10 08 : SUN!! (cium!!)

Kota M, 25 Januari 2019

Suara langkah kaki terdengar mantap, menyusuri lantai di lorong bagian sebuah universitas. Percaya diri sekali, terbiasa menyusuri jalan itu walaupun bukan universitasnya. Benar, si lelaki ketua EM universitas depan itu sedang berjalan mengunjungi kekasih hatinya. Seperti biasa. Dan tak perlu heran darimana ia bisa yakin begini dengan langkahnya, sudah hampir 6 bulan dua insan ini menjalin hubungan. Cukup lama, mengingat pimpinan mahasiswa Universitas B itu seminggu bisa gonta-ganti pacar 5 kali. Dulu.

Lalu kini, saat si helaian coklat itu akan masuk ruangan, seorang lelaki pujaan hatinya lebih dulu keluar. Cakra, keluar dengan tangan penuh sampah kertas dan plastik. Lalu dengan cepat membuang sampah itu di tong sampah samping pintu. Sebelum, manik cokelat terangnya melihat Wijaya. "Lho, kok sudah datang, Wi? Kukira masih lama," katanya dengan senyum kalem terukir. "Bentar ya, aku masih mau nyapu kantor dulu,"

"Santai, Cak ..." lalu dibalas dengan sumringahan dari wajah sang Wijaya. Lelaki itu memutuskan untuk duduk di kursi samping lain pintu. Menikmati angin. Cakra mengangguk, kembali masuk kedalam ruangan. Tapi tak lama, lelaki kekasih Wijaya itu kembali keluar, membawakan Wijaya sepiring tahu kuning goreng dan petis hasil dari kiriman ibu Cakra yang kemarin-kemarin berkunjung. Membuat Wijaya tidak tahan untuk menggoda, "Makasih Cak. Aku suka kalau kamu perhatian gini."

Ekspektasi Wijaya, Cakra hanya akan mengabaikan ucapannya, mengibaskan tangan sama seperti biasa. Tapi tidak. Hei! Lelaki asli kota tahu itu malah menyunggingkan senyum dengan elok, dengan wajah yang sangat ayu. Sesuatu yang kontan membuat Wijaya mematung sesaat.

Bungah menjerat, hati berdesir kencang.

Dan ... tanpa Wijaya sadari, tangannya bergerak, menarik lengan Cakra. Membuat lelaki itu agak membungkuk dan dalam sepersekian detik kemudian, bibir mereka saling menempel satu sama lain. Sebuah kecupan singkat diluncurkan. Hingga manik cokelat Cakra melebar, terkejut.

Wijaya yang mendapati ekspresi ini kontan melepaskan diri, "kok bisa sih kamu masang muka manis banget," katanya dengan senyum santai merekah, membohongi hatinya yang jumpalitan.

Sedangkan wajah lelaki di depannya memerah, menahan malu. Lalu dengan cepat mencubit pipi Wijaya, dengan keras sekalian. "Jangan menciumku di depan umum, Wi!" Cakra tersenyum, tapi auranya seperti mengeluarkan ultimatum. Dan yang dicubit? Santai, tertawa kecil. Mengiyakan, lalu mengunyah makanan di tangannya. Cakra kemudian hanya menghela napas, kembali ke dalam untuk melanjutkan bersih-bersih kantornya.

Wijaya menyandarkan dirinya di tembok, masih dengan kunyahan tahunya. Menatap langit biru cerah dengan awan tipis-tipis. 'Sudah berapa lama aku tidak merasa begini, hm?' hatinya berbicara. 'Sudah sangat lama, sejak orang itu pergi,'. Namun, lamunannya terputus. Hanya karena melihat seseorang—eh dua orang, yang ia kenal sedang bercengkrama mesra di gazebo depan kantor.

Wakilnya, si emak Fairuz. Dan wakil universitas depan. yah.. tadi memang si Iruz ini pamit sih. Mau ke universitas depan, protes masalah proposal. Hendak sang Wijaya menyapa, namun urung. Demi melihat raut wajah wakilnya yang nampaknya senang sekali berbincang dengan Imam yang berwajah datar. Lelaki ketua EM itu menyeringai. Heh, bisa juga wakilnya yang cerewet macam emak itu berwajah sedemikian rupa.

