyebutnya sebagai manusia tanpa hati karena tega membuang anak kandungnya sendiri.

"Aku tidak butuh penghakiman kamu," Sekar membuang wajahnya.

"Bisa kita bicara lebih tenang tanpa emosi? Kita sudah punya empat anak dan aku sudah berusaha untuk menghilangkan semua sikap ego yang dulu aku miliki. Aku sadar di belakangku ada anak-anak yang akan mencontoh sikap orangtuanya dan aku tidak mau semua anak-anak kita punya sikap buruk seperti aku dan aku juga tidak mau anak-anak kita meniru sikap ibunya yang selalu marah-marah," sindir Ardan.

"Sikap tukang paksa kamu tidak pernah berubah dan sekarang kamu menggunakan anak-anak untuk menekanku," Sekar membalas dengan menyindir Ardan. Ardan tertawa dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kalau itu sepertinya sulit dihapus. Kamu sepertinya suka dipaksa daripada dibicarakan baik-baik," Ardan semakin mendekat dan akhirnya duduk di ranjang yang sama dengan Sekar. Ardan memegang tangan Sekar walau Sekar langsung menghalaunya, Ardan tidak patah semangat dan sekali lagi memegang tangan Sekar.

"Biyandra … nama anak kita?" tanya Ardan.

Sekar kehilangan kata-kata tapi dari sorot mata Sekar yang selalu sedih setiap menyebut nama Biyandra, Ardan bisa pastikan kalau nama itu memang anaknya.

"Oke, aku tidak akan menyalahkan kamu. Sekarang aku beri beberapa pertanyaan dan kamu jawab dengan jujur. Hmmm, kamu benci anak itu karena aku ayahnya?" tanya Ardan hati-hati.

"Aku benci anak itu karena dia hadir tanpa aku minta. Aku benci dia karena ayahnya merusak hidupku. Aku benci dia karena … karena …" Sekar tidak bisa melanjutkan ucapannya. Airmatanya tumpah tanpa bisa ia kendalikan, Ardan pun merasakan hal yang sama. Wanita mana yang mau mengandung anak dari laki-laki perusak hidupnya. Ardan bersyukur Sekar tidak menggugurkan anak itu walau ia tidak mau mengasuhnya.

"Oke, aku tidak akan tersinggung ataupun marah. Pertanyaan kedua, kamu bersedia mengasuh Biyandra setelah tahu aku ayahnya?" tanya Ardan lagi.

"Aku … aku …" Sekar akhirnya mengangguk dan lagi-lagi Ardan bersyukur Sekar mau menerima Biyandra.

"Pertanyaan ketiga, kamu cinta sama aku?"

Reflek Sekar mengangguk meski akhirnya ia sesali setelah sadar Ardan menjebaknya lagi, "Kamu mengambil kesempatan dalam kesempitan!" gerutu Sekar. Ardan lalu mendekati Sekar dan ingin memeluknya. Awalnya Sekar menolak dengan mendorong tubuh Ardan tapi Ardan tidak menyerah dan berusaha berkali-kali hingga akhirnya Sekar luluh dan membiarkan Ardan memeluknya.

"Aku merindukan kamu," bisik Ardan di telinga Sekar.

"Aku membenci kamu! Kamu buat hidup aku hancur!"

"Maaf, aku akan balas dengan membahagiakan kamu. Kita akan bahagia dengan anak-anak terutama dengan Biyandra. Anak yang selama ini tidak bisa mendapat kasih sayang orangtuanya,"

Sekar lagi-lagi hanya bisa menangis pilu mengingat apa yang dulu ia lakukan pada Biyandra. Ardan membiarkan Sekar menangis sepuasnya untuk melampiaskan rasa menyesal yang masih ada di hatinya.

"Aku akan melakuan tes DNA untuk memastikan anak itu memang anak kita," Sekar diam dan menyerahkan semuanya ke tangan Ardan.

"Kalian tidak boleh bertengkar ya," ujar Nimas kepada Galih dan Biyandra palsu. Galih mendengus dan kembali sibuk dengan buku gambarnya. Biyandra palsu menunjuk buku gambar milik Galih dan dengan wajah mengiba meminta Nimas mengambilkan buku itu.

"Buku itu milik Galih. Besok aunty dan paman Arjuna akan belikan untuk kamu ya," ujar Nimas tapi Biyandra palsu menggeleng dan tetap meminta Nimas mengambilkan buku itu dari tangan Galih.

"Oke, aunty akan carikan buku lain. Tunggu sebentar di sini dan kalian jangan bertengkar ya," Nimas meninggalkan Galih dan Biyandra palsu. Biyandra palsu mendekati Galih dan ingin merebut buku gambar kesayangan Galih. Galih mengeram dan menahan buku itu dengan tangannya.

"Buku itu milik aku!" teriak Biyandra palsu. Galih semakin mendengus dan mendorong tubuh Biyandra palsu hingga terjatuh ke lantai. Bersamaan dengan jatuhnya Biyandra palsu Sekar dan Ardan datang untuk melihat anak-anaknya. Sekar langsung mendekati Biyandra palsu sedangkan Ardan mendekati Galih.

Sekar membantu Biyandra palsu berdiri sedangkan Ardan berusaha menenangkan Galih yang masih mengeram dengan tatapan marah.

 "Kalian kenapa bertengkar?" tanya Ardan.

"Dia pelit," jawab Biyandra palsu.

Galih hanya bisa mengeram dan menatap Sekar tidak suka. Galih mulai tidak terkontrol dan berusaha menjangkau Biyandra palsu dan Sekar untuk melampiaskan kemarahannya. Ardan berusaha membujuk Galih dengan sabar dan meninggalkan Sekar dengan Biyandra palsu agar bisa lebih mendekatkan diri.

"Hai," sapa Sekar berusaha mencairkan hubungannya dengan Biyandra palsu.

"Ibu," panggil Biyandra palsu. Sekar memeluk Biyandra palsu dan menangis pilu melihat reaksi Biyandra palsu yang tetap mau memanggilnya ibu setelah perbuatan jahatnya dulu. Mata Galih tidak berhenti menatap Sekar dan Biyandra palsu lalu ia meneteskan airmatanya dan memeluk Ardan dengan sangat erat.

Next chapter