webnovel

A Little Surprise in The Club

Jet pribadi. Jet pribadi. Aku terus mengulang kata-kata itu bak mantra. Jet pribadi. Ya Jet pribadi milik Kevin. Berapa banyak kekayaan yang dimiliki pengusaha tampan ini? Ia memiliki Jet pribadi, yang benar saja! Aku benar-benar menjadi istri seorang milliyader. Baru sekarang aku menyadari itu.

Sejak aku melihat Jet super mewah sialan itu, aku tidak bisa berhenti merutuki Jet itu. Jet milik Kevin hanya ada dua di dunia! Aku pernah membaca artikel mengenai Jet itu. Yang satu dimiliki Kevin dan yang satu lagi dimiliki oleh aktor hollywood terkaya.

Berhenti merutuki benda mati itu Luna! Tidak ada gunanya! Pekikku pada diri sendiri. Jet itu sudah tidak ada di hadapanmu, kau sekarang di hotel!

"Aku harus pergi menemui kolega bisnisku. Kau tunggu di sini. Jangan sesekali keluar dari kamar hotel. Kau mengerti?"

Kevin berbicara sambil mengganti pakaiannya yang formal. Memakai apapun Kevin tetaplah tampan. Malah ia lebih tampan jika tidak memakai apapun.

"Aku diajak kemari hanya untuk dikurung?" aku tidak percaya sudah pergi jauh-jauh hanya untuk berdiam diri di kamar hotel ini.

"Tidak. Nanti malam mungkin kita akan makan malam bersama di luar. Aku ingin memamerkan istriku pada kolega-kolega bisnisku."

Mungkin? Itu bukan sebuah kepastian dan bertemu dengan kolega bisnisnya itu akan mengintimidasiku.

"Aku akan terlihat bodoh jika kau membawaku bertemu dengan mereka." mataku tidak lepas dari Kevin yang masih sibuk merapikan pakaiannya.

Aku berinisiatif untuk membantu memakaikannya dasi.

Kevin hanya membalas dengan senyuman manis.

"Well, jangan keluar dari kamar ini sampai aku kembali. Aku tidak akan lama. Kau mengerti?" Kevin mengecup puncak kepalaku lalu ia menghilang.

2 jam...

3 jam...

4 jam...

5 jam...

Aku menghentak-hentakkan kakiku.

Berapa jam hitungannya yang bilang ia tidak lama?! Ini sudah 5 jam dia pergi dan aku hanya terkurung di sini?! Setidaknya dia mengizinkanku untuk berjalan-jalan di kota ini bukannya menyuruhku menunggunya di sini!

***

"Kau cantik," gumamnya di lift.

Aku menyengir padanya lalu kembali memperlihatkan ekspresi datarku. Aku masih kesal dengannya karena 5 jam itu. Bukan 5 jam, hampir 6 jam dia mengurungku!

Malam ini seperti yang ia katakan, akan ada makan malam dengan kolega bisnisnya. Aku tidak keberatan dengan itu. Sebelum pergi Kevin membawakanku sebuah gaun hitam berenda punggung yang cantik. Gaunnya tidak terlalu terbuka, terlihat sopan. Aku heran setiap Kevin membawakan gaun untukku, rasanya selalu pas di tubuhku.

Pintu lift terbuka. Restoran ini bernuansa mewah yang menurutku agak berlebihan. Kevin menggenggam tanganku saat kami berjalan melewati meja-meja yang berjajaran. Langkah kami berhenti pada meja di ujung jendela yang memaparkan keindahan kota New York di malam hari, dan ada dua pasang suami istri yang tampaknya sedang menunggu kehadiran kami sejak tadi.

Mereka berdiri berjabat tangan lalu kembali duduk. Aku menjadi canggung dan terasa terintimidasi oleh kehadiran kedua pasangan itu. Mereka terlihat memposana.

"Istrimu sangat cantik dan muda," puji salah satu dari mereka pada Kevin. Ia adalah wanita bernama Rose yang parasnya sangat cantik meskipun ia sempat bilang bahwa ia sudah memiliki anak yang beranjak remaja.