Beberapa waktu berlalu. Dan saat piring di tangan Wijaya sudah kosong, Cakra muncul di depannya, sembari memanggul tas ranselnya. "Sudah makannya?" kemudian mendapat anggukan dari Wijaya, Cakra mengambil piring itu. Menaruhnya di meja dekat wastafel. "Ayo, katanya mau cari makan? Eh tapi motorku nanti dipakai sama Imam, buat nge-ojek online,"

"Nggak apa-apa Cak. Pakai mobilku aja kalau gitu," Wijaya menjawab enteng, menarik pelan pergelangan tangan Cakra agar dirinya mendekat pada Wijaya. Dan Cakra, hanya melirik arah lain, sebelum mengangguk pelan. Sejujurnya lelaki berhelaian gelap itu tidak begitu suka naik mobil mewah kekasihnya. Hanya karena nanti mereka bakal jadi pusat perhatian dimana-mana. Tapi kali ini Cakra tidak punya pilihan. Dan merasa sungkan kalau Wijaya harus terus-terusan naik motornya.

"Maaf ngerepotin, ya Wi. Nanti aku yang bayar bensinnya deh," kata Cakra pada akhirnya. Saat mereka menginjakkan kaki di lahan parkir yang luas dan sepi. Membuat Wijaya kembali tidak mampu menahan dirinnya, spontan menarik tubuh kurus itu kedalam pelukannya. Astaga, pacarnya ini imut sekali!

"Cak, Cak... selama ini nggak ada loh yang menawarkan diri beliin aku bensin," bibir Wijaya berbisik pada telinga Cakra. Mendekap semakin erat. Sial, kenapa ia baru ketemu Cakra sekarang, sih? Sedangkan reaksi kekasihnya hanya diam, menyembunyikan wajahnya di pundak Wijaya karena malu.

***

"Wijaya mau makan apa?" itu yang dikatakan Cakra saat mobil Audi itu telah menggulirkan bannya ke aspal. Manik cokelat Cakra menatap wajah Wijaya yang tengah fokus menyetir.

Yang ditanya menggulirkan bola matanya ke arah Cakra, balas menatap. Sekalian berpikir tapi kemudian tersenyum, "Nasi goreng Kunton aja, gimana? Aku belum makan sejak pagi," lalu mengembalikan pandangannya ke depan, menatap jalanan. Yang tentu saja dibalas anggukan oleh Cakra. Setuju. Toh, nasi goreng tidak buruk juga.

Sayangnya, perjalanan mencari makan—bukan mencari kitab suci tentu saja—dua sejoli itu menjadi lebih lama dari biasanya. Padahal kondisi perut sudah semakin kerucukan, tapi sedihnya rumah makan yang diincar tutup daaan berujung Wijaya mengemudikan mobil mewahnya naik ke daerah atas. Menuju kota berikutnya. Kata Wijaya, "ben luwe nisan nang nduwur sekalian ae wes! (biar lapar sekalian, ke daerah atas sekalian aja wes!)," dengan nada merajuk dan pipi menggelembung kesal.

Sedangkan Cakra yang melihatnya? Ia tertawa, melontarkan kata-kata penyemangat. Yah ... sisi baiknya Wijaya bisa semakin lama berduaan dengan sang kekasih.

Oh, benar. Kota M ini dikepung pegunungan, jadi tak perlu menempuh waktu berjam-jam untuk naik ke atas. Dan dalam perjalanan naik ini, sengaja Wijaya tak melewati pusat kota dan naik melalui jalan dalam. Melewati pedesaan, sawah dan perkebunan yang menyejukkan mata. Tidak lupa dengan pemandangan pegunungan dan rumah-rumah yang terlihat dari atas tebing yang mereka tanjaki. Semua begitu indah. "Bagus banget ya?" hingga Cakra berseru. Menatap pemandangan itu dengan manik coklatnya yang berbinar. Membuat Wijaya menyeringai.

Heh, bisa juga pacarnya membuat ekspresi seantusias ini, hm?

Kemudian sengaja pula, Wijaya menurunkan atap mobilnya, membuat mobil abu itu membelah jalanan sepi. Ingin melihat ekspresi Cakra lebih hebat lagi. Dan seketika, wuushh! Angin segar menerpa wajah kedua lelaki itu. Angin yang sejuk alami, bukan dari AC mobil seperti biasanya. Reaksi Cakra? Semakin antusias ia. Tapi kemudian memakai jaketnya yang sempat ia lepas. "Dingin ya Cak? Mau ditutup aja?" Wijaya menatap Cakra sekilas, khawatir.

