webnovel

06 : Jadilah manusia yang utuh!

Kota M, 10 November 2018

Secerah berkas-berkas cahaya menyapa malu-malu ruangan temaram di sana. Permisi, mereka menelusup dalam diam, menerobos serat tirai berpola pohon dan menyorot lembut berikan tambahan penerangan. Pendar yang tak sengaja menghujami kelopak seorang lelaki dengan helaian berwarna coklat di ruangan itu. Membuatnya mengernyit, terganggu. Namun sang Kirana tak menyerah, dia terus memanas … memaksa pemilik rahang kokoh itu akhirnya perlahan … membuka mata, tunjukkan kelereng kelam indah pada dunia.

"Engh??" mengerang, pemuda di balik selimut itu menggeliat sejenak, sebelum manik hitam legam itu mengerjap beberapa kali. 'Hmmh? Sudah jam berapa ini?' adalah pikiran pertama lelaki itu sembari mengucek mata. Dia masih belum sadar sepenuhnya kendati tangannya bergerak pelan, meraba-raba ranjang yang dia tiduri, mencari ponselnya yang entah di mana.

Baru setelah tangan itu menemukan tepi ranjang dalam waktu hitungan detik, kesadaran merasuk. Manik itu kontan menajam, tubuh atletis di sana spontan bangun. Ini bukan di hotel maupun mobilnya. Apalagi kamar pribadinya! Menunduk, dia mengecek pakaian. Lengkap. Oke, dia tidak habis mencabuli. Tapi dimana dia?!

Tergelitik rasa ingin tahu, laki-laki kelahiran kota M ini spontan menoleh, menyelidik lingkungannya. Saat itulah dia itu menyadari bahwa di sampingnya kosong. Tak ada makhluk hidup apapun. Hanya ada tembok cat kusam yang telah mengelupas di banyak titik.

Ahh, ia ingat sekarang. Lelaki itu sedang berada disebuah kos-kosan kecil yang dapat dikategorikan sebagai 'slum area'. Dan kini dia tengah terduduk di dalam sebuah kamar kecil yang sangat rapi, milik si pacar kesayangan. Sang Tekasih yang kemarin sudah sangat repot-repot merawatnya.

… sial. Memikirkannya membuat Wijaya malu! Kemarin Cakra benar-ben—

"Ah, Wijaya? Sudah bangun?" Pikiran Wijaya kontan terputus ketika suara kalem nan lembut familiar merasuk indra pendengar. Jay menoleh, memandang ke arah pintu dan mendapati Cakra bergerak masuk sambil membawa semangkuk makanan dan teh hangat. Wajahnya melengkungkan sebuah senyum elok. Matanya yang cerah berbinar indah.

Sesuatu yang seketika membuat Wijaya menahan napas, menengguk liur di tenggorok dalam diam, tanpa melepaskan pagutan matanya pada sosok di sana. Astaga … manis sekali melihatnya.

"Hei Cak," adalah kata Wijaya, menyapa pemuda titisan malaikat yang sedang melangkah mendekat. Sapaannya yang stabil ini membuat Cakra merekahkan senyum lagi, senyum yang astagaaaa membuat lagi, Wijaya lupa bernapas saking eloknya! "Gimana rasanya badanmu?" tanya si helaian hitam itu sembari memperpendek jarak, manik mereka terus terpagut, Wijaya bisa mendapati betapa perhatian terpancar dari dua kelereng hitam di sana.

Dan itu membuat Wijaya malu sendiri.

Cepat, dia memutuskan tautan ini dan menyibukkan diri sendiri. Tangannya meraih kening, menyibak poni dan pura-pura mengukur suhu tubuh. "Mendingan, Cak," katanya kemudian sembari tersenyum. Sebenarnya dia sudah tahu sejak tadi jika kondisi tubuhnya sudah jauh lebih baik daripada kemarin, tapi hatinya yang berdisko tak karoan membuatnya salah tingkah dan beracting begini. "Dada masih agak sesak sih, kadang. Pusing masih juga. Tapi overall, mendingan," lanjutnya sembari terkekeh ringan. Pelan, dia kembali memandang Cakra.

