WARNING 21++

YANG BELUM CUKUP USIA DAN MASIH SALAH LAPAK, MENJAUH GUYS!!! GAK ADA BANTAHAN YA! PERGILAH WAHAI DEDEK2 UNYU👿👿👿

#####

Gevan membawa Alina ke sebuah hotel yang tak jauh dari klub malam tempat mereka bertemu menggunakan taksi. Mobil yang dibawanya sengaja dia tinggalkan diparkiran, dan meminta supirnya untuk mengambil dan membawa pulang mobil itu.

Sepanjang perjalanan, Alina terus saja mengoceh tak jelas sambil bergelayut manja di lengan Gevan.

"Rasanya... seperti mimpi bisa... langsung menyentuh wajahmu seperti ini, Pak CEO..."

Gevan hanya dapat mengeratkan gendongannya sepanjang lorong menuju kamar yang dia pesan. Sebenarnya tubuhnya sudah panas dingin karena Alina terus-terusan menyentuh wajah dan dadanya dengan liar.

Gevan tahu wanita ini mabuk saat mengajaknya 'tidur', tapi Gevan tak peduli karena wanita di dalam gendongannya ini sudah menantangnya sedemikian rupa. Menjatuhkan harga dirinya. Dan Gevan, tidak pernah suka jika harga dirinya jatuh.

Lagi pula, sepertinya wanita ini sudah sering ke klub malam, dan sepertinya sudah lihai mengganggu para pria.

Gevan membuka pintu hotel yang dia pesan dengan kartu, yang otomatis membuat pintu itu terbuka. Pria ini melangkah masuk dengan susah payah sambil terengah, karena Alina sudah mencium rahangnya walaupun seringan bulu.

"Wajahmu halus..." desah Alina yang kali ini sudah menatap Gevan yang juga menatapnya.

"Bibirmu juga, Cherry... bibirmu halus..." bisik Gevan parua, lalu langsung saja membanting pintu hotel dengan cara menendang pintu itu sekuat tenaga. Pintu otomatis terkunci setelah berbunyi 'klik'. 

Gevan menyambar bibir Alina yang terbalur dengan lipstik merah menggoda, yang sejak tadi tak sabar dia cicipi. Bibir yang menantangnya itu! 

Dan saat bibir wanita seksi ini bersentuhan dengan bibirnya, Gevan bersorak gembira di dalam hati, karena rasanya benar-benar nikmat. Jauh melebihi ekspektasinya. Rasa bibir Alina terasa pas untuk ia cicipi lagi dan lagi. Gevan terus menggoda Alina sambil menggigit-gigit kecil bibir atas dan bawah wanita ini bergantian dengan lapar seiring langkah kakinya menuju tempat tidur luas di depannya.

Alina mendesah di sela ciuman Gevan yang memabukkan. Kedua tangannya mengalung indah di leher Gevan.

Gevan menurunkan tubuh Alina ke atas ranjang tanpa melepas pagutannya.

"Di mana... keahlianmu, Cherry? Bukankah kamu... bilang kamu ingin... 'menyembuhkan'ku?" bisik Gevan terengah tepat di depan bibir Alina yang terbuka dan sedikit bengkak karena ciumannya. Posisi Gevan saat ini membungkuk sambil memperhatikan dengan intens wajah Alina. Kedua tangannya mengurung tubuh indah Alina. 

Wajah Alina memerah, antara pengaruh alkohol dan gairah yang bangkit karena ciuman yang diberikan bosnya itu. Napasnya pun terengah tak ada bedanya dengan Gevan. 

"Aku.... hhmmmppp..." Alina tak dapat melanjutkan ucapannya karena Gevan kembali menyerangnya. Pria ini kembali melumat bibir Alina, kali ini semakin kasar seolah diburu waktu.

"Balas..." Gevan melumat kasar bibir Alina, "ciumanku, Cherry!" lanjut Gevan kembali dengan geraman seolah menahan sesuatu, lalu kembali melumat kasar bibir Alina yang saat ini sudah mulai membalas ciuman Gevan tak kalah kasar, namun terasa kaku.

Alina baru pertama kali melakukan hal ini, tentu saja pergerakannya berantakan dan kaku. Namun semua itu tertutupi dengan keahlian bibir sang bos yang semakin menggodanya. Mencecap, melumat, melesakkan lidahnya masuk ke dalam rongga mulut Alina, mengabsen seluruh yang ada di sana.

Alina semakin mendesah nikmat saat sebelah tangan Gevan melepaskan tali spaghetti di bahu kirinya, lalu menyusuri bahu mulus dan lembut wanita ini dengan tangan besarnya. Ciuman Gevan beralih ke arah rahang, dagu, lalu menuju leher Alina dan berlama-lama di sana. Menikmati bagaimana wangi dan lembutnya kulit wanita ini, memberi tanda di sana sebanyak yang dia inginkan.

"Ahh... P-Pak... CE..."

"Call me Gevan, Cherry... G E V A N! Bukan Pak CEO!" bisik Gevan tajam, lalu bibirnya kembali sibuk mencecap 'rasa' Alina di ceruk leher wanita ini.

Tangan Alina sudah beralih meremas rambut tebal honey brown milik Gevan sambil menarik kepalanya ke atas seakan memberi akses lebih bagi Gevan merasainya.

Gevan terus menyusuri tubuh Alina dengan bibir dan lidahnya seperti menikmati es krim.

Gevan menegakkan tubuh, kedua tangannya sudah sibuk membuka pakaian yang melekat di tubuhnya dengan pergerakan terburu-buru, namun matanya tak sedikitpun meninggalkan Alina yang menatapnya sayu penuh harap.

Sebelah bahu mulus Alina sudah terekspos nyata tanpa tali sialan yang yang tadi mengganggu pandangan Gevan.

Saat tubuh Gevan sudah polos sepenuhnya, dengan terburu-buru Gevan membebaskan hadiahnya dari dress ketat berwarna merah yang membungkus tubuh indah Alina. Dan Alina, seolah pasrah mendapatkan perlakuan seperti itu, karena dirinya benar-benar mendamba Gevan yang selama ini selalu memenuhi mimpinya. Jika ini mimpi, Alina tak ingin terbangun.

"Oh sh*t! Tubuhmu indah, Cherry..."

"Akh..." Alina mendesah frustasi saat kedua tangan besar Gevan sudah membungkus dadanya, lalu meremasnya kuat.

"P-Pak..."

"Gevan!"

"Ah... Y-ya... maksudku Gevan... ini..."

"Nikmat, heh?" tanya Gevan sambil semakin meremas dada Alina, memainkannya seperti bermain squishy. Rasanya lembut. Gevan tak pernah merasakan ini sebelumnya. Gevan rasa dia akan meledak sekarang juga jika tak menyentuh seluruh tubuh Alina.

Alina terkesiap saat merasakan hangatnya bibir Gevan yang sudah menikmati puncak dadanya dengan rakus.

"Ka-kamu... Ahh... ya ampun! Ini... nikmat!" racau Alina. Wanita ini menjambak rambut Gevan sekuat tenaga sambil mencondongkan tubuhnya semakin ke atas agar Gevan semakin memperdalam kulumannya.

"Gevan!! Ini... nikmat!" pekik Alina saat bibir Gevan semakin menjelajahi tubuhnya, namun kedua tangan pria itu tak meninggalkan dada Alina dengan puncak yang mengeras.

Mendengar namanya keluar dari bibir Alina, membuat gairah Gevan semakin menjadi. "Ya, Cherry... Panggil namaku!" seiring pria itu bersuara, seiring kedua tangannya membuka lebar kaki Alina.

Gevan mengusap kain merah berenda yang sudah lembab. "Kamu sudah basah... Sudah siap untukku." Setelah mengatakan itu, Gevan membuka satu-satunya kain tipis yang menutupi sumber surga dunia yang akan dia jelajahi. 

Napas Gevan terengah, saat melihat 'inti' tubuh Alina yang terpampang nyata di depannya. Bahkan 'milik'nya sendiri pun sudah terlihat mengeras, seakan tak sabar untuk melesak masuk ke dalam Alina. 

Ini gila! Benar-benar gila! Wanita di depannya ini sudah menggoda Gevan dari sejak pertama kali Gevan melihatnya. Dan lebih menggoda lagi saat tubuh Alina terpampang nyata di depannya. Tanpa pakaian. Benar-benar polos dan... menggoda. Gevan tak sanggup lagi untuk menahan dorongan hasrat yang sejak tadi ditahannya di klub malam itu. Kini... dia benar-benar akan 'menghabisi' wanita yang menantangnya itu. Ternyata wanita ini bukan hanya menantang Gevan dengan kata-kata, tapi tubuh seksi Alina pun sangat menantang untuk 'dihabisi'. 

Tanpa bicara lagi, Gevan segera mengubur wajahnya di antara paha Alina. Menghirup aroma surga dunia itu dalam-dalam. Aroma khas dari 'diri' Alina membuat gairahnya semakin terpacu. Gevan mengecupi 'inti' Alina penuh hasrat, melesakkan lidahnya ke dalam sana sampai membuat Alina menggeliat frustasi. Kedua tangan Alina meremas kencang selimut tebal ranjang hotel yang dia tiduri. 

Erangan nikmat keluar dari bibir Alina saat Gevan memainkan 'inti' tubuh Alina menggunakan mulutnya. 

"Ini... gila! Ini... Aaah.... Gevan! Gevan! AHH!!!" Alina menjerit tertahan saat Gevan berhasil membuatnya merasakan apa itu yang namanya 'pelepasan'. Rasanya seluruh tulang dalam tubuhnya melebur. Tubuhnya bergetar dahsyat. Air mata nikmat keluar dari ekor matanya. Alina terengah. Pandangannya semakin mengabur. 

"Now... Your turn! Buat aku melayang, Cherry! Buat aku 'sembuh' seperti apa yang kamu bilang tadi!" bisik Gevan parau. Wajah Gevan sudah berada di depan wajah Alina yang saat ini menatapnya sayu. Bibir merah Alina terbuka yang membuat Gevan lagi-lagi tak bisa menahan diri untuk tak menikmati bibir manis itu. Gevan lagi-lagi melumat bibir Alina beberapa detik, lalu mengusap sayang rambut Alina yang hampir menutupi wajah manis penuh make up wanita ini. 

"Bibirmu manis... seperti cherry..." bisik Gevan parau, lalu kembali melumat singkat bibir Alina. Gevan bangkit, lalu menarik sebelah tangan Alina sampai wanita ini duduk di atas ranjang. Gevan menuntun tangan Alina agar menggenggam 'milik'nya yang sudah menegang. 

Alina terkesiap, namun tangannya refleks mengusap 'milik' Gevan dengan gerakan naik turun. Matanya menatap takjub benda yang ada di genggamannya. Seolah sedang mempelajari sesuatu. 

"Oh sh*t! Tanganmu benar-benar membuatku melayang... Oh... Yes... Seperti itu, Sayang... Oh my... Aku..." Gevan tak sanggup lagi melanjutkan ucapannya. Pria ini menarik rambut panjang Alina agar mereka bisa bertatapan, lalu mengecup singkat bibir menggoda wanita seksi ini. "Puaskan aku dengan mulutmu, Cherry..." 

Alina mengernyitkan dahi bingung. 

Mulut? 

Pengaruh alkohol membuat Alina tak bisa berpikir apapun dan kembali terkejut saat Gevan mengarahkan bibir wanita ini ke arah 'milik'nya yang semakin memperlihatkan keperkasaannya. 

"You know what i mean, Cherry... Aku yakin aku bukan pria pertamamu kan?" 

Alina menengadahkan kepala ke arah Gevan yang saat ini menatapnya dengan tatapan tersiksa. 

"Ta-tapi kamu pria pertamaku!" 

"Malam ini maksudmu?" 

"Gev..." 

"Kamu mau aku 'sembuh'?" tanya Gevan memotong ucapan Alina. Hasrat Gevan sudah berada di ubun-ubun, tapi wanita seksi ini malah mengajaknya berdebat. Pakai segala mengatakan jika Gevan adalah pria pertamanya pula! Cih! Gevan tidak percaya ini. Alina terlihat profesional saat tadi menggodanya di klub malam. 

Alina menganggukkan kepala bersemangat. 

