Cakrawala Pangestu adalah orang yang bisa mengendalikan diri dengan sangat baik, Wijaya tahu ini. Tak butuh waktu lama, dia bisa mengerti kalau Cakra tipe manusia yang ... selalu berusaha kalem dalam situasi apapun. Amarah hanya akan membuat otakmu menjadi cetek (dangkal) dan keputusanmu sangat memalukan.
Wijaya sangat setuju dengan persepsinya, tapi dalam menghandle masalah, dia tak bisa sesabar Cakra. Tak pernah bisa sekalem lelaki kelahiran Kediri itu.
Saat ini saja, kesabaran Wijaya hampir habis.
Wanita yang dipanggil Mbak Debby oleh Cakra, si anak dari Ibu Kos (menurut apa yang Wijaya dengarkan) ini benar-benar keterlaluan mulutnya! Hei! Padahal Cakra dari tadi menjawab semua kalimat bernada tinggi nih manusia dengan elok, tapi si betina ini? Bukannya mendengarkan justru makin nyolot! Wijaya sampai terdiam lama, mendengarkan makian tak beradabnya pada Cakra, memilih untuk lebih mempelajari situasi.
"Maaf mbak, seperti yang aku bilang tadi. Aku sudah bilang sama ibu (ibu kos) buat bayar setelah bidik misiku cair dan beliau mengizinkan, mbak," kata Cakra lagi, mengulang kalimat yang sama untuk kedua kalinya setelah menghela napas panjang.
"Nggak bisa gitu dong cak! Ngira-ngira juga elah kalau nunggak! Lu kira uang dari lu nggak bakal diputar apa? Mentang-mentang emak gua baik sama lu, lu ngelunjak! Gua nggak mau tau. Minggu depan harus lunas. Sekarang seadanya aja. Besok pelunasannya!" balas manusia itu dengan suara super sengak dan intonasi tinggi melengking.
Kalimat yang membuat Wijaya yakin untuk berdiri dari posisi duduknya dan bergerak pelan ke arah pintu. Sudah, tak perlu lama-lama lagi dia tahu wanita ini menginginkan uang. Dan hah, dugaannya bukan kos-kosan yang membutuhkan uang itu.
"Nggak bisa gitu mbak... uang yang aku pegang sekarang cuma cukup buat makan sama ngeprint tugas... bidikmisi-ku belum cair, mbak," Cakra menghela napas panjang. Wijaya bisa melihat kekasihnya sedikit frustasi dengan mulut seekor betina di hadapannya ini. Masuk akal, sih. Apalagi kalau harus mengatakan kalimat yang intinya sama. Berulang-ulang. Bicara kan capek juga ya. Apalagi untuk si Cakrawala yang bukan tipe vocal.
"Ya lu sih, ngapain juga bidik misi segala? Lu masa nggak tahu pemerintah hobi ngaret kalau ngasih duit beasiswa?" Perempuan itu, si Debby, kini bersedekap. "Sudah, lu kan ketua EM tuh, korupsi dikit lah, rugi lu nggak manfaatin kedudukan lu!" tambah wanita itu, mukanya ditekuk, matanya memutar jengah.
Wijaya yang baru saja berdiri di belakang Cakra, jelas melihat ekspresi ini. Woa... kok kesal ya? Melihat kekasihnya nggak dihargai begini kok bikin Wijaya ingin benturin wajah sok si embak-embak ini ke dinding ya? Untung cewek nih... coba cowok. Udah dari tadi Wijaya smack down.
Dan itu yang membuat Wijaya memutuskan menunjukkan diri, "Kenapa, Cak?" tanyanya pada si kekasih, basa-basi. Yang hanya dibalas gelengan dari Cakra, gestur singkat sebagai representatif jawaban, 'nggak apa-apa, Wi,' yang tanpa diucapkan saja Wijaya seolah bisa mendengarnya.
Jika jawaban Cakra bisa Wijaya prediksi, respon wanita berusia 33 tahun (sepertinya) ini diluar dugaan Jay.
"Ganteng banget," adalah respon Debby, tanpa malu, secara gamblang. Wijaya shock jujur saja. Dia bisa mengatur mimik muka untuk tetap terkendali, tapi jujur dia kaget ketika ... suara sengak yang tadi mengomeli tiba-tiba berubah menjadi lantunan keterperanghan.