Hanya untuk menahan napas entah yang keberapa kalinya, saat tiba-tiba Cakra berjongkok di sampingnya lalu tanpa pengumuman dia menjulurkan tangan, menyibakkan rema coklat sang Antaresa ke belakang dan menempelkan keningnya sendiri di sana.

Detik itu juga Haris Wijaya Antaresa rasanya menjadi patung. Dia hanya bisa membelalak, melihat manik kelam yang hanya terpisah beberapa mili darinya tengah menatapnya lekat. Dan baru bisa bernapas kembali ketika Cakra menarik diri dan berkata lembut, "iya. Panasnya udah turun. Syukurlah, ya, Wi!"

Perkataan yang jujur saja, ditak acuhkan oleh Wijaya. Dia sibuk menghirup napas dalam-dalam, cepat. Sibuk mengganti udara di paru-parunya dan regenerasi darah yang sempat terjeda beberapa waktu, beberapa kali. Namun tentu saja, Cakra tak menyadari hal ini. Dia masih seraya merekahkan senyum, menekuk kakinya, duduk di atas lantai di samping Wijaya. Kemudian menarik meja terdekat dan meletakkan nampan yang dia bawa-bawa ke sana. Dua mangkuk bubur dan teh hangat tersaji indah di sana, siap dimakan.

Enak sekali kelihatannya. Ah! Aromanya saja sudah sedap!

"Makan dulu yuk, Wi," ajak Cakra kemudian sambil mengangkat mangkuknya dari nampan hendak meletakkannya di atas meja. Di saat inilah Cakra menyadari sesuatu. Reflek dia menepuk jidatnya sendiri. Astaga! Dia lupa menyiapkan Wijaya alas duduk! Dia tak mungkin menyuruh temannya yang lagi sakit duduk di lantai, kan?

Cakra buru-buru berdiri dan menyerukan, "jangan turun ke lantai dulu, Wi. Aku gelarkan tikar dulu!" sambil bergerak ke arah almari, meraih gulungan tikar bambu dari baliknya. Cepat, dia kemudian menggelarnya, membentangkan benda tak panjang itu di sisi ranjang. Lalu seraya mengangkat meja kecil tempat dia menjamu Wijaya, dia benarkan letak tikar, membuat sedemikian rupa agar yang diduduki Wijaya nantinya nyaman, dia harus memastikan jika tamunya ini tak menduduki lantai! Baru setelah rapi, Cakra kembali menurunkan meja dan tersenyum ke arah Jay. "Turun sini Wi, kita makan,"

Dan kau tahu apa? Yang dilakukan Cakra ini terekam di dua manik Wijaya dalam slow motion. Lamat, lelaki anak sultan ini memandang Cakra lamat-lamat. Dan setiap detiknya, Jay entah bagaimana merasakan dirinya melayang. Hatinya seolah terangkat, membumbung tinggi.

Namun, satu sistem pertahan dalam dirinya mengambil alih. 'Mungkin seperti yang lain, Cakra melakukan ini karena suatu tendensi,' adalah apa yang otaknya nasihatkan pada hati, agar dia tak mudah bermain perasaan. Tidak. Bukankah Wijaya sudah mengenyam banyak garam akan maksud tersembunyi seseorang ketika melakukan hal baik padanya?

Pikiran ini tanpa sadar membuat Wijaya merekahkan senyum pedih. Menatap kekasihnya dengan lamat sambil bergerak turun ke bawah dan duduk di hadapan Cakra, kemudian Wijaya membuka bibir, "maaf ngerepotin ya, Cak… nanti semua biaya aku ganti—"

Ctaak!

"ADUH" belum selesai kalimat kedua, sebuah tangan menyentil dahi Wijaya dengan cukup keras. Tanpa ampun, yang tentu saja membuat empunya tersentak kaget. Mengusap dahinya, Wijaya meoleh kearah si pelaku, yang bersungut sebal.

"Apa sih, Cak?" decak Wijaya dengan dua alis tertaut. Dia salah apa coba?

Dan Cakra? Dia bersendekap, memandang Wijaya lurus dengan kilatan kesal menjubal di kelerengnya. "Kamu tuh yang apa-apaan! Aku tuh niat nolong, bukan minta dibayar!"