Aku tersenyum mendengar pujiannya. Tentu saja aku muda, umurku baru menginjak 24 tahun di mana seharusnya aku belum menikah.

"Aku tahu. Aku sangat beruntung memilikinya," balas Kevin ramah. Kevin menggenggam tanganku erat di atas meja. Memamerkan kemesraan kami.

Andai pernikahan ini di dasari oleh cinta. Pasti keadaannya berbeda. Mungkin akulah yang akan menjadi wanita paling bahagia di dunia ini. Kenyataannya, bukan aku.

"Kalian membuat kami ingin kembali ke masa muda kami," ujar suami Rose. Kalau tidak salah namanya Ryan. Hah entahlah, aku tidak mood mengingat nama orang.

"Aku jadi ingin memiliki istri muda dan merasakan masa mudaku lagi," timpal pria paruh baya yang kukira seumuran dengan Joe. Uh siapa namanya? Aku lupa.

Istri di sebelahnya langsung memberikan lototan tidak suka mendengar suaminya berbicara seperti itu.

Kami semua tertawa.

"Aku pikir masa tua dan masa muda sama saja dan kalau boleh jujur kalian terlihat muda. Terlihat muda oleh cinta kalian. Cinta membuat kita lupa tentang umur." kata-kata itu refleks keluar dari mulutku begitu saja. Hah dengarlah, ucapanku seperti orang di mabuk asmara.

"Bahkan pasangan yang sudah mempunyai cucu memiliki jiwa muda karena cinta," tambah Kevin sambil mengelus-elus punggung tanganku. Aku sedikit risih dengannya yang dari tadi tidak berhenti menyentuh tanganku di depan orang.

"Oh lihatlah, pengantin baru ini benar-benar membuat kita iri," gurau pria paruh baya tadi.

Aku hanya tersenyum menutupi wajahku yang mulai merona karena pujian-pujian mereka.

"Kerjasama antar perusahaan kita sudah disepekati. Bagaimana kalau kita merayakan kerjasama ini di klub? Sudah lama sekali aku tidak pergi ke klub untuk bersenang-senang." Pria paruh baya itu mengganti topik pembicaraan.

Kevin dan yang lainnya mengangguk setuju dan kebetulan di lantai paling atas dari gedung ini terdapat klub.

Jujur saja aku tidak suka klub dan untuk pertama kalinya aku memasuki klub malam. Hiruk pikuk orang-orang yang sedang berdansa dan dentuman musik yang berdengung di telingaku di tambah dengan lampu kerlap-kerlip berwarna membuatku sangat malas.

Mataku menelusuri setiap sudut klub ini. Tempat ini sangat buruk. Aku baru saja melihat sepasang kekasih sedang bercinta di depan umum. Kemana akal sehat mereka?! Aku menggeleng-geleng tidak percaya sekaligus jijik.

Kami duduk di sofa berbentuk L sambil memperhatikan orang-orang yang asik berdansa. Beberapa dari orang itu mabuk. Aku semakin jijik.

Tidak lama kemudian pelayan datang membawa 3 botol wine beserta 6 gelas yang sudah terisi dengan wine tersebut.

"Ayo bersulang." lria paruh baya yang bernama Tobi mengangkat gelasnya.

Aku hanya menatap gelasku tanpa menyentuhnya dan mereka menatapku bingung karena hanya aku yang belum menyentuh gelasku.

"Istriku tidak meminum wine atau sejenisnya. Dia tinggal di negara Timur dengan budaya yang ketat," terang Kevin menjelaskan kebingungan mereka.

Mereka mengangguk kecil, mengerti dan mereka pun bersulam tanpa diriku.

"Luna ayo kita menari!" ajak istri dari Tobi, Lily.

Tanpa memberiku kesempatan menolak, Lily dan Rose menarik tanganku dan membawaku tenggelam di tengah keramaian.

Aku terpaksa menampakkan wajah senangku. Jujur saja aku tidak betah berada lama-lama di tempat seperti ini.