"Maka lakukanlah! Buat aku 'sembuh'!" Setelah mengucapkan itu, Gevan kembali membawa bibir Alina menuju ke sana, tempat di mana 'milik' Gevan seolah menantang. 

Alina memperhatikan 'milik' Gevan sesaat, lalu kembali mengarahkan pandangan ke arah wajah Gevan. "Aku harus apa?" 

"What?! Kamu jangan bercanda lagi, Cherry! Lakukan seperti apa yang tadi aku lakukan padamu!" seru Gevan tak sabar. Sialan wanita ini! Apakah dia sengaja mempermainkan Gevan? Kalau memang iya, Gevan tidak akan segan-segan untuk... 

"Aarrgghh!! Sialan!" umpat Gevan saat tiba-tiba merasakan kehangatan mulut Alina yang sudah menikmati 'milik' pria ini seperti menikmati es krim. Kali ini Gevan yang meracau tak jelas, padahal dia tidak sedang mabuk sama sekali. Permainan lidah Alina membuatnya benar-benar melayang seperti sedang mabuk. 

Terkutuklah wanita ini dengan permainan mulutnya yang luar biasa. 

Karena tak tahan lagi, Gevan mendorong tubuh Alina setengah kasar agar wanita ini kembali berbaring. 

"Aku belum selesai! Es krimmu sangat... nikmat, Mr. CEO!" sungut Alina dengan wajah semakin memerah karena merasakan hasrat tertahan. Wajah cemberut Alina membuat Gevan semakin berhasrat. 

Gevan tersenyum miring, lalu menepuk bokong Alina gemas. "Kamu boleh menikmatinya lagi nanti, Cherry... Sekarang, aku benar-benar tidak tahan ingin 'masuk' ke dalam 'dirimu'..." bisik Gevan parau, lalu segera saja memposisikan diri di tengah Alina. 

Gevan melesakkan 'milik'nya masuk dengan segera karena tahu Alina sudah basah di bawah sana, namun langsung terkesiap merasakan penghalang yang seolah membatasinya untuk menerobos. Ditambah lagi jeritan kesakitan yang keluar dari mulut Alina, membuat Gevan tersadar kalau dia benar-benar pria pertama wanita ini. 

"Kamu... perawan?" tanya Gevan dengan jantung berdebar kuat. 

"Awhhss... Sepertinya... sudah tidak lagi... Mr. CEO..." ucap Alina terbata di sela isakannya karena benar-benar merasa nyeri yang teramat sangat. 

Tubuh Gevan seakan dihempas kasar dari lantai 20. Wanita yang terlihat lihai menggodanya ini ternyata perawan?? Perawan?!! Gevan tak percaya ini.

"Sorry, Cherry... Aku..." 

"Lanjutkan saja, Tuan! Ah... ini benar-benar tidak... nyaman!" seru Alina sambil menggeliatkan tubuhnya, namun kembali meringis nyeri. 

Gevan terdiam sesaat, menatap wajah alina dalam. Wanita ini benar-benar menggoda luar biasa dengan wajah memerah antara gairah dan rasa nyeri karena matanya sudah berkaca-kaca bahkan air mata sudah meleleh melalui ekor matanya. 

"Aku akan berusaha selembut mungkin, Cherry..." bisik Gevan parau, lalu mencium mata Alina dan mulai kembali menembus penghalang itu. Alina lagi-lagi terkesiap dan bergerak tak nyaman saat Gevan melesakkan 'milik'nya semakin ke dalam. 

"Relaks, Sayang... Relaks..." bisik Gevan, lalu melumat bibir Alina lembut. Menggodanya agar Alina melupakan rasa sakit atas pengalaman pertama wanita ini. 

Ada perasaan senang di hati Gevan karena dia menjadi pria pertama seseorang. Namun Gevan juga merasakan kegundahan karena telah merusak seorang perawan. 

Gevan terdiam sesaat, saat 'milik'nya sudah sepenuhnya memenuhi 'inti' tubuh Alina. Napas Gevan terengah. Tubuh polos mereka semakin menempel dan sudah saling bertukar keringat karena kegiatan yang mereka lakukan sebelumnya. 

Setelah beberapa saat berlalu, Gevan mulai menggerakkan tubuhnya berirama. Membuat Alina yang berada di bawahnya mendesah antara rasa nyeri dan nikmat. Gevan mengecupi seluruh wajah Alina, lalu berlama-lama menikmati bibir wanita ini. Pergerakan Gevan semakin tak terkendali saat merasakan kenikmatan yang semakin bertambah... bertambah... membuat Gevan semakin menggapai Alina semakin dalam... dalam... 

Wanita yang berada di bawahnya ini benar-benar sialan nikmat saat 'inti' tubuhnya mencengkeram 'milik' Gevan kuat. Sepertinya Alina akan kembali mendapatkan pelepasan untuk kedua kalinya, karena Gevan merasakan pinggul Alina ikut bergerak tak karuan, seakan ingin menggapai sesuatu. Sampai akhirnya, Gevan merasakan cairan hangat keluar dari 'inti' tubuh Alina seiring keseluruhan tubuh wanita ini bergetar hebat. Gevan semakin bersemangat menggerakkan tubuhnya dengan tempo yang kali ini tak beraturan. Kali ini Gevan merasakan benar-benar meledak. Tubuhnya ikut bergetar karena pelepasan yang didapatnya. Rasanya nikmat saat 'inti' tubuh Alina menjepitnya begitu kuat. 

Mereka berdua sama-sama terengah karena pelepasan yang mereka rasakan. Gevan menyurukkan wajahnya di tulang selangka Alina yang basah oleh keringat. 'Milik' Gevan masih berada di dalam Alina yang saat ini terkulai lemas. Aroma percintaan menguar, membuat Gevan ingin kembali mencecap 'rasa' Alina. 

"Apakah... aku sudah... 'menyembuhkan'mu, Pak CEO?" 

Pertanyaan Alina membuat Gevan menengadahkan wajahnya ke arah Alina. Mereka saling tatap dengan tatapan yang sama-sama rumit. Saat Gevan ingin menjawab, mata Alina perlahan menutup. 

"Apakah... bercinta selelah ini?" lirih Alina seiring matanya yang tertutup sempurna. Napas Alina teratur menandakan jika dirinya benar-benar sudah jatuh tertidur. 

Gevan menatap tak percaya wajah Alina yang saat ini sudah tidur dengan tenang, lalu pria ini menggulingkan tubuh ke samping Alina sambil tertawa geli. 

"Hahaha... ini gila!" Gevan menolehkan kepalanya ke samping kanan, tempat di mana Alina sudah terlelap. Gevan menumpukan kepalanya di telapak tangan kanannya dengan siku yang menempel pada ranjang. "Dasar wanita aneh!" bisik Gevan sambil membenahi rambut berantakan Alina karena percintaan mereka, yang kembali menutupi sebagian wajah manis wanita ini dengan sebelah tangannya yang bebas. 

Pandangan Gevan beralih ke arah tubuh polos Alina yang sudah memerah di mana-mana karena Gevan memberikan tanda cinta sebanyak mungkin tadi. Rahang pria ini mengeras melihat dada Alina yang seolah menantang untuk kembali dia nikmati. 

Gevan langsung saja bangkit dari acara berbaringnya. Dengan segera menutup tubuh polos Alina dengan bed cover berwarna cream yang berada di ranjang ini. 

"Brengs*k!" umpat Gevan saat merasakan 'milik'nya kembali menegang karena tubuh polos Alina. Gevan melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Dia akan menuntaskan hasratnya sendiri di dalam sana. Tak mungkin juga dia memaksa Alina untuk bangun. Wanita itu kan tadi mabuk, ditambah lagi percintaan dahsyat yang mereka lakukan. Pasti wanita ini lelah sampai-sampai jatuh tertidur dengan segera.

***

✍️Penulis 

VOTE COMMENT, ULASAN YANG BANYAK POKOKNYA AKU GAK MAU TAU🤣🤣🤣...

WARNING 21++
YANG BELUM CUKUP USIA SANGAT DILARANG MASUK!!!

MENGANDUNG KEBUCINAN YANG HAQIQI. SO, BAGI YANG GAK SUKA, JANGAN COBA-COBA BACA!!

#####

Alina Prisila, Wanita berusia dua puluh tiga tahun yang bekerja di perusahaan raksasa Bagaskara Corp sebagai staff administrasi. Perusahaan yang bergerak di bidang retail. Wanita bertubuh seksi namun tertutupi pakaian longgar ini sudah dua tahun belakangan menyukai bahkan mungkin mencintai sang CEO di perusahaan tempatnya bekerja ini. Kendrick Gevan Bagaskara, si pria blasteran Inggris pewaris satu-satunya Bagaskara Corp. Pria berusia dua puluh tujuh tahun yang terkenal tak tersentuh wanita.

Alina mencintai Gevan, tapi Gevan tak suka wanita.

Lalu, bisakah Alina mendapatkan hati Gevan? Sementara dari gosip yang beredar, Gevan adalah seorang Gay.

Alina sudah di pindahkan ke ruang rawat inap, tapi ibunya menolak untuk menunggu dan menjaga Alina di rumah sakit itu. Dia pulang dan bahkan tidak ingin menemui Dokter yang menangani Alina,, sehingga mau tidak mau Dhama lah yang menjaga Alina di rumah sakit..

Pagi ini Kondisi fisik Alina mulai membaik,, akan tetapi kondisi kejiwaannya tidak ikut membaik sepertinya.. Setelah mulai di pindahkan ke ruang rawat inap tidak berapa lama Alina sadar,, tapi dia terus terdiam dan sulit di ajak berkomunikasi.. Sesekali air matanya terjatuh membasahi pipinya yang pucat pasi,, Dhama selalu mengajak Alina berbicara dan terus berkomunikasi dengannya walaupun Alina tidak meresponnya sama sekali.. 

Sekarang pun sudah waktunya Alina meminum obatnya tapi dia tetap saja diam dan tidak mau bergerak dari tempatnya,, Dhama membujuk Alina untuk bangun dan meminum obatnya.. " Lin,, duduk dulu.. Ayo minum obatnya.. " Ajak Dhama

Tapi Alina tetap diam tidak menggubris ajakan Dhama,, dengan bantuan suster Dhama mendudukkan Alina dan memberikan obat ke mulut Alina.. Tetap saja Alina tidak mau menelannya,, Jangankan obat makanan saja tidak dia sentuh sama sekali..

Suster menatap Dhama dan tersenyum getir .. " Tidak apa-apa nak,, nanti saya akan bicarakan hal ini dengan Dokter.. " lalu suster itu pun pergi membawa nampan obat yang tadi dibawanya

Dhama menatap dalam wajah Alina sambil duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Alina,, dia memegang pelan tangan Alina yang di pasangi jarum infus.. 

Tangan yang tadinya putih itu kini semakin memucat dan terlihat mengurus,, padahal belum dua hari kejadian yang menimpa Alina ini terjadi..

Pandangan Alina selalu kosong,, pikirannya pun entah sedang berada di mana.. Dhama semakin bingung dan tidak tau harus berbuat apa,, sedangkan Ibunya alina tidak muncul kembali setelah Alina melewati masa kritis nya..

" Lin, aku mohon maaf aku... Semua ini salahku Lin, kalau saja aku mengajakmu pergi waktu kamu memintanya... Semua ini pasti tidak akan pernah terjadi, jadi aku mohon Lin kembalilah seperti Alina yang dulu.. " Dhama menggenggam jemari Alina dan menundukkan kepalanya di lengan Alina

Semua perkataan Dhama tadi seperti melayang dan ditiup oleh angin,, semua kata-kata itu pergi dan seperti tidak pernah masuk ke pendengaran Alina.. 

Frustasi ?!
Ya, Itulah yang Dhama rasakan saat ini... Dia tidak tau harus bagaimana lagi menyikapi kondisi Alina saat ini,, sedangkan yang Alina miliki hanya Ibunya tapi dia tidak mau merawat Alina di saat Alina sangat membutuhkannya...

* Harus bagaimana lagi aku Alina ?? Apakah aku tidak berarti untukmu hingga semua yang aku katakan tidak kau masukkan ke dalam hatimu ?? Demi apapun itu Alina,, kekhawatiran ku saat ini seakan mencekik ku hingga terkadang aku sulit untuk sekedar bernafas saja.. * dalam pikirannya Dhama bergumam 

•••

Di rumah Alina Ibunya sedang mempersiapkan sarapan pagi,, dia makan dengan tenang seolah-olah tidak ada sesuatu yang besar telah terjadi kemarin.. 

