webnovel

Wedding & Honeymoon (1)

Dan di sinilah aku pada akhirnya. Terjebak di sebuah pesta pernikahanku sendiri. Pesta ini lebih dari kata mewah. Dekorasi yang di tata seindah demikian rupa. Warna gold yang mendominasi dekorasi semakin membuat pesta ini terkesan mewah. Seorang Kevin Sanders, orang terpandang di kalangan pembisnis dunia. Dia punya segalanya. Jadi aku sudah tidak heran dengan pesta resepsi semewah dan semegah ini.

Mau semewah apapun pesta ini, aku tidak akan senang. Aku merasa canggung dan terintimidasi oleh para tamu undangan yang kuyakin mereka juga adalah orang-orang sekelas Kevin. Mirisnya, semua dari mereka tidak ada yang kukenal terkecuali Kanya dan beberapa teman kampusku yang lain. Tamu undangan yang kukenal bisa dihitung dengan jari, sekitar 8 atau 10 orang dan sisanya 800 lebih dari mereka tidak aku kenal. Aku merasa ini bukan pernikahanku ditambah lagi tidak ada keluargaku di sini. Pernikahan macam apa ini tidak ada keluarga dari mempelai wanita bahkan keluarga dari mempelai lelaki pun aku tidak tahu mereka datang atau tidak. Keluargaku tidak ada yang tahu tentang pernikahan ini, aku yakin mereka akan sangat terkejut ketika aku pulang ke negaraku suatu saat nanti dengan status beristri orang bukan lajang kembali.

"Ah selamat atas pernikahanmu Kevin, semoga kalian bahagia selalu. Aku senang kau menemukannya," ucap seorang lelaki yang kukenal karena wajah lelaki itu sering muncul di majalah maupun layar TV. Dia bukan aktor, dia juga bukan model. Dia adalah pengusaha. Liam Richard, pendiri salah satu applikasi jejaring media sosial yang sedang populer. Yang kudengar Liam Richard selalu menyumbangkan 65% keuntungan dari perusahaannya untuk anak-anak yatim dan membangun sekolah gratis.

"Terima kasih Liam. Akan kudoakan kau segera menyusulku," balas Kevin melepaskan jabatan tangan mereka lalu Kevin kembali merangkulku. Aku tersenyum pada Liam saat ia memandangi tangan Kevin yang melingkari pinggulku dengan posesif. Aku tidak mungkin menolak rangkulan Kevin di saat mata para tamu undangan menyoroti kami.

"Luna Hall!!" pekik Kanya, "eh maksudku Luna Sanders. Aku tidak menyangka kau menikah mendahuluiku. Aku selalu memimpikan pesta pernikahan, kau tahu itu tapi ternyata kau berada satu langkah di depanku. Mengapa kau tidak bilang sebelumnya bahwa kau sudah punya calon? Padahalkan kita teman dekat, aku selalu menceritakan semuanya padamu tapi kau malah menyembunyikan kisahmu. Uh aku iri si Kevin melamarmu cepat, berbeda dengan kekasihku yang tidak tahu kapan akan melamarku." Kanya menyenggol sikut Austin yang tak lain adalah kekasihnya. Kanya berbicara seperti pembaca acara yang sedang dikejar oleh waktu. Selama bicara tidak ada jeda sama sekali.

"Ya ya besok aku akan melamarmu. Puas?" dengus Austin kesal.

"Jika kau tidak kunjung melamarku, aku akan menikah dengan pria lain," ancam Kanya setengah kesal.

Aku dan Kevin tertawa melihat tingkah mereka.

"Seharusnya kalian mengucapkan selamat bukan bertengkar di depan kami," sindir Kevin masih setia merangkulku.

"Salahkan Kanya," Austin terkekeh kemudian memandangi kami, "sampai kapan kau akan merangkul istrimu? Kau kan nanti bisa merangkulnya sepuasnya pada malam pertama. Aku ingin memeluknya untuk mengucapkan selamat."

Kanya langsung mencubit pinggang kiri Austin, "Jangan sampai aku dan Kevin membunuhmu!"

