Pierce membuka sebuah pintu ruang lantai atas, lalu mengajak Carissa untuk masuk dan berhenti tengah-tengah ruangan yang merupakan kamar bernuansa monokrom yang didominasi oleh warna hitam dan putih, terdapat dinding kaca yang tertutup oleh tirai berwarna putih. Pria itu mengunci pintu lagi kemudian mendekati sang gadis lalu memeluknya dari belakang dan menyandarkan dagunya pada bahu sang gadis.
"Ini kamar kita," ucapnya.
Clarissa terdiam dengan perasaan yang masih tidak menyangka berada di situasi ini. Kamar yang indah, kebebasan dan juga pria yang sangat tampan dan penuh dengan kelembutan dan perhatian dia dapatkan malam ini. Terkadang ini terasa seperti mimpi namun ketika dia mengedipkan matanya semuanya tidak berubah karena ini semua adalah kenyataan.
"Aku harap kamu suka kamar ini, atau jika kamu tidak suka, aku akan meminta pihak apartemen untuk merubahnya," ucap Pierce.
"I love it," lirih Clarissa, lalu melepas pelukan Pierce dan berbalik berhadapan dengannya. Dia mendongak menatap wajah tampan pria itu, menelan salivanya dan mencoba untuk menetralkan napasnya yang agak tak stabil karen masih speechless. "Kenapa kamu melakukan ini ... Kamu seperti malaikat untukku ... Terkadang aku masih belum percaya bahwa semua ini adalah nyata," lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.
Pierce menghela napas, lalu menyibakkan sedikit rambut Clarissa yang menutupi kening. Pria itu tersenyum menatap gadis itu dengan sangat intens, lalu mengusap air matanya dengan lembut.
"Seperti yang aku katakan, cinta membuatku buta dan ingin melakukan segalanya demi mendapatkan orang yang kucinta. Aku ingin membuat orang yang aku cintai nyaman bersamaku," ucapnya.
"Kamu benar-benar mencintai ku meskipun aku sering bercinta dengan pria lain? Apa kamu tidak jijik padaku?" Clarissa bertanya-tanya.
"Sama sekali, tidak karena aku tahu kamu tidak pernah menginginkan itu terjadi. Kamu pantas untuk bahagia ... Dan jangan pernah sebut dirimu menjijikkan atau sampah atau rendah, karena mulai malam ini you are the queen of my heart ... Aku akan menaikkan derajatmu, suatu hari nanti tidak akan ada yang berani menyebutmu sebagai pelacur. Image itu akan hilang," jawab Pierce lalu menangkup kedua rahang Clarissa dengan kedua tangannya, lalu menyatukan kening mereka. "Percayalah ... Kamu pantas mendapatkan semua ini."
Clarissa tersenyum dan mencoba menahan tangis bahagia.
"Thank you ..."
Pierce hanya tersenyum lalu mencium bibir Clarissa dengan lembut. Perlahan matanya terpejam, bersamaan dengan mata sang gadis yang juga terpejam.
Clarissa memejamkan matanya dan terus menikmati ciumannya dengan Pierce, meskipun air matanya masih saja menetes karena dia terlalu bahagia. Dia merangkulkan tangannya ke leher pria itu, membuat ciuman mereka semakin dalam hingga napas mereka seperti memburu.
"Apa kamu mencintai aku juga?" tanya Pierce setelah mengakhiri ciumannya.
"Ya, aku mencintaimu sejak pertama kali melihat mu dari jendela," jawab Clarissa dengan tersenyum malu-malu.
Pierce berbunga-bunga, merasa bahwa cinta pada pandangan pertama memang terjadi pada Clarissa, bukan hanya dirinya. Dia pun mencium bibir gadis itu lagi, lalu merangkul bokongnya dan langsung mengangkatnya.
"Pierce ..." Clarissa langsung mengeratkan pelukannya pada leher Pierce, sementara kakinya melingkar pada pinggangnya karena dia takut jatuh. Dia menunduk, menatap wajah tampan pria itu dengan penuh rasa syukur. "I love you ... I loved you from the first time I saw you get out of the car!"
"Kamu harus menceritakannya nanti, karena sekarang aku ingin bercinta denganmu," ucap Pierce, lalu berjalan dengan terus membopong ranjang menuju ke ranjang.
Clarissa hanya tersenyum, membiarkan Pierce membaringkan tubuhnya di sana dan mulai menciuminya sambil meraba-raba bagian dadanya hingga membangkitkan gairahnya. Gadis itu tidak dapat memungkiri bahwa dia sangat penasaran dan antusias dengan aktivitas bercinta dengan penuh kelembutan dan cinta, kalau sebelumnya selalu disertai oleh kekerasan dan paksaan.