"Jangan, begini saja. Asyik," jawab si lelaki berkemeja biru polos itu, memandang pemandangan pegunungan indah didepan mereka. Haha, manis banget sih? Dan Wijaya lagi-lagi mencuri kesempatan, diciumnya pipi Cakra cepat. Membuat empunya terkejut. Lalu mendorong pundak Wijaya dengan tangannya. "Apa sih, Wi? Sana fokus ke jalan! Nanti kalau nabrak gimana?"

Wijaya hanya membalas dengan cengiran. Menuruti perkataan Cakra, kembali memandang jalan di depan. Tapi, beberapa kali lelaki itu mencuri pandang si manik cokelat disampingnya. Wajah Cakra bersemu merah, menatap arah lain sambil memegang bagian pipi yang telah dicium olehnya.

Haha, manis sekali.

Cakra sangat manis dimata Wijaya.

Ilegal ini. Kemanisan yang seperti ini sungguh ilegal.

Kan ... kan ... hanya dengan mencuri-curi pandang saja Wijaya jadi berdebar sendirian! Apalagi ketika ia melihat Cakrawala-nya itu sedang mengamati jalan, dengan rambut tertiup angin dan bergoyang-goyang. Hssss! Bisa-bisa sampai tempat makan nanti Wijaya ke kamar mandi dulu dan bukannya memesan!

Berusaha mengalihkan perhatian, Jay akhirnya membuka pembicaraan. Daaan karena ia adalah Jay, dengan elegannya dia memutus keheningan menggunakan sebuah pernyataan, "Cak. Love you."

Yang tiba-tiba diajak bicara tentu saja kaget. Pemilik rema bergelombang itu langsung menoleh ke sumber suara dengan pupil membesar. Beberapa saat mereka berpandangan sebelum akhirnya Cakra salah tingkah sendiri. Ia membuang pandang, mengamati pepohonan di luar sana. "Emm, makasih, Wi," gumamnya lirih sambil mengulum bibir, "apa sih, kok tiba-tiba, Wi?" tak berani memandang pacarnya yang terus berikan tatapan penuh harapan.

Sementara yang ditanya hanya terkekeh. Ia kembali memandang ke depan dengan siku di jendela yang terbuka, mengemudi sambil merilekskan tubuh. Sesaat ia diam, tak menjawab pertanyaan Cakra itu. Namun matanya masih curi-curi pandang, sengaja menunggu saat Cakra tergelitik akan jawabannya dan menoleh ke arahnya.

Tepat saat-saat yang ditunggu tiba, Wijaya langsung mencondongkan tubuh dengan cepat ke arah Cakra, mencium keningnya, sebelum mengembalikan perhatiannya ke jalanan. Hal yang membuat Cakra memerah tentu saja. Namun sebelum kekasihnya itu bisa berpaling lagi, Wijaya menjulurkan tangan, menangkap rahang pacarnya. Lalu lembut, dia mengusap dagu Cakra sembari berbisik, "pokoknya kamu harus tahu Cak, aku cinta banget sama kamu."

Cakra tersenyum sopan, lalu pelan ia meraih tangan Wijaya dan membawanya ke samping, ke atas armrest yang sedikit terbuka. "Nyaopo to Wi? Wes sana nyetir seng nggenah, (kenapa sih, Wi? Sudah sana, nyetir yang bener)" gumamnya sebelum sedikit menarik bahunya ke samping, menjauh. Sebuah perubahan yang sangat halus, tapi tertangkap ujung mata Wijaya.

Hal yang entah bagaimana tiba-tiba seperti menyayat hati Wijaya. Hanya saja, lelaki itu berusaha menepis segala emosi negatif yang perlahan membebat dengan mengotak-atik player di mobilnya. Namun berikutnya kedua insan ini diam. Wijaya sibuk sendiri sementara Cakra ... ia sedang menikmati hembusan angin dan pemandangan hijau di luar sana.

Tapi bukan berarti Cakra tak menyadari perubahan pada pacarnya itu. Karenanya ia kembali mengulum bibir dan memutar otak. Sesuatu ... Cakra harus mencari suatu topik agar keheningan ini mencair.

"Oh iya, Wi!" ucap Cakra begitu ilham datang. Ia menoleh ke arah Wijaya yang sedang menyandarkan badannya di pintu mobil dan mengemudi dengan satu tangan. Hiraukan itu, Cakra melanjutkan perkataannya, "kosan yang baru, yang kamu kasih tahu itu, nyaman banget lho! Nggak nyangka banget harganya cuman satu juta delapan ratus!"