Sepertinya Kanya juga mengenal Kevin. Kanya terlihat sangat akrab dengan Kevin karena ia memanggil nama Kevin tanpa canggung. Jika Austin akrab dengan Kevin aku tidak heran. Kevin dan Austin adalah teman bisnis, mereka pernah terlibat membangun sebuah hotel internasional bertahun-tahun. Itu yang pernah kudengar.

"Kalian seperti sudah mengenal lama," ucapku pada Kanya dan Kevin.

"Kevin adalah seniorku waktu SD dan dia kenal dekat dengan ayahku," Kanya mengedipkan matanya lalu ia memelukku erat, "selamat atas pernikahanmu. Aku sangat bahagia kau menemukan pendamping hidupmu secepat ini. Cepat beri aku ponakan," bisiknya dalam pelukan kemudian Kanya melepaskan pelukannya.

Ponakan? Maksudnya anak? Tidak!

"Selamat Luna. maaf aku tidak bisa memelukmu. Kanya tadi mengancamku." Austin tersenyum lebar memamerkan gigi putihnya.

Aku menggerutu kesal. Pernikahan macam apa yang masih dilangsungkan pada jam 1 pagi. Kakiku sangat pegal karena berdiri memakai high heels dari sore hari. Berjam-jam menyambut ucapan selamat. Mataku sudah sayu. Untungnya Kevin mengajakku pulang. Aku tidak peduli jika pestanya belum usai. Aku lelah ingin tidur. Lagi pula aku tidak terlalu menikmati pesta pernikahanku sendiri.

"Sedang apa kau di sini? Kamarmu bukan di sini," suara Kevin mengalihkan pandanganku. Ini kamar yang biasa aku tiduri. Mengapa ia bilang kamarku bukan di sini?!

Sebelah alisku terangkat ke atas.

"Kau tidak melupakan sesuatu kan? Kita sudah menikah artinya kita tidur satu ruangan berbagi ranjang," godanya.

Aku hampir lupa kalau kami sudah menikah dan pantas saja semua bajuku tidak ada di lemari. Pasti Kevin menyuruh seseorang memindahkan semua bajuku. Dengan langkah malas aku mengikuti Kevin ke kamarnya.

Aku menghapus make up-ku dan mengganti pakaianku. Kami bergantian memakai kamar mandi. Setelah aku beres membersihkan diriku, sekarang giliran Kevin.

Kevin masih berada di kamar mandi. Aku ragu untuk tidur. Khawatir kalau-kalau ia akan melakukan hal yang tidak aku inginkan. Aku tidak ingin menyerahkan keperawananku padanya meskipun aku sudah menjadi istrinya. Akhirnya kuputuskan untuk duduk di sofa di depan ranjang. Mataku sudah tidak kuat untuk terbuka. Aku benar-benar lelah dan mengantuk.

*****

Cahaya yang masuk ke dalam kamar membuat mataku terbuka perlahan. Cahaya itu mengganggu tidurku yang nyaman. Aku merasa sudah tidur terlalu lama tapi aku enggan untuk bangkit dari tidurku. Aku merasakan tangan kekar memelukku dari belakang, aku tidak tahu sejak kapan tangan itu melingkari pinggangku. Aku masih setengah sadar dan ingin melanjutkan tidurku.

"Selamat pagi Mrs. Sanders." Nafasnya menghembus di tengkukku sehingga membuatku tersadar sepenuhnya. Sesuatu menekan perutku menggeser tubuhku ke belakang. Kevin memelukku dari belakang. Dan aku baru sadar tangannya dari tadi memelukku.

Dengan segera aku mencoba bangkit tapi tangan kekarnya menahanku, memaksaku tetap berbaring di pelukannya. Mengapa aku bisa ada di ranjangnya, bukankah semalam aku sedang duduk di sofa? Shit, aku tertidur! Umpatku. Apa saja yang telah ia lakukan saat aku tertidur? mungkinkah.... oh aku bernafas lega karena aku masih memakai pakaian lengkap.

"Kau tidur terlalu lama." Kevin membuatku membalikan badan dengan paksa. Yang tadinya aku membelakanginya, kini kami saling berhadapan, "sekarang sudah jam 11," lanjutnya, menyunggingkan senyumannya.

