Alif an orphan, is keen to do big but his wish to do big takes him to a dangerous journey.

Jangan terlalu memikirkan hamba yang lain karena Allah itu Pencemburu.

"Kamu Islam kan??"Tanya Billa bingung.

"Iyalah gue Islam" Jawab Alif santai.

"Tahukan pacaran itu haram?" heran Billa.

"Nggak" Ucap Alif cuek.

Bagaimana rasanya menjalani pernikahan kontrak yang terpaksa dilakukan?

Itulah yang dialami oleh Alifa, seorang gadis 18 tahun mengorbankan kehidupan yang selama ini penuh dengan keceriaan karena biaya makam sang ayah yang belum terbayar membuatnya terpaksa menerima tawaran yang tidak masuk akal yaitu menikah dengan Alif teman sekolahnya, dia juga adalah seorang cucu dari pemilik sekolah yang sangat dingin dan angkuh.

Mereka akhirnya menikah dalam kontrak dan keterpaksaan, hidup Alifa pun sangat menderita karena Alif menginginkan wanita lain?

Atas nama kewajiban sebagai istri Alifa terpaksa tetap memberikan perhatian terhadap suaminya sampai Akhirnya Alif luluh dan diam-diam mencintainya. Tapi...

Wanita yang selama ini bersama Alif kembali dan mengganggu keharmonisan keluarga.

Sanggupkah Alifa menahan perasaan ketika wanita itu perlahan memasuki kehidupan suaminya dan bergantung padanya?

Mampukah Alif menyingkirkan wanita yang selama ini disayanginya demi menjaga perasaan istrinya?

Ikuti kisahnya...

Bagaimana rasanya menjalani pernikahan kontrak yang terpaksa dilakukan?

Itulah yang dialami oleh Alifa, seorang gadis 18 tahun mengorbankan kehidupan yang selama ini penuh dengan keceriaan karena biaya makam sang ayah yang belum terbayar membuatnya terpaksa menerima tawaran yang tidak masuk akal yaitu menikah dengan Alif teman sekolahnya, dia juga adalah seorang cucu dari pemilik sekolah yang sangat dingin dan angkuh.

Mereka akhirnya menikah dalam kontrak dan keterpaksaan, hidup Alifa pun sangat menderita karena Alif menginginkan wanita lain?

Atas nama kewajiban sebagai istri Alifa terpaksa tetap memberikan perhatian terhadap suaminya sampai Akhirnya Alif luluh dan diam-diam mencintainya. Tapi...

Wanita yang selama ini bersama Alif kembali dan mengganggu keharmonisan keluarga.

Sanggupkah Alifa menahan perasaan ketika wanita itu perlahan memasuki kehidupan suaminya dan bergantung padanya?

Mampukah Alif menyingkirkan wanita yang selama ini disayanginya demi menjaga perasaan istrinya?

Ikuti kisahnya...

Sembari menunggu sampai ke rumah, aku sudah terbiasa membaca novel yang cukup best seller dan diminati banyak orang.

Aku ingin mengembalikan kebiasaanku lagi untuk memenuhi setiap hobi yang hampir terlupakan.

Dulu saat masih sekolah, saat istirahat aku dan Alif biasa pergi ke perpustakaan.

Di sekolah kami saat itu, istirahat dibagi jadi dua waktu. Jadi untuk istirahat pertama, aku dan Alif menghabiskannya di perpustakaan dan di istirahat ke dua, kami baru pergi ke kantin untuk membeli makanan.

Buku yang biasa menjadi asupan bacaku tak terlalu rumit. Hanya yang genre-nya horor, thiller dan rohani.

Sebenarnya aku tak terlalu suka untuk genre romance apalagi konten dewasa, itu sangat aku hindari sekali.

Bukan apa-apa, masalahnya aku lebih suka membaca kisah yang penuh tantangan, energic, dan juga dibubuhi aura-aura seram yang mampu membuatku bergidik ngeri.

Aku lebih suka kisah seperti itu daripada buku yang bergenre romance, yang isinya hanyalah tentang cinta, cinta dan cinta.

Sebenarnya aku tak perlu lagi membaca banyak genre tentang cinta karena..., saat ini aku sudah menemukan cintaku sendiri.

Ya. Tetap sekali di depanku.

Tak hanya aku. 

Alif pun kurang menyukai buku ber-genre romance. Dia lebih suka novel ber-genre action, horor, thiller dan rohani pula.

Alhamdulillah. Sejak awal aku memang satu frekuensi dengannya. Kalau misal aku menyukai suatu hal, tanpa sengaja dia juga menyukainya dan begitu pula sebaliknya.

Perlu kita ambil contoh lagi.

Daru dulu sampai saat ini, aku sangat menyukai bunga dan dia pula menyukai bunga.

Aku suka burung merpati putih dan dia juga sangat menyukainya.

Alif menyukai nasi goreng ati ampela, aku juga turut suka dengan masakan itu.

Aku menyukai roti selai keju, dia pun ikut menyukainya lagi.

Kita memang seperti itu. Di setiap ada hal yang masing-masing baru ditemukan, baik Alif atau aku, selalu saja memberi tahu bagaimana dan apa respon pertama saat melihat atau merasakannya.

Biasanya tanpa ada rasa keraguan, kami selalu mengutarakannya dengan jujur.

Misalkan saja saat aku menyukai hujan, ternyata dia lebih menyukai senja.

Tak masalah sebenarnya. Aku tak bisa memaksa dia dan dia pun tak bisa memaksaku.

Lagi pula hujan dan senja sama-sama indah walau kehadirannya tak bisa menyatu di waktu yang sama.

"Baca apa, Rein?" tanya Hamzah kemudian.

Aku menunjukan buku ini padanya. "Biasa."

"Oh begitu...."

Kembali kubaca di setiap halamannya yang penuh dengan kerasa penasaran. Di dalam ceritanya dan cara pembawaan sang penulis, begitu mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.

Aku sampai terlarut dalam untaian katanya. Andai kalau diniatkan, satu hari aku bisa menghabiskan bacaan ini yang terdiri dari dua ratus sepuluh halaman.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, misalkan hari ini selesai membaca, lalu bagaimana aku akan kembali membacanya besok? 

Buku ini recommended sekali. Hanya saja..., halamannya yang tak terlalu banyak membuatku mau tak mau harus menamatkannya esok hari.

Padahal tak hanya aku. Alif saja kalau sedang membaca bab akhir, dia selalu galau karena kalau dilanjutkan, pasti ceritanya akan selesai. Tapi kalau tidak dilanjutkan, tentunya semakin membuat aku dan Alif penasaran.

Ah sudahlah. Ini memang resiko yang harus diterima bagi para pecinta novel.

"Katanya, lusa nanti di balai kota ada bazar buku. Kamu mau ke sana?" tanya Hamzah.

"Wah. Boleh tuh. Aku sudah jarang sekali pergi ke bazar buku. Terakhir itu saat masih di Bandung."

"Sama Alif?"

"Tentu saja."

"Eh. Kenapa masih maju? Gang rumahku sudah terlewat, Hamzah." ujar kak Amzar.

Hamzah melirik kepadaku kemudian tersenyum. "Sengaja, kak."

"Apa? Maksudnya?"

"Iya. Aku mau mengajakmu ke rumah Ayssa."

"Aduh jangan Hamzah." pintanya sedikit memelas, "aku tak mau ke rumah kamu. Hentikan saja mobilnya di sini biar aku yang pulang ke rumahku sendiri."

"Ah sudah kak. Jangan seperti itu. Aku akan tetap membawamu ke rumah. Akan kuperkenalkan juga kakak pada Ayssa dan seluruh keluarga."

"Tapi Ham-"

"Aku mohon ya kak." sela Hamzah, "aku hanya mengajak kakak ke rumah saja. Bukan ke tempat apa pun."

Amzar terdiam kemudian tak menjawab apa pun lagi.

...

Ketika kak Amzar dibawa ke rumah, aku bisa melihat dia terpesona dengan seluruh ruangan yang besar, luas nan megah ini.

Kedua matanya terus saja ia lempar ke sana dan kemari. Mulai dari laci meja, tirai, semuanya ia sentuh seperti benar-benar belum pernah melihatnya secara langsung.

"Aku tak tega melihat kakak seperti itu, Rein." ujar Hamzah padaku sambil berbisik pelan.

"Sama. Aku pun turut merasakan hal yang sama seperti kamu, Hamzah." jawabku, "dia begitu kasihan sekali. Masa kecilnya tak pernah ia rasakan dengan bahagia. Kal-"

"Hamzah?" panggil kakaknya tiba-tiba, "coba kemari dulu."

"Sebentar ya. Nanti kita lanjut lagi." lirih Hamzah kepadaku yang sejurusnya, kuanggukan kepala.

"Ini lihat."

"Iya kak kenapa?" tanya Hamzah sambil menghampirinya.

"Kursinya terlihat empuk sekali. Sepertinya mahal ya?"

Hamzah tersenyum sementara kak Amzar terus saja menyentuhnya dengan lembut.