Perkataan tegas yang membuat Wijaya mengerjapkan matanya seiring jantungnya berdebar. Dia berharap … berharap jika Cakra tak memiliki motif. Hatinya sungguh menginginkan jika orang yang menyita perhatiannya ini memang berbeda. Namun sekali lagi, rasio mengingatkan. Dia menahan harapannya, menekan dalam dan alih-alih tunjukkan bungah, dia pasang wajah bingung. "Rumah sakit saja dibayar lho, Cak. Masa kamu engga?" katanya kemudian sambil memandang kekasihnya dengan ekspresi menuduh.

Kurang ajar? Sangat. Namun Wijaya tak ingin berekspektasi lebih. Bukankah semua manusia zaman sekarang apa-apa wang, wang, cuan, cuan? Karenanya, ia memandang Cakra, lekat. Memperhatikan seksama guratan wajah pemuda asli Kediri itu, kali-kali berdusta dengan entengnya.

Hanya saja, bukannya kepalsuan, yang Wijaya dapat di netra arang itu adalah luka.

Luka atas tuduhan yang dia ucapkan. Dan lengosan panjang—kecewa.

Wijaya ingin langsung memeluk Cakra, jujur saja. Ingin langsung meminta maaf. Namun belum jua dia bisa melakukannya, Cakra menyendok bubur di mangkuknya dan menggerakkannya ke mulut Wijaya. Membuat si rema coklat terkejut dan menganga beberapa detik. Namun, karena tak ingin menyakiti Cakra lebih dalam lagi, dia menurut. Dia membuka mulutnya, menanggapi suapan dari Cakra meski dia tak memintanya.

"Enak?" tersenyum, Cakra bertanya. Wijaya mengangguk untuk menjawab, mulutnya sedang penuh, tak etis berbicara saat ada isi dalam mulut begini.

Sesaat, mereka terdiam. Cakra menyendok buburnya dan makan. Sedangkan Wijaya … dia menatap Cakra dengan rasa bersalah yang menjubal. Dia ingin meminta maaf! Dia ingin … mengatakan, "maaf Cak, aku kelewatan," tapi gengsi melarangnya. Harga diri membungkamnya. Dan ini sungguh membuat Wijaya merasa menjadi seekor bajingan!

Hanya saja, sebelum Wijaya bisa berkata, Cakra membuka mulut.

"Wijaya … kalau kamu melihat seseorang hendak jatuh dari tangga, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Cakra sambil mengaduk buburnya lagi dan memasukkan satu suapan ke mulutnya sendiri. Wijaya terdiam akan pertanyaan ini. Sebelum membalas dengan yakin, "ya di tarik, biar nggak jatuh." Dia mengerutkan kening berikutnya, berdeduksi atas kemungkinan pembicaraan apa yang akan terjadi dari percakapan ini. Sebelum pikirannya terhenti, karena dia melihat Cakra memandanya penuh makna, dengan seulas senyum melengkung.

"Cak—"

"Wijaya … sama seperti yang kamu lakukan pada orang yang hendak jatuh tadi … aku melakukan hal yang serupa."

Wijaya terdiam. Mulut yang sempat terbuka untuk berargumen terkatup.

"Menolongmu … merawatmu … bukan karena aku menginginkan uang," kata Cakra lagi dengan pelan. Sengaja, dia ingin apa yang ia katakan merasuk. Cakra agak mengangkat tubuhnya tiba-tiba. Menatap manik Wijaya dengan seksama, membangun jembatan komunikasi lewat tatapan. Dia menyondongkan badan. Telunjuknya menunjuk dada Wijaya, tepat dimana hati berada, "keikhlasan seseorang, rasa kemanusiaan yang tumbuh pada diri seseorang … tak ada uang yang bisa membayarnya." Lalu pelan tangan itu berubah, telapak tangan Cakra menempel di dada Wijaya. "Karena rasa itu yang menjadikan manusia sebagai seorang manusia, Wijaya." sebuah ukiran senyum menyungging kembali, membuat manik Wijaya membola, tertegun. "Jadilah manusia yang utuh."

Manik hitam itu membola mendengarkan petuah sederhana dari bibir kekasihnya. Lagi, dia tercekat. Sekali lagi, dia lupa bernapas. Tapi kemudian dia terkekeh. Kekehan pelan yang lama-lama menjadi keras. Seiring Cakra menarik tangannya, berikan tatapan bingung, Wijaya menyandarkan kepala di atas Kasur Cakra. Dia menutup mata dengan punggung tangan kemudian. Bibirnya masih terbahak.

