webnovel

Sweetheart? (Part 2)

"Baiklah. Sekarang kau tidur, ok? Aku mencintajmu," ujarnya begitu lembut lalu menutup telponnya.

Sayang?

Aku mencintaimu?

Siapa dia?

Aku segera kembali ke kamar. Duduk di tepi ranjang. Siapa yang meneleponnya tadi dengan panggilan sayang? Apa itu kekasihnya? Kevin mempunyai kekasih? Nada bicaranya juga begitu lembut. Ini pertama kalinya aku mendengar Kevin bicara selembut itu, bahkan lebih lembut daripada saat bicara padaku.

Ada apa ini? Mengapa tiba-tiba aku merasa sesak?

"Kau dari mana?" suara itu membuatku terhentak.

"Dapur. Aku haus," kataku datar.

Kevin duduk di sebelahku. Memperhatikan wajahku yang sedang berpikir.

"Apa yang kaupikirkan Luna? Kau ada masalah?"

Apa pedulinya?!

Aku menggeleng lalu tersenyum simpul padanya.

"Jangan berbohong. Katakan padaku," desaknya.

Kevin memang pemaksa.

"Siapa tadi yang meneleponmu? Kekasihmu?" Aku menatap matanya, mencari kebenarannya.

Matanya melebar.

"Kau mendengarnya?" Kevin mengernyit tidak suka.

"Hanya kalimat terakhir," jawabku cepat.

"Apa kau sedang cemburu Luna sayang?" Dia mengulum senyumnya.

Aku tersentak. Cemburu? Tidak. Dan barusan ia memanggilku sayang? Aku ingin sekali meneriaki wajah tampannya. Siapa lagi yang kau panggil sayang selain diriku dan orang yang meneleponmu tadi?!

"Tidak. Lupakan saja pertanyaanku tadi. Itu bukan urusanku kan?"

Well, selama hubungan pernikahan ini tidak terlibat dengan yang namanya 'perasaan', aku rasa aku seharusnya tidak perlu peduli.

"Ya memang bukan urusanmu." Kevin tersenyum tipis. "yang jelas dia adalah orang yang berharga di hidupku."

"Mia?" Tebakku. Aku tidak bisa menahan diriku untuk bertanya. Mengapa aku sangat ingin mengetahui siapa orang itu? Harusnya aku tidak mempedulikannya.

"Dia memang berharga di hidupku tapi sayangnya bukan Mia. Aku bukan tipikal kakak romantis yang memanggilnya sayang atau menyebut kata cinta pada adikku," terangnya.

Apa Kevin sedang memancingku?

"Ibumu?" aku masih saja penasaran.

"Bukan juga," jawabnya enteng, "intinya dia orang yang berharga dan juga berarti di hidupku. Nanti kau akan tahu siapa dia. Sekarang bukanlah waktu yang tepat."

Apa aku dan Kevin sedang bermain tebak-tebakkan? Apa sulitnya sih mengatakan siapa yang menelponnya? Toh aku tidak akan marah. Aku tidak ada hak untuk marah.

"Jadi aku tidak berarti?" tanyaku spontan.

Oh sial.

Kevin terkekeh. "Menurutmu?"

Aku tidak ingin melanjutkannya lagi. Hatiku semakin memanas mendengarnya. Kutepis rasa penasaranku jauh-jauh. Aku tidak peduli.

Tapi...

Siapa orang yang berharga itu?

Kekasihnya?

Istrinya?! Tidak. Tidak. Akulah istrinya.

"Jangan berpikir yang tidak-tidak Luna. Kau tidak perlu cemburu, ya meskipun dia-"

"Apa? Istri pertamamu? Mantan istrimu? Kekasihmu? Selingkuhanmu?!" selaku.

Kevin mengangkat wajahku, jarinya di daguku. Ia tersenyum manis dan tatapannya menatapku lembut. "Istri manisku cemburu." Ia mengulum senyumnya.

"Tidak," jawabku cepat, mengelak.

"Cemburu juga tidak apa, bukankah tandanya kau memiliki perasaan terhadapku?" Kevin mendekatkan wajahnya padaku dan mengecup bibirku, lalu ia tersenyum lembut.

Begitu kah?

Aku diam tak menjawabnya.

"Kau tak perlu khawatir dan jangan berpikir yang tidak-tidak. Dan satu lagi, aku minta satu hal padamu. Jangan terlalu sering menguping pembicaraanku saat aku sedang menelepon, itu tidak baik Luna. Aku tidak terlalu menyukainya," lanjutnya lagi, kali ini senyumnya menghilang dari sudut bibirnya. Tak lama, ia mulai mengecup bibirku lagi dan berbisik di bibirku, "Kau selalu nomor satuku. Ingat itu. Tidak ada wanita lain yang bisa menggantikan posisimu di hatiku."

Benarkah? entah kenapa, hatiku merasa senang mendengarnya. Aku berharap itu bukanlah hanya kata-katanya yang manis untuk menutupi kebohongannya. Aku berharap dia tulus dari hatinya.

***

"Hari ini? Mengapa kau mendadak mengatakannya?!"