Dan ketika Wijaya menoleh, dia dapati keterkejutan merajah wajah bulat wanita yang rambutnya disanggul dan ditusuk dengan sumpit itu. Maniknya yang berwarna merah—soft lens jelas—membulat, sebelum tiba-tiba dia buru-buru membetulkan letak cepol rambut, pakaian dan menyunggingkan senyum.
Senyum buaya.
Berikutnya, dengan suara dimanis-maniskan, dia mencolek tangan Cakra, "Cak, siapa nih? Kenalin dong ...," dan curi-curi pandang ke arah Wijaya. Saat pandangan mereka tak sengaja jumpa, wanita berdada cup C ini kemudian mengerling, lemparkan kedipan.
Yang jujur saja ... bikin perut Wijaya jumpalitan, menahan muntah.
Si manik cokelat hanya tertawa seadanya, masih berusaha beramah tamah. Sedangkan si betina didepan mereka, mencolek tangan Cakra kembali. Minta diperkenalkan. "A-ah.. ini temanku, mbak. Namanya Wijaya, semalam menginap disini."
"Hoo ... jadi lu ya yang parkir mobil Audi di depan itu? Boljug~" cengiran Debby merekah makin lebar. "Gua Debby, anak pemilik kos ini. Kenalan?" kata si wanita seraya mengulurkan tangan pada Wijaya sambil berikan tatapan berbinar. Dan itu bukan hal yang baik. Sangat tidak baik. Cakra menyadari ini. Sebenarnya ingin ia cepat-cepat mengakhiri pembicaraan dan kembali ngobrol dengan Wijaya atau semacamnya di kamar saja. Hei! Kegiatan ini sama sekali tidak bermanfaat!
"... Wijaya, salam kenal," adalah respon pemilik tahi lalat di dagu itu seraya membalas jabatan. Jabatan yang wah, digunakan untuk menarik Wijaya kuat, ke arahnya. Dan membuat pemilik mobil mewah itu kontan menubruknya, menghimpitnya dengan kusen pintu.
Untung saja Wijaya dengan cekatan bisa mengendalikan diri. Jadi tidak, tak sampai ada adegan india di sini. Cuma tak mengelakkan terjadinya kusen-don.
Yang jujur, itu membuat Cakra tercekat. Tanpa disadari, ia membelalak dan mengepalkan tangan kuat melihat adegan ini.
"Sorry, mbak," adalah apa yang diutarakan Wijaya sambil menarik diri, kembali ke posisi semula. Dan saat Wijaya berada di sisinya, saat itulah Cakra bisa melihat jika di balik ketenangan yang ditunjukkan sang Antaresa, kestabilan suaranya dalam menghadapi Debby ... ada kilat jengah di manik arang itu. Lebih, sepertinya topeng itu sedikit retak, jadi Cakra bisa mendapati ... senyuman risih.
Aduh, aduh ... ini membuat Cakra semakin sungkan! Aduhhh!!
Hanya saja, diluar dugaan Cakra, Wijaya lebih bisa mengendalikan diri dari yang dia duga. Lelaki itu menyunggingkan senyum kemudian, berolah tubuh sopan saat kembali mengulang lagi pertanyaannya. Kelihatan sekali, ia sengaja acuhkan Debby yang jelas-jelas mencari perhatian dengan mentoal-toel tangannya, dia bahkan menarik jemarinya, membawanya ke belakang, menjauhkan dari jangkauan Debby. Cakra sedikit lega di sini.
Namun lain Cakra, lain anak Ibu kosnya. Oh, mimik wanita berumur kepala 3 itu berubah. Jutek lagi, kembali pada niatnya semula. "Ini lho... si Cakra, belum bayar kosan 5 bulan," katanya sambil mendengus, wajahnya tertekuk, tunjukkan aura tak bersahabat.
Mendengar ini, ekpresi Wijaya berubah. Ia langsung menoleh pada kekasihnya di samping. Matanya menelisik, tanya terlempar dari bibirnya, "Cak?" Sebuah ekspresi terbentuk kala ia bertanya. Namun bukan, bukan untuk menanyakan keabsahan kalimat Debby, melainkan menanyakan dalam diam 'ada apa? Kenapa? Ada masalah?' Hei! 5 bulan itu ... hampir seperti usia pacaran mereka! Kenapa Cakra tidak cerita padanya?
