Hari demi hari kuhabiskan di kamar yang terkunci ini. Aku merasa hidupku tidak ada gunanya lagi, hampa dan kosong. Aku merasa hidupku tidak ada tujuan lagi. Aku merasa aku tidak dapat merasakan masa depan yang selama ini aku impikan. Aku seperti mayat hidup, sama sekali tak berguna. Setiap harinya hanya duduk menatap pintu berharap aku bisa di bebaskan cuma-cuma tanpa syarat apapun. Tetapi kenyataannya setiap ada orang yang membukakan pintu, orang itu pasti Ally yang selalu mengantarkan makanan dan dia selalu menasehatiku agar menikah dengan Tuannya itu. Telingaku sudah tuli bagiku ketika dia mengucapkan kata-kata itu terus menerus. Dan jika bukan Ally yang membukakan pintu, itu pasti Kevin. Hanya Ally dan Kevin yang selama ini bebas keluar masuk kamarku. Setiap kali Kevin datang, dia selalu menanyakan apa jawabanku dan lagi, telingaku tuli serta mulutku menjadi bisu.
Aku sudah tidak pernah bicara di hadapan mereka selama beberapa minggu terakhir. Aku enggan untuk membuka mulut. Mulutku terasa beku sekali. Karena reaksiku yang tuli dan bisu di hadapan mereka, Kevin sempat memanggilkan psikiater untukku. Ya, aku akhirnya membuka mulut bicara satu kalimat pada psikiater itu 'Aku ingin jalan-jalan keluar'. Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku.
Mungkin psikiater itu menyarankan Kevin agar aku bisa keluar untuk menghirup udara bebas. Akhirnya Kevin membawaku jalan-jalan. Kevin masih tetap sama seperti sebelumnya, datar dan dingin. Walaupun ia sudah tidak pernah marah lagi padaku, mungkin dia kasihan melihatku yang seperti ini makanya dia tidak pernah kesal ataupun marah.
Saat berada di luar, tentu saja otakku masih berjalan normal. Peluang untuk kabur darinya sangatlah besar karena kami sedang berada di keramaian. Aku berhasil kabur saat itu walaupun hanya setengah jam. Sayangnya, Kevin berhasil menemukanku. Ekspresinya gusar, tapi dia tidak meluapkan kegusarannya. Kevin hanya menahannya saja.
Lagi, aku kembali di kurung di kamar yang membuat otakku hilang. Terkadang tengah malam aku bermimpi buruk lalu menangis hingga pagi. Ketika aku terbangun dan menangis dalam kegelapan, aku merasakan ada seseorang memelukku erat sambil mencium puncak kepalaku. Aku tidak tahu itu nyata atau khayalanku saja, karena sekarang aku sudah tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang khayalan. Semuanya terasa sama. Sama-sama mengerikan.
3 bulan lamanya kamar ini masih setia menemaniku. Aku menatap cermin yang menyatu dengan lemari besar. Wanita yang berada di cermin itu sangat mengerikan melebihi monster, tubuhnya tak terawat dan aku baru menyadari bahwa wanita yang kupandangi itu adalah diriku sendiri. Aku bergidik ngeri melihat diriku yang begitu kacau. Aku tampak seperti orang gila di jalanan jika saja Kevin mendepakku dari sini.
"Waktunya sarapan Nyonya," Ally datang membawa makanan dan seperti biasanya, aku tak pernah menanggapi kehadirannya.
"Nyonya, saya mohon bicaralah jangan diam seperti ini. Saya tidak pernah tenang melihat kondisi Nyonya seperti ini," Ally terlihat sangat putus asa.
Aku mendengarnya dan aku merasakan keputus asaannya, sama sepertiku. Aku juga putus asa, putus asa melanjutkan hidup.
"Saya tahu anda mendengar saya dalam keadaan sadar. Saya mohon bicaralah Nyonya," ujarnya sedih.