"Duduk saja, kak." seru Hamzah.

"Apa? Duduk?"

"Iya."

"Memangnya..., boleh?" tanya kak Amzar dengan ragu.

"Tentu saja." jawab adiknya, "anggap saja ini sebagai rumah kakak sendiri.

Pria di depannya segera duduk di atas kursi. Dia terus saja mengucapkan sesuatu dengan lirih seperti benar-benar baru pertama kali duduk di tempat seperti itu.

"Bagaimana kalau kita ke atas?" ajakku kemudian, "kita ngobrolnya di sana saja."

"Benar sekali, kak. Bagaimana?"

"Wah boleh." dengan girangnya sang kakak berjalan mengikuti Hamzah.

Tak hanya itu. Saat kami tengah memijakan kaki di tangga, tak henti-hentinya kak Amzar memuji betapa indah dan mewahnya anak tangga yang terbuat dari besi itu.

Aku sesekali melirik Hamzah yang terdiam dengan hidung yang mulai memerah seperti tengah memendam suatu kesedihan.

Aku menggenggam erat tangannya yang seketika membuat Hamzah menoleh ke arahku.

Kusunggingkan senyum padanya sambil mengangguk pelan, "jangan sedih. Nanti ajak saja kak Amzar buat tinggal di rumah ini."

Hamzah tersenyum seakan mengiyakan.

"Kamarmu di mana Hamzah?"

"Itu kak, sebentar lagi." jawabnya.

"Wah. Rumahnya luas sekali..., mungkin kalau dijadikan kontrakan, sudah jadi berapa puluh ya...."

Ceklek.

Hamzah membuka pintu kamarnya kemudian menyilakan kak Amzar untuk masuk terlebih dahulu.

"Ya Allah, Hamzah. Ini kamarmu?"

"Iya, kak."

"Bagus sekali...." tanpa bosan, kak Amzar terus saja memperhatikan setiap penjuru yang berada di ruangan ini. Mulai dari hal terkecil sampai hal terbesar, kak Amzar terus menerus berdecak kagum.

"Ini pintu apa lagi, Hamzah?" tanyanya kemudian.

"Oh. Itu pintu balkon kak. Buka saja."

"Aduh..., aku tak bisa Hamzah. Sama kamu ya," dia terkekeh, "maklum. Sejak kecil aku belum pernah melihat pintu seperti ini."

Hamzah tak banyak bicara dan langsung menghampiri kakaknya sembari membukakan pintu balkon.

"Mudah kok kak." dia berusaha tersenyum.

Aku terus memperhatikan tingkah kedua kakak beradik ini.

Yang satu, sangat terkesima dengan apa yang dia lihat, sementara yang satunya lagi merasa bersalah karena melihat kakaknya sendiri seperti itu.

...

"Tak perlu ragu untuk mengucap atau pun memulai. Aku sudah paham dan mengetahuinya sejak dulu. Cinta memang tidak dapat dipaksa, pun aku tak bisa memaksa dirimu agar lulus 'melupa'. Semuanya memiliki hak. Aku berharap padamu, kamu berharap padanya. Biar saja."


 -o0o-

 
Lupakan saja apa yang sudah terjadi. Miliki seutuhnya tentang apa yang baru kita peroleh saat ini. Karna kesempatan tak mampu didapat untuk yang kedua kali. Jika memang dapat, itu mungkin anugrah. Kita bersyukur saja atas semua yang telah dikehendaki oleh-Nya. Jangan menuntut, atau pun menyesali. Karna semua hal pasti akan indah pada waktunya. Percayalah.

Hari pertama lagi, Naura Airina sudah membebel kerana pekerjanya datang lambat. Mujurlah ada kawannya Noralia Maisara yang turut membantu membukakan kedainya itu.

Ikutkan hati dia mahu memotong gaji pekerjanya, Rifhan Alif tu. Walaupun Alif tu anak Tengku sekalipun etika pekerjaan kenalah jaga. Bukannya datang kedai sesuka hati je.

"Asal datang lambat?" Soal Naura sesudah dia datang ke kedai bukunya.

"Jalan sesak." Naura ketawa sinis. Sesak? Pukul 11 pagi ni sesak ke? Orang pergi kerja semuanya pukul 7 pagi dah keluar ini dia pukul berapa tah keluar.

"Awak dengan Batrisya je lah pekerja Saya. Kang hah potong gaji baru tau. Bulan ni dah 2 kali awak datang lambat. Setiap hari tau orang kedai ni ada je yang datang." Bebel Naura. Batrisya yang sedang menyusun buku di rak yang kosong mampu pekak kan telinganya.

Ada saja harinya dengan bebelan cik Naura Airina. Gara-gara Alif lah dia terpaksa mendengar bebelan itu. Sampaikan cik Maisara kata dia nak buatkan trofi QUEEN OF MEMBEBEL untuk cik Naura.

"Maafkan Saya cik Naura." 

"Saya tahu datang lambat lagi memang Saya kejut awak pukul 5 pagi tu. Kedai bukak pukul 10 awak sampai pukul 11. Awak ingat ni apa? Hotel? Sesuka hati check in patu keluar. Sesak apa. Saya yang tadi singgah pergi rumah parents Saya pukul 8 tu dah hilang sesaknya. Kalau bangun lambat cakap." Masih belum habis bebelan Naura. Alif pasang telinga sajalah. Memang salah dia tak kunci jam semalam. Lepas Subuh terus dia tidur gara-gara tidur lambat semalam. Ini pun mujur ibunya sempat kejutkan dia.

"Selamat datang." Suara operator yang telah diset kan oleh Naura menarik perhatian mereka bertiga.

"Dah pergi." Alif terus masuk ke dalam stor untuk mengambil beberapa buku baru untuk disusun semula.

"Boleh Saya bantu encik?" Kini mood Naura yang marah sudah bertukar seperti biasa. Peramah dan ceria.

"Saya nak cari novel terbaru A.I." Naura mengangguk perlahan tanda dia faham apa yang diminta oleh pelangannya.

"Sini semuanya edisi terbaru novel A.I. Encik bolelah pilih dulu." Naura ingin berlalu pergi untuk menyambung kerjaya yang tertunggak. Langkahnya terhenti apabila lelaki itu memanggilnya.

"Saya nak edisi dia yang sebelum ni. Maksud Saya buku dia Title Of Our Love. Awak ada?"  

"Maafkan Saya, encik. Buku tu dah habia stok lah. Bulan depan baru stok tu sampai. Maafkan Saya." Lelaki itu mengangguk perlahan. 

"Dekat sini ada kerja kosong tak?" Soalan yang tidak dijangka oleh Naura membuatkan dia memandang setiap pekerjanya.

"Kerja.. kosong? Erm buat masa ni tak adalah." Kerja kosong? Bukan dia tidak mampu untuk membayar gaji lelaki dihadapannya cuma tiada lagi rasanya kerja yang boleh lelaki itu lakukan.

"Kedai buku ni dekat 2 buah kedai. Tak akan tak ada kerja kosong." 

'Abende kau!! Macam mana boleh lupa bapak kau besarkan kedai ni jadi 2 kedai. Aduh!'

"Allahuakhbar. Lupa pulak Saya. Kalau kerja pun awak tolong susun buku, lap rak denga meja dekat bahagian kedai sebelah patu kedai Saya dengan kedai sebelah ni kitaorang campur pekerja. Kedai sebelah owner dia Maisara but boleh panggil dia Mai." Naura hentikan perbualan dia untuk memanggil Batrisya yang masih menyusun buku.

"Ya cik Naura?" 

"Panggilkan Mai." Batrisya mengikut arahan bosnya.

"Dikira boleh start kerja ke?" Soal lelaki itu. Naura mengangguk. Dia tidak pentingkan sijil belajar pun. Belum tentu kalau orang tu tidak pandai perangai dia juga teruk. Setiap orang perlu diberikan peluang kedua.

Maisara ataupun Mai yang baru selesai membuat kopi untuk pelangannya terus masuk ke kedai sebelah melalui pintu dapur. 

"Apa?" Tanya Mai sambil membetulkan lengan bajunya.

"Pekerja baru?" Teka Mai. Dia berdiri disebelah Naura.

"Sila perkenalkan diri." Pinta Naura dengan senyuman dibibir.

"Nazrul Hadif. Boleh panggil Adif je." Senyum. 

"Adif? Hah umur berapa ni? Kang ada kitaorang kena fitnah sebab amek budak sekolah kerja kat sini." Seperti biasa Mai akan bertindak seperti pemilik dua kedai itu. Naura tidak kisah pun apa yang Mai nak lakukan asalkan perkara tu berfaedah.

"23." Mai dan Naura saling berpandangan. Bapak muda gila. Paling muda dalam kedai ni pun si Batrisya. Itu umurnya 24 tahun.

"Lah muda dari kitaorang semua. Hah anggap je kitaorang ni kakak dengan abang kau." Ujar Alif yang dari tadi menjadi pendengar setia perbualan mereka.

"Baik." 