"Tidak apa-apa, Wi. Ini bukan urusanmu," adalah apa yang diucapkan Cakra kemudian, menjawab pertanyaan Wijaya. Kalimat yang diutarakan dengan senyum elok menawan di tengah wajah tegar berwibawa. Kalimat yang menunjukkan betapa kuatnya Cakra ini, meski sedikit sakit.
Erm, well ... 'Bukan urusanmu', huh?
Menepiskan segala pikir negatif, Wijaya menghela napas. Dia berjalan ke depan, mendorong lembut Debby untuk mundur dan keluar dari ambang pintu. Kemudian setelah di lorong kecil yang dipenuhi sepatu sandal mahasiswa lengkap dengan dalaman yang dijemur sembarangan, Wijaya bertanya dengan lembut, "kurangnya berapa, mbak?"
Perlakuan yang telak, menjadikan wanita itu tersenyum sumringah. Dia kemudian berbinar menjawab dengan gigi terpampang, "3 juta doang, Wijaya. Wijaya mau bayarin kan? Saya akan menerimanya dengan senang hati."
Jawaban yang serta merta membuat Cakra melotot. Iya benar, dia yang biasanya tenang, santai, tiba-tiba membelalak lebar dan memandang wanita di depannya dengan muka tak terbentuk. Kilat tak percaya berkelibat di maniknya—hal yang untungnya bisa dipahami Wijaya. Namun Wijaya menjadi Wijaya, hanya mendengus, sebelum meraih dompetnya.
Melihat hal ini, buru-buru, Cakra memegangi tangan sang kekasih rasa temannya. Menggeleng tegas. 'Tidak, jangan!' adalah makna yang sangat kentara dari manik coklatnya yang indah. Tapi dengan cepat telunjuk Wijaya menempel pada bibir Cakra. Disusul dengan sunggingan senyum dari bibir Wijaya, "Santai, Cak... biar aku yang urus," katanya seraya menepuk puncak kepala Cakra dan kembali memandang Debby di sana.
Hanya saja ketika melihat isi dompetnya, manusia yang dari awal sudah tunjukkan intensinya pada Wijaya adalah uang, menambahkan dengan lantang, "Wijaya, kamu nginep semalam juga kena charge loh. 150 ribu aja permalam."
Komentar yang langsung membuat Cakra tersedak udara. Apa? 150? Hei! Selama Cakrawala Pangestu kos di sini, tidak ada yang seperti itu!
"Terus juga jangan lupa lu parkir sembarangan ... itu bukan tempat parkir mobil, kita tadi ditegur, akhirnya kena denda disuruh bayar 300 ribu," Debby berkicau lagi. Wijaya diam, melirik wanita yang kini melengkungkan senyum. Kemudian terang-terangan anak pemilik kos ini menjulurkan tangan. "Wijaya paham maksud gua, kan?"
Astaga! Astaga! Cakra merasa wajahnya memerah. Dia entah bagaimana malu, tak enak hati. Karenanya dengan cepat ia raih lengan Wijaya, berusaha menariknya mundur. Namun ayal, Wijaya bergeming. Dia tetap di sana, kendati menoleh pula pada Cakra, berikan tatapan penuh makna.
Tanpa suara matanya berkata, 'sudah Cak, tidak apa, aku yang urus'. Entah bagaimana Cakra mengerti itu. Membuatnya ingin angkat bicara, tapi tersenggal saat Wijaya tiba-tiba mengeluarkan selembar kertas dari dompetnya dan memberikan itu pada Debby.
"Apa nih? Voucher? Inpoma? Heh? Yang benar saja, Wijaya!" Debby meneliti selembar kertas yang diberikan padanya, lalu bersungut tak suka. Dia melotot, memandang Wijaya geram. Menggoyang-goyangkan selembar kertas itu di depan Wijaya, wanita ini berkelakar kemudian, "nggak ada namanya orang bayar kos pakai voucher! Emang bisa jadi apa yang beginian?!" Dan kasar tak tanggung-tanggung ia lemparkan kertas itu ke muka Wijaya. "Lu nggak ada duit ya?! Itu audi lu nyolong ya?! Wuuu! Sok tajir lu!" cibirnya kemudian.
Mendengar hinaan itu membuat seorang Wijaya malah semakin melengkungkan seringainya. Heh.