Aku tidak pernah bangun sesiang ini sebelumnya dan pesta semalam membuatku sangat kelelahan. Dan lihat, aku tidak percaya bahwa diriku sudah menikah, bangun dengan seseorang di sampingku. Aku menekan dada Kevin agar dia menjauh dariku tapi tangan Kevin dengan kuat menarik tubuhku menempel padanya.

"Berikan aku sebuah sarapan. Aku kelaparan," katanya menahan senyum.

Bukankah aneh? Sebelumnya sikapnya sangat dingin dan kasar. Tapi apa yang terjadi sekarang? Dia berubah menjadi pria yang lembut.

Aku mengangguk lalu berusaha bangkit dari ranjang untuk memasak. Aku bersyukur Kevin ingin sarapan, itu artinya aku bisa menghindari tidur lebih lama dengannya. Tapi ketika aku ingin bangkit, tangannya menahanku lagi.

"Kau bilang lapar dan ingin sarapan," gerutuku kesal. Cepat lepaskan aku!

"Ya aku lapar. Lapar akan ini," jempolnya mengusap bibir bawahku lalu dengan cepat ia menciumku. Bermain dengan bibirku, melumat bibir bawahku dengan lembut. Tempo lumatannya pelan, ia berusaha melumat bibirku selembut mungkin.

Perutku berbunyi. Kevin mendengar suara itu dari perutku lalu ia berhenti menciumku. Aku merasa malu karena Kevin mendengar suara dari perutku. Uh, itu adalah sebuah aib. Kevin tersenyum di daguku. "Kali ini kau yang lapar sungguhan. Ayo sarapan. Ally sudah memasak,"

Aku menghela nafas lega. Di sisi lain bunyi perutku menyelamatkanku dari tindakan mesum Kevin -mungkin-. Ally tersenyum ramah saat bertatapan denganku dan juga Kevin. Makan siang sudah siap dan masih hangat, sekarang sudah jam 12 lewat makanya aku menyebutnya makan siang bukan sarapan. Hidangan yang disajikan Ally sangat menggugah seleraku, Ally sangat tahu makanan yang kusuka dan kebetulan aku sudah lapar sekali. Aku tidak mempedulikan Kevin yang sedang sibuk memperhatikanku saat makan. Aku hanya peduli perutku dan makanan ini. Sudah lama aku tidak menikmati rasanya makan.

"Aku tidak menyangka kau makan sebanyak itu," ejeknya dengan tatapan tidak percaya.

"..."

Aku megacuhkan ejekannya dan melanjutkan suapan terakhirku.

Kevin hanya makan setengah porsi. Ia menawarkan makanannya padaku, kali-kali aku masih lapar. Meskipun aku masih lapar aku tidak ingin memakan makanan sisa darinya.

"Sudah selesai? Jika kau sudah selesai, rapikan dirimu. Kita akan pergi,"

Aku melempar tatapan tanya padanya sambil menyeruput milkshake-ku.

"Honeymoon. Bukankah pegantin baru perlu berbulan madu?" ujarnya menjawab tatapanku.

Aku tersedak ketika mendengar kata 'honeymoon' dan wajahku berubah panik. Pikiranku tertuju tentang pasangan yang melakukan hubungan saat honeymoon. Tidak akan. Aku langsung menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Tapi Kevin menolak protesku cepat.

"Rapikan dirimu sekarang. Aku tunggu 15 menit," ucap Kevin singkat.

"..."

"Apa aku yang perlu merapikanmu?" tambahnya yang melihat aku tidak bereaksi sama sekali.

"Tidak!" tolakku cepat.