Ibunya alina makan sambil bersenandung mendengarkan musik dari handphone miliknya yang di sambungkan ke speaker bluetooth disebelahnya,, tidak ada sedikitpun kekhawatiran yang terlihat dari raut wajahnya.. 

Ibunya alina masih asyik dengan dunianya sendiri sementara anaknya yang sedang menderita dia tidak memperdulikannya sama sekali,, " Emh,, nanti siang aku akan belanja dan membeli beberapa kebutuhan rumah.. Bisa sekalian hangout dengan teman-teman .. " ibunya alina berbicara pada dirinya sendiri sambil senyum-senyum

Keseharian Ibunya alina tidak terganggu sama sekali setelah Alina mencoba membunuh dirinya sendiri...

•••

Di rumah sakit Dhama tidak pernah lelah menjaga Alina,, walaupun dia merasa frustasi karena Alina tidak merespon siapapun tapi Dhama selalu berusaha berkomunikasi dengan Alina menurut caranya sendiri..

Pelan-pelan Dhama duduk di kursi yang ada di pinggir kasur Alina,, dia tersenyum walau tatapan Alina kosong.. " Lin,, mau makan buah-buahan ?? Aku tadi membelinya untuk kamu.. " Dhama lalu menyodorkan buah-buahan yang sudah di potong dan dia tusuk menggunakan garpu

Tapi Alina sama sekali tidak berkata apa-apa,, dia bahkan tidak melihat ke arah Dhama..

Dhama menarik nafas dalam-dalam,, tidak lama pintu kamar rawat Alina di ketuk oleh seseorang.. Dhama menengok dan berkata " Silahkan masuk.. " 

Dari balik pintu Bi Marni datang dan membawa beberapa buah tangan untuk Alina.. " Ya Allah neng,, Kenapa atuh jadi begini ?? " dengan raut wajah khawatir Bi Marni mendatangi Alina dan memeluknya sambil mengelus rambut Alina

Tetes demi tetes air mata mulai mengalir lagi di pipi Alina,, tapi seperti biasanya Alina tidak melihat balik dan masih terdiam.. Bi Marni melihat ke arah Dhama dengan wajah yang sangat khawatir,, Dhama hanya mengangguk membalas tatapan wajah dari bi marni..

" Maaf Bi merepotkan,, Dhama tidak tau harus bagaimana lagi.. " kata Dhama karena merasa tidak enak kepada bibinya itu

Sebelumnya Dhama sudah menelepon Bi Marni dan memberitahukan semua kejadian yang sudah menimpa Alina,, Bi Marni tanpa berpikir panjang langsung menyetujui untuk membantu Dhama merawat Alina di rumah sakit.. 

Bukan karena Dhama merasa terbebani karena harus merawat Alina,, tapi Dhama juga kan harus sekolah dan tidak bisa terus menerus menjaga Alina di rumah sakit..

Setelah menjelaskan semua yang lebih detail tentang kejadian yang sudah menimpa Alina kepada Bi Marni,, Dhama dan Bi Marni pun kembali menjaga Alina.. Mereka berdua takut jika Alina akan melakukan kesalahan yang sama lagi,, sehingga jalan satu-satunya adalah tetap berada di dekat Alina untuk mendampinginya melewati masa-masa sulit di hidupnya ini..

*) Tolong diperhatikan cerita ini untuk 17+
*) Dalam cerita ini mengandung banyak kata umpatan dan kekerasan
*) Mohon pengertiannya bagi yang di bawah umur 20th harap menjauh dari novel ini..
*) Cerita ini FIKTIF ya,, hanya KHAYALAN Author saja.. ( Jadi mohon maklum jika ada adegan yg sekiranya tidak masuk akal,, karena memang hanya khayalan.. )

Diary itu menjadi awal dari segalanya,,
segala kejadian yang menimpaku saat ini dan seterusnya..

Awal dari semua penderitaan yang ku alami..

akankah ini berakhir ?? akankah semua berakhir indah ??

* juneWife

Terhitung 1 minggu damara menjauh. Dalam rentang waktu itu hari-hari alina tanpa damara cukup untuk membuat alina terbiasa. Kadang, teman-teman damara datang untuk menemani alina di atap, terkadang reygan dan daniel. Atau daniel sendiri. Alina telah terbiasa tanpa 
damara dan alina mulai dekat dengan tema-teman damara. Walaupun waktu itu hanya di isi oleh canda gurau mereka namun alina cukup terhibur oleh itu. Terkadang pertanyaan seperti ' kenapa lo suka ke atap?' ' lo gak punya temen lain?' atau ' lo di jauhin?' muncul. alina hanya menjawab dengan hal seadanya tanpa berbohong, alasan kenapa ia suka pergi ke atap karna ia menyukainya itu seperti tempat miliknya sendiri, alasan alina tak mempunyai teman karena alina lah yang tidak ingin dan pertanyaan apakah alina di jauhi?, alina menjawab ia bukan di jauhi tapi ia yang menjauh. Jadi alina meminta pada mereka untuk tidak menyebarkan hal yang tidak-tidak karena hidup alina saat itu adalah yang ideal untuk alina. Yah walaupun banyak dari mereka yang tidak mengerti namun mereka menghargai pendapat alina. Jadi mereka menarik diri dari kehidupan pribadi alina

" lo siapa?" alina yang tengah duduk menikmati makan siangnya tiba-tiba di ganggung oleh seseorang yang datang dan melemparkan kotak makan alina begitu saja.

" lo tanya gue siapa?, lo bego atau pura-pura bego?" sinis wanita itu.

" gue gak punya urusan sama lo" tutur alina masih dengan berduduk santai di tempatnya 

" jangan sok polos lo ya, gue minta lo jauhin damara!" meigna memperingatkan alina untuk menjauh dari damara yang telah ia perjuangkan selama 1 tahun belakangan ini

" kapan gue deket sama damara?" balas alina santai 

" gue gak tau ya, asal usul lo itu kayak gimana lo jangan sok kecentilan deh ngegodain damara, damara itu Cuma tertarik sebentar aja sama lo" tutur meigna memprovikasi alina 

" emank apa hak lo, buat nyuruh gue menjauh dari damara?" alina kini bangkit dari duduknya menyilangkan tangannya di dada dan menatap sinis meigna 

" gue,, gue cewenya damara" tegas meigna 

" oh ya??, kapan lo berdua jadian?" alina melangkahkan kakinya maju menepis jaraknya dengan meigna. Meigna membeku di tempatnya dengan kaki yang terus melangkah mundur perlahan mempertahankan jarak di antara mereka.

" kenapa lo diem?," sinis alina lagi 

" jalang kayak lo gak cocok buat damara!, anak jalang kayak lo mending jauh-jauh dari pandangan gue dan damara!" sentak meigna terbata membalas hinaan alina 

" apa lo bilang?, gue anak jalang?, terus kalo lo apa? Generasi jalang jaman now?" alina tersenyum sinis menatap meigna yang tengah ketakutan 

" tutup mulut lo ya!" meigna tersulut emosi tanganya tak terkendali dan berakhir dengan tamparan yang di terima alina.

' kenapa? Gue padahal udah berusaha keras untuk menahan diri' tangan alina mengepal menekan amarahnya. Wanita itu datang tanpa di undang dan tiba-tiba mencacimaki dirinya.

" udah?. Puas lo? " ucap alina dengan gigi yang mengatub. Ia tersenyum remeh. 

" tamparan lo gak seberapa" sinis alina. Menatap meigna yang kini tengah mengeratkan tangannya satu sama lain di depan dada. Itu juga mengejutkan dirinya. Yang melayangkan tamparannya untuk pertama kali karena tersulut emosi

" sebenarnya apa yang damara lihat dari wanita kayak lo?. Wanita yang hanya dipenuhi oleh sandiwara!" sindir alina. Meigna membulatkan matanya dengan wajah yang sudah memerah karena marah. Walaupun yang pertama berhasil membuatnya ketakutan sendiri. Namun jika telah melakukannya sekali tidak akan sulit untuk mengulanginya. Tangan meigna kini kembali melayang. Entah ia pengecut atau hanya tau cara untuk menampar saja. Kali ini ia bahkan melayangkan tangannya dengan mata melotot kearah alina dengan penuh amarah. Namun dengan cepat alina menahan tamparan meigna, dengan satu tangan dan tangan yang satunya lagi ia gunakan untuk meraih leher meigna dan mendorongnya ke sisi pagar pembatas atap.

" heh!!, lo gila ya ?, lepasin gue sialan" meigna berteriak ketakutan karena tindakan alina yang di luar batas wajar.

" kenapa?, lo takut?. Kemana lo yang tadi dengan berani ngatain gue anak jalang?" tutur alina menatap remeh meigna

" BERHENTI! " senyum merekah di bibir alina, ia menolehkan kepalanya kebelakang melihat damara yang tengah berada di pintu masuk

" pahlawan lo dateng" gumam alina, melepaskan tangannya dari leher meigna

" uhukk,, uhukk!!" meigna terjatuh memegangi lehernya dan mulai menangis sesenggukan. Damara yang berlari menghampiri meigna segera menopang tubuh meigna agar tak jatuh.

' Uhuk-uhuk apaan? Gue kan cuma megang lehernya doang. Gak makek tenaga sama sekali' pikir alina memutar bola matanya melihat akting meigna yang patut di acungi jempol.

" lo gak apa-apa?" tanya damara khawatir dengan keadaan meigna. Meigna hanya menggeleng sebagai jawabannya pada damara 

" lo apa-apaan sih, lo tau gak tadi itu bahaya banget " bentak damara pada alina 

" gue Cuma membela diri" balas alina menatap kebawah karena posisi damara sedang berjongkok menopang tubuh meigna 

" gue gak nyangka lo punya sifat se brutal ini!" balas damara, mensejajarkan dirinya dengan alina. Menatap alina kecewa 

" udah gue bilang gak ada yang tau, apa yang akan terjadi besok. Manusia bisa berubah kapan aja " balas alina menatap damara dingin 

" lo bilang apaan sih!, gak jelas tau gak!" 

" sekarang lo udah tau, semua tentang gue. gimana?, masih ingin tetap tinggal?" jawab alina lagi 

" bener-bener gila lo ya!" jawab damara 

Alina hannya tersnyum menanggapi semua perkataan damara, kemudian berbalik meninggalkan atap dan 2 orang itu. 

" gue mau tau penjelasan lo!" teriak damara terdengar samar di telinga alina, ketika alina sudah menuruni tangga. HAH? Penjelasan?. Apakah penjelasan itu termasuk dalam kategori memojokkan?. Rasa kecewa alina memenuhi lubuk hatinya. Wanita itu yang datang membuat masalah pertama kali pada alina. Wanita itu yang pertama kali menghina dirinya. Lalu apakah salah jika ia membela dirinya?, bahkan alina sama sekali tak melukai wanita itu. 

' lo terlalu fokus sama dia sampai-sampai lo gak sadar pipi gue juga merah. Bukan dia korbannya tapi gue pelaku di mata lo ' 

~

Alina menyibukkan dirinya di cafe, di temani daniel yang turut membantu di cafe itu dengan suka rela. Daniel bertemu alina di tangga menuju atap dan alina mengabaikan keberadaan daniel begitu saja. Hingga daniel mengikuti alina saat pulang sekolah hingga ke cafe milik tante annya barulah alina sadar bahwa sejak tadi daniel mengikutinya. 

" al,, lo duduk aja dulu gih, ini biar gue yang handle, pelanggannya juga gak rame " saran daniel pada alina yang terlihat sedang kusut

" lo gak apa-apa?, kalau gitu gue ke counter dulu ya, tolong handle bentar ya dan " pesan alina sebelum meninggalkan pekerjaannya pada daniel. Sedangkan alina pun menuju counter minuman untuk bersembunyi sejenak 

" lo mau minum al?" tanya egar menyadari bahwa alina sedang kelelahan

" apa aja deh kak" tutur alina kemudian duduk di bawah agar tak terlihat pelanggan cafenya.