.
"Eumhhh."
Clarissa mulai mendesah saat Pierce bergerak turun meremasi buah dadanya, hingga terus turun menyingkap dress nya, kemudian melucuti underwear hitam nya dengan tidak sabaran.
"Aku sangat menginginkan mu, bahkan sejak pertama kali aku melihat mu, aku sangat menginginkan mu!" ucap Pierce dengan tatapan begitu dingin penuh gairah menatap Clarissa yang sudah setengah naked. Dia pun melepas celananya hingga underwear nya sendiri, memperlihatkan kejantanannya yang kokoh dan siap menghujam ke dalam milik Clarissa yang belum terlalu basah. Pria itu juga melepas pakaian atasnya, lalu membuangnya ke sembarang arah.
"Jadi, kamu sangat ingin bercinta dengan ku, bukan sekedar mencitaiku saat pada pandangan pertama ?" tanya Clarissa sambil menatapi Pierce yang perlahan mengukung di atas tubuhnya.
"Ya, aku frustasi menahan gairah ini. Ada banyak hal yang berlaku katakan padamu tapi biarkan aku menikmati mu sekarang," jawab Pierce dengan erangan rendah, kemudian mencium bibir Clarissa dengan lembut sementara tangan kirinya membimbing kejantanan nya untuk memasuki milik Clarissa.
"Ughh ..." Clarissa tersentak sedikit.
"Aghhh ... Rasanya sangat sesak..!" Pierce mendesah kenikmatan saat merasakan miliknya terjepit oleh milik Clarissa yang masih belum basah karena kurang lama melakukan foreplay.
"Aww, milikmu terasa sangat besar. Tapi ini sangat ... Nikmat." Clarissa pun ikut kenikmatan dan menarik Pierce dalam pelukannya. "Ini pertama kalinya aku bercinta dengan rasa cinta."
"Oh ya, itu pasti, Sayangku. Kamu tidak akan bercinta lagi dengan pria lain selain aku." Pierce pun bergerak pelan namun perlahan cepat menghentakkan miliknya dengan kuat hingga menimbulkan bunyi khas bercinta dan membuat Clarissa tak kuasa menahan desahan demi desahan hingga sesekali menjerit kenikmatan.
___
Di tempat lain tepatnya di apartemen Alexander, Daisy sedang berdiri di dekat dinding kaca sambil menatap pemandangan luar yang begitu indah. Gedung-gedung megah menjulang tinggi bercahayakan berbagai warna lampu, rembulan yang bersinar terang, membuatnya merasa damai. Dia beralih melirik ke arah ranjang, mendapati Alexander yang sedang tidur dengan posisi tengkurap dan hanya bertelanjang dada sementara bagaimana bawah tubuhnya tertutup selimut.
"Kenapa dia selalu tidur setelah bercinta? Kenapa dia selalu lembut dan seperti tidak ingin membuat ku merasa terpaksa melayaninya?"
Daisy berjalan menghampiri ranjang dengan langkah lambat, lalu duduk di tepi ranjang. Gadis yang memakai lingerie hitam dipadu dengan jubah abu-abu transparan itu tidak tau harus berbuat apa hingga memutuskan untuk ke dapur. Dia berjalan keluar kamar, menatapi suasana penthouse yang sangat hening seperti tak ada penghuni.
"Andai aku bisa mendapatkan uangku, lalu beli tempat seperti ini, mungkin akan sangat menyenangkan,' batin Daisy, mendadak membayangkan bagaimana jika dia mencuri uang Nicole yang sebenarnya adalah haknya, lalu menggunakannya untuk membeli apartemen atau rumah, lalu dia akan bekerja di cafe atau toko atau restauran ... Semua itu muncul di benaknya, namun mengingat Nicole yang punya banyak preman yang tidak akan membiarkan dia bisa melancarkan aksinya itu begitu saja, membuatnya pesimis dan malas untuk berkhayal tentang kebebasan.
Setibanya di dapur, Daisy melihat Richard yang sedang duduk santai di kursi dekat meja pantry sambil menikmati makan malam dengan menu seperti steak dan French fries.
"Hey," sapa nya.
Richard menatap Daisy dengan tatapan datarnya lalu kembali memakan steak nya. Pria yang masih memakai seragam security berwarna biru gelap itu merasa enggan untuk menatap sang gadis, karena dia masih kecewa karena ajakannya selama ini diabaikan begitu saja.
"Aku lapar, apa aku boleh minta makanan mu?" tanya Daisy dengan santai.