Kebanyakan pasangan yang baru menikah pasti akan sangat senang ketika pergi honeymoon, mereka pasti membayangkan berbagai hal romantis yang akan terjadi. Tapi tidak denganku. Sepanjang jalan aku membayangkan hal-hal buruk yang akan terjadi mengingat sikap Kevin yang tidak suka penolakan. Semakin aku menolak apapun yang ia inginkan, Kevin akan semakin membuatku tersudut sehingga aku dengan terpaksa harus mengikuti kemauannya. Itu yang aku tahu dari Kevin. Semua itu terbukti dari dia memaksaku menikah dengan cara mengurungku hingga aku frustrasi, dia pernah menciumku dengan paksa dan jangan lupa..... kasar sehingga bibirku kesakitan dan bengkak. Dan mungkin saja masuknya Joe dalam jeruji besi ada hubungannya dengan Kevin. Jika dugaanku terbukti benar, aku akan membunuhnya disaat ia tidur.

Si orang kaya brengsek ini benar-benar pemboros. Untuk apa ia menyewa sebuah kapal bernuansa hotel mewah layaknya kapal pesiar hanya untuk bulan madu yang tidak ada artinya bagi kami berdua. Bulan madu ini tidak berarti karena dalam pernikahan kami ada keterpaksaan dan aku masih tidak tahu apa alasan Kevin ngotot ingin menikah denganku.

Sekarang kami di tengah laut hanya berdua. Kevin yang mengemudikan kapal ini, ia menjadi nahkoda.

"Setelah kau mengurungku berbulan-bulan di kamar, sekarang kau mengurungku di samudera ini?"

"Kau yang mau kukurung di kamar itu 3 bulan lamanya. Jika dari awal kau menyetujui pernikahan kita, itu tidak akan terjadi," balasnya tenang.

Jadi itu salahku? Aku menatapnya tidak percaya. Dengan mudahnya ia menuduh bahwa ini salahku. Tarserah. Aku tidak bisa berlama-lama berada di dekatnya karena dia menjengkelkan.

Aku meninggalkan Kevin di kepala kabin. Tenggorokanku terasa kering. Kakiku melangkah mencari-cari dapur di kapal ini. Luas kapal ini tidak ada bedanya dari apartemen Kevin yang mewah, hanya suasananya saja yang berbeda. Aku membuka lemari es mencari minuman segar. Kuambil minuman kaleng lalu menghabiskannya dengan satu tegukan. Aku benar-benar haus.

"Kau ingin snorkling?" tawar Kevin yang entah sejak kapan dia sudah berada satu ruangan denganku.

Kali ini aku tidak bisa menolak ajakannya karena aku memang sangat menyukai kegiatan laut seperti snorkling atau semacamnya. Melihat keindahan alam di bawah laut.

Kami sudah lengkap memakai perlengkapan snorkling. Well, ini snorkling bukan diving jadi tidak terlalu repot.

"Tidak ada paus atau hiu kan?" tanyaku sebelum menjeburkan diri dalam lautan. Ini di tengah laut bebas jadi wajar saja jika aku khawatir kalau-kalau saat sedang asik snorkling ada hiu yang memakanku.

"Aku tidak ingin menyandang status duda dalam usia pernikahan satu hari," jawabnya ringan. Aku memutar bola mataku kesal karena jawabannya yang menjengkelkan,"jadi kau tak perlu khawatir akan hiu atau paus," sambungnya datar lalu ia melemparkan dirinya ke dalam lautan.

Aku ikut melompat. Kami berenang sekitar 200 meter menjauh dari kapal, semakin menjauh dari kapal, kedalaman lautnya semakin dangkal, berkisar antara 10-15 meter. Aku menikmati indahnya pemandangan bawah laut yang dihiasi berbagai terumbu karang dan macam-macam ikan yang berenang di dalamnya. Airnya begitu jernih dan ombaknya yang tenang. Takjub. Itulah yang kurasakan saat melihat isi bawah laut.

Kevin berada di depanku. Ia memberi tanda bahwa aku harus mengikutinya. Sejenak Kevin ke atas laut untuk mengambil nafas di udara bebas, ia baru saja skin sedalam 15 meter untuk mencapai dasar.

"Ikuti aku. Ada yang ingin kutunjukan padamu," ujar Kevin. Aku mengangguk. Kevin kembali menenggelamkan dirinya ke dasar lautan. Aku mengikutinya dari belakang penasaran apa yang ingin Kevin tunjukan.