" ngomonng-ngomong itu siapa al?, gue baru liat" tanya egar, 

" temen gue, katanya dia gak ada kerjaan jadi dia mau bantu-bantu di sini. Bunda annya juga udah ngizinin jadi gue biarin aja" balas alina malas 

" gue kira cowok lo" ucap egar lagi memberikan minuman racikannya pada alina 

" es kopi?" tanya alina setelah meneguk minuman yang egar buatkan untuknya 

" iya,, biar lo seger lagi" ucap egar sambil tersenyum 

" dia bukan cowok gue" tutur alina menjawab pertanyaan egar sebelumnya

" belum kan magsud lo?" goda egar pada alina 

" apaan sih lo kak, enggak gitu lah" sangkal alina lagi 

" kenapa?, dia baik kok, gue suka" tutur egar 

" kalo suka, kakak aja yang pacarin" balas alina santai, yang kemudian mendapatkan jitakan oleh egar 

" dih,, amit-amit. Lo jangan gitu dong ngomongnya" 

" kan tadi kakak sendiri yang bilang kalau kakak suka " balas alina mengelus kepalanya yang tadi di jitak egar 

" ya gak gitu juga magsud gue, pokoknya kalo lo pacaran sama dia, gue mah setuju. Kayaknya baik tuh dia" 

" gue gak mikir ke situ" alina menyerahkan gelas kosong pada egar. Karena isinya telah berpindah ke dalam perut alina 

" thank u ya kak " ucap alina lagi 

" its oke" balas egar. 

Hari itu, pelanggan tidak terlalu ramai hingga daniel memiliki banyak waktu luang untuk mengobrol dengan alina dan tante annya seputaran sekolah dan cafe itu.

" al gue duluan ya, maaf gue gak bisa nganterin lo pulang, gue harus jemput kak reygan " hari telah beubah gelap, daniel berpamitan pada alina untuk pulang terlebih dahulu 

" eh??, kak reygan kakak lo?" tanya alina terkejut 

" lo baru tau?" 

" iyaa,, abis lo berdua kaga ada mirib-miribnya" ujar alina 

" tapi nyatanya kita kakak adik" balas daniel dengan senyum lebarnya 

" ya udah lo balik sana entar lo di omelin lagi" tutur alina 

" ya udah, see you tomorrow al" pamit daniel

Alina hanya tinggal membersihkan, sisa beberapa meja ynag masih kotor dan kemudian, ia bisa pulang 

" al,, temen kamu mana?" tante annya yang baru saja selesai mengurus pembukuan. Langsung membantu alina untuk bersih-bersih 

" daniel udah pulang duluan bun,, dia ada urusan " balas alina 

" yah,, tante belum sempet bilang makasih lagi " gerutu annya membawa try yang berisi gelas kotor ke counter 

" besok alina sampein bun" alina telah terbiasa memanggi annya dengan sebutan bunda. Ia sangat menyayangi annya seperti ibunya. Maka dari itu alina menganggap annya sebagai ganti ibunya sendiri 

" eh tunggu. Pipi kamu kenapa? Kok rada bengkak?" tanya annya

" keliatan ya bun? Padahal udah alin tutupin pakek make up" tutur alina mengelus pipinya 

" orang lain mungkin gak nyadar. Tapi ini bunda bukan orang lain" annya mengelus pipi alina lembut. Sambil menatap alina dalam seakan ia mengatakan ' gak apa-apa kalau kamu gak mau cerita bunda ngerti' itu mungkin hanya asumsi alina. Namun tatapan itu penuh pengertian dan kehangatan. Hingga alina membalasnya dengan senyum tulusnya. 

" cepat sembuh ya sayang " ucap annya lagi 

" iya. Makasi bun" jawab alina dengan senyum yang masih terukir disana.

~

Semua pekerjaan alina telah selesai, kini alina tengah menusuri jalanan malam menuju halte bus

" awas!!" tubuh alina terasa melayang akibat, di tarik oleh seseorang yang tak ia tau siapa. Bertepatan dengan itu alina mendengar suara derum motor yang melaju dengan kecepatan tinggi melewati alina, seandainya tidak ada yang menarik tubuh alina, mungkin alina telah terkapar di jalanan. 

" lo gak apa-apa?" tanya pria itu, menopang tubuh alina dengan lengannya

" aldo?" gumam alina saat kesadarannya telah terkumpul

" gue nanya lo gak apa-apa?" bentak aldo membiarkan alina berdiri dengan kakinya sendiri 

" gua gak apa-apa" balas alina kebingungan 

" telinga lo masih bisa di gunain kan? Masa lo gak nyadar ada motor yang mengarah ke elo?" tegur aldo pada alina 

" gue pikir dia Cuma lewat doang di samping gue" balas alina 

" untung ada gue, kalo enggak lo mau mati muda?" bentak aldo lagi 

" makasi, tapi lo ngapain disini?" tanya alina 

" itu gak penting, yang penting sekarang keselamatan lo!. Lo mau kemana? Gue anter" 

" gak usah, gue Cuma mau ke halte depan doang" balas alina menolak tawaran aldo 

" lo gak takut tiap malem, pulang sendiri kayak gini?" tanya aldo 

" enggak, gue udah biasa" balas alina berjalan beriringan dengan aldo 

Tak lama kemudian mereka pun sampai di halte bus, alina menaiki bus itu dan aldo diam di tempatnya mengawasi alina, tadinya ia ingin mengantar alina sampai rumah dengan selamat, namun alina menolak dengan keras niat baik aldo,  hingga aldo mau tak mau pun harus mengalah 

~

Nomor tak dikenal 

Sekali lagi lo sentuh meigna seujung rambut aja. Bukan hannya hampir. Tapi lo akan benar-benar mati.

Alina 

Lo siapa?

Sesampainya di rumah alina menerima pesan tak di kenal, yang berisi tentang ancaman yang di tujukan padanya. Ini ada hubungannya dengan meigna. Di sana di peringatkan agar alina tak lagi mencari masalah dengan meigna. Siapa kiranya ?, mungkinkah deon?, deon adalah kandidat yang tepat. Karena deon memiliki perasaan terhadap meigna dan itu wajar jika ia tak menyukai tindakan alina terhadap meigna sebelumnya.

Nomor tidak di kenal 

Lo gak perlu tau gue siapa.
Yang perlo lo tau, lo dalam bahaya kalau berani mengusik meigna

Alina 

Lo deon?

Nomor yang tidak di kenal 

Gue bukan deon, ataupun orang yang lo kenal 
Lainnya. 

Alina mencoba menelfon nomor itu namun nomor itu telah tidak aktif, orang itu benar-benar teliti, dan ia sangat melindungi meigna

' gue iri, karena ada banyak yang ngelindungin lo' pikir alina dalam hati. Setelah ia menerima ancaman mulai dari hampir di tabrak dan di kirimi pesan ancaman. Hal pertama yang alina rasakan bukan rasa takut, namun rasa iri. Ya,, dia iri karena meigna memiliki banyak orang yang melindungi dan menyayanginya di sekelilingnya. Berbanding terbalik dengan alina.

💗

" kamu kenapa? Dari tadi diem aja" 
" enggak "
" cerita sama kakak kamu kenapa?" 
" gue takut! Di sekolah damara mulai deket sama orang lain" 
" terus kenapa?. Posisi kamu gak bisa di gantikan mei" 
" orang itu, sama sekali gak takut waktu gue ancem. Dia bahkan nyekik gue" 
" what? Lo gak apa-apakan?" 
" dia nyekik sambil mepetin ke pembatas besi di atap sekolah kak. Gue takut" 
" sialan ! Siapa yang berani ngancem lo? Dia bakalan berurusan sama gue" 
' yang gue bilang gak salah. Nyatanya dia emank nyekik gue ' 

~

aku adalah aku, dia adalah dia. masa lalu dan aku tidaklah sama. jangan bawa aku ke masa lalu mu! keluar dari sana dan datanglah padaku.

Seperti hari-hari biasanya, Alina berangkat ke sekolah bersama ayah tercintanya. Sudah menjadi rutinitas bagi Surya mengantarkan putri semata wayangnya pergi menimba ilmu, dan tentu saja Alina merasa dispesialkan oleh ayah dan ibunya.

Setelah berpamitan dengan Surya, Alina memasuki area sekolah sesekali merapal do'a memohon kepada tuhan agar harinya berjalan lancar tanpa kendala. Di pertengahan jalan, tak sengaja Alina berpapasan dengan Abigail di koridor sekolah. Seketika Alina teringat kejadian kemarin saat dirinya dengan sifat kepercaya diriannya mengajak Abigail untuk sholat bersama, sementara pemuda itu saja berbeda keyakinan dengannya. Itu memalukan.
"Abi!" Panggilnya, dan seketika pemuda itu menghentikan langkah kakinya.
"Abi. Maafkan kejadian kemarin siang, aku benar-benar tidak tahu jika kam--"
Belum sempat Alina melanjutkan kalimatnya, Abigail terlebih dahulu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Gadis cantik bersurai tergerai itu hanya bisa membuang nafasnya kelewat pasrah, mungkin kali ini usahanya gagal, tetapi ia akan terus mencoba bertoleransi pada pemuda itu guna mendapatkan maaf darinya.
"Jangan bersedih Alina, mungkin kali ini permintaan maaf mu gagal, tapi kamu harus tetap berusaha. Fighting!" Monolognya sembari menyemangati dirinya sendiri.
Alina memasuki ruang kelasnya yang lumayan ramai, seketika suasana menjadi sepi kala gadis itu menginjakkan kakinya pada ubin ruang kelasnya. Alina tidak menghiraukannya, sebisa mungkin ia bersikap tenang layaknya kehidulan yang berjalan normal. Toh Alina sudah terbiasa mendapatkan perlakuan yang berbeda dari teman-temannya, dan lagi-lagi itu karena perbedaan kasta. Miris.
Seorang perempuan cantik berpenampilan hits masuk kedalam ruang kelas Alina diikuti satu orang siswi yang diyakini sebagai temannya, berhasil membuat suasana menegang. 
Siswi itu adalah Qiara Marviana, anak dari seorang pengusaha kaya raya sekaligus donatur terbesar di sekolah ini. Siapa yang tak kenal dengan Qia, gadis cantik yang memiliki sejuta pesona yang mampu memikat hati kaum adam, sifatnya yang angkuh dan Arrogan sudah menjadi ciri khas dari seorang Qiara.