"...Baiklah...tolong bilang pada asistenku siapkan Jet pribadiku."

Pria itu menutup teleponnya dengan gusar.

"Sekretaris bodoh!" pekiknya kesal.

Aku mengerjap-ngerjap mataku. Suara itu membangunkanku. Aku melihat Kevin sedang berdiri memandangi pemandangan luar jendela dengan wajah kesal. Ia bertelanjang dada, hanya ada celana piyama yang dipakainya. Ya semalam kami melakukannya lagi, hubungan seksual. Hampir setiap malam kami melakukannya dan itu sudah menjadi kebiasaan.

"Ada apa?" tanyaku sambil bergerak duduk di ranjang dan menutupi tubuh telanjangku dengan selimut.

Kevin menoleh, ia bergerak menghampiriku.

"Kita harus pergi ke New York hari ini. Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan." Kevin mencondongkan kepalanya padaku.

"Aku ikut?" Aku memicingkan sebelah mataku.

Kevin mengangguk.

"Tapi itu pekerjaanmu. Mengapa aku harus ikut? Aku harus kuliah."

"Aku tidak ingin meninggalkanmu sendirian dan aku tidak ingin memuaskan nafsuku kepada wanita lain." Ia menyeringai penuh sensual.

Aku tersenyum malu mendengar 'tidak ingin memuaskan nafsuku pada wanita lain'. Otaknya memang otak mesum dibalik kecerdasannya mengelola bisnis.

Sesaat aku melupakan kejadian bincangan Kevin di teleponnya. Aku terlalu terbuai dengan ucapan manisnya.

"2 jam lagi kita akan berangkat. Tapi sebelum itu...,"

Kevin mendorongku sampai berbaring di ranjang, sambil menciumi bibirku dan menjauhkan selimut yang menutupi tubuhku. Tangannya bergerak menggerayangi tubuhku.

"...aku ingin dirimu," bisiknya sensual.

Lihat? dia begitu mesum tiap harinya.

Tubuhku menggeliat seketika.

Jika ada nominasi dan penghargaan, mungkin dia masuk nominasi pria paling mesum yang tak bisa menahan diri. Aku yakin dia akan memenangkan nominasi itu jika ada.

Nafasku terengah-engah dengan keringat di pelipisku. Aku mengatur deru nafasku kembali normal dan juga mengendalikan jantungku yang terus berdetak kencang seperti habis lari maraton.

Kevin mendekap diriku. Lengan kekarnya melilit perutku dengan posesif. Bibirnya berkali-kali menciumi bahuku dengan nafasnya yang masih membara, membuat tubuhku memanas lagi.

Tangan Kevin bergerak turun. Dia menggoda bagian bawahku dengan jarinya. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kevin menginginkannya. Lagi. Aku langsung menjauhkan tangannya dariku.

"K-ke-kevin... cu..ah...."

Aku tidak sanggup menyelesaikan ucapanku. Jari Kevin kembali bermain di bawah perutku sehingga aku mendesah.

Aku menelan salivaku berusaha mengontrol diriku. Tangannya kembali kujauhkan dengan paksa.

"Kita harus bergegas. Jika kau melakukannya lagi, kita bisa terlambat Kevin," kataku memperingatinya. Aku langsung bangkit menarik selimutku untuk menutupi tubuhku dan menghempas tangannya.

"Satu ronda lagi tidak akan membuat kita terlambat. Ayolah sayang," godanya.

Aku melototinya dengan geram.

Melihat lototanku, Kevin langsung bangkit pasrah dengan tubuh telanjangnya. Oh tidak, dia sangat seksi.

"Kau tidak ingin mandi bersama?" tanyanya sensual.

Aku menggeleng cepat. Mandi bersama terlalu intim. Aku tidak ingin itu karena aku tahu akan seperti apa akhirnya. Kevin bukan tipe pria yang bisa menahan diri.

"Aku tidak ingin ada perdebatan kecil siang ini. Kau mandi sekarang dan aku akan menyiapkan pakaianmu," kataku memerintah.

"Berendam bersama?" tawarnya.

Kevin tidak ada kapoknya menggodaku.

Aku melempar bantal ke arahnya. "Cepatlah Kevin!"

"Hah. Ya ya," gerutunya sembari membanting pintu kamar mandi.

Lihatlah, dia seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan oleh ibunya. Sekali tidak dituruti, ia akan marah.

.

.

.

Kuakui, aku adalah wanita yang naif. Sangat naif. Aku menginginkan ronda ke dua itu, aku ingin mandi bersamanya lalu melakukan hal panas di sela-sela aktivitas mandi kami, tapi aku malah menolaknya. Naif kan? Haha.

Selama ini aku berusaha untuk tidak terlalu larut dalam gairahnya. Aku takut ia akan menjadi canduku di saat dia pergi. Apa lagi ketika aku tahu dia mempunyai seseorang yang di panggilnya 'sayang'. Itu membuatku semakin takut. Aku tidak ingin jatuh terlalu dalam. Jadi akan jauh lebih baik jika aku bisa menahan nafsuku.