Richard menghentikan aktivitas makannya, terdiam sebentar dengan tertunduk. Dia mencoba untuk menahan dirinya, menahan rasa sakit hatinya karena Daisy baru saja melayani Alexander.
Daisy duduk di kursi tepat di hadapan Richard kemudian mengambil alih pisaunya. Dia mengambil pisau itu untuk menusuk steak yang sudah dipotong, lalu melahapnya tanpa perduli si pemilik makanan akan marah atau tidak.
"Kenapa kamu diam saja?" tanyanya.
"Tidak apa-apa," jawab Richard, mengambil pisau lain untuk mengiris steak yang masih berukuran besar itu.
Daisy tersenyum tipis, melirik Richard yang bersikap dingin malah membuatnya gemas. Dia menarik piring berisi steak itu, membuat sang pria gagal makan.
"Bukankah kamu rela memberikan apapun untukku?" tanyanya dengan tersenyum, lalu mengiris steak. "Sekarang aku mau steak ini. Rasanya sangat lezat dan seperti dari daging kualitas tinggi ... Atau memang kamu pandai memasak?"
Richard menghela napas, menatap Daisy yang menggodanya. Penampilan yang seksi dan senyum yang menggoda sungguh membuatnya kesal karena gadis itu bukan miliknya, karena dia selalu ditolak dan lebih memilih Alexander.
"Mulai hari ini, aku tidak ingin melakukan apapun untukmu atau memberikan apapun padamu. Aku bukan pilihanmu dan aku sadar diri mungkin itu karena aku hanya security dan penjaga penthouse," ucap Richard kemudian beranjak berdiri.
Daisy mendongak menatap Richard yang terlihat seperti marah. Pria itu berjalan menuju keluar kemudian dia mengikutinya hingga tiba di ruang makan.
"Hey, kurasa kamu salah paham," ucapnya.
Richard berhenti, lalu berbalik menatap Daisy dengan penuh amarah dan kekecewaan.
"Aku tidak memilih siapapun... Sampai saat ini aku tidak memilih siapapun dan aku disini hanya menjalankan pekerjaanku," ucap Daisy dengan santai. "Aku tidak pernah peduli siapa kamu ... Aku tidak peduli kamu adalah security atau kamu adalah pria kaya ... Dan kamu tidak perlu marah seperti ini karena aku berhak bersama pria manapun. Kamu tidak memiliki aku, dan obrolan yang pernah terjadi di antara kita selama beberapa kali, karena kamu membeli aku beberapa kali, itu bukan berarti kamu memiliki aku sampai saat ini."
Richard menghela nafas kemudian menganggukkan kepalanya. "Ya, Aku tidak pernah berhak memiliki kamu dan aku tidak pernah pantas memiliki kamu ... Dan kamu bilang tidak ada yang berhak untuk memiliki kamu ... Tapi sebentar lagi kamu akan tahu kenyataan lain," ucapnya kemudian meninggalkan ruang makan itu.
Daisy terdiam dengan mengerutkan keningnya, merasa tidak paham dengan apa yang dimaksud dari perkataan dari perkataan Richard. Setiap memilih untuk kembali ke dapur, makan steak milik Richard yang sudah dia rebut.
____
Alexander terbangun dan melirik sekeliling dengan mengerutkan keningnya. Dia menyadari bahwa Daisy tidak ada di sana, membuatnya segera duduk dan beranjak dari ranjang.
"Ke mana dia?"
Ceklek ...
Alexander menghalau nafas lega saat melihat Daisy datang memasuki kamar kemudian menutup pintu kembali. Pria yang hanya memakai underwear berwarna hitam itu menyambut sang gadis dengan menangkup kedua rahangnya, lalu menatap wajahnya dengan sendu.
"Aku pikir kamu kabur dari sini," ucapnya.
"Aku tidak akan kabur sebelum jam kerja aku selesai, lagi pula kabur hanya akan membuat aku dalam kesulitan," sahut Daisy dengan santai menyingkirkan tangan Alexander dari rahangnya lalu, menatap wajahnya yang tampan meskipun rambutnya berantakan dan baru bangun tidur. "Kenapa kamu sangat khawatir? Apa kamu tahu aku rugi karena sudah membayar mahal tapi tidak puas bersamaku?" tanyanya sambil berjalan menuju sofa.
Alexander menghela nafas. "Sudah aku katakan, Ini bukan tentang uang atau kepuasan yang kamu berikan padaku. Aku begini karena aku mencintaimu," ucapnya sambil berjalan menuju sofa.