"Katanya di kelas ini ada yang berusaha buat nyaingin gue" Ucapnya yang di hadiahi senyum smirk gadis itu.
Semua penghuni kelas saling beradu pandang, mereka berasumsi bahwa seseorang yang dimaksud Qiara adalah Disya karena setau mereka Disya lah yang paling terobsesi untuk menjadi lebih dari Qiara. 
"Siapa yang dimaksud Qia?" 
"Apa jangan-jangan Disya"
"Di kelas ini hanya Disya yang berusaha menyaingi Qia, dan Qia juga tau akan hal itu lalu kenapa ia masih menanyakan hal tersebut"
Samar-samar terdengar bisikan yang sesekali menyebut nama Disya, tentu saja hal tersebut membuat Disya risih. Tetapi entah mengapa hari ini Disya hanya diam tanpa menggubris.
"Mimpi itu menjadi kenyataan" Gumam Alina seraya menutup matanya rapat-rapat. 
"Siapa disini yang namanya Alina!" Seru Qiara.
Semua penghuni kelas membelalakkan matanya, ternyata  orang yang dimaksud Qiara adalah Alina bukan Disya. Seluruh pasang mata menatap kearah Alina tajam, sementara sang empu yang ditatap menundukkan kepalanya.
"Dia!" Disya bersuara seraya menunjuk bangku barisan ke dua paling belakang, tentu saja bangku itu milik Alina.
Terlihat bahwa Qiara tersenyum miring, gadis itu menyambangi tempat duduk Alina dengan angkuh. 
"Berdiri lo" Perintah Qiara, Alina hanya pasrah, gadis itu mengikuti keinginan Qiara dan berdiri di depan Qiara.
Alina menundukkan pandangannya yang mengarah pada ujung sepatu sekolahnya. Jarinya meremas ujung rok abu-abunya kuat-kuat, hari ini akan mencatat sejarah bagi Alina yang dicemooh oleh Qiara habis-habisan.
Qiara menaikkan satu alisnya. "Jadi ini cewek yang berusaha nyaingin gue?" Ucap Alina diiringi senyum yang tak terartikan.
"Cewek asongan kayak dia mau nyaingin seorang Qiara Marviana? hahaha ngaca lo bego" Hinanya sembari menoyor kening Alina kasar.
Semua penghuni kelas masih belum mengerti apa maksud penuturan Qiara, dari segi mana Alina berusaha menyaingi gadis itu. Bukanya yang selama ini berusaha untuk melebihi Qiara adalah Disya, lalu kenapa Alina yang dilabrak.
Qiara mencengkeram kuat dagu Alina, membuat gadis itu mendongakkan kepalanya reflek.
"Lo ngga pantes buat Abigail, lo itu cuma cewek asongan, cupu, miskin. Cewek kayak lo berusaha buat deketin Abigail? Big no, ibarat kata lo itu batu kali yang berusaha menyamakan diri dengan berlian. This is impossible" Qiara menghempaskan wajah Alina, membuat gadis itu terhuyung dan menabrak ujung meja.
Alina meringis kesakitan, pinggangnya merasakan nyeri akibat benturan yang cukup keras tadi.
Kini seisi kelas mulai mengerti maksud dari ucapan Qiara, semuanya menatap jijik kearah Alina yang tengah berusaha menahan air matanya yang mulai menumpuk pada pelupuk matanya.
"Bersyukur gue ngga nyuruh papah gue buat ngeluarin lo dari sekolah ini. Udah dikasih hati malah pengen jantung, emang dasar lo ngga tau diri jadi orang" Qiara menendang tulang kering Alina, dan seketika tubuh Alina ambruk menghantam lantau kelas yang dingin.
Melihat sang mangsa sudah tak berdanya membuat Qiara tersenyum penuh kemenangan, gadis itu berjongkok mensejajarkan tinggi badannya dengan Alina. Dan detik kemudian Qiara menjambak kuat rambut Alina. 
"Kali ini gue masih ngampunin lo, asal lo jauhin Abigail maka hidup lo aman. Tapi kalau sebaliknya, jangan harap lo bisa buka mata setelahnya" Qiara melepas remasan tangannya pada surai Alina dan kembali berdiri seperti semula.
"Buat lo semua!" Qiara menunjuk murid seisi ruangan dengan tatapan tajam kelewat menusuk.
"Kalau sampe gue liat kalian deketin Abigail ataupun berusaha ngambil hati Abigail, terutama buat cewek. Bisa gue pastiin nasib kalian bakal berakhir sama kayak cewek asongan ini!" Tegasnya, setelah mengucapkan kalimat yang lebih mengarah ke ancaman, Qiara dan temannya pun pergi meninggalkan kelas.
Semua pasang mata menatap Alina jijik, tatapan tajam nan horor tak luput dari pandangan Alina. Gadis itu mengusap air matanya yang sempat turun melewati pipi cubby nya. Ia tidak menyalahkan takdir, ia hanya menyalahkan dirinya sendiri yang terlihat begitu lemah. Bahkan hanya untuk membalas perlakuan teman-temannya saja Alina tak mampu. Ralat, bukan tak mampu tapi Alina tak mau kedua orang tuanya semakin susah karena ulahnya, makadari itu Alina mencari jalan aman saja meskipun fisik dan mentalnya menjadi taruhannya.
 
****

Bell pulang sekolah berbunyi. Seluruh siswa dan siswi berhamburan keluar kelasnya, kecuali Alina yang masih setia di dalam kelas. Alina tengah menunggu sekolahnya sepi, ia tak ingin menjadi pusat perhatian lagi. Terlebih berita pelabrakan dirinya sedang menjadi topik hangat bagi para siswa dan siswi yang sudah pasti lebih berpihak kepada Qiara. Memang dunia ini tak adil, Keadilan dan kemerdekaan hanya untuk orang-orang yang good loocking saja.
Sepuluh menit sudah Alina menunggu, ia pun akhirnya beranjak dari duduknya dan kemudian berjalan keluar kelas dengan sedikit tertatih lantaran efek tendangan Qiara di tulang keringnya sungguh berefek besar bagi kakinya, di tambah lagi pinggangnya yang masih terasa nyeri membuat Alina sesekali menghentikan langkah kakinya guna menetralkan rasa nyeri yang dirasakannya.
Beberapa menit kemudian, Alina sampai pada parkiran sekolahan yang kebetulan dekat dengan gerbang utama sekolahnya. 
"Alina!" Panggil seseorang.
Merasa dirinya dipanggil, Alina pun menoleh ke sumber suara. Setelah mengetahui siapa yang memanggilnya, dengan cepat Alina memalingkan wajahnya. Dia adalah Agam, Agam yang memanggilnya. Oh tuhan, tolong selamatkan Alina, ia tak ingin kembali berurusan dengan Qiara.
Dengan langkah yang tertatih, sebisa mungkin Alina berjalan dengan cepat berusaha menghindari Agam, terlebih Abigail terus saja memperhatikannya membuat Alina meneguk ludahnya susah payah.
"Alina!" Seru Agam. Langkah kaki Alina ternyata kalah cepar dengan Agam, tangan gadis itu ditaik Agam kuat. Mau tak mau Alina berbalik dan menabrak dada bidang Agam cukup keras. Merasa tak nyaman dengan posisinya sekarang, Alina pun segera menjauhkan tubuhnya dari Agam.
"Kakimu kenapa?" Tanya Agam seraya menatap kaki jenjang Alina lamat-lamat.
"Tidak apa-apa, aku... aku duluan gam" Saat Alina hendak membalikkan badannya, Agam lebih dulu menahan pundak gadis itu dengan kedua tangannya.
"Jangan berbohong!" Tegas Agam.
Alina memalingkan wajahnya kala Agam menatapnya dengan sorot mata yang begutu tajam.
"Maaf Agam, aku tidak punya banyak waktu. Permisi" Alina berbalik dan kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti, sebelum itu Alina melirik sekilas kearah Abigail yang tengah menatapnya datar.
Sepeninggalan Alina, Agam mengerutkan keningnya heran dengan sikap Alina hari ini. Biasanya gadis itu akan ceria jika bertemu dengannya, lantas mengapa hari ini Alina seperti tengah bsrusaha menghindarinya.

****

Malam harinya, Alina terduduk dikuri meja belajarnya seraya mencoret-coret tinta pulpen diatas secarik kertas putih polos hingga merangkai sebuah kalimat yang lebih tepatnya merangkai sebuah paragraf.
Setelah mengekspresikan dirinya lewat tulisan, Alina pun menenggelamkan wajahnya pada kedua tangannya yang sengaja ia tumpuk dan dijadikan sebagai bantalan.

ceklek

Pintu kamar Alina terbuka, menampilkan sosok perempuan setengah baya yang masih terlihat cantik dengan daster kebanggaannya. Dia adalah Dini, Ibu kandung Alina. wanita bercepol asal-asalan itu menghampiri anak semata wayangnya dengan senyuman yang tak luput dari wajahnya yang membawa ketenangan.
Dini melihat buku harian Alina yang terbuka dengan menampilkan sebuah paragraf yang tak terlalu panjang. Disana tertulis sebuah kalimat yang melontar kelelahan yang dirasakan pemilik buku tersebut.
"Alina" Ucap Dini pelan.
"Makan dulu ya, biar Alinanya ibu kuat" Sambung Dini berusaha untuk mencegah isakkannya.
Ia tau bahwa putrinya tengah tertekan, ia tau bahwa putrinya tengah menghadapi masalah yang besar. Ia dapat merasakan bagaimana rasanya menjadi Alina yang introvert bahkan tidak mempunyai teman hanya karena perbedaan kedudukan. Mungkin Dini tidak tau kronologinya langsung, tetapi hanya melihat tulisan tangan Alina saj sudah membuat hatunya teriris.
Mendengar ucapan Dini, Alina segera memeluk tubuh Dini erat menyalurkan segala kelelahan yang ia hadapi. Alina sudah tidak bisa menahan cairan plasma itu untuk tetap bersemayam dalam pelupuk matanya, alhasil cairan bening itu turun dengan sendirinya bersamaan dengan suara isakan dari sang empunya.
"Bu. Alina lelah -hiks-" Lirihnya.
Mendengar putrinya menangis membuat hati Dini semakin sakit, baru kali ini Alina mengeluh padanya. Sejak kecil Alina tidak pernah bercerita tentang kepedihannya, gadis ini begitu menghargai perasaan kedua orang tuanya. Namun karena hal ini justru membuat Alina tertekan, bukan hanya fisiknya saja namun batinnya pun ikut menjerit perih.
"Alina harus semangat yah sayang -hiks- tunjukan pada dunia kalau Alinanya ibu bisa. -hiks- Ibu selalu di sini, di samping kamu. Alina jangan takut ya sayang" Tangisan Dini pecah, ia ikut merasakan bagaimana getirnya kehiduoan yang putrunya jalani. Ia juga tidak ingin berada di posisi ini, namun semuanya sudah menjadi takdir keluarga yang sudah tidak bisa diganggu gugat lagi.
"Alina tidak takut, Alina hanya lelah. Lelah dengan semua teka-teki mimpi ini, rasanya kepala Alina sudah hampir pecah bu. Alina hampir gila dengan semua ini" Ucapnya pilu.
"Mimpi kamu menjadi kenyataan lagi?" Tanya Dini dengan penuh hati-hati. Alina pun menganggukkan kepalanya pertanda bahwa ucapan ibunya memang benar.
Dini memejamkan matanya sejenak. "Apa kamu pindah sekolah aja, nanti kamu satu sekolah sama Gibran" Ujar Dini meminta persetujuan. Dengan sigap Alina menggelengkan kepalanya, bukan karena Alina nyaman dengan sekolahnya sekarang, tetapi Alina hanya tidak ingin menambah beban kedua orang tuanya karena pindah sekolah itu butuh biaya yang tidak sedikit, ditambah lagi ekonomi keluarganya hanya pas-pasan, pasti itu akan semakin mempersulit kehidupannya.
"Kenapa?" Tanya Dini.
"Alina sekolah hanya tinggal beberapa bulan lagi, dan kalaupun Alina pindah sekolah pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit bu. Alina tidak mau membebani bapak dan ibu" Ujar Alina menolaknya.
"Tetapi ibu juga tidak tega melihat kamu seperti ini nak, ibu tidak mau kamu tertekan dengan kehidupan di sekolah kamu. Seharusnya ibu tidak menyetujui beasiswa itu dulu jika dampaknya begitu besar bagi fisik dan batinmu. Maafkan ibu" Kata Dini penuh penyesalan.
Alina kembali menggelengkan kepalanya cepat seraya melepaskan pelukannya. "Tidak. Ibu tidak salah, itu memang keinginan Alina untuk sekolah di sana. Jadi Alina mohon sama ibu, ibu jangan menyalahkan diri ibu sendiri karena semua ini murni takdir dari Allah"
"Kalau saja keluarga kita kaya, pasti kamu tidak akan dikucilkan seperti ini Alina" Kata Dini.
"Kaya ataupun miskin, Alina tidak mempermasalahkan itu bu. Yang penting ibu sama bapak selalu ada untuk Alina"

Ini adalah sebuah kisah di mana bunga tidur yang membawa ia menemui takdir yang sesungguh. Di mana mimpi yang ia alami selalu berakhir menjadi kenyataan keesokan harinya, mimpi yang melatar belakangi bagaimana peliknya kehidupan Alina membuatnya begitu tertekan menghadapi kerasnya dunia.

Tetapi satu hal yang membuat Alina semakin bingung dengan maksud mimpinya itu, disetiap bunga tidur yang dialami Alina selalu saja seorang pria muncul didalam mimpinya untuk membantu ia dikala kesulitan yang dihadapinya. Tetapi sayangnya Alina sendiri pun tidak mengenali siapa laki-laki itu, dikarenkan wajah laki-laki itu yang selalu tak diperlihatkan didalam mimpinya, berhasil membuat Alina semakin bingung dengan teka-teki bunga tidurnya tersebut.

Apakah Laki-laki itu memang ada dikehidupan nyatanya atau hanya sebatas imajinasinya saja. Akan kah Alina bisa menemui malaikat penjaganya itu dikehidupan yang sebenarnya bukan fatamorgana?