"Eh serius mbak, lu nggak tau Inpoma?" tanya Wijaya, berusaha ceria. Wajahnya seperti anak kecil polos yang tak tahu apa-apa; hah, jelas, sandiwara. "Wah sayang banget deh. Padahal itu toko lumayan terkenal. Produknya lumayan," ia terkekeh kemudian, mengambil voucher di tangan wanita itu sambil berikan tatapan ... meremehkan. "Lu baru keluar goa mana sih mbak sampe ngga ngerti inpoma? Heh. Jangan-jangan ikae juga kaga tahu, kasihan." Jeda sengaja Wijaya ambil, dia mempelajari ekspresi wanita di depannya ini. "Gua ngga bawa duit chas mbak. Cuman ada 2 juta. Tapi yakin ngga mau dapetin voucher inpoma?"
Aah, serangan verbal dan mimik si lelaki universitas B itu membuat mbak Debby tersentak sejenak, membuatnya mengeluarkan hape berlogo apel kroak yang ia beli di pasar gelap di Batam. Cepat, dia membuka mbah guguru dan melakukan search. Daaan dia menadapatkan informasi: 'INPOMA adalah perusahaan ritel furnishings terbesar dan terlengkap di Indonesia, menyediakan berbagai koleksi berkualitas untuk hunian blablablabla'
Setelah menemukan ini, matanya membola. Sehingga dirinya menarik kembali pikirannya. Cepat merebut voucher dari tangan Wijaya. Dan dia menahan napas ketika melihat angka yang ada di sana: 5 dengan enam nol.
Berusaha meredam bungah yang mencuat, menahan senyum girang melengkung makin besar, Debby mengatur mimik. Dia sok sokan kembali judes. "Yaudahlah kalau lu nggak bawa duit cash dan lu memaksa ... gua ambil ini."
Jawaban yang membuat seringai di wajah tampan Wijaya melebar. 'Heeh... dasar jalang murahan,' decaknya dalam hati. Dasar manusia, giliran tahu kalau ada brand di balik yang ditawarkan saja ... langsung mau-mau. Dia menduga kalau ia tawarin hal yang lebih mahal, nih betina ia suruh ngangkang pun keperawanannya (kalau memang masih) pasti akan diberikan! Rendah!
"Yaudah ya mbak, lunas," kata Wijaya santai, mengembalikan ekspresi berengseknya kembali menjadi malaikat.
Si betina tak tahu diri yang tak menyadari hal ini hanya mengangguk, kemudian melangkahkan kakinya untuk pergi. Tapi, belum ada dua langkah, tangan Wijaya mencekal lengannya. Membuat si mbak menoleh. "Kwitansinya, mbak."
Wijaya tersenyum penuh kemenangan.
***
Selepas kejadian itu, Cakra dan Wijaya memutuskan untuk berbicara di dalam kamar. Hanya saja, karena panggilan alam, Wijaya melenggang keluar, mencari tempat untuk buang hajat. Dia sendiri, tentu saja, dan meninggalkan kekasihnya sendiri di dalam kamar.
Dalam keheningan ini, Cakra duduk di pinggiran kasurnya dengan gelisah. Ia meremasi tangan, mengulumi bawah bibirnya, dan bergerak gusar. Ah ini sebuah kebiasaan yang sering dilakukan Cakra ketika menghadapi situasi tak terkendali, gelisah. Ia terus begini, sambil sesekali mendongak ke arah pintu, menanti-nanti pacarnya yang baru pipis. Entah bagaimana, rasanya kepergian Wijaya serasa setahun! Mencekiknya!
Gugup, Cakra kembali menunduk ketika tak dapatkan apa yang ia cari. Dia kembali meremas, hingga bayangan seseorang mendekati dirinya, membuat si manik cokelat itu mendongak. "Wijaya!"
Sementara lelaki yang baru saja melipir ke kamar mandi itu, hanya bisa mengerjap. "Eh kenapa, Cak?" tanyanya keheranan dengan roman sang Kekasih, yang sepertinya dipeluk kemelut antah berantah. Kenapa?
Pertanyaan ini membuat Cakra menarik lengan kaos sang Wijaya, mendudukkannya di sisi. Kemudian dia memandang pemilik netra gelap itu lurus. Sesaat bibir ia kulum, sebelum dia akhirnya mengatakan, "tadi habis berapa, Wi?"
Sesaat, Wijaya terdiam. Ia balas tatapan kekasihnya ini, mencoba mencerna akan dibawa kemana pembicaraan ini. Dan ketika dia menangkap betapa Cakra memandangnya penuh ketak-enak hatian, Wijaya paham. Seulas senyum ia rekahkan, lalu tanpa pemberitahuan dia memeluk Cakra. Aaaaaah! Sial! Kenapa pemuda ini begitu imut, polos, dan suci sekali, sih??