Aku menoleh pada Ally. "Apa yang ingin kau dengar dari mulutku, Ally?" Aku tersenyum miris. Tersenyum miris pada diriku sendiri.
Mata Ally berbinar-binar saat ia mendengarku bersuara setelah sekian lama aku bisu. "Ya Tuhan, terima kasih!" Ally tersenyum senang dan memelukku kilat. "Kami sangat mengkhawatirkanmu Nyonya, tolong jangan seperti itu lagi."
"Kami?"
"Tuan Kevin, saya, dan yang lainnya."
Mulutku membentuk huruf O. Kevin mengkhawatirkanku? Aku terkekeh dalam hati. Jika dia mengkhawatirkanku, dia akan membiarkanku pergi dari tempat sialan ini.
"Saya mohon jangan seperti itu lagi. Saya mengerti Nyonya sangat bingung dan tertekan dengan apa yang terjadi. Tapi jangan sia-siakan hidup anda begitu saja. Tuhan telah memberi kesempatan hidup untuk kita tapi jika kita menyia-nyiakan hidup yang diberikan Tuhan, maka Dia pasti akan kecewa. Saya percaya bahwa Nyonya percaya dengan Tuhan. Semua yang terjadi pada diri anda mempunyai alasan tertentu. Anda di sini juga mempunyai alasan, Nyonya mungkin tidak tahu apa alasannya tapi kami semua tahu dan Tuhan pun tahu hanya saja mungkin Tuhan belum mengizinkan Nyonya untuk mengetahuinya. Ini semua sudah menjadi takdir-Nya. Biar waktu yang menjawab semua kebingungan anda. Saya yakin perlahan Nyonya akan mengerti semua alasan yang dilakukan oleh Tuan Kevin."
Perlu beberapa detik untuk memahami ucapan Ally. Aku tidak tahu harus berkata apalagi padanya. Apa yang dikatakan Ally memang ada benarnya, tak seharusnya aku menyia-nyiakan hidupku seperti orang yang tak berakal. Aku harus memanfaatkan kesempatan yang telah diberi oleh Tuhan. Aku tidak bisa seperti ini terus. Aku harus bangkit. Tapi apakah Tuhan hanya memberiku satu pilihan untuk terbebas dari kamar ini? Jika ya, itu sangatlah tidak adil bagiku.
Dan aku masih tidak mengerti mengapa. Aku merasa Ally sudah mengenalku sangat lama tapi aku merasa tidak mengenalnya sama sekali. Semakin dalam aku memikirkan semua ini, kepalaku semakin sakit. Jika memang apa yang terjadi padaku saat ini mempunyai alasan yang kuat meskipun aku tidak mengetahui alasan tersebut, maka aku akan menganggap ini adalah akdir yang harus kuterima.
"Aku akan memikirkan nasehatmu," kataku datar, "sekarang keluarlah. Aku ingin sendiri."
Setelah makan aku memutuskan untuk membersihkan diriku yang mengerikan. Aku tidak ingin melihat diriku menyeramkan saat aku memandangi cermin. Air yang membasahi seluruh tubuhku cukup membuatku rileks, aku merasa sudah lama sekali tidak mandi dalam keadaan senyaman ini. Aku bisa merasakan jiwaku sudah kembali menyatu dengan ragaku.
Kini jubah mandi melindungi tubuhku. Aku mencoba memilih baju yang cocok kukenakan. Aku baru menyadari bahwa bajuku sangat banyak di lemari ini, setahuku aku datang tidak membawa baju sama sekali. Ternyata banyak hal yang kulewatkan sejak kediamanku.
Pandangan mataku fokus ke depan melihat pantulan diriku di cermin. Lebih baik. Aku sudah tidak terlihat mengerikan seperti sebelumnya.
Aku harus melanjutkan hidup. Tapi apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa pergi dari kamar ini, mereka mengurungku..... Terkecuali aku mau menikah dengan Kevin. Jika aku masih menolaknya sampai matipun Kevin tetap akan mengurungku disini.