Tidak lama ada tangan kekar yang menarik tanganku menjauh dari mereka. Aku menoleh ke pemilik tangan itu. Kevin. Syukurlah.

"Aku tahu kau tidak suka tempat ini," ujar Kevin membawaku ke meja bar dan mendudukanku di kursi bar sementara Kevin berdiri di hadapkanku. Wajahnya mendekat hendak menciumku. Aku sedikit mendorong dadanya sehingga ciuman itu tidak terjadi.

"Ini tempat umum. Kau boleh menciumku di tempat sepi tapi tidak di tempat umum. Tempat ini buruk," tolakku tidak nyaman.

"Kau ingin pulang?" tanya Kevin yang melihatku tidak nyaman.

Aku mengangguk. Tentu saja aku ingin pulang.

"Baiklah. Kau tunggu di sini. Aku akan bicara pada mereka. Jangan pergi kemana pun."

Kevin pergi menghampiri kolega bisnisnya itu yang sibuk minum. Entah sudah berapa gelas yang sudah mereka minum. Mereka tampak setengah mabuk begitu juga dengan istri mereka.

Aku duduk di kursi bar ini dengan bosan. Beberapa kali bartender menawarkanku minum tapi aku selalu menolak. Mataku masih saja menulusuri setiap sudut klub ini. Pemandangannya masih sama. Gadis-gadis yang hampir telanjang sedang merayu beberapa lelaki yang mabuk, beberapa pasangan kekasih yang sedang sibuk bercumbu.

Kemudian mataku bergerak ke sebrang kananku, memperhatikan beberapa pria yang sedang sibuk berbicara. Tampaknya pembicaraan mereka sangat penting. Mataku langsung terpaku pada salah satu dari pria itu ketika pria berkemeja biru kelam membalikkan badannya, melangkah menjauh dari lawan bicaranya. Aku terbelalak ketika mengetahui pria itu. Pria yang sangat familiar.

"A-A-Adam." aku membisikan nama itu perlahan dan suaraku nyaris tidak terdengar, bahkan suaraku lebih menyerupai gerakan bibir yang bergemetar.

Untuk apa Adam di sini? Bukankah dia di Indonesia bekerja?

Aku tidak mungkin salah lihat. Aku tidak sedang mabuk. Tadi itu Adam. Benar-benar Adam. Aku langsung beranjak dari tempatku dan mengejarnya yang hampir menghilang dari pandangan mataku. Dia berhenti di sebuah ruangan yang agak sepi. Aku mengumpat-ngumpat di balik tembok.

Adam bertemu dengan seorang pria lain hanya sekedar berjabat tangan dan pria itu pergi meninggalkannya. Kini hanya ada Adam di sana, berdiam diri sambil memainkan ponselnya dan menelpon seseorang. Mataku tidak lepas darinya. Adam sangat berbeda dari yang terakhir kutemui sekitar satu tahun lalu. Ia tampak lebih dewasa dan lebih tampan.

Hatiku bergelonjak kegirangan. Aku merindukannya. Sangat merindukannya dan kini ia muncul di mataku meskipun ia tidak menyadarinya. Aku ingin melangkah mendekatinya, ingin memeluknya erat tapi kuurungkan niatku. Apa yang akan kukatakan nanti padanya? Saat aku menemui Adam, Kevin bisa saja datang tiba-tiba.

Rasa senangku tergantikan dengan perasaan bingung. Jika aku tidak menemuinya, entah kapan aku bisa bertemunya lagi. Dia sudah di New York otomatis nomor ponselnya tidak aktif. Tapi jika aku menemuinya, apa yang harus aku katakan padanya? Aku tidak ingin mengecewakan pria yang kucintai dengan statusku yang sudah menikah dengan pria lain.

Tiba-tiba aku merasakan cengkraman kuat di pergelangan tangaku. Sontak aku kaget dengan cengkraman itu dan langsung menoleh ke pemiliknya.

"Aku mencarimu!" bentak Kevin. "tidak kah kau dengar bahwa aku menyuruhmu menunggu?! Apa yang sedang kau lakukan di sini?!" Kevin tampak marah.

