-Aku tidak habis pikir. Kevin menyia-nyiakan waktu hanya untuk bicara perihal yang tidak berharga dan sialnya aku terjebak dalam topik pembicaraannya.- -Luna.
Aku membawa buket bunga merah. Aku tidak tahu bunga jenis apa ini dan aku tidak ingin tahu. Aku bukan penggemar bunga. Bunga yang kupegang ini bukan dariku dan juga bukan untukku. Ini dari beberapa gadis remaja yang kurasa masih bersekolah. Mereka memberi bunga ini saat aku baru keluar dari toilet. Mereka bilang ini untuk pria yang sedang makan malam bersamaku. Cih, mereka belum tahu saja sifatnya di balik ketampanan pria yang mereka maksud. Aku ingin sekali menamparnya dengan bunga yang mereka berikan.
Aku bergerak mendekati mejaku. Mata Kevin tidak lepas memandang tanganku yang sedang memegang buket bunga.
“Ini dari fansmu,” kataku sembari menjatuhkan bunga itu di meja kami kemudian menatap para gadis yang sedang menatap Kevin dengan tatapan memuja. Kevin mengikuti kemana arah tatapanku. Ekspresinya datar.
“Dari mereka?”
Aku menarik kursiku lalu duduk. “Ya. Dari anak SMU yang memujamu,” ejekku. Bahkan anak belasan tahun saja tergila-gila pada ketampanan Kevin. Kenapa aku tidak ya?
“Buang saja,” ujar Kevin cuek.
“Kenapa? Mereka cantik. Setidaknya hargai pemberian mereka.” mau kau terima bunga itu atau tidak bukan urusanku. Lanjutku dalam hati.
Aku menyeruput jusku.
“Aku tidak tertarik dengan anak sekolahan. Payudara mereka terlalu kecil untukku tangkup.”
Mataku membulat dengan sempurna. “Uhuk...uhuk…” aku tersedak hebat saat mendengar ucapannya yang keluar dari mulutnya begitu saja. “Uhuk...uhuk…” aku menepuk-nepuk dadaku agar berhenti terbatuk-batuk.
Sial. Apa yang baru saja Kevin katakan? Payudara mereka terlalu kecil untuk di tangkup? Tidak bisakah dia mengendalikan mulutnya untuk tidak bicara vulgar?
Bukannya membantu, Kevin malah menatapku sambil tertawa geli seolah-olah aku ini tontonan yang menarik untuknya.
Dan… jujur saja, aku sedikit tersinggung dengan ucapannya. Punyaku juga kecil! Apa dia sedang menghinaku secara tidak langsung?
“Jika kau ingin yang besar, kau tiduri saja Miyabi,” celetukku.
“Melihat tubuh telanjangnya saja aku sudah bosan.”
Aku menggeram kesal. Kurasa kadar kemesumannya itu di luar batas normal. Wanita seperti apa yang akan tahan hidup bersama pria macam dia? Aku? Aku pasti sudah gila jika memutuskan untuk hidup dengannya sampai akhir hayat. Yang ada aku terus disetubuhinya berkali-kali dalam sehari.
“Kalau begitu Lucinta. Punyanya juga besar. Mungkin lebih besar dari Miyabi,” celetukku lagi.
Kevin menyipitkan matanya. “Siapa Lucinta?”
Ah aku lupa. Kevin pasti tidak tahu. Lucinta kan artis Indonesia.
“Dia artis Indonesia.”
Aku mengaduk-aduk minumanku dengan hati kesal. Kenapa aku bisa terjebak di pembicaraan kotor seperti ini? Siapa saja tolong bawa pergi pria mesum ini dari hadapanku.
“Oh. Nanti akan kucari tahu seberapa besar.” Kevin menatapku dengan bibirnya yang sejak tadi tidak berhenti menyunggingkan senyumannya. “Bagaimana denganmu? Apa punyamu juga besar?”