NAURA dari tadi memusingkan pennya akibat kehilangan idea untuk novelnya. Sudah 3 tahun dia menjadi penulis novel dan dengan izin Allah novelnya sudah terlaris di setiap kedai buku di Malaysia. 

Jam menunjukkan pukul 1 tengah hari dan dia masih belum mengisi perutnya lagi. Nak mengajak Mai, gadis itu terlebih dahulu sudah ada berjanji untuk keluar makan dengan keluarganya. Alif dan Batrisya sudah keluar terlebih dahulu tanpa fikirkan tentang bosnya. Adif? Erm..

"Cik Naura tak nak makan ke?" Soal Adif sambil mengisi botol-botol air di kaunter.

"Saya nak makan dengan siapa? Mai pun dah keluar. Yang lagi dua orang tu pun da tinggalkan Saya." Naura muncungkan mulutnya.

"Erm makan dengan Saya je lah. Saya boleh kan temankan cik Naura?" Adif mengakhirkan ayatnya dengan senyuman dibibir. Lesung pipit di pipi kiri lelaki itu menambahkan lagi ketampanan Adif.

"Hah ya lah siapa belanja?" Bab ni memang Naura sengaja ingin mengusik pekerjanya. Setiap kali ingin keluar makan inilah soalan pertama yang akan diajukan oleh Naura.

"Saya lah. Saya kan lelaki. Kalau cik Naura yang nak bayarkan nampak tak manis pula." 

'Siapa ajar dia ni?? Ini kali pertama Aku jumpa orang macam ni!'

"So nak makan apa? Nanti Saya belikan." Tanpa melengahkan masa Naura menyuruh Adif untuk dekatkan tubuh itu dengannya. Adif menurut kata Naura.

"Maggie je?" Soal Adif setelah Naura selesai berbisik dengannya. Naura tepuk dahi.

"Jangan lah kuat. Ni buatnya Mai dengar memang dia marah Saya." Naura mencebik. Adif rasa serba salah pula dengan perangainya tadi. Terkejut sebernanya dengan permintaan Naura. Dia ingatkan Naura inginkan makanan yang mahal atauapun western food tapi maggie sahaja.

"Serupa Saya masakkan untuk cik je." 

"Betul? Boleh?" Adif mengangguk. Maggie je bukannya gadis itu minta ayam masak merah pun.

"Kat pantri belakang ada maggie dalam paket. Awak boleh tolong?" 

"Maggie je kan bukan nasi kandar kan?" Seloroh Adif. Naura ketawa kecil dengan gurauan Adif.

"Awak boleh ke buatkan Saya nasi kandar?" Laju saja Adif menggeleng. Nasi kandar? Dia tahu masak nasi sahaja. Nasi kandar tu dia belum mahir lagi.

MAISARA terus mengunci pintu rumah setelah masuknya azan marghrib. Naura awal-awal sudah naik ke bilik untuk menyiapkan novelnya yang perlu dihantar hujung bulan ini. 

"Rina, gi solat dulu." Mai berdiri dihadapan pintu bilik Naura sambil memeluk tubuhnya.

"Aku uzurlah. Gi main jauh-jauh." Halau Naura. Tangannya laju menaip di papan kekunci laptopnya. Dia benar-benar gemarkan menjadi seorang penulis sejak dibangku sekolah lagi dan selepas SPM dia terus menghantar skrip ceritanya di beberapa buah syarikat penerbitan dan kini dia berjaya mengeluarkan 3 buah novel dari hasilnya sendiri.

"Kau buat banyak-banyak novel ni sebab Arif Iskandar atau sebab kau minat?" Tanya Mai seraya mengambil tempat di atas katil Naura.

"Apa kau cakap ni Mai?" Naura buat-buat tak faham. 

"Aku tahu kau minat gila dengan buku cinta si Arif tu but kau buat atas nama Arif atau minat ni. Aku tak halang cuma nak tau." Terang Mai. Dia cuma nak tahu punca Naura mula berkarya dalam novelis ni. Dulu Naura susah nak dapatkan keyakinan untuk menghantar manuskripnya kini bukan main lagi dah siap je hantar. Yang penting syarikat penerbitan yang mengambil novelnya adalah syarikat yang sama dengan penulis Arif Iskandar ataupun A.I.

"Aku buat atas minat Aku lah. Kau jangan nak buruk sangka pasal Arif eh. Kau buruk sangka pasal dia kau tunggu Aku korekkk biji mata kau tu." Kata-kata Naura berbaur ancaman dan itu tidak boleh membuatkan Mai takut pun dengan ancaman tersebut. 

Dekat 14 tahun dia dan Naura berkenalan dan akhirnya persahabatan mereka kekal hingga sekarang. Macam-macam ujian yang dilanda atas persahabatan itu tapi dengan Naura yang penyabar dan Mai yang pantang dicabar memang kekal lah. 

"Ni kan buku si Adif nak tu?" Mai mengambil buku yang telah disampulkan dengan pembalut buku di atas meja katil Naura. Buku Naura adalah buku yang boleh dikatakan susah hendak dicari kerana di kedai buku lain tidak akan mendapat tandatangan Arif Iskandar tapi Naura ada. Setiap buku Arif Iskandar semuanya ada tandatangan lelaki itu. Sampai naik muak Naura apabila selalu mendengar nama lelaki yang dia sendiri tidak kenal.

"Buku Aku limited edition eh. Kau pikir senang Aku nak bagi orang buku Aku yang ada semua tandatangan dia? No ya no!!!" Terus dia mengambil semula buku tersebut dan diletakkan ke dalam rak buku bersebelahan dengan meja kerjanya.

Penat-penat dia beratur untuk mendapatkan tandatangan idolanya tak kan senang-senang dia nak bagi orang.

"Title Of Our Love.. apa yang best sangat? Asal semua orang minat dia?? Kau tau tadi kat kafe pun semua cakap pasal Arif. Aku macam.. eh dia bukan anak raja pun yang kecoh sangat apahal." Mai tidak minat pun dengan buku-buku yang ditulis oleh Arif Iskandar. Dia minat membaca pun buku yang ditulis oleh Naura sahaja. Arif Iskandar? Huh lambat lagi.

"Muda auuuuuu. Umur dia tak salah Aku sebaya ngan kau. Dia belajar kat luar negara amek kos perubatan tapi after tamat je belajar dia buat keputusan nak jadi penulis. So dari zaman dia belajar until now lah dia buat novel. Semua novel dia memang mantap." Mai tayang wajah blur. 

"Oh really? Tak pe teruskan minat anda. Saya nak solat sebentar. Walaupun Aku tak faham hoho." Berlari keluar Mai dari bilik tidur Naura. Takut juga Naura marah kerana dia tidak faham apa yang disampaikan oleh anak gadis itu.

MEJA makan telahpun dikemas oleh Adif, sampah pun sudah dibuang dan sudah gantikan dengan plastik sampah baharu. Ruang tamu yang bersepah juga sudah dibersikan. Inilah kehidupan seharian dia yang terpaksa tinggal bersama abangnya.

"Adif. Tolong Aku buatkan nescafe jap." Pinta seorang lelaki yang baru selesai menunaikan solat Marghrib.

Adif mengikut arahan si abang. Selesai dia menyiapkan air nescafe dia meminta diri untuk masuk ke dalam semula. Namun langkahnya terpaksa dihentikan gara-gara si abang memanggilnya semula.

"Apa?" Soal Adif. 

"Mama suruh call dia. Aku dah kata kalau nak duduk ngan Aku setiap minggu kena call mama. Susah kah?" Naik penat Adif hendak mendengar panggilan 'mama' itu. Kerana mama iaitu seorang mak yang lahirkan dia lah dia terpaksa duduk di rumah abangnya buat sementara.

"Kredit Aku habis." Balas Adif dengan nak tak nak.

"Pakai bil pun kredit habis eh." Lelaki itu menggeleng kepalanya sambil menghirup air buatan Adif.

"Biasalah! Adif kan." Sengih.

"Asal buku kau cepat sangat habis eh. Aku baru ingat nak baca buku yang edisi pertama tu tapi awal gila habis." Cerita Adif. Oh abang dia seorang penulis novel yang Naura minati. Arif Iskandar, lelaki yang mampu membuatkan Naura jadi gila dengan membaca novel lelaki itu sahaja.

"Bulan depan ada lah tu stoknya. Aku dah bagi kau buku tu kan. Kau jual ke?" Laju Adif menggeleng. Dia bukan jual cuma dia tidak ingat di mana dia meletakkan buku itu.

"Lupa letak kat mana? Hah gi amek kat atas meja Aku. Aku dah kata jangan makan banyak semut kau makan juga. Inilah puncanya. Pelupa." Adif kerut dahi. Sejak bila dia makan semut? Selama ni dia cuma makan nasi dan lauk sahaja. Dan kata-kata mamanya. 



kehidupan Naura Airina sentiasa penuh dengan buku-buku yang ditulis oleh Arif Iskandar. Bahkan dia telah menjadikan Arif Iskandar sebagai idolanya. Hinggalah dia bertemu dengan Nazrul Hadif, adik Arif Iskandar yang merupakan seorang pelajar yang bekerja di kedai buku Naura Airina. Tanpa Naura sedari, Nazrul menyimpan perasaan terhadapnya namun Nazrul tidak mampu ungkapkan kata cinta itu kerana hati Naura sudah mengukirkan nama abangnya, Arif Iskandar. 