Bentakkannya bisa saja terdengar Adam, dan aku tidak ingin Adam memergokiku. Aku melirik ke ruangan kosong Adam tadi, dia sudah pergi. Kevin yang melihat mataku melirik ke ruangan kosong, ia ikut melirik mencari sesuatu yang aku cari.

"Apa yang kaucari?"

"Eh," Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. "Um... tidak ada. Tadi aku pikir kau yang berada di situ ternyata aku salah," jawabku kikuk.

Kevin sepertinya tidak peduli.

"Bukankah sudah kubilang jangan pergi kemana pun?!"

"Tadi aku pikir orang yang berjalan kemari itu kau. Aku takut kau meninggalkanku sendiri di tempat seperti ini," aku berusaha membela diriku. Suaraku terdengar sedih.

Aku sedih bukan karena takut akan hal itu. Aku sedih karena aku kehilangan jejak Adam.

Rahang Kevin melunak. "Aku tidak mungkin meninggalkanmu sendiri di sini." Kevin menggeleng. "ayo pulang."

Kami kembali ke hotel. Selama perjalanan aku hanya diam. Pikiranku melayang tentang kejadian tadi. Adam di New York, di klub. Untuk apa ia pergi ke New York dan klub? Adam bukanlah tipe pria yang suka menghabiskan waktunya di klub.

Bodohnya aku, aku seharusnya menampakkan wajahku padanya. Aku sangat merindukannya. Aku merindukan pelukan hangatnya, kasih sayangnya, cintanya. Aku merindukannya semua tentangnya.

Sesampai di hotel, aku langsung membersihkan diriku. Mandi. Berendam di bathtub sambil merileks-kan pikiranku. Hari ini jauh di luar dugaanku.

Aku mengganti pakainku di kamar sementara Kevin bergantian mandi. Rasanya aku ingin kembali ke klub itu menemui Adam, tapi tidak mungkin. Kevin pasti melarangku. Aku mencoba cari cara lain dengan menghubunginya tapi yang kudapatkan adalah suara dari operator bahwa nomornya tidak dapat dihubungi. Tidak kehilangan akal, aku mengirimnya sebuah email. Setahuku ia sering mengecek emailnya.

From : Lunahall.xx@yahoo.com

To : Adamroigs.xx@gmail.com

Subjek : ('_')

Adam.

Send.

Aku masih hafal betul email kami. Email yang kami buat bersama-sama dengan tanda .xx di akhir emailnya.

Aku harap ia membaca dan cepat membalas email dariku.

"Kau menghubungi siapa?"

Suara itu membuatku tersentak. Ponselku hampir saja terjatuh.

Kevin sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk sambil menatapku curiga.

"Temanku. Tapi nomornya tidak bisa dihubungi." Aku mengangkat kedua bahuku sambil tersenyum palsu pada Kevin.

Kevin mendekat lalu memicingkan matanya. "Kau baik-baik saja? Sejak di klub tadi kau sedikit berubah. Apa ada yang mengganggumu saat aku pergi?"

"Tidak ada yang menggangguku. Tempat tadi sangat buruk. Jangan pernah kauajak aku ke situ lagi," ujarku meyakinkan.

Kevin mengiyakan.

"Kau tidur tidak pakai kaos?" tanyaku padanya sambil menarik selimut sampai dadaku.

"Tidak. Nanti juga saat kau membuka mata tidak memakai apapun."

"Kadar kemesumanmu lebih tinggi ya daripada kecerdasanmu. 80 banding 20."

"Aku pria normal. Wajar saja."

"Pria normal yang memiliki kadar kemesuman 80%?"

"100% jika di dekatmu."

Aku mengabaikannya dan bertanya tentang hal lain. "Besok kita kembali?"

"Ya. Aku masih banyak pekerjaan."

"Dan tugas kuliahku semakin menumpuk karenamu."

"Itu bukan urusanku."

Selalu saja bukan urusannya.