Tidak sampai satu detik setelah ia bicara seperti itu, mataku melotot sangat sempurna dengan mulutku yang setengah terbuka.
Apa-apaan dia?! Kevin sedang menghinaku atau apa?!
“Aku kira kau tahu apa jawabannya,” kataku datar. Tentu saja pria mesum yang sedang duduk di hadapanku tahu jawabannya. Dia sudah...oh yang benar saja, aku tidak perlu mengatakannya kan?
Kevin menyeruput sirup miliknya dan matanya tidak lepas memandangiku. Lebih tepatnya ia sedang memandangi payudaraku. Apa Kevin sedang membandingkan ukuran payudaraku dengan Miyabi?! Jika ya, jelas saja ukurannya beda jauh.
“Aku rasa punyamu akan membesar jika aku terus menangkup dan memainkannya setiap hari di ranjang kita,” godanya sensual sambil mengedipkan mata kirinya.
Lagi, Kevin berhasil membuat mataku melotot dan mulutku menganga tak percaya.
Spesies macam apa dia?! Hatiku terus saja berteriak kesal. Aku bisa terkena serangan jantung jika seperti ini terus.
Aku tidak tahu harus jawab apa. Bibirku terkatup rapat, sulit untuk dibuka.
“Sudah malam. Aku ingin pulang,” ujarku, menyudahi topik mesumnya yang tidak berharga.
Aku pun beringsut bangkit dan berjalan keluar ke arah parkiran mobil dengan langkah uring-uringan. Kevin segera menyusulku dan berjalan di sebelahku.
“Sepertinya kau tidak sabar untuk melakukannya. Apa celana dalammu sudah basah sayang?” bisiknya. Kevin terkekeh dengan puas.
Tanganku mendorongnya untuk berjalan jauh-jauh dariku. Kevin pria berbahaya lebih berbahaya dari monyet yang mengamuk.
Aku penasaran dengan ucapannya. Benar saja, aku merasakan ada yang basah di bawahku. Sangat basah. Kutelan salivaku.
Hanya dengan pembicaraan seperti tadi mampu membuatku terangsang? Hatiku menolak tak percaya. Wanita macam apa kau Luna. Rutukku dalam hati.
Kejadian hari ini membuatku lupa akan persoalan di New York tempo hari. Dan pembicaraan mesum tadi, kini mengelilingi otakku.
...punyamu akan membesar jika aku terus menangkupnya dan memainkannya setiap hari di ranjang kita.
Ucapannya terus terngiang-ngiang di telingaku sampai ke apartemen. Tanpa kusadari, aku membayangkan bibir dan jari-jari Kevin bermain di payudaraku. Bahkan aku sampai membayangkan bibirnya bermain diantara selangkanganku.
Luna sadarlah!
Apa yang terjadi padaku? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, membuang jauh-jauh pikiran kotor itu.
Gelap.
Kevin sudah mematikan lampu kamar kami. Sekarang ia sedang berbaring di sampingku. Aku ragu jika ia sudah tertidur pulas.
“Kau tidak ingin mencobanya Luna?”
Benar saja. Kevin memang belum tidur.
“Mencoba apa?” tanyaku ketus. Posisi tidurku sedang membelakanginya.
“Ya yang tadi aku katakan. Lagipula sudah dua hari aku tidak bercinta denganmu dan mencicipi payudaramu. Siapa tau saja jika setiap hari kusentuh, punyamu semakin besar,” ungkapnya terang-terangan. Aku yakin betul ia sedang menyeringai nakal dalam kegelapan.
“Kevin. Kau mabuk. Berhentilah bicara hal yang tidak berguna!” bentakku kesal. Aku menendangnya dari belakangku dan sialnya aku salah menendang. Aku malah menendang miliknya yang sudah menegang.
Tiba-tiba saja dengan gerakan yang tidak kusadari, Kevin sudah berada di hadapanku dengan posisi kami yang sama-sama miring.