Saat kali pertama, Nazrul membawa Naura ke rumahnya. Arif sudah mula mengimpikan untuk menjadikan Naura suri hatinya tetapi dia seorang lelaki yang tidak pandai meluahkan perasaan. Tanpa berfikir panjang dia mengambil keputusan untuk berdiam diri sampailah dia sedia untuk memberitahu perasaanya itu.

Jadi malam tu tak ada lah apa-apa pun yang berlaku cuma aku yang tak mampu tidur kerana adanya Alif di bilik itu.
Awal pagi sekitar empat setengah aku pun mengambil keputusan untuk mandi terlebih dahulu,baru keluar dari bilik itu.Setelah mandi, baru aku menggosok gigi.Sewaktu aku menggosok gigi tiba-tiba pintu tandas dibuka oleh Alif dengan badan bidangnya yang telanjang membuat aku sedikit malu dan canggung untuk berbicara.
"Alif apa yang kau lakukan disini"tanya aku. Muka aku mulai berpeluh untuk memikirkan jalan keluar."Tak mengapakan,lagipun aku tutup aurat bukannya tak pun"ucapnya lalu mengambil ubat gigi yang disebelah aku lalu menolak perlahan diri aku menunjukkan dia ingin menggosok gigi di situ.
Aku tak mengendahkannya dengan perasaan ingin menjauh aku pun tak lama di tandas itu,selesai sahaja menggosok gigi aku terus keluar dari situ.
Dengan badan terasa segar aku pun keluar menuju ke tempat pelamin itu kembali.Ia cantik...sangat cantik tiba-tiba aku dengar bunyi dengkuran yang kuat kedengarannya.Ia datang dari sudut bahagian tempat yang di khaskan untuk tetamu yang ingin mengambil gambar mereka disitu.
Perlahan menuju arah dengkuran itu dan ternyata ia adalah Bella dan kawannya yang bernama Miara,mereka tidur dengan nyenyak sekali agaknya pukul berapa mereka tidur semalam gumam aku.
Dewan ini luas membuatkan ia adalah sebuah mahligai yang indah.Saat aku ingin baring di bersebelahan Bella tiba-tiba saja di membuka mata lalu bangkit untuk melihat siapa yang disampingnya itu.
"Akak ipar rupanya"ucap dia setelah melihat dengan lebih teliti.Bella kenapa tidur di sini kenapa tak tidur di bilik hotel."Tak apa,lagipun kerja kami ada lagi yang tak beres"ucap dia sambil merenggangkan badannya lalu menggerakkan temannya yang tidur nyenyak disebelahnya.
"Hei Mia,jom"ucapnya setelah temannya bangun."Pi mana?"tanya temannya lalu mengambil telefon miliknya untuk melihat jam."Oh,jam 5 pagi"ucap temannya itu lalu dengan rupa orang baru bangun tidur mereka pun bersemangat untuk menyambung semula kerja mereka itu.
"Sudah tu,pi cuci muka dan gigi lepas tu nak sambung,sambunglah"arah aku lepas memberhentikan kerja mereka itu."Tapi..." melihat wajah merayu aku,terus mereka mengalah dan lalu ke tandas sesuai dengan arahan aku.
"Haih...kerja apa yang banyak sangat"gumam aku. Lalu melihat beberapa bunga telur yang siap disusun satu tempat.Sampah-sampah guntingan kertas semuanya terabur di situ.
Sekian lama juga aku tunggu tiba-tiba aku dikejutkan dengan sapaan dari Alif dari belakang.
"Buat apa?" tanya Alif sebaik sampai."Eh Alif, tak aku cuma lihat-lihat saja" ucap aku sambil menggaru kepala yang tidak gatal."Jom" ajaknya."O...oh haha jom"ucap aku terasa sedikit kekok bila bersama Alif.Dengan pantas aku pun berjalan mengikuti langkah dia.Dia ni kalau pergi kemana mesti ayat dia simple yang buat aku kekok tu.
"Fikir apa tu?"tanya dia sambil tersenyum lalu kembali ke wajah datar."Tak tak...tak fikir apa pun" aku masih wondering apa yang dia fikir tentang aku.Ya lah aku lihat baru-baru ni,baik saja dengan aku kerap pula dia senyum tiba-tiba.
Akhirnya aku dan dia sampai di sebuah gerai kecil yang masih dibuka pada waktu itu.Di gerai tu,jual makanan dan yah aku masih tak pasif dengan bahasa Indonesia maklumlah aku bukan berasal dari sini tapi kalau aku lihat Alif ni standart saja dia ni bicara bahasa Indonesia mungkinlah.....
Selesai saja kami beli makanan,terus menuju ke hotel tu semula kerana  waktu Subuh akan berkumandang.Baru sahaja melangkah masuk tiba-tiba saja Bella menjerit.
"Kak ipar!!"dia berlari ke arah aku dengan wajah kawatir."Kenapa??"tanya aku yang terkejut dengan sikap dia yang tiba-tiba menjerit lalu berlari ke arahnya.
"Kak ipar pergi mana sama abang tau tak kami puas mencari kak ipar sama abang" ucapnya dengan nafas terengah-engah. "Memangnya ada apa?"tanya Alif datar. "Haih abang ni pun satu,ni apa abang Reiz nak mula resepsi awal sebab hari ni mereka akan pulang ke kota AV" tegur Bella dengan riaksi marah.
"Kami...." belum habis lagi aku jelaskan kepada Bella,Bela terlebih dahulu menarik lengan aku untuk pergi bersiap kerana pengantin perempuan memang lambat untuk bersiap.Sebelum mula untuk bersiap aku telah meminta izin Bella untuk menunaikan solat dahulu baru mula nak make-up ka,nak buat perhiasan dikepala ka apapun aku mau solat dahulu.
Selesai solat,aku disuruh untuk mencuba baju kurung ala moden gitu untuk angkat nikah nanti bila nak nak resepsi nanti baru aku cuba pakaian yang dipilih oleh Alif sendiri.🙄
Selesai aku memakai pakaian itu,aku terus menuju ke bingkai cermin yang panjang sehingga boleh lihat diri sendiri dari atas hingga bawah.
"Ini aku"gumam aku.Melihat tekstur badan aku yang kurus serta rendah membuatkan aku rasa aku pergi ke tempat perkahwinan untuk jadi budak yang akan mengiringi pengantin baru tapi ini kan lain aku pula yang jadi pengantinnya dan yang akan jadi pengapit aku adalah adik dia sendiri iaitu Bella.
"Kak,dah sudah ka?"tanya dia dari balik pintu. "Dah..."ucap aku perlahan.Entah kenapa mood aku jadi murung sikit."Kak..."ucap nya setelah masuk."Ya"ucap aku sambil memandang Bella yang sedikit canggung."Uh,berdebar pula, kak Bella rasa happy kerana aku sudi terima Bella jadi pengapit akak" ucap nya yang sudah mula make-up muka aku nih.
Ia tak ambil masa lama pun hanya 15 minit sudah siap.Ia di akhiri keluh yang menggembirakan.
Riak wajah Rania be like:😏
Dan riak wajah Bella be like:🤩
"Yey,siap.."ucapnya yang memuji kejayaan dirinya."Can...tik"ucap aku walaupun bagi aku....aku tak tau apa yang istimewa dengan solekan yang dipanggil make-up ni.
(jangan terasa pula)
Lalu dia mengemas barangnya,sementara aku pula sibuk bermain baju yang aku kenakan. Dalam seumur hidup aku mana pernah aku memakai baju ala moden ala moden terkini tuh, hanya baju kurung pemberian arwah atuk aku ada lah,tu pun fesyen lama.
"Akak,sudah lah tu kalau suka nanti Bella belikan untuk akak"offer dia."Betul kah,terima kasih..."ucap aku sambil memandang wajah dia yang terlihat matang dari aku.Well aku bukannya tak matang cuma tak pernah kenal dunia luar itu saja.Aku hanya duduk lihat komputer lepas tu buat hal-hal yang perempuan selalu buat bila duduk dirumah seperti memasak,mengemas rumah dan mencuci pakaian.
Kerja tu datang dari komputer apapun aku belajar semua datang dari alat canggih ni nak beli buku rujukan memang tak lah.Sekali pa lihat terus dia bakar.
"Nih akak duduk dalam bilik dulu,Bella nak lihat dekat keadaan sana sekejap"ucap dia lalu keluar meninggalkan aku yang sedikit rasa lelah terasa kepala aku mulai berat, tapi aku cuma bertahan sehingga semua ini selesai.
Sewaktu Bella kembali dia hanya melihat aku tertunduk kepala namun dia hanya menganggap aku ni cuma resah dan takut. Agak dah nih...ni mesti baca novel cinta ni tu pasal pikir-pikir macam tu.
"Akak jangan takut,sekejap saja ni"ucap dia yang cuba untuk menenangkan aku."Dah lah jom turun mereka sudah tunggu tu"ucap dia. Entah kenapa aku hanya memegang tangannya sambil-sambil tu tangan sebelah lagi memegang apa sahaja yang aku dapat capai untuk menunjukkan keadaan aku ok ok saja.
Pengantin perempuan sudah tiba...
ucap semua yang melihat aku dan Bella menuruni tangga yang kini semakin hampir dengan mereka.
Kali ni tahap sakit kepala aku, masih stabil dan mampu aku bertahan cuma kena banyakkan rehat dari bergerak atau nanti ia akan semakin kampuh atau teruk.😞
Semua ada disitu termasuk Alif.Mereka semua melihat aku sehingga aku duduk lalu mata mereka termasuk kamera pun tertuju pada Alif.
Alif...dia hanya tenang riak wajah datarnya itu tak hilang pun sehingga habis ucapan kalimatnya itu.
Akhirnya aku telah sah menjadi isterinya. Lalu semua membacakan doa.Setelah itu, aku pun mula diserang sakit kepala yang teramat namun dengan sepenuh kekuatan yang ada aku pun bertahan.
"Rania"panggil seseorang,dan suaranya sangat aku kenal.Ternyata Alif,entah sejak bila dia berada di situ.Lalu dia menghulurkan tangannya.Tiba-tiba Ummi yang berada di sisi aku bersuara"Cium tangan Alif tu"arah Ummi. Mendengar Ummi ucap begitu dengan lemah aku pun memegang tangannya dan mencium.
Lama juga sebab ibu suruh lama-lama sikit. Tak lama itu aku pun lepas lalu dengan pemandangan mata aku setengah kabur aku pun memberikan senyuman kepada Ummi.
Kini tiba pula Alif untuk mencium dahi aku, lama-lama sikit lalu dilepaskan dengan lembut.
Dan semua itu berakhir dengan mencium Ummi.Dan aku dengan kepala berat aku pun bergerak perlahan tapi pantas.Menuju ke bilik aku dah mula duduk di atas katil dengan suasana yang sangat sunyi.