Cakra terkejut tentu saja, dia kuat berusaha mendorong Wijaya, tapi menguatkan dekapannya, Wijaya melampaui gaya yang diberikan Cakra. "Wi, lepas!!" seru kekasihnya itu, berjuang untuk melepaskan diri. Hanya saja ketika lirih Wijaya bertanya, "kenapa aku baru bertemu denganmu, hm?" Cakra berhenti memberontak.
Dan ini membuat Wijaya ingin bergerak lebih. Mulanya ragu, hanya ketika Cakra tak berikan perlawanan lebih lah dia mulai bergerak mantap. Ia tangkup belakang kepala Cakra, mengelusnya lembut. "Sudah, ngga apa Cak. Untukmu, tak apa ..."
Dan reaksi Cakra? Ia mengeratkan pegangannya pada kemeja kaus Wijaya, alisnya bertaut kesal. Aah, imut sekali melihatnya. "Nanti pokoknya aku ganti ya, Wi? Nunggu bidikmisi dulu. Ya?" Dan kemudian bersikeras untuk tetap membayar hutangnya.
Tapi bukannya menjawab, Wijaya malah mendorong tangannya yang sedang berada di belakang kepala sang kekasih. Membuat Cakra terkejut. Dan semakin terkejut ketika—
Cup!
Bibir Wijaya menempel pada bibir sang Cakrawala.
Ciuman super kilat yang menghentikan aliran pikir Cakra. Lalu cup! lagi, dia merasakan bibir itu kembali mengecup. Kesal, Cakra berusaha mendorong, sayangnya kekuatan Cakra tak sebanding dengan lelaki di depannya. Membuat Cakra pasrah saat bibirnya dipagut perlahan.
Sepersekian detik kemudian, ciuman itu dilepaskan. Wijaya memberikan sela pada Cakra, menyeringai. "Kalau kamu maksa bayar, aku juga bakal maksa kamu buat ciuman sama aku,"
"Ngga boleh gi—" ciuman diluncurkan, Cakra kicep. Kalimatnya terpotong.
Wajah kalem itu kini memerah, malu. "Wi-Wijaya...!!"
"Diem beb," kata Wijaya sambil terkekeh, sebelum menempelkan bibirnya di mulut Cakra sekali lagi. Afeksi yang jujur membuat Cakra ingin meleducc. Bukan karena emosi, tapi karena malu.
Dan kali ini ... Cakra berjanji pada dirinya sendiri, untuk kali ini saja, Cakra bukannya mendorong, justru memejamkan matanya.
Dalam diam, ia ikut menikmati kecupan Wijaya.
Bahkan ketika Wijaya mengendurkan dekapannya, Cakra diam. Ia masih memejamkan mata, menikmati sensasi menggelitik yang percikkan listrik statis dalam dirinya.
Saat Wijaya melepaskan pagutan bibir sedetik sebelum merubah tautannya dari sisi lain pun ... lelaki ketua EM Universitas Negeri ini tak menolak. Ia begitu manut, mengikuti alur.
Kemajuan yang membuat Wijaya ingin jingkrak-jingkrak. Dan saking bahagianya, ia tak bisa mengontrol gejolak. Segera ia buka mulutnya, ia mainkan lidah. Brutal, daging tak bertulang itu menyerang, meminta akses masuk. Sebelum tiba-tiba sesuatu mendorong dadanya kuat daaan membuatnya terjengkang, berdebam di atas lantai dingin.
Wijaya terkejut, matanya membelalak lebar. Sementara sang pelaku, mukanya merah padam. Ia menunduk, tak berani memandangnya. "Ja-jangan pakai lidah, Wi," kata pemilik rema bergelombang itu, masih menunduk, belum berani memandangnya. "K-kan temen," lanjutnya lagi dengan muka makin tertunduk, tapi semburat merahnya makin menyebar, hingga ke telinga.
Pemandangan yang membuat Wijaya mengerjap cepat, cengo. Huh? Gimana? Kan temen, makanya nggak boleh pakai lidah? Tapi temen boleh cium? He? Giman—
Belum juga kebingungan Wijaya terjawab, tiba-tiba sebuah suara getaran memecah keheningan. Getaran yang membuat Cakra merogoh ponselnya dan menggeleng pada Wijaya ketika sumber bukanlah darinya. Hal yang membuat laki-laki itu tergesa mencari sang ponsel. Siapa yang menelepon di tengah kencannya begini, huh? Namun alis coklat itu spontan tertaut begitu melihat satu nama: Irus sayur, tengah memanggil.