“Jika kau memang mau. Katakan saja, tidak perlu menendang milikku sayang,” goda Kevin. Kemudian kedua jarinya menarik daguku.
Aku menendangnya lagi dengan refleks dan tidak bermaksud membuatnya jatuh ke marmer yang dingin. Ia membuatku salah tingkah.
BUGGG
“Shit, Luna!” maki Kevin. “kau kira aku ini apa ditendang-tendang seperti tadi!” Kevin beringsut berdiri dari jatuhnya. Kutebak, dia pasti kesakitan karena suara jatuhnya tadi cukup kencang. Kini ia kembali berbaring di sebelahku, ia menghapus jarak diantara kami, lalu tiba-tiba saja dia sudah berada di atasku dengan tangan kirinya yang mengunci ke dua tanganku di ke dua sisi kepalaku.
“Kevin,” erangku.
Bibir Kevin menempel di leherku. Dengan gerakan lihai, bibirnya menelusuri leherku dan membuat beberapa tanda di sana. Aku menggeliat kenikmatan saat ia menggoda daun telingaku dengan bibirnya ditambah dengan deru nafasnya yang semakin membuatku menggeliat.
Kaki Kevin memaksaku untuk membuka kakiku lebar-lebar, lalu tangannya dengan sigap turun sampai ke daerah selangkanganku, menggoda.
“Ah Luna, kau sudah sangat basah rupanya,” bisiknya sensual.
Aku hanya diam sambil memejamkan mata, menikmati jarinya yang menggelitik di bagian bawahku.
“Mengapa kau diam saja?” tanya Kevin. Suaranya terdengar kesal.
Kenapa dia? Kenapa tiba-tiba moodnya berubah?
Seharusnya dia melanjutkan aktivitasnya bukan bertanya. Dia semakin menyiksaku jika seperti ini.
“Kau seharusnya berontak ketika jariku berhenti,” ujarnya.
Jadi rupanya dia sengaja ingin menyiksaku. Demi apa pun aku tidak tahan.
Kevin kembali memainkan bagian sensitifku dengan jarinya dan lagi, ia menghentikan aktivitasnya di saat aku hampir klimaks!
Aku menggeram.
“Kevin kau…,” kalimatku terputus. Kevin sudah membungkam bibirku dengan bibirnya.
Malam panas pun terjadi. Kulitnya seperti aliran listrik ketika kulitnya bersentuhan dengan tubuhku yang sudah ditelanjanginya.
Aku larut dalam gairahnya. Membiarkannya mencicipi setiap inci dari tubuhku dan menyatu dalam diriku.
*****
“Kau sedang sakit?” tanya Alex yang sejak tadi memperhatikan benda yang melingkari leherku.
Ini gara-gara Kevin! Umpatku. Aku terpaksa memakai syal karena Kevin meninggalkan jejak yang sulit kututupi. Jejaknya begitu terlihat jika tidak ditutupi. Aku lelah menjawab pertanyaan orang-orang yang menanyakan hal sama, sekarang Alex pun bertanya hal yang sama.
Aku menghela panjang dan menjawab dengan kalimat yang sama, “Ya, aku sedikit meriang,” kilahku.
“Oh aku kira kau habis make love.” Alex tertawa. Tawanya membuat seisi ruangan menatap kami berdua.
Aku memukul lengannya dengan kasar. Ia telah mempermalukanku di ruangan ini.
“Alex! Sebaiknya kau lanjutkan pekerjaanmu! Berhentilah menggoda anak magang!” maki Evanna. Ia kesal karena konsentrasinya pecah mendengar tawa Alex.
Alex meredakan tawanya lalu ia berdeham dan menyengir tanpa merasa bersalah. “Ayolah Evanna. Kau tidak boleh cemburu. Kau pasti dapat giliran untuk kugoda.”