Aciel adalah remaja yang berumur 22 tahun dan datang ke kota dua tahun lalu. Setelah kematian orang tuanya yang merupakan satu-satunya keluarga. Ia memutuskan untuk ke kota dan mengubah arah hidupnya.
Namun pada akhirnya setelah dua tahun yang berlalu,Aciel menjadi penganggur.

Pada malam tahun baru,pada saat Aciel berjalan diluar jauh dari kesibukan tahun baru. Namun tibanya Aciel ditaman yang berdekatan apartmen,dirinya melihat sebuah kenderaan berkelajuan tinggi mendekatinya dengan sangat laju pada saat ia melintas jalan.

Namun terkejut mendapati ia berada dihospital dan sedang dirawat.

Nantikan kemunculan......

Asi susah merasa sangat malu  dan sangat terganggu kali ini karena banyak orang yang yang membicarakannya disebabkan oleh kakak kelas yang selalu mengikuti nya semenjak tadi. Tentunya tidak ada laki-laki lain yang ingin mendekati cewek culun sepertinya kalau bukan Bilal yang merupakan pangeran sekolah entah tiba-tiba membuntuti nya terus dari tadi. Bukan hanya itu Bilal juga selalu melakukan kegiatan apa yang sedang Asi lakukan dengan duduk di samping wanita yang sudah di klaimnya menjadi calon istrinya itu.

"Baiklah aku rasa cukup bisakah sekarang kakak jangan mengikuti ku lagi." ucap Asi dengan kesal tapi tetap menganti panggil laki disampaikannya itu dengan sebutan kakak, berharap laki-laki aneh di sampingnya itu mengerti.

"Aku suka panggilan baru mu untuk ku.... aku hanya ingin menjaga mu saja." ucap Bilal.

Sungguh Asi sangat merasa kesal bahkan dirinya bukan lagi seorang bocah yang selalu di ikuti kemanapun berjalan karena takut akan terjatuh, lagi pula Asi bisa menjaga dirinya dengan baik sehingga laki-laki itu tidak perlu repot-repot untuk menjaganya.

"Aku bisa menjaga diri ku sendiri, kakak bisa pergi dan kemabalikan kaca mata ku." ucap Asi dengan kesal.

"Kamu tamapak sangat cantik tampa mengunakan kaca mata, maka jangan pakai kacamata bulat ini lagi aku akan menyimpan nya ." ucap Bilal dengan lancang.

"Itu adalah pemberian dari ayah ku sini kembalikan." ucap Asi yang masih berusaha bersabar.

"Baiklah kau cukup memberikan aku satu kecupan di sini maka aku akan mengembalikan kaca mata mu." ucap Bilal.

Asih sudah sangat emosi saat ini bagaimana bisa lagi-lagi gila itu meminta nya untuk memberikan sebuah kecupan di pipi laki-laki gila itu bahkan mereka tidak saling mengenal maksudnya Asi yang tidak kenal dengan laki-laki gila itu mereka hanya kebelulan pernah satu bisa saja lomba O2SN lalu.

"Aku sudah cukup sabar kali ini, baikan jika kau mau kaca mata itu ambil saja aku akan meminta lagi nanti pada Ayah atau pada Alif." ucap Asi dengan kesal dan ingin meninggalkan tempat itu.

"Mau kemana?" tanya Bilal sambil memegang sebeleh tangan Asi sehingga perempuan itu tidak dapat pergi.

"Bukan urusan mu lepas." ucap Asi yang menepis tangan Bilal.

Dengan cepat Bilal yang sedikit terpancing lengsung memeluk erat tubuh Asi dan mengecup pipi gadisnya itu, setelah itu langsung memasangkan kacamata bulat Asi agar gadisnya itu tidak perlu meminta kaca mata lagi pada calon Ayahnya dan ataupun laki-laki bernama Alif itu karena Bilal sedikit tidak suka.

"Lain kali mintalah kepada ku saja. Apa saja yang aku butuhkan jangan pada laki-laki lain." ucap Bilal setelah mencuri ciuman pada pipi Asi.

Asih terlihat sangat marah karena Bilal menciumnya, bahkan Asi langsung meminjam buku yang sedang di bacanya tadi lalu segera meninggalkan perpustakaan.

"Loh kok pergi sih, tumben?" ucap Cerri saat asi sedang memasang sepatutnya yang memang sebelumnya harus dilepas saat ingin memasuki ruangan perpustakaan.

"Mood aku lagi jelek hari ini...., aku duluan ya." ucap Asi yang berpamitan.

"Iya duluan aja nanti aku nyusul lima menit lagi." ucap Cerri.

Asi langsung pergi tanpa menoleh lagi karena dia sudah tau pasti laki-laki gila itu akan mengikuti nya, mungkin setelah sampai dalam kelasnya nanti laki-laki itu akan berhenti mengikuti nya karena pasti dia akan malu pada teman sekelas nya ataupun teman sekelas Asi.

"Akhirnya aku bisa sedikit tenang." ucap Asi yang langsung melanjutkan membaca buku novel yang tadi di pinjaman nya.

Karena novel itu menceritakan tentang kisah yang sangat sedih dimana tokoh utama selalu tidak mengalami kekerasan emosi dan tekanan batin karena terlalu mencintai suami nya yang telah di panggil tuhan.

"Hiks..hiks..hiks.. ya Allah... sedih banget cerita nya.." ucap Asi dan saat ini mengelap air matanya tiba-tiba ada seseorang laki-laki dari samping nya telah menyodorkan sebuah sapu tangan.

"Aku hampir tidak bisa percaya bahkan sebuah novel bisa membuat mu bersedih, lain kali akan ku buang semua novel yang ada di perpustakaan sekolah jika ada hal ini yang membuatmu hanya akan membuat mu bersedih." ucap Bilal.

Walaupun laki-laki itu terus mengoceh dan tidak Asi sukai ucapannya tapi Asi tetap menerima saputangan itu dan digunakan nya untuk mengelap air mata dan juga air hidupnya. Lagi pula laki-laki itu sangatlah aneh bagaimana bisa berkeinginan untuk membuang semua novel sedikih yang ada di sekolah ini, ini kan bukan sekolah miliknya.

Akhirnya Asi dapat mengingat bahwa laki-laki di samping nya itu bernama Bilal, dia pernah memperkenalkan namanya waktu itu tapi Asi baru ingat sekarang. Memang Asi jarang mengingat hal-hal yang menurut nya tidak penting, tapi kali ini karena pria dihadapannya itu menyebalkan Asi terpaksa harus ingat nama laki-laki itu dalam kepalanya.

"Tentu saja bisa ceritanya sangat menyedihkan, kamu gak perlu berlebihan semua novel kan memang wajar jika miliki kisah yang sedih. Oh iya saputangan mu jadi kotor, nanti akan ku kembalikan setelah selesai ku cuci." ucap Asi.