SINOPSIS

ALINA KRIA (16th) adalah anak SMA kelas 1 yang biasa saja, dia memiliki kebiasaan menulis sebuah buku diary. Di dalam buku itu semua isi hatinya dia curahkan termasuk perasaan sukanya terhadap teman satu sekolahnya PHIANDRA RAYI, setelah Ayahnya meninggal dunia Alina tidak punya tempat untuk berkeluh kesah lagi, itu karena sejak saat itu hubungan dirinya dan Ibunya ( NANSIH ) semakin memburuk juga.. 

Kepergian ayah Alina untuk selamanya semakin merenggangkan hubungannya dengan Ibunya, beruntung Alina memiliki dua sahabat yang selalu ada untuknya di saat suka dan duka.

TAPI...

Semua berubah saat suatu hari tanpa sengaja Alina membawa buku harian nya ke sekolah,, buku yang mengubah kehidupannya menjadi lebih kelam dari saat ayahnya menutup mata untuk selama-lamanya.. Yang mengubah hubungan pertemanan Alina dan kedua sahabatnya ( Yulisa dan Phujia)  menjadi semakin rumit,, dan menjauh dengan perlahan-lahan .. 

Namun...

Tanpa disangka pula orang yang membantu Alina dalam keadaan terpuruknya adalah teman satu bangkunya DHAMA SAMUDRA, yang selama ini sangat jarang sekali mengobrol dengannya walaupun duduk satu bangku.

______________

BAB 21: DEPRESI


Menangis hingga berjam-jam tidak membuat air mata Alina berhenti mengalir,, rasa sakit yang dia terima kali ini membuatnya tidak mampu mengendalikan dirinya..

Alina duduk dan mendekap bantal di perutnya,, dia termenung menatap kosong ke arah langit-langit kamarnya.. * Apa aku tidak berharga ?? Sebegitu besarkah rasa bencinya terhadap diriku ?? * tanya Alina dalam hatinya

Dia berdiri menghampiri kaca besar di lemari kamarnya,, memegang wajahnya yang terpantul di kaca tersebut dengan tatapan miris.. " Inilah aku,, seseorang yang tidak di inginkan.. " kata Alina lemah 

Air mata terus mengalir di pipi mulusnya,, walau terlihat matanya sudah membengkak dan hidungnya merah karena Alina terlalu lama menangis dia sepertinya belum mau menghentikan tangisannya itu..

Alina berjalan ke ujung kamarnya,, di balik lemari kecil tempat penyimpanan barang itu dia mengambil obat nyamuk cair..

Mata Alina menggelap saat itu juga,, apapun yang sudah menimpanya hari itu sudah cukup membuatnya menderita..

* Mungkin ini jalan untukku pergi,, walau harus dengan cara ini setidaknya mereka semua senang dengan ketiadaan ku.. *  Saat itu juga Alina membuka penyemprot nya dan meminum obat nyamuk cair itu

Seketika Alina merasa mual karena bau nya yang menyengat dan menyebar ke seluruh mulutnya,, rasa pahit itu Alina lupakan dan memaksa cairan itu untuk tetap masuk.. Tubuh Alina bergetar hebat antara takut dan juga dia mulai merasa pusing,, beberapa saat Alina mulai tidak mampu menahan rasa sesak di dadanya..

Tubuh alina mulai kejang-kejang dan juga sedikit membiru di bagian mulutnya,, tidak lama busa ikut keluar dari mulut alina.. Sakit dan sesak yang Alina rasakan semakin menjadi,, pada saat itu pintu kamar Alina di buka oleh Ibunya.. " Alina !! Teman kamu datang lagi tuh !! Di~a ,, ALINA !!!! " Jerit Ibunya alina karena kaget melihat kondisi anaknya yang seperti itu

•••

Dhama yang tadi sempat pulang,, selama di perjalanan nya selalu teringat pada Alina.. semua kata-kata Alina selalu terngiang-ngiang di kepalanya,, sesampainya di rumah dhama mandi dan berganti pakaian tapi bayangan Alina selalu terlintas di benaknya.. * Ya Tuhan,, ada apa ini ?? Kenapa aku selalu teringat pada Alina ?? *

Setelah selesai berganti pakaian Dhama kembali mengeluarkan motornya dan berniat menghampiri Alina,, apapun itu Dhama yakin ada hal yang tidak beres dengan Alina.. Seperti selama dalam perjalan Dhama terus saja berdebar-debar tidak karuan,, dia terus berdoa dalam hatinya supaya Alina baik-baik saja dan semua itu hanya perasaannya saja..

Sesampainya di rumah Alina,, dengan segan Dhama memberanikan diri mengetuk pintu rumah Alina.. Lama Dhama menunggu sampai akhirnya pintu itu dibuka oleh Ibunya alina.. " Mau apalagi kamu datang ke sini ?? " tanya Ibu alina dengan jutek nya

Dhama tersenyum dan menjawab " Saya ingin bertemu Alina tante,, ada yang ingin saya bicarakan.. " kata Dhama sopan

" Tunggu di sini,, saya mau lihat dia dulu.. " Ibu alina pergi meninggalkan Dhama dan menghampiri kamar Alina

Sesampainya di kamar Alina,, Ibunya menjerit memanggil nama Alina dan jeritannya itu terdengar oleh Dhama..

Tanpa pikir panjang Dhama berlari dan menghampiri arah suara jeritan tadi,, dia melihat Ibu alina sedang terpaku berdiri di depan pintu sebuah kamar yang Dhama pikir itu adalah kamar Alina..

Dhama berjalan atau setengah berlari ke sana,, lalu dia melihat ke dalam kamar itu dan mendapati ke adaan Alina yang sedang kejang-kejang dengan mulut berbusa.. " Kenapa tante diam saja ?! Ayo tante bawa Alina ke rumah sakit.. " 

Dengan sigap Dhama membawa Alina ke rumah sakit dengan memesan taksi,, setibanya di rumah sakit Dhama berlari dengan menggendong Alina ke ruang gawat darurat.. 

Dengan sigap Dokter dan suster yang ada di sana membantu Dhama,, dan menangi keadaan Alina saat itu.. Tanpa di duga air mata menetes di pipi Dhama,, dia sungguh merasa bersalah dengan keadaan Alina saat ini..

* Kalau saja,, Kalau saja saat itu aku membawa Alina pergi.. Semua ini tidak akan terjadi !! Aku memang bodoh,, tidak bisa memahami Alina.. * pikir Dhama dengan semua rasa penyesalannya

••• 

Beberapa jam sudah berlalu,, namun dokter yang mencoba menyelamatkan Alina masih belum terlihat.. Sementara itu Ibunya alina masih terdiam membisu sambil duduk di tempatnya,, hal itu membuat Dhama semakin cemas.. Tidak pernah terpikirkan oleh Dhama jika Alina akan nekat melakukan hal semacam ini,, baginya Alina terlihat seperti orang yang tegar..

Sebuah kesalahan besar yang dilakukan oleh Dhama,, seharusnya dia bisa tau jika Alina sebenarnya rapuh.. Dia harusnya bisa melihat itu semua dari gelagat Alina belakangan ini,, tapi bodohnya yang Dhama ingat hanyalah Alina yang selalu tersenyum dan selalu gembira.. Bukan Alina yang di penuhi dengan semua permasalahan hidup yang sangat rumit seperti saat ini,, hingga membuatnya kehilangan arah dan tujuan sampai nekat mengakhiri hidupnya sendiri..

Dalam ketegangannya Dhama terus berdoa untuk Alina sampai akhirnya Dokter yang menangani Alina datang menghampiri.. " Maaf keluarga pasien Atas nama Alina Kria yang mana ya ?? " tanya Dokter tersebut

Ibu alina hanya terdiam menatap Dokter,, akhirnya Dhama lah yang menjawab pertanyaan itu.. " Ini ibunya Dokter,, tapi mungkin dia masih shocked.. " jelas Dhama

Dokter tersebut mengangguk  " Lalu anda siapanya ?? " tanya Dokter itu lagi

Dhama tersenyum " saya teman sekelasnya Dok.. " 

" Oh.. Ya sudah nanti kamu tolong jelaskan pada Ibu pasien,, setelah cairan yang di minum oleh pasien kami pompa keluar saat ini kondisi putrinya sudah mulai stabil.. Tapi masih harus di tangani lebih lanjut karena menunggu hasil pemeriksaan laboratorium,, dan juga sepertinya pasien mengalami depresi.. " Kata Dokter tadi menjelaskan

Dhama terdiam dan sedikit bingung dengan penjelasan dari Dokter  * Depresi ?! Apa karena di sekolah ?? Atau ~ * 

Pikiran Dhama buyar oleh tepukan Dokter tadi di pundaknya,, " Jika keadaan Ibunya sudah lebih baik,, dia bisa mencari saya untuk membicarakan keadaan putrinya.. " Lanjut Dokter tersebut kemudian pergi

Dhama mengangguk lemah mendengar ucapan Dokter tadi..
.
____________
Tentang Author:

JuneWife penulis baru yang masih dalam proses belajar menulis karya romance dan teen, karya2nya di Webnovel adalah Happy "fake" Wedding & Diary Berduri

Seminggu sudah berlalu semenjak kejadian salah paham yang terjadi di rumah umi, panasnya itu masih ada. Rasa benci semakin membara, subur terpupuk oleh rasa sakit yang seakan merejam hati. Perjuangan Alina belum berhenti sampai di situ saja, ia masih saja bertahan dengan sikap Akmal yang setiap harinya membuat Alina menangis. Tapi, Alina sabar, ia terus berusaha membuat Akmal mencintai nya. Setiap hari, setiap saat, tidak peduli rasa sakit itu seberapa besar. Tidak peduli dengan hinaan yang ia dapat secara bertubi-tubi, satu hal yang pasti! Perempuan ini memilih bertahan.

"Mas, hari ini aku minta izin untuk mengikuti reuni bersama teman SMA, ku." Ucap Alina tanpa menghentikan kegiatannya membuat sarapan.

"Terserah,"

"Terimakasih, mas. Tapi, mas aku pengen kamu juga ikut bersama ku."

"Aku sibuk! Kamu pergi saja sendiri." Kata yang keluar jadi mulut Akmal begitu dingin.

"Tapi, mas."

"Berhentilah, memaksa Alina!" Seru Akmal sedikit membentak.

Alina mengalah, dia mencoba acuh pada sikap Akmal yang terus saja berteriak dan membentaknya sesuka hati.

"Mas, aku tidak memaksa. Aku hanya meminta kamu menemani ku saja, kamu sendirikan yang meminta ku untuk bersikap baik di hadapan orang? Itukan keinginan kamu, apa aku harus tunjukkan saja kalo sebenarnya mas tertekan dengan pernikahan ini." Alina sedikit membenarkan perihal pernikahan mereka, membuat sang suami terdiam. Kenyataannya ikatan mereka dimata Akmal hanya sekedar perjanjian.

Detik berikutnya Akmal angkat bicara, "Perjanjian itu hanya di buat untuk keluarga saja, untuk orang lain, tidak! Jangan sampai ada yang mengetahui pernikahan kita." Ucapnya tetap fokus pada layar TV di depannya. Mengacuhkan Alina yang tengah sibuk membuat sarapan.

"Kenapa, kamu malu mengakui aku sebagai istri mu, mas? Ya sudah kalo gitu, biar aku saja yang pergi. Kamu tidak perlu khawatir, aku jamin teman-teman ku tidak akan tau tentang pernikahan ini." Alina bergegas dengan membuat sarapannya. Baru tiga langkah Alina berjalan, ucapan Akmal menghentikan Alina.

"Aku akan mengantar mu"

"Tidak usah, mas," jawab Alina singkat lalu berjalan ke arah kamar. Ketika Akmal berada di ruang tv, beberapa kali ia mencuri pandang pada Alina. Dia sadar gadis itu cantik, dan juga sangat telaten dengan tugasnya.

"Maaf, mas. Aku pamit" Alina menunggu uluran tangan Akmal tapi tangan itu tak kunjung Akmal berikan untuk Alina.

Alina pun berjalan meninggalkan suaminya. Kini Alina sudah berada di jalan raya menunggu anggutan umum, namun tak kunjung datang. Detik berikutnya terdengar klakson mobil, jendela mobil itu terbuka. Dan terlihat jelas itu akmal, Alina hanya diam mengacuhkan suaminya. Ia berpura-pura tidak melihatnya, beberapa menit mobil itu tak pergi hanya terdiam tepat di depan Alina.