Kevin berhenti dan ia menarikku. Tangannya menunjuk ke arah dasar laut. Mataku menelusuri arah yang Kevin maksud tapi sebelum itu kami harus ke atas mengambil nafas lalu masuk kembali ke dasar laut. Yang Kevin tunjukkan hanyalah beberapa bangkai kapal yang tenggelam di dasar laut. Aku tidak mengerti mengapa Kevin menunjukan bangkai kapal padaku. Tapi kemudian Kevin menarikku berenang melewati beberapa bangkai kapal. Aku sangat takjub dengan apa yang kulihat. Ternyata di balik bangkai kapal itu ada banyak lumba-lumba yang sedang berenang dan bermain dengan kelompoknya.

Tidak hanya itu. Ketika Kevin menepuk-nepuk air laut dari udara, para lumba-lumba itu berenang ke atas menghampiri kami, berenang mengelilingi kami, dan ada lumba-lumba yang mencium pipiku berkali-kali. Aku merasa geli ketika lumba-lumba itu menciumku. Sebagian lumba-lumba meloncat-loncat seperti sedang beratraksi di pertunjukan lumba-lumba. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa senangku. Ini benar-benar indah dan sayang untuk di lewatkan. Senyumanku tidak ada hentinya menghiasi bibirku melihat semua ini.

Para lumba-lumba itu kembali berenang ke dasar laut dan aku mengikutinya begitu juga Kevin. Aku membuka mulut untuk mengucapkan terima kasih pada Kevin. Karena terlalu senang aku lupa bahwa aku sedang berada di bawah laut dan ketika aku membuka mulut, air tertelan masuk ke tenggorokanku dan tiba-tiba kakiku menjadi keram.

Aku hampir saja tenggelam jika Kevin tidak segera menarikku ke atas dan membawaku kembali ke kapal. Aku terbatuk-batuk karena air laut yang tertelan olehku.

"Untuk apa kau membuka mulut saat berenang?! Kau mau bunuh diri hah?!" sambar Kevin sambil memijat telapak kakiku yang keram.

"Aku lupa...... uhk.. uhk.." Air laut yang asin membuat tenggorokanku gatal, "aku terlalu senang dan lupa kalau aku sedang berenang," kataku parau menahan gatal di tenggorakanku.

"Ceroboh!" serunya dengan nada kesal.

"Aw!" aku meringgis kesakitan saat Kevin memutar-mutar pergelangan kakiku, "pelan-pelan!"

"Masih keram?"

Aku mencoba menggerakan kakiku. Tidak sakit. “Tidak."

"Mandilah. Matahari sudah mau terbenam," suruhnya.

Aku masih membayangkan lumba-lumba yang menggemaskan tadi. Tadi itu sungguh indah. Tapi aku heran bagaimana bisa saat Kevin menepuk-nepuk airnya, lumba-lumba itu berenang ke atas lalu beratraksi seperti sudah dilatih sebelumnya.

"Kevin..," panggilku.

"Apa?!" jawabnya ketus.

"Terima kasih."

"Aku tidak ingin menjadi duda secepat itu."

"Bukan itu. Maksudku terima kasih karena kau telah menunjukan lumba-lumba padaku. Tadi itu menakjubkan." Aku tersenyum lebar padanya. Hatiku sangat bahagia, sulit mendeskripsikannya betapa bahagianya aku.

Sesaat Kevin menatapku dalam kemudian ia membalas senyumanku. "Aku tahu," jawabnya dengan nada menyombangkan diri.

"Bagaimana kau bisa mengetahui sarang lumba-lumba tadi? dan lumba-lumba itu terlihat sangat akrab denganmu," tanyaku penasaran.

"Lumba-lumba itu pernah kupelihara lalu seseorang mengomeliku, menyuruhku melepasnya dan aku melepasnya di sini. Mereka tidak pernah lupa dengan Tuannya. Wajar mereka akrab denganku terutama... dengan dirimu!" Kevin menyunggingkan senyuman tipis.

"Diriku?" aku memicingkan mataku.

"Lupakan," ia kembali memperlihatkan raut wajahnya yang datar.