"Baiklah. Jangan melakukan lagi kisah sedih itu..... kamu membuat air mata mu." ucap Bilal sambil terus memberhentikan wajah cantik Asi yang masih saja terlihat sangat cantik meskipun hidupnya sedikit memerah karena menengis dan matanya agak sedikit sembab tapi menurut Bilal wanita itu terlihat sangat mengesankan.

Sekarang memang sedang ada jam kosong karena para guru sedang rapat makannya Bilal dapat sesuka hati mengunjungi kelas Asi. Para teman sekelas Asi sudah banyak menggosipkan mereka sejak tadi ada yang iri, kagum dan bahkan ada pula yang menatap Asi dengan pandangan samangat membenci.

Semuanya itu disebabkan oleh pangeran sekolah yang lebih memperhatikannya secara khusus bahkan Bilal yang terkesan ramah pada semua orang kini menjadi sedikit cuek pada lawan jenisnya semenjak mengenal Asi. Buka karena Asi yang membuatnya berubah tapi Bilal sendiri lah yang ingin berubah demi mendapatkan perhatian kecil dari gadis yang sudah di klaim nya itu sebagai calon Istrinya.

"Gue gak pernah nyangka ternyata Asi si culun dan cupu itu telah berhasil membuat Kak Bilal membuntuti nya dari tadi." ucap Diva dengan heboh. 

Karena memang Diva adalah ratu gosip di kelas mereka yang kebetulan sedang berkumpul di belakang kelas dan dapat didengar oleh Bilal dan Asi dengan sanagat kelas.

"Pakai dukun apa tu cupu sampai bisa membuat kak Bilal tergila-gula pada nya bahkan dia sekelompok dengan cowok aja di kelas biasanya langsung kayak alergi gitu alias gak mau Deket." ucap Sifa yang merupakan teman rumpi Diva.

Billal yang mendengar hal itu langsung saja marah dan memperhatikan dua warna yang sedang asik membicarakan tentang hal tidak benar tentang Asi. Bahkan Bilal sudah memperhatikan nya lewat jendela yang sedikit terbuka lalu berbicara.

"Berhentilah menggosip dan memfitnah calon istri ku, kalian tidak berhak menilai buruk seseorang kalian bahkan lebih butuh dari fitnah yang telah kalian ucapkan itu." ucap Bilal dengan sedikit emosi.

Lain dengan Bilal yang emosi Asi malah bersikap cuek dan masah bodoh, baginya hal itu sudah biasa dilakukan oleh dua teman sekelas itu dan Asi lebih baik membaca novel sedih Sabil mengis dari pada harus memikirkan tentang pendapat kedua wanita biang gosip itu.



Seorang pria tampan dan tinggi memiliki kepribadian yang ramah dan mudah bergaul dan juga terkenal sangat Hyper aktif dalam melakukan segala kegiatannya dan memiliki banyak pengemar khusus nya kau hawa yang sangat menyukai wajah tampan dan sikap hangatnya . Pria Tampa ini bernama Bilal Abdullah (22 tahun).

Seorang wanita cantik yang tidak suka tempat keramaian dan tidak menyukai mahluk tuhan berjenis laki-laki seculi kelurganya karna suatu trauma yang pernah di alaminya membutkan nya semangkin tertutup, tidak memiliki banyak teman apalagi pengemar dan terkenal dengan sifat introvert dan pendiam. menyukai permainan catur. Waniata cantik ini bernama Asiah Putri (20 tahun)

Tampa sengaja Bilal terpaksa harus duduk disampingnya seorang wanita yang terlihat sangat culun dan sangat pendiam, mereka akan melawan lomba O2SN tingkat SMA dan semua atlit olehraga memasuki mobil bis yang telah disediakan. 
Bagaimana kelanjutan mereka selanjutnya. Ayo ikut terus kisah mereka.

Peringatan terdapat beberapa adegan 21+ mohon bijak dalam membaca.

Menikahlah Denganku 444
CEO Galeri RS
Suasana di hotel bintang lima tempat Ernest mengadakan acara ulang tahun semakin ramai karena semakin banyak tamu yang datang. Di atas panggung, seorang penyanyi life music sedang menyenandungkan lagu cinta.
Bima dan Seruni masih berdiri di depan Ernest dan kekasihnya setelah mengucapkan selamat pada rekan bisnisnya. Bima tengah mengerutkan dahinya saat mendengar pertanyaan pertanyaan Ernest yang menanyakan apakah dia berselingkuh.
Seruni hanya diam sambil menahan senyum menatap Bima yang masih tampak bingung. Sementara Ernest masih sibuk dengan pemikirannya. Setahunya Bima adalah tipe suami setia, bagaimana mungkin Bima berselingkuh dengan asistennya dan bahkan sudah menikahinya sedang pernikahannya dengan putri salah satu konglomerat yang sangat terkenal baru berjalan beberapa bulan.
"Berselingkuh?" tanya Bima heran, bagaimana bisa Ernest mengiranya berselingkuh.
"Bukankah istri kamu putri dari Tuan Rama Hadinata?" Ernest menatap Bima, meminta penjelasan. 
Mata Ernest melirik ke arah Seruni dan melihat senyum di wajah perempuan itu yang membuatnya terlihat makin cantik. Pantas saja Bima menikahinya, perempuan yang juga mantan asisten Bima itu memang sangat cantik.
Bima malah tertawa saat menyadari apa yang dimaksud Ernest dengan selingkuh.  Pasti Ernest mengira istri dan mantan asistennya orang yang berbeda.
"Memangnya tampangku seperti tampang orang yang berselingkuh?" Bima terkekeh membuat beberapa orang menatap ke arahnya karena peristiwa seperti ini memang sesuatu yang langka.
"Lalu mengapa kamu malah mengajak mantan asisten kamu dan bukan istri kamu?"
Bima baru saja hendak membalas ucapan Ernest saat seorang tamu berjalan di antara tamu yang lain dan mendekati mereka.
"Selamat ulang tahun, Nest. Aku tidak sabar melihat kamu segera menikah, kasihan anak orang kamu gantungin terus," laki-laki yang sebagian rambutnya mulai memutih itu menyalami Ernest sambil tersenyum lebar.
"Terima kasih, Tuan," jawab Ernest yang malah tampak syok melihat kehadiran pria itu.
Ernest segera mengalihkan tatapannya pada Bima dan Seruni yang tetap tampak tenang dan tersenyum lebar pada laki-laki itu.
Sialan! Ernest mengumpat dalam hati saat melihat perempuan yang bersama Bima malah mendekat pada laki-laki itu dan mencium tangannya.
"Kamu sudah lama di sini, Sayang?" tanya laki-laki yang ternyata adalah Rama, dia segera membelai kepala Seruni, "Sudah lama kalian tidak ke rumah, mama kamu sudah merindukan kalian."
Ernest membelalakkan matanya melihat pemandangan di depannya. Jangan bilang kalau asisten Bima adalah putri Rama apalagi dia pernah dengar kalau asisten Bima tinggal di panti asuhan.
Bima memeluk Rama dan membiarkan laki-laki itu menepuk punggungnya.
"InsyaAllah akhir pekan, Pa. Semoga Seruni juga sudah berkurang kesibukannya," Bima tersenyum. 
Seruni juga tersenyum pada ayahnya dia juga menyampaikan beberapa alasan kenapa dua minggu ini mereka tidak mengunjungi Rama dan Sheila. Ernest masih mengamati ketiga orang itu juga orang-orang yang berada di sekeliling mereka.
"Ah, kamu pasti belum mengenalnya, Nest. Ini anak kandungku Seruni, dia istri Bima, aku yakin kamu sudah tahu itu," Rama tersenyum pada Ernest yang tampak pucat.
"Iya, Tuan. Mereka sungguh serasi," Ernest merasa lega meski sudah menduganya, nyatanya dia masih saja cukup terkejut  mengetahui asisten Bima adalah putri Rama.
"Maaf, aku tidak bisa berlama-lama di sini karena sebentar lagi aku harus berangkat ke Jepang untuk menemui seorang rekanan di sana," Rama kembali tersenyum lebar.
"Terima kasih, Tuan. Suatu kehormatan anda bersedia hadir di pesta saya, Tuan Rama. Save flight," Ernest menajabat tangan Rama erat sebelum laki-laki itu beranjak pergi dari hadapannya.
Rama memeluk Seruni dan Bima bergantian 
"Hati-hati, Pa," bisik Seruni saat mereka berpelukan.
"Iya, sayang," Bima kembali membelai kepala Seruni lembut.
"Jaga anak dan cucu Papa, Bima.  Aku dan mamanya Seruni hanya bisa mendoakan," Rama menatap Bima sembari menepuk bahu menantu tercintanya.
"Siap, Pa. Aku akan melakukan yang terbaik untuk istri dan anakku," kata memeluk  pinggang Seruni membuat Seruni jengah karena banyak orang yang memperhatikan mereka.
"Kalau begitu papa pergi sekarang," Rama tersenyum lebar pada kedua orang itu kemudian dia segera melangkah keluar dari dalam ballroom.
Para tamu yang tadinya memandang rendah Seruni kini mulai menghormatinya setelah tahu kalau Seruni adalah anak Rama.
"Jadi kamu CEO Galeri RS?" tanya Ernest tak percaya.
Seruni hanya mengangguk.
"Wow, ternyata kamu luar biasa! Aku sudah sering mendengar namamu tapi baru sekali ini bertemu langsung dengan orangnya!" suara Ernest yang cukup keras membuat orang berpaling pada mereka.
CEO galeri RS? Mereka sungguh tak menduga, perempuan yang tampak lembut di samping Bima itu ternyata CEO Galeri RS yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan di dunia bisnis.
Gadis itu masih tampak muda dan yang tak mereka duga adalah ternyata sang CEO adalah istri dari Bimantara Fabian, salah satu direkur Bimantara Corp yang cukup terkenal karena kemampuannya yang bisa mengimbangi kemampuan ayahnya.
Mereka yang tadi memandang rendah gadis itu tak bisa lagi memandang rendah padanya! Para gadis yang tadi merasa iri dengan keberadaan Seruni di samping Bima menjadi semakin iri melihat keberuntungan dan kemampuan gadis itu.
Salah satu tamu yang tahu Seruni adalah asisten Bima masih merasa tak percaya dengan kenyataan itu. Dia masih tak percaya mendengar Bima menikahi asistennya itu. Bagaimana Seruni bisa begitu beruntung?  
Bima dan Seruni kemudian meninggalkan Ernest dan menuju ke kursi yang masih kosong. Seruni tersenyum  pada dua orang yang sudah duduk melingkari meja itu dan mereka segera menyapa  suami istri itu dengan ramah.
"Pak Bima, perkenalkan saya Alif Rajasa, dari Rajasa Grup," laki-laki itu memperkenalkan diri kepada Bima dan Seruni.
"Saya Davina, istri Alif Rajasa," Perempuan di sebelah Alif Rajasa juga tersenyum.
Bima menerima uluran tangan Alif dan harga  menatap Davina sekilas tanpa ekspresi, sementara Seruni  tersenyum sambil memperkenalkan diri pada keduanya. 
Setelah berbasa-basi Alif kemudian menyatakan keinginannya untuk bekerjasama dengan Bimantara  Corp yang dipimpin oleh ayah Bima. Bima menyarankan agar mereka  mengajukan proposal kerjasama mereka.
Alif dan Davina terlihat sangat berkesan pada Bima dan Seruni. Meski terlihat sangat dingin tetapi Bima cukup berkesan saat berbincang tentang masalah bisnis.
Mereka juga mengagumi Seruni yang cantik dan ramah. Bukan saja karena dia berhasil merebut hati Bima dan anak dari Rama Hadinata tapi juga karena  dia adalah CEO galeri RS. 
"Nona Seruni, Lama tak jumpa, apa kabar?" suara seorang laki-laki terdengar tak jauh dari mereka.
Keempat orang itu segera menatap laki-laki yang sedang berjalan ke arah mereka sambil menebar senyumnya yang mempesona. Ketiga orang yang duduk bersama dalam satu meja itu tersenyum ke arah laki-laki tampan itu, hanya Bima yang menatap laki-laki itu dengan tatapan membunuh.
*** 
Ini bab kedua hari ini, semoga kalian suka.
Jangan lupa vote dan komen kalian untuk novel ini ya.
Love you