Evanna melempar map-map yang ada di atas meja ke arah Alex dengan mimik yang kesal. “Kau. Akan kubilang pada bos agar kau satu ruangan dengan Mrs. Leonna!”
Alex tergelak.
Kali ini giliranku yang menertawakan Alex. Aku tertawa mendengar ancaman Evanna. Tidak bisa kubayangkan jika Alex berada satu ruang kerja dengan Mrs. Leonna. Alex pasti mati gaya, secara Alex tipe penggoda yang cerewet dan Mrs. Leonna tipe wanita yang menyeramkan.
“Aku rasa itu ide yang bagus, Na.” aku mendukung ancaman Evanna terhadap Alex.
“Tertawa saja kalian.” Alex kembali ke meja kerjanya dengan kesal. Ia membolak-balikkan lembaran kertas tanpa membacanya.
Ruangan ini menjadi hening. Mereka kembali larut dengan pekerjaan mereka masing-masing, sementara aku larut dalam lamunanku. Pikiranku berkelana mundur saat kejadian di klub itu. Rasanya aku ingin kembali ke sana untuk mencari tahu kenapa Adam bisa berada di New York. Apa dia tidak berniat mengunjungiku ke Seattle? Dia kan tahu aku berkuliah di mana, aku pernah memberi tahunya.
Ucapan Ally menyerang telingaku saat sedang memikirkan Adam. Aku bergidik ngeri membayangkan sesuatu yang mengerikan. Tapi aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Kevin mempunyai kekasih lain. Kenapa aku tidak? Itulah isi hatiku. Membela diriku sendiri.
“Luna! Luna!” teriak Alex membuyarkan isi lamunanku.
“Apa?”
“Kau dari tadi tidak dengar ponselmu bunyi? Telingaku sampai tuli dari tadi mendengar suara dering ponselmu itu,” gerutu Alex.
Aku melirik ponselku lalu mengeceknya.
8 panggilan tidak terjawab.
3 pesan masuk dari Kevin.
Aku buru-buru menelponnya balik tanpa membaca ke tiga pesan masuk darinya. Pasti Kevin sangat marah karena aku tidak mengangkat telponnya.
Sambungan pertama sudah di angkat oleh Kevin.
“Kenapa kau tidak mengangkat teleponku?!” itu adalah sambaran pertama untukku dari suaranya yang mengerikan.
Untung saja aku sudah memberi jarak cukup jauh dari telingaku. Aku tahu dia akan mengomel saat menerima telpon dariku.
Dia membentakku seperti ini seolah-olah semalam tidak terjadi apa pun diantara kami. Hanya angin lewat saja. Dasar pria.
“Aku tidak harus memandangi ponselku 24 jam kan?” belaku dengan ketus, “ada apa meneleponku?”
“Aku hampir saja datang ke kantor dan mengobrak-abrik kantormu karena tidak menjawab teleponku,” suaranya terdengar sangat kesal. “datang ke kantorku sekarang.”
Aku menautkan ke dua alisku. “Tidak bisa. Banyak pekerjaan,” tolakku.
“Kau kemari atau aku yang ke sana?” ancamnya dengan nada bersungguh-sungguh dan tidak terbantahkan.
Aku terkesiap. Kevin tidak boleh datang kemari. Aku tidak ingin ada yang tahu bahwa Kevin adalah suamiku.
“Hah.” aku mendesah kesal. “baiklah aku segera ke sana.”
“5 menit.” dan dengan tidak sopan ia mengakhiri teleponnya.
Dia pikir kantorku dengannya berdekatan memintaku datang dalam waktu 5 menit?! Atau dia kira aku ini penyihir yang bisa hilang dan datang dalam sekejap?
Kalian tahu? Aku terkadang berpikir Kevin mempunyai kepribadian ganda. Kadang lembut, kadang suka membentak. Dua sifatnya itu cepat sekali berubah-ubah tanpa bisa kutebak.