Wijaya mengerjap mendengar perkataan Cakra ini, sejenak loading sebelum terkekeh pelan. "Iya dong. Aku nyarinya aja sampai pusing sendiri, berbulan-bulan," kata Wijaya mantap, dengan seulas seringai merekah sementara otaknya berkelana ke sebuah bangunan di jalan Sutami yang kini ditempati Cakra.

Jadi ceritanya ... pasca kejadian tak mengenakkan dengan Debby kala itu, Cakra sering kehilangan sesuatu. Tidak setiap hari hilangnya, tapi jelas benda-bendanya mulai lenyap perlahan. Parahnya sampai di suatu kejadian, saat Cakra mandi, mac yang Wijaya pinjamkan pada Cakra selama laptop kekasihnya diperbaiki ... raib. Tak hanya mac, bahkan dompet Cakra ikut amblas. Padahal aku Cakra, kamarnya dikunci!

Oh, Cakra panik. Dia. Sangat. Panik!

Saat mengabarkan kejadian ini pada Wijaya, ia sampai gemetar. Hampir menangis bahkan. Uangnya di dompet adalah uang bidik misi yang ia tunggu-tunggu, lalu kendati Wijaya tak masalah laptop yang seharga motor gede itu hilang, beban moril membuat Cakra menjadi ... stres. Kacau.

Dan ... karena hal itulah Wijaya memutuskan Cakra harus pindah.

Oh, Cakra tidak mau tentu saja. Ia merasa tak berdaya jika harus mencari tempat lain. "Aku hanya mampu di sini, Wi, yang lain mahal," adalah tuturnya saat ide pindah kosan disampaikan oleh Wijaya. Ia menunduk, menggigit bibirnya sendiri dengan tangan meremas-remas ujung pakaian.

Kondisi yang jujur, membuat Wijaya teremat. Namun Jay tahu betul jika Cakra ... orang yang paling anti berhutang.

"Pake uangku nggak apa Cak. Kamu bisa kembalikan kalau masalah sudah selesai. Tapi intinya, kamu harus pindah!" Wijaya ingat benar apa yang dikatakannya, ia juga ingat ketika ia sampai menekuk kakinya, berlutut di depan Cakra yang hanya mampu memandang lantai sebelum menangkup kepala mungil itu dan membawanya perlahan ke atas, hingga mereka saling bertatapan. "Kamu itu ditarget, sayang ... seseorang sengaja mengambil barangmu, bukan yang lain," ucap Wijaya kemudian, pelan.

"Kenapa, Wi? Kenapa aku?" tanya Cakra kala itu, suaranya pecah.

Sesuatu yang jelas menggempur pertahanan Wijaya untuk tak menariknya dalam rengkuhan. Malam itu, Wijaya memeluk Cakra kuat. Ia mengusap punggung ramping itu pelan, halus. Kemudian ia menjelaskan, menjabarkan teori yang dia punya mengapa Cakra yang diincar.

Itu tak lain adalah karena Wijaya.

Karena Cakra pernah mengizinkan seseorang dengan tunggangan audi menginap di kosan menengah ke bawah yang bahkan parkiran saja tak punya.

"Kalau kamu nggak pindah, Cak, yang ada barangmu makin habis," melepas pelukannya, Wijaya mengusap rema Cakra. Menautkan dua mata di udara, Wijaya tersenyum kecil. Cakra tampak begitu rapuh. Ia seolah hampir pecah. Dan Wijaya tak menginginkan itu. Oleh sebab itulah Wijaya tersenyum kecil, berikan gestur penuh pemahaman, penuh pengertian, dalam tiap usapannya di puncak kepala Cakra. Sebelum lirih dia berkata, "aku bisa mengganti apa yang hilang itu, Cak. Tapi aku tahu kamu tak akan mau merepotkan orang. Karenanya"-jari panjang berhenti mengusap, dua telapak besar menangkup wajah Cakra-"bijak kiranya jika kamu pindah saja, Cak."

"Tapi—"

Wijaya mencium Cakra kemudian. Tubuh besarnya merengkuh Cakra. "Kali ini saja, bersandarlah padaku," gumam lelaki itu seusai mencium. Lalu ia menghujani Cakra dengan kecupan, memberi tahu lewat sentuhan jika ia ... Haris Wijaya ... akan selalu ada.