Bian menikahi Mutiara  karena ingin membuat cemburu mantannya dan membuat mantannya kembali lagi dengannya. Ia menikahi gadis itu untuk membantunya dan menjaganya, suatu saat Ia akan melepasnya pada orang yang dicintainya. 

Mutiara atau Mumut menikahi Bian karena Ia membutuhkan bantuannya membayar biaya rumah sakit ibunya, melunasi hutang-hutangnya di perusahaan dan biaya kuliahnya. 

Akankah  pernikahan akan menyatukan mereka, ataukah mereka akhirnya berpisah dan memilih untuk  menikah dengan orang-orang yang mereka cintai seperti harapan Bian? Dia dengan mantannya dan Mumut dengan orang yang dipujanya???

Follow me on FB : https://www.facebook.com/alanylove.alanylove
IG : @alany828

In this delightful, techno-fantastical novel, Alif is a hacker in an unnamed country in the Middle East, fighting authoritarian government censorship and trying to get the girl. Then, enter the jinn. Also worth mentioning: G. Willow Wilson is also the writer behind the new Ms. Marvel comic, which stars 16-year-old Pakistani-American shapeshifter Kamala Khan, the first Muslim character to headline a Marvel comic book.

Di luar gerbang kampus, aku meminta Nando menurunkanku. Ia bertanya kenapa, tapi aku hanya membalasnya dengan berkata kalau aku tidak mau merepotkannya. Dan itu memang benar, aku tidak mau mempunyai hutang budi padanya. Terlebih aku baru mengenal Nando kemarin.

Aku berjalan sendirian di halaman kampus. Melihat beberapa mahasiswa ataupun mahasiswi lain yang tengah duduk berkelompok membahas sesuatu tampak asik dan heboh. Aku belum punya teman atau kenalan selain Nando, membuatku hanya bisa sendirian

Setelah aku memilih berjalan sendiri, aku tidak melihat Nando. Ia pergi entah kemana setelah aku menemaninya membeli novel, bukannya buku pelajaran. Aku sedikit aneh, biasanya perempuan yang hobi membeli novel, tapi ternyata dari yang Nando katakan, ia punya koleksi novel yang cukup banyak di rumahnya.

Pukul sepuluh kurang lima belas, aku sudah sampai di kelas. Sudah ada beberapa mahasiswa lainnya yang duduk sambil mengobrol. Aku duduk di barisan paling belakang, menyumbat telingaku dengan earphone lalu membuka buku.

Entah berapa lama aku membaca, tapi rasanya sudah lama. Namun, hal yang membuatku mengernyit adalah dosen yang belum juga hadir. Aku menutup buku setelah lebih dulu menandai halaman terakhir yang aku baca lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling.

"Hei! Hei! Pak Alif nggak akan masuk katanya!" Tiba-tiba seorang laki-laki berkaos biru berseru sambil memegangi ponselnya.

"Nggak usah bohong lo. Katanya Pak Alif—" ucapan seorang perempuan yang duduk di ujung terpotong oleh seruan lain.

"Bener! Pak Alif nge-WA, katanya sakit perut."

"Ada tugas nggak?"

"Nggak ada. Cuma suruh buat baca-baca buku aja."

Sontak saja itu membuat seisi kelas bersorak senang. Bahkan ada yang merayakannya dengan berjoged di depan kelas. Satu persatu orang-orang keluar dari kelas menyisakan aku sendirian. Aku menghela napas dan bangkit berjalan ke luar kelas.

---

Di taman, aku duduk di bangku panjang sambil meneruskan bacaanku, tentu saja dengan earphone yang mengantung di kedua telingaku. Angin sepoi-sepoi menerpa rambutku yang terikat tinggi. Suara daun dan ranting seakan berpadu menjadi suara alam yang masih dapat aku dengar meski telingaku tersumbat earphone.

"Permisi, boleh saya duduk di sini?"

"Boleh," jawabku singkat tanpa menoleh dan terus fokus membaca.

Terdengar deritan dan kursi panjang yang berat tanda seseorang duduk tidak jauh dariku. Tidak ada kata bahkan percakapan yang terjadi. Aku sibuk dengan buku dan entahlah dengan apa yang dilakukan orang di sampingku, tapi aku merasa tidak nyaman, seolah ada yang memperhatikanku.

Risih, aku menurunkan buku lalu mengedarkan pandangan untuk melihat. Namun saat aku menoleh ke samping, tubuhku menegang mengetahui siapa yang sedari tadi bicara.

"Hai, ketemu lagi," sapanya tersenyum lebar. Laki-laki berkulit sawo matang dengan bola mata coklat terang. Senyumnya terlihat familiar "Kamu yang tadi di toko buku kan?"

Aku tersenyum kaku. "Iya. Kamu juga tadi yang di toko buku. Kuliah di sini juga?"

Laki-laki itu mengangguk seraya bertanya, "Nama kamu siapa?"

"Nova."

"Nova aja?"

Aku melepas earphone sambil menutup buku saat menatap ke arahnya. "Aurum Gauri."

Sebelah alisnya terangkat tinggi membuatku tersenyum kecil. "Emas. Iya tau. Nama kamu siapa?

Laki-laki itu mengulas senyum. "Agmar."

Sebelas alisku terangkat tinggi. "Agmar aja?" Tanyaku mengikuti nada bicaranya tadi.

Tawanya terdengar mengalun, tak tersindir dan malah sepertinya terhibur. "Oke-oke, nama aku Agmar Asegaf. Kamu bisa manggil aku Agmar."

Dari gaya bicaranya sepertinya Agmar bukan dari orang Bandung. Aku lalu memberanikan diri untuk bertanya. "Kamu bukan dari orang Bandung ya?"

Agmar menganggukan pelan, menatapnya dari dekat membuatku dapat melihat jelas tulang pipi yang agak menonjol dan matanya yang dalam. "Iya, aku bukan dari orang Sunda. Aku asli Jawa Tengah."