Akmal angkat bicara yang posisinya di dalam mobil, "naiklah."

Alina hanya terdiam, dia sudah terlanjur kesal.

"Alina, kau mendengar aku tidak? Naik aku bilang!" Alina melihat ke arah Akmal. Akmal sudah mulai geram karena di acuhkan sang istri.

"Baiklah." Alina mengalah lagi. Ia pun naik kedalam mobil. Di perjalanan tidak ada pembicaraan. Menit berikutnya suara telpon terdengar dari ponsel akmal. Alina masih acuh tidak peduli, ia hanya mengarah ke luar jalanan.

Ponsel milik Akmal terus saja berbunyi namun tak kunjung Akmal angkat pula.

"Kenapa gak di angkat, mas?"

Akmal melihat ke arah Alina, lalu melihat ke arah ponsel setelah nya. "Tidak penting juga,"

Alina hanya mengangguk lalu fokus kembali pada jalanan. Sampai sudah di sebuah kafe yang cukup luas, mobil yang Alina tumpangi berhenti. Alina keluar dari mobil, hari ini Alina memakai gamis warna biru muda dengan Khimar yang senada.

"Makasih mas." Ucap alina, lalu mencium punggung tangan sang suami. Baru saja Alina akan berjalan, suara Akmal menghentikan nya.

"Aku tunggu disini, sampai acara kamu selesai."

Apa? Hati Alina tiba-tiba tak karuan, senang rasanya suaminya seperti itu. Meski tidak ikut bersamanya ke dalam sana setidaknya tetap saja di temani. Alina tersenyum lalu berjalan masuk ke kafe.

Disana sudah berkumpul semua orang, teman-teman Alina saat SMA. Alina duduk dekat tempat memesan makanan, di temani dengan dua teman dekatnya. Annisa dan wita.

"Lin, kok masih sendiri?" Tanya wita.

Alina ingin sekali memberi tahu jika ia sudah menikah, dan memiliki suami yang tampan. Tapi, ia tahan. Alina tidak ingin membuat masalahnya semakin berat.

"Mungkin Allah masih menahan laki-laki yang akan menjadi imam ku." Jawaban Alina, sangatlah menyakiti hati nya sendiri. Alina memang tidak menginginkan perjodohan ini, tapi demi Allah sang dzat yang membolak-balikkan hati. Ia menerima takdir-nya, dan ia berusaha akan mencintai suaminya karena Allah. Meski hasilnya nihil.

"Bener, Lin, oh iya aku mau nanti pas acara lamaran ku kalian datang ya." Seru Annisa.

Alina tersenyum, "Alhamdulillah nis, akhirnya kamu bertemu seseorang yang berniat baik untuk menjadikan mu, bidadari. Insyaallah aku datang," jawab Alina sembari memegang tangan Annisa.

Wahai suamiku, imam ku. Semoga Allah segera membukakan hati mu untuk ku. Gumam Alina dalam hati. Sambil melihat ke arah mobil yang terparkir didepan kafe.

"Assalamu'alaikum," suara itu..

Suara yang sangat Alina kenal, itu Azka lelaki yang dulu pernah menjadi pengisi hatinya. Laki-laki yang selalu mengajarkan sulitnya menjalani kehidupan. Lelaki yang sangat Alina ingin menjadi imamnya.

Azka menghampiri Alina tidak lupa dengan senyuman manisnya, "assalamualaikum, Alina. Apa kabar?"

"Waalaikumsalam, Alhamdulillah aku sehat." Jawaban Alina dengan suara lembutnya.

"Kok yang di tanya cuma Alina, padahal disini ada kita-kita loh." Ujar wita, diikuti dengan kekehan Annisa.

"Assalamu'alaikum ukhti, gimana kabarnya?" Ucapan Azka malah membuat Alina terkekeh karena menurut Alina suaranya sangat menggemaskan.

"Waalaikumsalam ya akhi, Alhamdulillah ana sehat walafiat. Hehe" jawab Annisa.

Azka menggeleng melihat kelakuan temannya yang sama sekali tidak berubah.

"Ka, jangan lupa ya nanti datang kalo calon imam gue ngelamar." Ucap Annisa. "Btw kapan nih, Lo mau lamar Alina? Jangan lama-lama dibiarin dong, nanti keburu sama orang." Lanjut Annisa yang membuat Azka mengangkat sebelah alisnya.

"Maksudnya?"

"Lo udah lamakan deket sama Alina, dari pada jadi dosa, mending cepet halalin."

Deg

Alina benar-benar kaget, seperti ada Sambaran kilat yang menyengat hatinya. Alina rasa hatinya sesak, dadanya sakit. Bukan karena pembicaraan Annisa, tapi, karena perihnya kenyataan tentang dirinya. Ia kini memiliki suami dan statusnya juga sudah berubah, tapi kenyataan hidupnya sangatlah jauh dari kata bahagia.

Bukan ia tidak bersyukur pada takdir-nya tapi kenyataan pahitnya hidup ini begitu terasa. Apalagi saat teman-temannya asik membicarakan calon imam nya, asik membicarakan betapa bahagianya mereka, dan asik memperkenalkan calon imamnya pada teman-teman lain. Namun aku?

Hanya bisa terdiam. Sedih rasanya menjadi diri Alina yang saat ini.

3 jam berlalu acara reuni itu. Alinapun keluar dari kafe. Tidak lupa ia berpamitan pada temannya, "aku duluan ya, assalamualaikum" setelahnya Alina berjalan ke arah mobil yang terparkir tepat di bawah pohon. Alina masuk.

"Mas." Ujar Alina pelan.

Tanpa menjawab Akmal langsung menyalakan mobilnya, dan melaju cepat.

Mas bisa saat ini mengacuhkan aku, tapi aku yakin suatu saat mas sendiri yang akan merasa rindu dengan suara ku. Batin Alina.

"Seneng ya, bisa kumpul bareng temen?" Tanya Akmal.

"Alhamdulillah, Allah masih memberi aku rasa bahagia. Apalagi kamu udah mau nganterin aku, mas" Jawaban Alina berhasil membuat hati Akmal tersentuh. Ia tersenyum kecil tapi Alina tidak melihatnya.

"Aku hanya kasian pada mu, jangan berharap lebih." Ujar Akmal dingin. Tapi Alina masih bisa tersenyum menghadapi sang suami yang masih dingin sikapnya.

Tanpa sebab rasanya waktu tiba-tiba berhenti. Kedua mata hamba Allah itu bertemu pada satu titik. Namun Akmal buru-buru mengalihkan pandangan pada jalan lagi, Alina masih pada posisinya. Alina tak mengalihkan tatapannya. Entah kenapa memandang sang suami begitu meneduhkan hatinya, jika saja suaminya ini begitu mencintainya ingin sekali ia menyentuh wajah tampanya. Itu mustahil.

Akmal mulai merasa risih dengan tatapan Alina itu. "Jangan melihat ku seperti itu? Jika sampai kamu jatuh cinta, aku tidak akan bertanggung jawab." Akmal berucap tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan yang lumayan cukup ramai.

"Alin gak butuh mas bertanggung jawab. Karena yang Alina tahu, tidak salah jika seorang istri jatuh cinta pada suaminya. Dalam perjanjian itu juga tidak ada larangan kan untuk aku tidak jatuh cinta pada siapapun, meski itu mas sendiri." Alina membenarkan.

"Tapi saya tidak suka dan melarangnya."

"Tapi dalam agama Islam tidak melarang seorang istri mencintai suaminya. Bahkan dimata hukum juga tidak ada undang-undang nya yang menegaskan hal itu."

"Aku harap kamu sadar akan posisi mu, batasan mu juga. Dan ingat akan tujuan dari pernikahan ini." Ucapan Akmal begitu menusuk relung hati Alina. Tapi, yang Alina lakukan hanyalah tersenyum dan bersabar.

"Aku menjalankan perjodohan ini sebagai amanah dari Abi dan insyaallah itu karena Allah, aku juga yakini perjodohan ini dengan keyakinan sepenuh hati dan keimanan yang kuat, mas. Walaupun ada perjanjian yang kamu buat untuk ku." Alina terdiam sejenak. "Jodoh, rezeki, dan maut hanya Allah yang menentukan. Kita sebagai umatnya hanya bisa berencana selepasnya Allah yang menentukan. Meski kita berstatus suami istri, bukan berarti kita berjodoh. Ya, meski ikatan ini lewat perjodohan yang tidak didasari cinta, tapi aku yakin inilah yang Allah inginkan untuk kita." Gadis itu melanjutkan ucapanya. Perihal kontrak itu memang benar, meski sampai saat ini Alina sudah tidak melihat lagi kertas putih bermaterai itu.

.....

Gimana untuk cerita bagian ini? aku harap kalian tetap stay dan suka.😊 Kalo ada typo mohon koreksi ya.

Jangan lupa vote, komen dan share ke teman-temannya 👌

Wanita mana yang tidak menangis ketika mengetahui suaminya berselingkuh? Tidak ada bukan!

Namanya Alina Yasvia, dia lah wanita itu. Wanita yang berusaha menjadi istri Sholehah untuk suaminya. Tapi niat baiknya telah gugur karena sang suami berselingkuh dengan wanita lain. Akmal farriz suami Alina, laki-laki yang berselingkuh dengan mantan nya dulu sebelum ia menikahi Alina dan menjadi suami sah nya. Sandra billya mantan akmal, yakni sahabat Alina juga.

Alina mengetahui perselingkuhan itu, untuk yang pertama Alina masih sabar. Kedua kalinya ia juga masih sabar dan mencoba bertahan. Hingga akhir luka hatinya yang ketiga kalinya Alina menyerah pada ujiannya, ujian yang Allah turunkan melewati suaminya.

Alina pergi, ia menyerah pada keadaannya ini. Pergi jauh bersama sang janin yang dikandung, yang saat itu masih berusia 2 bulan. 

Keputusan nya sudahlah menjadi jalan pilihannya, ia lakukan demi kebaikan sang buah hati. Pikirnya, karena Alina tak ingin jika nanti buah hatinya mengetahui jika ayahnya bukanlah ayah yang baik. Untuk pertanyaan seputar ayah, Alina akan berbohong pada anaknya nanti. Itu soal belakangan, yang jelas saat ini Alina harus menjauhkan buah hatinya dari sang suami, Akmal.

Kehidupan seperti apa yang akan Alina lakukan bersama sang buah hati, tanpa Akmal di sampingnya? Apa Akmal akan membiarkan Alina pergi?

Key dan Alina, mereka adalah sepasang kekasih yang sudah menjalin hubungan selama 4 tahun.Baik dan buruknya sifat mereka, masing-masing sudah mengetahuinya. 

Key adalah seorang pengusaha besar yang memiliki banyak cabang anak perusahaan di berbagai negara. Sedangkan Alina, dia juga anak dari seorang pengusaha besar, lebih tepatnya sahabat ayah Key. Menjalin hubungan yang sudah berjalan selama 4 tahun bukanlah waktu yang sebentar, banyak lika-liku yang mereka hadapi dalam selama ini.

                        .................


"Key!" Alina

"Hmm" Key

"Keyyy"rengek Alina

"Apa sayang" Key

"Liat dulu!" perintah Alina

Dengan terpaksa Key manaruh laptopnya dan segera melihat Alina yang berada disampingnya. 

"Tuhh kan kamu ada yang beda! " Alina

"Beda apasih?" tanya Key yang keheranan

"Kamu tambah jelek" Alina

"Hah??? kok bisa? " Key

"Itu karna kamu belum cium aku dari pagi" jelas Alina dengan wajah cemberutnya.

Melihat wajah Alina yang seperti itu membuat Key menjadi gemas dan ingin mencubit pipinya

"Ihhh sayangnya Key kok cembeyuttt" goda Key sambil mencubit pipi Alina

"Kamu lupain aku gara-gara laptop yang gak guna itu "

"Kok nggak guna sih? Ini kan pake aku kerja buat kita. Sini aku cium dulu supaya nggak ngambek" Key mencium Alina dengan seribu ciuman mulai dari mata, jidat, hidung, pipi, bibir, dagu, pokoknya semuanya dapet bagian. 