Hei, astaga! Wijaya itu anak dari sultan! Literally crazyrich! Tidak cukup kata 'kaya' baginya. Ia itu kuuaayaaa ruuaayaa!

Tidak terhitung berapa banyak uang yang ia habiskan untuk mantan-mantannya. Jalan ke New Zealand atau ke Swiss aja tiga hari kemudian langsung berangkat. Tapi Cakra? Tidak pernah meminta apapun darinya. Kecuali meminta Wijaya untuk pergi dari hadapannya saat awal-awal pacaran dulu. Ngusir. Karena jengkel.

Dan sekarang? Dengar apa yang diutarakan kekasihnya tadi?

Aah, gawat. Sekarang jantungnya berdebar ...

Sepersekian detik, lelaki berhelaian cokelat itu kembali pada kesadarannya. Lalu, dia bergerak ke arah Cakra, menarik dagu Cakra pelan yang sedang menguyang bubur. Dan detik berikutnya ia mencium kekasihnya itu. Kini giliran manik Cakra yang membola. Terkejut. Kedua bibir itu berpisah kemudian.

Dan saat bibir Cakra terbuka, hendak melayangkan protes... Wijaya tersenyum, terkekeh senang setelah ucapan ringan terima kasih terlempar. Membuat Cakra kembali mengatupkan bibirnya. Tersenyum.

Pada momen itu, Cakra menyadari bahwa Wijaya terlihat seperti orang biasa.

"Cak," Wijaya memanggil beberapa menit kemudian. Manik gelapnya menatap Cakra lurus. Lalu ia membuka mulutnya, "aaa ..." minta disuapi. Cakra, yang paham, mengangkat kembali sendok penuh bubur itu. Menyuapkannya pada mulut Wijaya. Mendengus geli, Cakra merasa memiliki adik satu lagi.

Sungguh, Wijaya merasa sangat beruntung bersama seorang Cakrawala.

"Cak, tadi malam kamu tidur dimana?" Wijaya mencoba membuka percakapan pertama. Makan sudah selesai, dan sudah minum obat juga. Pernyataan itu, terlontar tiba-tiba pula. Saat Wijaya menyadari betapa sempitnya kasur Cakra. Cukup untuk 1 orang. Tidak lebih. Minimalis sekali memang.

Yang ditanya, menjawab dengan enteng. "Di bawah, menggelar tikar," sambil melipat baju-baju kering yang habis dijemur. "Jangan sungkan, Wi ... kamu kan sakit," tuturnya lagi, agaknya hal seperti ini adalah sesuatu yang lumrah.

Tapi tidak bagi Wijaya.

Wijaya terkejut. Serius. Matanya membesar dan bibirnya sedikit menganga mendengar ini. Di bawah? Beralas tikar ini? Yang tipis begini? Serius?

"Tapi Cak—" Wijaya ingin protes pada kekasihnya. Dia tak ingin kekasihnya melakukan hal ini lagi, mengalah demi orang lain dan bergumul dengan dingin maksudnya. Hei! Dia tahu Cakra itu baik. Baik sekali pakai banget malah. Namun kalau seperti ini … dia bisa dimanfaatkan! Hanya saja ketika ingin menyuarakan itu, Wijaya mendengar pintu kamar Cakra diketuk.

Ketukan yang agak kasar dan sepertinya penuh urgensi.

Wijaya sampai menoleh ke arah pintu itu. Alisnya tertaut.

"Cak! Gua tau lu di dalam! Keluar hoi! Lu waktunya bayar uang kos astaga! Mau molor bayar sampe kapan, hah?!"

Kemudian terdengar, suara cempreng seorang wanita di balik pintu.

Suara yang membuat Wijaya terhenyak. Dia kemudian menoleh dengan cepat, dari arah pintu, menatap kekasihnya. Di sini dia bisa melihat Cakra … sedikit pucat. Dia pun menelan ludah, sebelum menggenggam tangannya kuat dan beranjak ke pintu.

"I-iya …, sebentar," kata Cakra dengan suara sedikit patah.

Di sini Wijaya mengerutkan kening.

.... Cakra nunggak?

.

[tbc]

Next chapter