DAK!!!
Aku tergelonjak ketika pintu dibanting keras.
"Tuan.. saya mohon dengarkan saya du-," ujar Ally panik saat Kevin memasuki kamarku dengan wajah yang merah menyala.
"Tinggalkan kami berdua!!" bentak Kevin pada Ally.
Ally tersontak dengan bentakan Tuannya dan ia tidak bisa untuk tidak melakukan apa yang Tuannya katakan.
Kevin menutup pintu dengan membantingnya lagi. Aku terkesiap.
"Cukup sudah Luna. Besok lusa kita akan menikah. Persetan dengan persetujuanmu. Kesabaranku sudah habis," ucapnya tajam, setajam tatapannya.
Aku tahu ini akan terjadi, jadi aku tidak terkejut lagi, hanya saja aku tidak bisa menerimanya. Aku tidak bereaksi sama sekali, aku hanya menatapnya kosong dan Kevin sudah terbiasa akan hal itu karena dia mengira aku masih depresi.
Cukup lama kami saling menatap dalam diam. Aku akhirnya memecahkan diam diantara kami, "Mengapa kau masih disini?"
Bibir Kevin hampir menganga terbuka lebar. Ia terkejut karena akhirnya ke bisuanku lenyap. Seperti biasa ekspresinya cepat berubah, wajahnya berubah menjadi datar. "Aku merindukanmu," paparnya bersungguh-sungguh.
Deg. Waktu terasa berhenti ketika Kevin mengucapkan kalimat itu. Aku tidak tahu mengapa. Kalimat singkat itu seperti memiliki banyak arti di dalamnya bukan rindu sekedar rindu tapi lebih dari itu.
"Tinggalkan aku sendiri menjelang ha-"
"Tidak-," potongnya cepat. Aku belum selesai bicara, brengsek!
"Biarkan aku sendiri dan jangan temui aku menjelang hari pernikahan. Biarkan aku tidak melihat wajahmu selama 2 hari! Aku tidak ingin melihatmu! Setelah hari itu kau bebas melakukan apapun jadi kumohon tinggalkan aku sendiri sekarang juga," kataku cepat tanpa menyadari bahwa ucapanku menyetujui pernikahan ini.
Kau masuk perangkap Luna, pekikku.
"Apapun? Kau yakin itu?" Kevin mencoba meyakinkannya.
"Ya apapun. Jadi biarkan aku sendiri. Sekarang," aku sengaja menekankan kata terakhir.
Kevin setuju dengan apa yang kukatakan dan ia terlihat sangat puas karena pada akhirnya keinginannya akan tercapai.
Aku sudah ingin menangis dari awal dan akhirnya air mata mengalir di pipiku. Aku mengutuk diriku sendiri yang tak berdaya menghindari pernikahan. Takdir, mengapa kau begitu kejam. Aku tidak mencintainya lalu mengapa aku harus menikah dengannya dan tinggal bersamanya? Aku memang ingin menikah tapi dengan orang yang kucintai, aku ingin menikah karena mencintai dan dicintai. Aku tidak ingin menikah secara paksa tanpa di dasari oleh cinta. Aku tidak mencintainya begitupun Kevin tidak mencintaiku. Lalu kenapa Kevin sangat memaksaku untuk menikah dengannya?
***
Aku tidak punya pilihan lagi. Terjebak di kamar ini selamanya atau menikah dengannya dan mencoba memahami semua yang tidak masuk akal bagiku. Aku tidak ingin terjebak di sini selamanya dan menyia-nyiakan hidupku begitu saja. Tidak ada pilihan lain, mau tak mau aku harus menikah dengan Kevin demi melanjutkan hidupku walaupun nantinya akan sangat menyakitkan untukku.
Adam, maafkan aku karena berkhianat. Maafkan aku. Aku tidak punya cara lain lagi, gumamku penuh penyesalan.