"Ihh udah Geli tau, Key stop hahahaha" Alina menahan kepala Key agar berhenti menciumnya
"Masih ngambeknya? " tanya Key
"Masih dikit"balas Alina tanpa melihat wajah Key yang ada disampingnya
"Sini aku mau pangku"Key pun mengangkat tubuh Alina agar berada dipangkuannya

Sekarang Alina sudah duduk dipangkuan kekasihnya, tangan Key sudah melingkar dipinggang Alina

"Maafin aku ya udah cuekin kamu seharian, sama maafin Key karna udah bikin Lina ngambek, tapi kamu ngegemesin kalo lagi ngambek tau" jelas Key sambil menyatukan kedua kening mereka.

Jadi nama panggilan Alina itu sering diapanggil Ina atau Lina, Alina sihh nggak masalah mau dipanggil apa aja asal tetep cantik

Selama 4 tahun hubungan mereka, Key lah yang selalu lebih dulu mengalah dan meminta maaf walaupun kadang itu bukan salahnya, apalagi saat Alina sedang masa menstruasi berasa nafas aja salah. 

Alina itu emang manja banget dari kecil, apapun yang dia mau pasti selalu dipenuhi jadi nggak heran aja kalo dia sifatnya bossy. Kalo Key tipikal yang dewasa, penyabar, penyayang, apalagi kalo Alina minta sesuatu pasti langsung dibeliin.

Karna tadi Alina masih ngambek dikit, jadi dia minta diajakin keluar beli makan. 


-------------



Sekarang mereka sudah sampai di salah satu restoran Jepang, Alina suka banget sama makanan Jepang kalo Key mah ngikut aja yang penting Singanya udah nggak ngambek lagi

Key menggandeng tangan Alina masuk menuju restoran, setibanya di dalam Key memesan semua makanan kesukaan kekasihnya. Emang Key bucin banget dahh 



"Kok nggak dimakan sihh?" tanya Key

Alina hanya diam dan memanyunkan bibirnya, melihat itu Key sudah mengerti dengan keinginan kekasihnya yang manja

"Sini aku suapin" Key

"Aaaaaa" Key menyuapi Alina sushi, dan tentunya langsung dimakan olehnya

"Kamu itu kalo pengen disuapin bilang dong, ini malah diem kayak bebek yang kurang makan"
"Ihh masak aku disamain kayak bebek" kesal Alina
"Terus disamain kayak apa? kayak kudanil gitu? "
Mendengar itu membuat mata Alina membulat dan menatap tajam Key
"Jadi kamu samain aku kayak kudanil? Emang aku gendut kayak kudanil? "tanya Alina sinis

"Ehhh enggak sayang, kamu kurus dan sexy kok" jawab Key yang gelagapan

Alina paling sensitif kalau sudah menyangkut berat badannya, padahal badan Alina sudah seperti model Victoria secret.

"Aku nggak mau makan!"

"Lohh tadi katanya laper, kok nggak makan lagi? " Key
"Aku udah gendut kayak kudanil, jadi aku mau diet" tolak Alina

Mati gue - batin Key 

"Aku nggak bermaksud bilang kamu kayak kudanil, kamu itu paling seksi jadi aku nggak mungkin berpaling dari kamu" Key

"Tetep aja aku kayak kudanil" Alina

Key semakin kalang kabut, memang membujuk Alina itu kadang gampang kadang susah, tapi setelah dipikir-pikir Key ingat sekarang adalah awal bulan yang berarti menstruasi Alina sudah dekat. Pantas saja Alina sangat sensitif 

"Yaudah aku salah, maafin aku ya? Key janji nggk ngulangin lagi" rayunya dengan senyuman yang membuat siapapun akan jatuh hati terhadapnya.

"Hmmm" karna masih kesal Alina hanya menyauti Key dengan deheman saja

"Abis ini kita makan es krim yukk, nanti aku pesenin rasa vanilla stroberi kesukaan kamu" mendengar es krim Alina langsung senang dan mengangguki ajakan Key

"Udah nggak kesel kan?" tanyanya

"Nggak" jawab Alina degan senyum yang lebar

"Bilang  i love you dong" pinta Key kepada kekasihnya

" I love you hon" jawab Alina

                            ------------------------

Jatuh cintah adalah hal yang mudah, namun untuk mempertahankan dan memperjuangkannya tidak semudah ketika kita jatuh cinta.



Aku mencintaimu dan selalu, sampai kau bosan akan cinta ini. Aku akan pergi dengan hati yang masih sama - Key



 
 

 

 

“Pak GABRIEL, maaf hari ini saya nggak bisa masuk. Ibu saya sakit keras, saya harus ke Bandung buat jenguk beliau.” 

Gabriel membaca isi Line itu. Lalu mengetikkan balasannya, memberi izin pada sang sekretaris ddan mendoakan kesembuhan. Ia berbaik hati memberi cuti pada sekretarisnya agar bisa fokus merawat sang ibu tercinta sampai sembuh. 

Pukul setengah tujuh pagi, tersisa waktu satu jam sebelum ke kantor. Najwa juga masih berada di rumah. Sementara Prof. Andreas dan Prof. Harini sedang menyelesaikan sarapan mereka di ruang makan. 

Sepasang mata bening itu dilayangkan ke luar jendela. Menatapi rinai hujan yang berjatuhan, menatapi langit yang tertutup lapis demi lapis awan. Tak seperti biasanya, pagi ini terasa suram. Cuacalah yang menjadi faktor utamanya. 

Baru saja Gabriel selesai membereskan dokumen-dokumennya, atensinya teralih oleh ketukan di pintu kamarnya. Saat pintu terbuka, ia mendapati Najwa berdiri di ambang pintu. 

“Peri Kecil...?” 

“Gabriel, cepat turun ke bawah. Alina...” 

Mendengar nama putrinya disebut, Gabriel bergegas menuruni tangga ke lantai bawah. Najwa lekat mengikuti. 

Betapa terkejutnya ia ketika melihat Alina menghambur masuk ke teras rumah. Tubuhnya basah, wajahnya pias dan bibirnya membiru. 

“Alina...sini Sayang, sini.” 

Segera saja Gabriel meraih tangan Alina dan membimbingnya masuk ke dalam. Najwa tergesa kembali ke atas untuk mengambilkan handuk dan pakaian bersih. 

“Ayah...dingin. Alina kedinginan,” rintih gadis kecil itu. 

“Alina kenapa bisa begini, Sayang?” tanya Gabriel lembut. 

Alina ingin menjawab, tetapi disela kedatangan Najwa. Wanita cantik itu dengan lembut melepas seragam sekolah Alina. Mengeringkan tubuh mungil itu dengan handuk, lalu mengganti pakaiannya. 

“Gimana, Sayang? Masih kedinginan?” Najwa memastikan. 

“Nggak, Bunda.” sahut Alina. 

“Sekarang, Alina cerita sama Ayah dan Bunda.” pinta Gabriel. 

“Tadi...tadi Alina sampai di sekolah. Waktu mau masuk gerbang, ada anak-anak sekolah lain deketin Alina. Mereka jahat sama Alina.” 

“Jahat? Apa yang mereka lakukan, Nak?” sela Najwa, mata hazelnya melebar. 

“Mereka bilang Alina bawa penyakit menular. Alina anak haram, dan ayah Alina bukan orang baik. Mereka nggak Cuma hina Alina, tapi hina Ayah!” 

Tangis kanak-kanak itu pecah. Gabriel merengkuh Alina ke pelukannya. Menenggelamkan tubuh mungil nan rapuh ke dalam dekapan hangat. Membiarkan air mata Alina membasahi pangkuannya. 

“Kenapa harus Alina? Kenapa bukan yang lain saja, Ayah?! Apa Alina bukan anak baik, makanya Allah kasih penyakit ini ke Alina?!” Dalam kesedihan dan keputusasaan, nada suara Alina meninggi. 

“Tidak, Sayang. Alina anak baik, baik sekali. Alina anak Ayah yang baik.” Gabriel berujar menenteramkan. 

“Juga anak Bunda yang baik,” timpal Najwa. 

“Alina itu istimewa. Makanya Allah titipkan penyakit itu ke tubuh Alina. Tuhan sayang sekali sama Alina...” 

Hening. Alina meresapi kata-kata Ayah-Bundanya. 

“Tapi mereka juga hina Ayah...” isak Alina lagi, tak terima ayahnya dihina. 

“Nggak apa-apa kok. Mereka hanya belum tahu siapa Ayah, makanya mereka bilang begitu.” 

“Sekarang Alina jangan sedih lagi ya? Banyak yang sayang sama Alina. Ada Ayah, Bunda, teman-teman, Grandma, Grandpa, dan masih banyak lagi.” Najwa membujuk, mengusap lembut sisa air mata di wajah putri kecilnya. 

Alina mengangguk, tersenyum lemah. Saat itulah Najwa tersadar. Kening Alina panas. 

“Gabriel, Alina demam.” 

Gabriel refleks menyentuh dahi Alina. Ia terkejut, namun bukan berarti tak menduga hal ini akan terjadi. Antibodi anak pengidap AIDS berbeda dengan anak-anak normal lainnya. 

Detik berikutnya, pintu di belakang mereka terbuka. Prof. Andreas dan Prof. Harini mendekat. 

“Ada apa ini?” tukas Prof. Andreas. 

“Alina sakit, Pa.” 

Tanpa kata, Prof. Andreas bersama istrinya membungkuk memeriksa Alina. Keduanya bertukar pandang cemas. 

“Apa yang terjadi padanya, Gabriel?” desak Prof. Harini. 

Mulailah Gabriel menjelaskan segalanya. Papa-Mamanya terperangah. Tanpa membuang tempo, Prof. Harini mengambil peralatan kedokterannya. 

“Siapa yang begitu tega mem-bully Alina? Dia masih terlalu kecil!” Sambil memasang tensimeter, Prof. Harini mengungkapkan kesedihan dan ketidakpercayaannya. 

“Itu tidak penting, Ma. Biarlah perbuatan mereka dibalas oleh Tuhan. Yang terpenting adalah kesehatan Alina.” 

Lantaran Alina sakit, Gabriel dan Najwa memutuskan tidak ke kantor hari itu. Keduanya ingin fokus merawat anak mereka. 

“Tunggu sebentar, biar kukabarkan pada Oki dan Langen kalau aku tidak bisa ke kantor hari ini.” Gabriel beranjak bangkit. Berniat mengambil handphone-nya yang tertinggal di kamar tidur. 

Najwa mengangguk, masih berkutat dengan ponselnya. Mengabari Kalis. Prof. Andreas dan Prof. Harini memfokuskan perhatian pada Alina. 

Selangkah demi selangkah Gabriel menaiki tangga. Akan tetapi saat menapaki anak tangga keempat, serangan itu datang. Ribuan jarum jahat menusuk setiap inci tulang-tulangnya. Sakit yang amat sangat ia rasakan. Gabriel terhuyung, mencengkeram pagar tangga di sisinya. Susah payah menjaga keseimbangan. 

Tanpa sadar Gabriel mengerang kesakitan. Sukses memecah atensi Najwa, Prof. Andreas, dan Prof. Harini. Tergesa-gesa mereka berlari ke kaki tangga. 

“Astaga...!” 

Mereka datang pada waktu yang tepat. Sebab menit berikutnya Gabriel terjatuh pingsan dan mereka menangkap tubuhnya sebelum terhempas ke lantai.

“Ini hanyalah blog sederhana. Milik seorang gadis keturunan Timur Tengah bernama Zahra yang mencintai keluarga, kekasih, dan sahabat-sahabatnya. Di sini kalian akan menemukan kisahku dan sahabat-sahabatku.”
“Ini kisah pertama. Antara malaikat, Peri Kecil, dan seorang pria apatis. Mereka adalah GABRIEL Andreas, Najwa Livia, dan Dani Sastranegara.”

"Bawa mereka ke ruangan itu!" perintah Daris lagi menunjuk sebuah ruangan yang masing-masing disekat oleh kain. Preman itu dengan patuh menuruti ucapan bos mereka. Memperlakukan mereka dengan kasar, tak peduli pria ataupun wanita. Hanya satu yang Daris inginkan yaitu kehancuran mereka semua.

alina Novel

Mr. CEO, Please Sleep With Me ( VERY SLOW UPDATE )

Diary Berduri

My Little World ( indonesia )

super power action & advencher komics

The Dream Chapter

The Mafia's Secret Wife

The Life Story Of An Alina

Key and Alina

Love Story About Choirmaster

Best Wedding Games

People search alina also like: