Covina Ven meninggalkan Indonesia untuk mengikuti program Tidur selama 20 tahun dari perusahaan Sleep and See. Sebuah program yang menjanjikan mimpi indah selama tidur. Beberapa orang yakin, programini sebenarnya hanyalah sebuah cara untuk membuat legal bunuh diri. Covina yang seolah sudah bosan hidup tidak lagi memerdulikan apa kata orang mengenai program tersebut. Yang terpenting baginya, ia bisa lari dari kenyataan pahit yang ia tak bisa ceritakan pada siapapun. Tak seperti yang ia bayangkan, siapa sangka program ini mengharuskannya mengikuti program pemulihan emosi dan kontrol diri salama satu bulan sebelum ia benar-benar ditidurkan di dalam kapsul. Saat inilah, ia bertemu dengan beberpa orang yang tertarik pada dirinya serta menyeretnya ke dalam masalah
Pergi dari ruang kepala sekolah aku segera menuju mejaku di ruang guru. Kembali membereskan semua barang-barang tak terpakai. Temanku Vella menyadari ada yang janggal dari apa yang aku lakukan.
"Cov, kamu beneran pergi?" tanya Vella padaku.
"Kenapa?" Aku terdiaam tak bisa menjawab.
"Kamu nggak dipecat kan?" tanya Vella lagi. Aku tersenyum dan memasukkan beberapa barang ke kantong plastik untuk dibuang.
"Aku nggak dipecat kok, Miss Vella. Emang kan aku yang mau mengundurkan diri sudah dari beberpa bulan lalu"
"Terus, si Tara bilang apa?" tanya Miss Vella. Ia memang lebih tua dari kepala sekolah Tara. Jadi ia memanggilnya dengan sebutan nama saat tidak berhadapan secara langsung.
"Nggak bilang apa-apa. Ini memang keputusanku sendiri." Jawabku simple.
Miss Vella membantuku memasukkan semua hal dan merapikan mejaku. Dari awal mejaku sudah terlihat kosong. Kini meja itu benar-benar kosong. Seperti tak berpenghuni.
"Nomor WA jangan ganti ya?" kata Miss Vella.
"Nggak lah. Aku nggak pinter mengingat nomor juga kok!" kataku. Aku mengambil tas dan berpamitan pada yang lain.
"Bareng gue aja!" kata Miss Vella.
"Makasih Miss, tapi aku nggak balik ke kos. Langsung ke Bandara." Jawabku. Aku memeluknya sebagai salam perpisahan.
"Loe ati-ati!" kata Sandra. Teman guruku yang lain. "Ntar kalau ada apa-apa, WA aja."
"Iya, Miss kalau butuh bantuan WA aja pasti kita bantu kok." kata Nera.
Aku terenyum. Mereka memang tak perlu diragukan lagi.
"Terimakasih semuanya. Selamat tinggal." ,kataku setelah memeluk mereka.
Aku mengucapkan selamat tinggal dan meminta maaf jika aku ada kesalahan pada para satpam. Selepas itu, aku masuk ke taxi mobil yang kupesan secara daring.
"Selamat siang, Kak. Ke Cengkareng ya? Mau lewat tol saja?"
"Iya Pak, tolong ya"
Kurang dari satu jam kami tiba di bandara. Aku keluar dari mobil dan menghampiri seorang petugas.
"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?". Aku segera menujukkan ponselku sebagai bukti cheak in.
"Ke LA ya Bu? Silahkan sebelah sini." katanya. "Ada koper yang perlu di masukkan bagasi?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng.
"Baik, silahkan tunggu. Pesawat masih sekitar satu jam lagi."
Aku melihat-lihat suasana sekitar. Banyak juga yang akan pergi hari ini. Aku melihat tiket. Berharap duduk sendiri tanpa ada gangguan dari siapapun. Duduk dekat kaca sehingga aku bisa melihat langit yang memesona.
Aku memeriksa ponselku dan diam-diam berdoa. Tuhan apakah keputusanku ini tepat?
Saat kubuka mata aku kembali melihat keadaan sekitarku. Rata-rata membawa sebuah koper. Hanya aku saja yang membawa sebuah tas tangan. Sepertinya, aku memang sudah siap. Tak memerlukan apa-apa lagi.
Aku melihat beberapa orang asing membawa rangsel. Mereka sekelompok turis backpacker. Ada juga seorang yang seperti pebisnis kelas atas. Aku mendekat ke jendela kaca. Ada banyak peswat berjajar. Beberapa akan segera take off.
Pramugari dan pilot banyak yang berlalu lalang. Mereka memakai atribut yang mencolok sehingga siapapun langsung tau mereka dari maskapai apa. Di luar ruang tunggu, ada toko-toko souvenir. Toko-toko itu sedang ramai.
Batik, gelang, kalung pernak-pernik lainnya. Semuanya khas Indonesia. Seorang anak muda masuk ke ruangan ini. Ia membawa kardus mie instan. Sepertinya ia adalah mahasiswa Indonesia yang akan belajar ke luar negri. Seorang anak Indonesia sejati.
Aku kembali duduk. Di sebalahku kini ada seorang anak perempuan dengan ayahnya.
"Miss, Covina Ven?" tanya seorang petugas dari maskapai.
"Ya." Jawabku. Ia mengajakku pergi ke ruangan lain. Ia memintaku untuk memilih menu snack sambil menunggu keberangkatan pesawat.
Aku tak pernah tau, kalau tiket yang aku dapatkan ternyata termasuk snack dan makan dua kali. Petugas ini menjelaskan, bahwa aku akan duduk di dekat jendela di kelas bisnis. Jika berkenan aku bisa memesan makanan sekarang. Sehingga nanti saat makanan sudah siap mereka akan segera mengantarnya ke tempat dudukku.
Aku memiilih cokelat dan pastry. Untuk makan malam, memilih pasta dan salad. Tak lama, maknan ringan yang aku pesan datang. Aku menikmati cokelat dingin dan pastry ini. Mungkin ini akan jadi yang terakir.
Seseorang mendatangiku. "Miss Covina Ven?" tanyanya lagi.
"Perkenalkan saya akan menjadi pilot anda. Nama saya Budi Atmadja. Jika butuh apa-apa silahkan hubungi kru kami. Dengan senang hati akan menolong anda."
Aku berterimakasih. Pilot itu pergi ke meja lain untuk menyapa penumpang kelas bisnis lainnya. Tak terlalu banyak hanya ada sekitar lima orang di ruangan ini.
Aku berfikir sejenak. Dan melihat ke arah pemain biola yang sedang memainkan musik. Aku mendekatinya.
"Kakak…" sapanya padaku saat aku mendekat padanya.
Permainannya sangat bagus. Aku ingat, dulu aku pernah menyukai lagu yang suara biolanya begitu terdengar jelas. Aku ingin memainkan biola. Tapi tentu saja itu tak mudah. Ada sebuh buku berjudul "Maryamah Kaprov" karya penulis Indonesia yang cukup terkenal.
Buku itu menceritakan bahwa biola selain dimainkan dengan perasaan bisa juga dimainkan dengan logika. Ini berlaku bagi mereka yang berhati dingin tapi tetap ingin main.
"Ingin aku mainkan sebuah lagu?" kata anak itu lagi.
"Tidak terimaksih. Mainkan saja yang Adik bisa." Kataku. Ia tersenyum.
"Namaku Anelia. Aku ikut kursus Biola sejak satahun lalu. Aku tak menyangka akan mendapat tawaran bermain biola di ruang tunggu kelas binis setiap hari Jumat. Sekitar satu jam." Katanya menjelaskan.
"Apa mereka membayarmu?"
Ia menggangguk. "Dengan harga yang cukup fantastis. Aku juga mulai popular di media sosial."
Selesai menerangkan, ia kembali memainkan biolanya dengan lagu-lagu bertemakan keroncong. Itulah sebabnya ia memakai gaun batik. Di depan tempat ia duduk ada tulisan yang menyatakan bahwa gaun yang ia kenakan karya desainer terkenal asal Indonesia.
Zaman memang sudah berubah. Terkadang mereka yang masih di bawah usia sudah mampu berpeghasilan lebih dari yang suadah layak bekerja.
"Nona Covina Ven?", katanya seorang wanita perpakaian pramugari di belakangku.
Aku segera menoleh, tak sadar sejak kapan ia sudah berada di belakangku.
"Kita akan segera berangkat. Apakah anda sudah siap? Tanyanya padaku."
"Tentu saja."
"Apakah ada yang bisa saya bantu bawakan? Mohon cek ulang dan pastikan paspor elektronik Anda tidak tertinggal di petugas pemeriksaan tadi."
Aku segera mengambil tasku dan mengikuti wanita itu pergi.
Ready or Not. Semua sudah diputuskan. Aku tak akan menyesalinya.