Dan akhirnya Cakra setuju.

Hanya saja, Cakra mau pindah jika dan hanya jika ada kosan yang akan ia tempati lebih bagus atau setidaknya fasilitasnya sama, dengan harga 11 12 dengan miliknya saat ini.

Woa, syarat yang bikin Wijaya cemat-cemut jujur saja. Beberapa hari ia browsing di internet untuk mencari, tapi tak ketemu. Kosan yang layak huni (menurut kacamata seorang Wijaya) harganya mahal untuk kantong kekasihnya. Selama apapun ia menyelami internet, hasilnya sama. Bahkan Wijaya sampai blusukan, kau tahu?!

Iya, dia sampai meminjam motor temannya dan menggok ke tiap gang. Bahkan sampai ia mencari di tempat yang jaaauuuh dari kosan Cakra, sampai di perempatan tong. Ada sih yang pas di sini, mobil juga bisa parkir (di lapangan dekat kosan, ada tarifnya juga), tapi tidak, tidak. Kejauhan.

Terlalu bingung mencari kosan sederhana, Wijaya sampai curcol ke Fairuz yang sedang baca komik Jepang. Curhatan yang berujung cibiran dari mahasiswa kedokteran itu, "Jay. Lu kalau punya otak jangan cuma jadi pajangan, kenapa?" kata si Iruz mengawali silatan lidahnya yang pedas. "Lu kan pacarnya nih, lu pasti taulah si Cakra itu polosnya naudzubillah. Ya udah lah. Lu pilih kosan yang lu suka, kibulin tuh pacar lu yang goblok enggak tapi terlalu percaya sama sejuta umat manusia itu. Bilang aja kosan yang lu pilih harganya sejuta, terus lu kongkalikong sama yang punya biar ikutan ngibul. Beres kan?"

Daaan begitulah akhir dari pencarian kosan.

Iya, kalian benar. Sejuta delapan ratus yang diucapkan oleh Cakra tadi? Itu harga asal ucap Wijaya. Makanya dia sendiri lupa.

"Wi?" adalah suara Cakra yang membangunkan Wijaya dari alam berpikirnya. Dia spontan memandang kekasihnya itu dengan cepat. "Terima kasih ya," ucap pemilik rema gelombang itu seraya menyunggingkan senyuman manis.

Senyuman yang membuat Wijaya berdebar tak karoan. Ealah, dasar hati. Tadi nyut-nyutan sekarang berdebar. Ah memang lah. Setiap bersama Cakra, perasaannya seperti permen nano-nano, rame rasanya.

"Terimakasih doang, sun dong Cak," kata Wijaya, berusaha meredam debaran di relung dadanya. Sengaja ia menggoda, bahkan dia sampai menunjuk pipinya sendiri, karena yah ... tadi saja kan Cakra sedikit tak nyaman dia cium-cium jadi tak mungkinkan Cakra akan menciu—

Cup!

"Su-sudah ... kan?"

Wijaya langsung memenggokkan mobilnya dengan ciuman ini. Untungnya dia memang sedang otw parkir. Jadi ketika dia mengerem mendadak, ia tak melukai siapapun kecuali jantung pak parkir yang terkejut dengan decitan bannya. Tapi persetan!

Wijaya memandang Cakra. Lekat.

Sementara itu, tangannya bergerak. Ia pencet di dalam keheningan ini, sebuah tombol di sisi kanannya. Tombol yang seketika membuat suara derak halus terdengar. Sebelum tiba-tiba wajah mereka terbayang.

Rooftop yang terlipat di balik rangka, perlahan dikeluarkan.

Dan selama tuas-tuas mekanik di sana bekerja, Wijaya terus menatap kekasihnya dengan intens. Sengaja, agar yang ditatap bergerak gusar dan memerah. Ah, bahkan Cakrawala sampai mengulum bibirnya sendiri, bingung harus apa.

"W-Wi? S-sudah a—"

Cakra hendak memecah keheningan.

Cakra hendak meminta Wijaya untuk berhenti memandangnya.

Namun ucapan itu tak dapat ia selesaikan.

Karena seiring dengan menutupnya atap mobil audi ini, sebuah bibir tipis menempel di bibirnya.

Dan kali ini, dia memejamkan mata.

.

[tbc]

avataravatar