"Kamu terlalu bersemangat membicarakan cinta."
"Karena hidup tanpa cinta terasa sangat datar. Seperti makan tanpa merasakan lezat ... Dan aku merasakan cinta itu saat bersama kamu ... Hanya melihatmu dan berada di sisimu sudah membuat aku sangat bahagia," ucap Alexander, lalu berdiri setengah badan di hadapan Daisy yang duduk di sofa, kemudian meraih tangannya dengan lembut. Dia mendongak menatap pelacur cantik itu, menunjukkan tatapan penuh permohonan dan berkata, "Sekarang aku ingin tahu ... Pernahkah kamu merasa nyaman saat bersama customermu seperti yang kamu rasakan saat ini?"
"Aku pernah merasa sangat nyaman bersama customerku karena customer itu sama sekali tidak meminta pelayanan dariku," ucap Daisy sambil mengingat wajah Richard.
"Customer yang tidak meminta pelayanan darimu?" Alexander mengerutkan keningnya, menduga-duga siapa pria bodoh yang sudah membayar mahal pada Nicole untuk bisa bersama Daisy namun tidak mau mendapatkan service darinya. "Siapa pria itu?"
"Aku tidak tahu, tapi kurasa dia adalah pria suci atau mungkin dia tidak berselera untuk bercinta denganku," jelas Daisy tanpa ingin menyebut nama Richard karena tidak ingin Alexander marah dan memecatnya. "Dia datang berkali-kali dan hanya mengobrol denganku. Sepertinya dia hanya tertarik melihat wajahku tanpa menikmati tubuhku," lanjutnya dengan tersenyum masam.
"Terkadang seseorang yang sudah jatuh cinta, sudah sangat lega hanya dengan melihat wajah orang yang kita cintai. Dan mungkin itu yang dia rasakan, sama seperti yang aku rasakan sekarang," ucap Alexander sambil memainkan jemari tangannya dengan jemari tangan Daisy. "Aku mengatakan malam ini hanya ingin bercinta bersamamu satu kali saja karena selanjutnya Aku hanya ingin menatapmu dan memelukmu, karena itu sudah membuatku bahagia. Justru aku jadi heran dengan pria yang kamu maksud sebagai customermu, Mungkin dia tidak normal karena dia tidak tertarik untuk bercinta dengan kamu sedangkan kamu sangat menggoda iman ... Kamu punya body yang bagus wajah yang cantik, dan kamu pandai dalam foreplay," lanjutnya.
Daisy sambil terus membayangkan saat-saat dia bersama Richard. "Tiap bahkan tidak pernah merasakan foreplay dariku."
"Benarkah?"
"Yeah ... Iya benar-benar naif!"
"Dia bodoh." Alexander menciumi tangan Daisy, sementara Daisy membiarkannya tanpa protes. "Jadi, Apa yang terjadi seminggu setelah kita bertemu?"
Daisy menghela napas, lalu memalingkan wajahnya dengan menatap ke arah pemandangan luar yang terlihat begitu jelas dari dinding kaca. "Jika kamu tahu apa yang terjadi mungkin kamu akan tertawa."
"Katakan," seru Alexander, pertama duduk di lantai dan menyandarkan kepalanya pada kaki Daisy. Ugh, dia berlaku seperti benar-benar luluh dan menunjukkan kerendahan dirinya pada pelacur itu.
"Madam punya pelanggan dari kalangan pejabat yang selalu menjamin rumah bordil itu bisa tetap beroperasi. Pria itu suka menyiksa temanku yang sudah menjadi favoritnya. Tapi saat itu temanku sakit sehingga aku menggantikan posisinya," ucap Daisy mulai menceritakan tentang malam pergulatannya dengan Orlando.
"Apa pria itu menyakitimu?" tanya Alexander dengan tatapan menyelidiki.
Daisy tersenyum miring dan berkata, "Dia melukai aku dan aku juga melukainya. Malam itu kami melakukan seks tapi tidak ada kesenangan sama sekali. Mungkin sampai sekarang dia belum sembuh."
"Apa yang sebenarnya kamu lakukan padanya?" tanya Alexander penasaran.
"Aku menggigit burungnya," jawab Daisy dengan terkekeh.
Alexander langsung mengangkat kepalanya, terkekeh menatap Daisy yang akhirnya bisa tertawa lepas saat bersamanya. Baru kali ini dia melihat atau gadis itu, membuatnya terlihat semakin cantik dan tentu saja dia semakin terpesona. Pria itu pun duduk di kursi kemudian merangkul sang gadis, lalu mengangkatnya hingga memindahkannya duduk di pangkuannya.