"Sudahlah. Aku mengantuk," kataku dingin. Aku langsung memejamkan mataku mengabaikan Kevin.

***

Aku mengecek ponselku saat aku sudah memastikan bahwa Kevin sudah benar-benar tidur.

Ada email masuk!

Segera kucek pesan baru di emailku.

Sial, umpatku.

Itu email dari dosenku yang mengirim beberapa file untuk melengkapi tugasku.

Hah. Harapan palsu.

Andai saja ponselku tidak hilang mungkin akan mudah menghubunginya dan mungkin saja Adam menghubungiku terlebih dulu, mengingat masa pelatihan empat bulannya sudah berakhir sekitr satu bulan yang lalu.

Tidak ada akses lain untuk menghubunginya. Hanya lewat email saja. Jika Adam mempunyai akun media sosial pasti akan lebih mudah untukku.

***

Dua hari semenjak pulang dari New York, dia tidak membalas emailku.

Hatiku tidak pernah tenang semenjak itu. Ingin sekali kuceritakan apa yang terjadi pada diriku kepada seseorang. Tetapi kepada siapa? Kanya? Tidak mungkin. Dia teman masa kecil Kevin. Tapi Kanya adalah satu-satunya orang yang dekat denganku.

Sebaiknya aku tidak menceritakan hal ini pada siapa pun. Akan sangat bahaya jika ada yang mengetahuinya.

Aku duduk di meja makan sendiri. Menunggu Ally menyiapkan sarapan untukku. Dia sudah kembali dari cutinya tapi ia bilang hanya beberapa hari. Ally akan kembali mengambil cuti lagi karena harus menemani anaknya check up. Kevin sudah berangkat duluan saat aku masih tidur pulas.

"Ally...," panggilku.

Aku tidak bisa untuk tidak menceritakan ini. Tampaknya Ally tidak akan mengatakan apa yang ingin kukatakan pada siapa pun terutama pada Kevin. Aku merasa Ally orang yang tepat dan ia pasti mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Aku pernah mengatakan padamu bahwa aku mempunyai kekasih...," ujarku sangat pelan sembari menilai reaksi Ally ketika mendengar perkataanku.

Ally terbelalak. "Nyonya masih berhubungan dengan kekasih anda?"

"Berhentilah memanggilku Nyonya! Luna saja Ally!" omelku kesal. Aku tidak suka dipanggil Nyonya, itu terdengar tua.

"Maaf." Ally sedikit menyunggingkan bibirnya. "jadi apakah anda masih berhubungan dengan kekasih Anda?"

Aku menatapnya ragu. Sepertinya Ally sangat cemas mengenai hal ini.

"Begini...,"

"Maaf menyela anda. Tapi jika boleh saya sarankan, jangan pernah menemuinya lagi. Menghubunginya pun jangan pernah."

"Kenapa?"

"Karena anda sudah menjadi istri Tuan Kevin. Jika Tuan Kevin tahu bahwa anda masih menemui kekasih anda, Tuan Kevin pasti akan sangat marah. Tuan bisa berbuat apapun untuk menyingkirkannya. Aku sangat mengenal betul Tuan Kevin. Dia tidak suka miliknya dimiliki orang lain."

"Apa yang akan terjadi jika Kevin tahu aku sering menemuinya?"

Padahal semenjak aku di Seattle aku tidak pernah bertemu dengannya. Aku ingin memancing Ally.

Ally tertegun bak mendengar berita buruk. "A-a-an-anda benar-benar masih menemuinya?" tanya Ally tidak percaya. Ia menatapku lekat.

Aku mengangguk menunggu reaksi Ally.

"Maka hal buruk akan terjadi pada diri kalian bahkan Tuan Kevin tidak akan membiarkan ada ketenangan di hidup kekasih Anda."

Aku menelan salivaku yang tersangkut di tenggorokan. Apa maksudnya?

"Maksudnya?" tanyaku pelan. Suaraku nyaris seperti bisikan halus.

"Tuan Kevin akan membuat hidupnya hancur."

Hening sesaat. Bulu-bulu halus di seluruh tubuhku merinding takut.