Dan pemilik manik gelap itu seketika menelan ludahnya. Memencet tombol hijau pada layar datar handphonenya. "Halo, Ru—"
["LU DIMANA, BANGKEEEKKK?!"]
Dan sebuah suara menggelar dari alat komunikasi disana. Jangankan Wijaya, Cakra saja kaget. Suara siapa lagi kalau bukan Fairuz Burhanudin? Sang Wakil Ketua EM Universitas B, manusia yang meski pedas ucapannya justru banyak yang suka. Ah, abaikan informasi tak penting ini.
"Eh, gua di—"
["LU KALO MO MATI BILANG GUA, BAJING! GUA NYARIIN LU DARI KEMARIN! BANYAK YANG BILANG WIJAYA GINI GITU LAH! EH GUA CARIIN LU NGGA ADA! SEKALI LAGI YA, LU KALO MO MATI BILANG GUA! GUA MO LAYAT!"]
Seruan yang langsung membuat Wijaya memijit batang hidungnya. Oke, Fairuz tengah berubah mode jadi emacc-emacc rempong dan doi sekarang lagi murka.
Menarik napas dalam, Wijaya membawa dirinya duduk di samping Cakra dan mulai menjawab seruan demi seruan kawan bermainnya sejak SMA itu. Diawali dengan permintaan maaf, lalu menjelaskan situasi. Iya, Wijaya meminta maaf! Cakra sampai terkejut, kau tahu?! Gentle banget vibe Wijaya ketika bercengkrama dengan Fairuz.
["Oke kalau gitu gua ke kosan Cakra sekarang. Kasihan pemuda baik-baik kek dia lu nodai di usia muda."] komentar Fairuz berikutnya, sudah kembali seperti biasa, tanpa gas. Dan seperti biasa pula, asal ceplos. Membuat Wijaya Cakra spontan menyahut dengan, "hah?!"
Lalu karena tak ingin pandangan Fairuz jelek tentang Wijaya, Cakra buru-buru menyela pembicaraan, "nodai gimana? Wijaya anteng kok!" dengan wajah tak berdosanya tentu saja, padahal dia baru saja masuk pembicaraan yang sebelumnya ia hanya menjadi pendengar.
Keheningan memeluk beberapa detik. Sebelum di seberang sana Fairuz terkekeh, ["sekarang anteng. Sejam lagi lu diperkosa, Cak."]
Komentar yang seketika membuat Wijaya ingin membenturkan kepalanya ke apa gitu. Anjirlah temennya ini. Santuy amat bilang begitu?
Hanya saja, Cakrawala memang orang yang jarang sekali negative thinking. Dia mengesampingkan kemungkinan kalimat Fairuz menjadi nyata dan membalas dengan kalem, "udah, ngga apa-apa kok. Wijayanya juga habis ini sehat ... tadi makannya udah banyak".
Sebelum keheningan kembali meraja. Sementara diam menyelimuti, Wijaya berdebar. Bibirnya melengkungkan senyum penuh kasih. Astagaaa ... perhatian sekali pacarnya ini. Manis! Sungguh manis! Namun sayangnya—
["Cie ... Cakra perhatian, cie~"]
—dihancurkan Fairuz dengan komentar itu. Karena apa?
Karena Cakra menjawab santai ucapan Iruz dengan, "eh? Kan ini kewajiban kita dalam berteman. Saling membantu jika ada yang membutuhkan."
Seketika Wijaya memukul jidatnya dengan telapak. Hatinya potecc. Namun ketika Cakra memandangnya yang berduka dengan pandangan jujur-polos-takmengertisalahapadia, Wijaya menghirup napas dalam. Dia segera mematikan panggilan Fairuz dan meraih kepala Cakra, mendorongnya untuk maju hingga kening itu bertumbuk pelan dengan bibirnya.
Dalam diam, Wijaya melihat reaksi Cakra. Ia memerah dan mendengus lirih dengan kalimat seperti, "jangan mengagetkanku, Wi!" terlontar sebagai peringatan.
Tapi dia tidak menolak.
Dia tidak marah.
Baginya ini kemajuan yang berarti.
.
[tbc]