"Kamu memang nakal ... Tapi kamu juga yang terbaik. Aku pikir aku tidak akan mengembalikan mau ke rumah bordil itu," ucapnya.
"Jangan gila," sahut Daisy dengan senyum yang langsung memudar. Dia jadi khawatir kalau Alexander benar-benar bisa membebaskannya dari rumah bordil itu sedangkan dia tidak ingin bebas tanpa Clarissa.
Alexander langsung terdiam, menyadari bahwa respon Daisy sangat tidak sesuai dengan ekspektasinya. Dia jadi bingung tentang bagaimana caranya membuat gadis itu tidak marah ketika tahu bahwa dia sudah membelinya dan tidak akan mengembalikannya ke rumah bordil.
___
Di apartemen, Pierce tidak tidur setelah puas tercinta dengan Clarissa. Pria itu berbaring dengan posisi miring, menatap sang gadis yang sedang tidur dengan posisi miring menghadap padanya dan hanya memakai selimut sebatas dada bersamaan dengannya. Dia mengusap-usap pipi gadis itu dengan lembut, menatap wajahnya yang cantik dan penuh dengan kepolosan, membuatnya merasa sedih mengingat background Gadis itu adalah pelacur yang selalu mendapat perlakuan buruk dari customer ataupun sang mucikari.
"Suatu hari nanti aku akan mencari cara supaya kamu bisa benar-benar bebas bersama aku tanpa takut dikejar oleh madam Nicole," ucapnya lirih.
Clarissa menggerakkan kepalanya lalu perlahan membuka matanya, hingga langsung bertatapan dengan Pierce yang tersenyum padanya.
"I love you," lirih Pierce.
Clarissa langsung tersenyum merona, menatap Pierce yang langsung mencium bibirnya dengan lembut untuk beberapa saat.
"Aku pikir aku akan terbangun dan mendapati kenyataan bahwa apa yang terjadi hanyalah sebuah mimpi," ucap Clarissa dengan suaranya yang begitu lirih dan terdengar lembut. "Tapi semua itu tidak benar ... Yang terjadi memang kenyataan. Akhirnya aku bebas ... Aku mendapatkan cinta yang tidak pernah kubayangkan selama ini ..."
"Ya ... Kamu dapatkan kebebasan dan juga cinta," sahut Pierce kemudian menautkan jemari tangannya pada jemari tangan kanan Clarissa.
"Terima kasih atas segalanya ... Aku berjanji tidak akan pernah mendustai kamu atau menghianati kamu."
"Aku percaya kamu tidak akan pernah melakukan itu ... Aku benar-benar merasa bahwa kamu adalah gadis baik dan setia, akan kamu adalah gadis yang rela berkorban demi sebuah kesetiaan,x ucap Pierce, sesekali mencium tangan Clarissa dengan lembut. "Kamu bilang kamu tidak mau meninggalkan tempat itu tanpa temanmu ... Itu adalah hal yang sangat berkesan dan menarik untukku. Kamu adalah teman yang setia Dan itu berarti kamu adalah calon istri yang setia."
"Calon istri?" Clarissa mengerutkan keningnya.
"Ya ... Kamu adalah calon istriku karena aku mencintai kamu dan kamu mencintai aku," jelas Pierce terus menatap Clarissa dengan sangat intens.
"Kamu ingin menikahi aku?" Clarissa tampak tidak yakin.
"Suatu hari nanti," ucap Pierce.
"Tapi kenapa kamu ingin menikahi aku sedangkan ada banyak gadis di luar sana yang pasti sangat pantas untuk kamu," sahut Clarissa dengan menekuk wajahnya.
"Kalau aku sudah merasa bahwa kamu pantas untukku Kamu adalah gadis yang aku butuhkan Kamu adalah gadis yang aku inginkan, lalu kenapa aku harus mencari gadis lain?" tanya Pierce dengan menaikkan alisnya. "Apa kamu akan rela menyerahkan aku pada gadis lain setelah aku sudah memikat hatimu? Lalu untuk apa kita bersama sekarang ini jika akhirnya aku harus mencari gadis lain untuk aku nikahi?"
Clarissa menunduk, seketika merasa tidak percaya diri dan membayangkan bagaimana jika keluarga Pierce mengetahui bahwa sebelumnya dia adalah pelacur. Dia jadi sangat takut dan overthinking, tidak lagi tenang, bahkan takut dengan pernikahan yang akan menjadikannya sebagai pusat perhatian keluarga Pierce atau orang lain jika pernikahan itu akan dilakukan di tempat umum dan dilihat oleh banyak orang.