"Jangan pernah bermain api dengan Tuan Kevin. Itu sama saja bunuh diri. Saya tidak mau melihat anda terluka jadi saya mohon pada anda jangan pernah menemui kekasih anda. Putuskan hubungan kalian. Anda sudah menjadi seorang istri dari Tuan Kevin. Terima kenyataan itu. Bukankah selama pernikahan Tuan selalu bersikap baik pada anda? Apa yang kurang darinya?"

"Aku tidak mencintainya. Aku mencintai kekasihku. Itulah yang kurang darinya dan aku tidak pernah bermain api dengan Tuanmu itu. Sudah kukatakan sejak awal bahwa aku tidak menginginkan pernikahan ini. Tuanmu yang menyeretku dalam pernikahan aneh ini!"

Ally tercekat.

"Anda hanya belum sadar siapa yang anda cintai." Ally menatapku serius. "bukankah saya pernah bilang bahwa ada alasan kuat di balik pernikahan anda?"

Aku sadar betul siapa yang aku cintai.

Dan..

Alasan bahwa sejak awal aku miliknya? Alasan konyol!

"Saya tidak ingin anda menyesal di kemudian hari. Yang jelas Tuan Kevin tidak akan tinggal diam jika mengetahui ini. Saya mengenal Tuan Kevin sejak ia masih kecil. Dia akan melukai siapa pun yang mengganggu atau mengkhianatinya. Jadi saya mohon jangan masuk ke dalam api sekecil apapun. Saya tidak ingin melihat kalian semua terluka," lanjut Ally dengan suara mengancam.

Aku mengusap wajahku kasar dengan kedua telapak tanganku. Tidak tahu harus bagaimana lagi. Semua ini menyulitkanku. Ada benarnya perkataan Ally bahwa Kevin akan sangat marah mengetahui hal ini. Lalu aku harus bagaimana? Melupakan Adam? Tidak bisa. Dua tahun aku bersama Adam. Tidak mudah melupakannya begitu saja seperti abu yang hilang ditiup angin. Apa aku harus mengatakan pada Adam cerita yang sebenarnya bahwa aku menikah karena terpaksa lalu aku meminta Adam untuk membawaku pergi?

Ingat Luna, Kevin mempunyai segalanya sedangkan Adam tidak. Uang bisa mengendalikan hidup seseorang.

Aku mengacak rambutku yang terurai dengan gusar. Jadi apa yang harus kulakukan? Menerima bahwa takdir menyeretku dalam pernikahan ini? Menerima bahwa aku sudah menjadi seorang istri dari Kevin Sanders? Kami tidak saling cinta. Untuk apa mempertahankan pernikahan yang memang seharusnya tidak terjadi? Toh Kevin juga mempunyai kekasih lain kan?

Tapi...

Di sisi lain aku menyadari bahwa aku tidak pantas bersama dengan pria sebaik Adam. Aku telah mengkhianatinya berkali-kali. Tidak hanya dengan pengkhianatan pernikahan tapi juga hubungan seksual yang terjadi berulang kali bahkan aku sangat menikmati itu.

Lihatlah Luna betapa jalangnya dirimu! Setiap kali Kevin menyentuhmu, kau selalu menikmatinya tanpa menolak sedikit pun. Tubuhmu tidak bisa mengkhianati sentuhan Kevin. Kau sudah di sentuh oleh Kevin berkali-kali dengan berbagai sensasi nikmat yang kauterima.

Mengingat malam-malam panas bersama Kevin aku sangat menyadari bahwa diriku sangat tidak layak bersama Adam. Aku sudah seperti wanita jalang dan mungkin jika Adam mengetahui aku menikmati bercinta dengan Kevin, dia akan jijik padaku dan memandangku wanita rendah.

Adam layak mendapatkan yang lebih baik dariku dan itu artinya aku harus melepasnya. Wanita sepertiku tidak pantas bersanding dengan Adam, batinku.

Aku harus merelakannya. Dia pantas mendapatkan yang lebih baik.