Kedua alisku terangkat terkejut. "Anak rantau?"

"Iya, aku ngekos disini. Udah dari umur tujuh belas aku di Bandung," paparnya membuatku mengangguk, paham. Kalau semisal umurnya dua puluh lebih, ambil kata 23 pastinya ia mahir berbahasa sunda, meskipun medok Jawanya masih samar terdengar.

"Kenapa kamu ke sini? Pindah ke Bandung? Sendirian aja? Nggak takut apa?" Tanyaku bertubi-tubi.

Ia menggeleng. "Awalnya aku ke Bandung sama Pale, tapi Pale udah meninggal tiga taun yang lalu. Jadinya aku sekarang sendiri. Single."

"Tapi kamu pulang ke Jawa kan?"

"Pulang. Dulu waktu masih SMA sering pulang dua bulan sekali, tapi sekarang cuma setahun sekali."

"Loh kok gitu? Nggak kasian sama orangtua?" Tanyaku penasaran.

"Kasian, tapi aku juga harus sukses dulu di sini, baru pulang bawa uang buat ibu sama bapak di kampung."

Aku ber-oh ria sambil mengangguk-ngangguk kecil mendengar menuturannya.

"Kamu juga anak rantau?" Tanya Agmar membuatku menoleh.

Aku terdiam sejenak sedikit bingung untuk menjawab. "Sebenernya aku lahir di Bandung, Mama aku orang Sunda, tapi dari kecil aku di Jakarta."

"Jadi kamu nggak bisa bahasa Sunda?"

"Bisa, tapi udah kebiasaan begini," ucapku. "Abisnya lama di Jakarta."

Bibir Agmar terbuka hendak bicara, tapi seseorang mendahuluinya hingga ia terdiam.

"Kalo kalian niat buat pacaran, silakan cari tempat lain," ucap seorang laki-laki berkemeja biru tua. Matanya menatap tajam ke arahku.

Agmar bangkit dan berdiri. "Maaf Pak, kami nggak pacaran. Cuma sekedar ngobrol. Apa itu salah? Bukannya bapak yang pacaran dengan salah satu dosen di sini?"

Aku mengerutkan kening sambil mengangkat kedua bahuku melihat dua orang laki-laki yang saling bertatapan tajam mengguarkan aura permusuhan.

"Kamu Agmar Asegaf?" Tanya dosen itu.

"Iya, ada yang salah Pak?"

Merasa ketegangan semakin kental terasa, aku menarik lengan Agmar dan mengajaknya pergi. "Agmar, kita pergi aja ya?" Agmar menoleh padaku menatapku lama. Namun aku lalu menoleh pada dosen itu yang tampak semakin kesal entah kenapa. "Maaf, Pak. Kami emang nggak pacaran. Kami cuma sekedar ngobrol, tapi kalau kehadiran kami disini menganggu bapak. Saya minta maaf." 

Tanpa menunggu jawaban dari dosen itu, aku menarik tangan Agmar pergi menjauh.

---

Aku melepaskan tangan Agmar. Kami duduk di bawah pohon rindang yang cukup jauh dari bangku tempat kamu duduk tadi. Tenang, tempatnya ramai.

"Maaf Nova, gara-gara aku, kita ditegur Pak Ares," sesal Agmar.

"Nggak papa. Lagian dia nggak tau yang sebenernya. Dosen kok kelakuannya kayak abg cemburuan yang pacarnya direbut orang," dengusku kesal. "Maen labrak kayak cewek labil alay."

Agmar tertawa. Namun ia lalu bangkit membuatku mendongak. "Maaf Nova, aku duluan. Aku ada kelas. Maaf ya? Nanti kita ngobrol lagi."

Aku mengangguk pelan. Tatapanku terus memperhatikan punggung laki-laki yang baru aku sadari tinggi itu. Rambutnya terpotong rapi dan juga memakai pakaian kemeja panjang yang dikancingkan di bagian pergelangan tangan. Aku mengalihkan pandangan darinya seraya menghela napas.

"Lo Nova Aurum?" Seseorang datang berdiri di depanku.

Keningku berlipat dalam melihat orang asing di depanku. "Iya? Ada apa?"

Perempuan berkaca mata tebal itu mengusap pipinya. "Lo di panggil Pak Ares ke ruangannya,"

"Pak Ares?" Gumamku bingung. Aku tertunduk lalu mendongak melihat perempuan asing tadi berjalan menjauh. "Hei tunggu!!"

Langkah perempuan itu terhenti. Ia berbalik sambil membenarkan kacamata yang sedikit turun dari pangkal hidungnya. "Ya?"

"Bisa lo anter gue ke ruangan Pak Ares? Gue nggak tau."

Ia mengangguk, lalu aku bangkit berjalan mengekori perempuan berkepang satu itu.

---

"Nama lo siapa? Kenapa lo bisa dipanggil Pak Ares?"

"Hah? Oh, nama gue Nova Aurum Gauri. Gue juga nggak tau kenapa gue di panggil," balasku sambil menatap lurus ke depan. Kami berjalan berdampingan di lorong kampus.

"Aurum," gumamnya. "Nama lo unik. Nama gue Yofa Sintia Iren. Temen-temen manggil gue Ire,"

Aku mengangguk kecil.

"Lo jurusan apa? Gue matematika,"

Aku menjawab, "Gue jurusan psikolog,"

"Wih, berarti lo bisa baca pikiran orang dong?" Tanyanya antusias.

Senyumku kaku, selalu pertanyaan itu yang aku dengar jika menyebutkan jurusan kuliahku. Hei ayolah, kami mahasiswa psikolog bukan paranormal. "Nggak, gue nggak bisa,"

"Kalo bisa pasti seru," gumamnya. "Lo mau nggak temenan sama gue?"

Aku menoleh menatapnya bingung. "Kenapa lo minta gue jadi temen lo?"

Kedua bahunya terangkat. "Nggak tau. Gue ngerasa lo baik. Boleh kan gue temenan sama lo? Eh tadi gue liat lo sama si Agmar. Kalian pacaran?"

"Nggak," balasku santai. "Cuma ngobrol doang."

"Tapi kenapa Pak Ares negor kalian? Kenapa sih?" Tanya Ire penasaran.

Kedua bahuku terangkat acuh. "Gue juga nggak tau. Katanya kalo mau pacaran di tempat lain, kampus bukan tempat pacaran,"

Ire mendengus membuatku menoleh. "Sirik aja tuh dosen. Bilangnya kampus bukan tempat pacaran, tapi kenyataannya dia pacaran sama Bu Vita,"

"Bu Vita itu siapa?"

"Guru sastra Inggris. Cantik sih, bodynya kayak model, tapi sayang kelakuannya kayak model majalah dewas. Murahan," cibir Ire. Tampak sangat jelas kalau Ire tidak menyukai dosen bernama Bu Vita itu.

Aku terkekeh melihat muka kesal Ire. Ia menyipitkan matanya seraya mengertakan gigi. "Kayaknya lo benci banget ya sama Bu Vita?"

"Banget, nanti gue ceritain. Boleh minta nomor lo?" Tanya Ire.

"Boleh," aku mengangguk sambil meraih ponsel merah milik Ire dan mengetikkan nomor ponselku. "Nih, udah,"

"Oke, thank's. Gue duluan ya? Take care ngadepin Pak Ares," ucap Ire membuatku sadar kalau kami sudah berada tepat di depan sebuah ruangan.

"Gue duluan. Bye, Va." Ire melambaikan tangannya seraya berlalu menebar senyum.

Aku mengangguk kecil pada Ire. Pandanganku terangkat menatap pintu di depanku. Aku menghela napas panjang. Entah apa yang ingin dosen itu lakukan padaku. Tidak ada angin tidak hujan, tiba-tiba memanggilku. Gila apa?

Namaku Nova Aurum Gauri. Hanya seorang gadis berusia 21 tahun biasa. Pindah dari Jakarta ke Bandung, karena Mama mendapat pekerjaan di kota berjuluk kota kembang itu, setelah Papa meninggalkan kami dan pergi ke tempat yang jauh lebih indah daripada bumi. 

Di Bandung, banyak hal yang terjadi. Baik, buruk semua aku rasakan. Mulai dari dosen yang merangkap pemilik kampus sampai Mama yang punya pacar seusiaku. 

Kupikir dunia tidak adil padaku, apalagi ketika satu-satunya laki-laki yang paling aku sayangi dalam hidupku ikut pergi. Perjodohan yang berakhir penghinatan. 

Ah.. hidup itu rumit. Ketika mimpi yang hampir lupakan datang dan menghampiri disaat aku putus asa. Aku ragu untuk meraih mimpi itu. Aku takut.

alif novel novel

Alif

Are You Islam?

Alifah, Kaulah yang Kumau

Tangisan Rindu

Love Blue Flowers

She Aciel

Introvert Wife and Hyper Husband

Menikahlah denganku

Shakeel Bugti

True Dream

People search alif novel also like: