Langit malam yang indah dihiasi oleh cahaya para bintang yang gemerlap-gerlip dan bulan yang sempurna mencahayai langit yang gelap pekat. Aku menatap langit malam sambil berbaring di atas kepala kapal. Sunyi, hanya terdengar suara hembusan angin di barengi dengan suara ombak-ombak. Aku merasakan ketenangan alam.
Kutatap salah satu bintang yang paling terang diantara mereka. Bintang itu paling menonjol dari pada yang lainnya dan bintang itu mengingatkanku kepada orangtua dan kakakku. Dulu kami pernah berbaring di halaman belakang rumah menatap bintang-bintang.
"Bintang yang paling terang itu adalah mama!" Telunjukku mengarah ke bintang besar dan terang.
"Kalau begitu di sebelah bintang mama adalah aku dan istriku," susul Willy yang tak lain adalah kakakku. Ia menunjuk ke arah bintang yang berpasangan.
"Lalu aku di mana?!" Wajahku cemberut karena hanya ada beberapa bintang di langit.
"Di situ," ibuku menunjuk pada sepasang bintang yang cukup terang tapi bintang itu sedikit jauh dari bintang ibu dan kakakku.
"Di situ ada dua bintang ma. Siapa yang satunya?" tanyaku heran.
"Calon suamimu."
"Tapi aku masih 15 tahun!" protesku.
"Suatu saat kau pasti akan menikah dan mama tidak ingin melewatkan hari bahagia itu," ujar ibuku.
Sayangnya mereka tidak ada di pernikahanku bahkan aku yakin mereka sama sekali tidak tahu kalau aku sudah menikah. Kenangan itu muncul dan membuat mataku berlinang. Setidaknya mereka ada di pesta pernikahanku meskipun aku tidak menginginkan pernikahan ini, ucapku dalam hati.
"Apa yang kau pikirkan?"
Dia selalu datang tiba-tiba tanpa aku sadari. Ah pria ini mengusik ketenanganku!
Aku menoleh padanya. "Orang tuaku."
"Kau merindukannya?"
Aku mengangguk. Tentu saja aku merindukan mereka. Sudah lebih dari setahun aku tidak bertemu mereka. "Mereka pasti akan membunuhku jika tahu aku menikah dengan pria sepertimu," cibirku.
"Aku rasa mereka akan sangat bangga mempunyai menantu sepertiku," balasnya, penuh percaya diri.
Cih. Apa yang dibanggakan dari pria ini?! Aku mendecak kesal.
"Jangan tidur terlalu malam. Besok pagi kita harus pergi melanjutkan liburan kita," ujar Kevin mengalihkan topiknya.
Mulutku menguap, mengantuk. Akhirnya kuputuskan untuk pergi tidur.
"Luna perhatikan jalanmu!!"
Terlambat..
Aku sudah terpeleset dan terjebur ke dalam kolam renang yang tak aku lihat saat berjalan. Dengan gerak cepat Kevin segera menolongku.
.
.
"Aku bisa berenang!" teriakku jengkel saat Kevin keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambut basahnya dengan handuk.
Kevin bertelanjang dada dengan handuk melingkari pinggangnya. Ia terlihat seksi saat aku memandangi sisa-sisa air meluncur, membelah dada dan perutnya yang sixpack. Air liurku hampir saja membasahi sudut bibirku jika aku tidak segera sadar.
Sial, apa yang kulakukan?! Umpatku. Aku harap Kevin tidak menyadarinya.
"Otot kakimu bisa keram saat kau terkejut seperti tadi. Jangan menyombongkan diri. Kau selalu ceroboh," nadanya tak kalah kesal.
Aku diam. Dia ada benarnya. Sebenarnya kakiku keram saat terpeleset ke kolam tadi.
Kevin mengambil bajunya di dalam koper dan memakainya. Tubuhku masih berbalut jubah mandi. Aku masih sibuk mencari-cari sesuatu di dalam koperku.
"Siapa yang memasukan pakaianku ke dalam koper?" tanyaku akhirnya pada Kevin.
Kevin mengangkat kedua bahunya dan tersenyum licik padaku. "Memangnya apa yang sedang kau cari dalam kopermu?"
Aku menatap curiga Kevin saat ia tersenyum aneh seperti itu. Ini pasti kerjaan Kevin, tuduhku. Di dalam koper tidak ada sehelai dalaman pun. Tidak ada!
"Mungkin pelayanku lupa memasukan dalamanmu," ujarnya aneh.
Aku belum memberitahu apa masalahku dengan isi koper ini pada Kevin. Tapi Kevin sudah tahu dari awal. Tidak di ragukan lagi, ini pasti perbuatan Kevin.
"Bukan lupa. Mungkin kau sengaja," desisku.
"Well, aku lebih suka kau tidur tidak memakai dalaman jadi itu tidak akan merepotkanku nantinya." Kevin menatap tubuhku dengan tidak sopan. Aku langsung menghadiahinya dengan melempar bantal ke wajahnya. Aku tahu maksudnya. Tatapannya itu seolah ingin menelanjangiku.
Brengsek. Aku melototinya dengan geram.
"Jangan harap!" ucapku sambil mengambil piyamaku. "Aku akan mencincangmu jika kau berani!"
"Sebelum kau mencincangku, aku sudah lebih dulu melakukan itu," ucapnya, tersenyum licik.
"Aku tidak akan sudi."
"Aku suamimu," desis Kevin saat aku masuk ke dalam kamar mandi mengabaikannya.
Dengan terpaksa aku memakai piyama tanpa dalaman. Sengaja aku memilih piyama yang sangat tertutup agar tidak mengundang nafsu bejat Kevin. Ketika kukeluar dari kamar mandi, lampu kamar kapal ini sudah dimatikan dan aku tidak menemukan Kevin di sini. Aku tidak peduli dia di sini atau tidak. Akan lebih baik dia tidak di sini jadi aku bisa tidur dengan nyaman tanpa rasa khawatir sedikitpun lalu aku pun tidur.
Aku merasa risih dengan tidurku, seperti ada sesuatu yang menimpaku dan aku merasa sekujur tubuhku basah terutama di bagian payudara dan bagian sensitifku.
Perlahan aku membuka mataku, kulihat Kevin sedang memainkan payudaraku dengan bibirnya. Oh, betapa terkejutnya aku, apalagi mendapati kami tidak memakai apa-apa, telanjang. Aku menyuruhnya melepaskanku, kudorong-dorong badannya tetapi dia tak bergerak. Kevin malah semakin menjadi.
"Kevin lepaskan!"
"Ssssstt...."
Nafasnya bergerak dari dadaku kemudian berhenti di bibirku.
"Aku menginginkanmu," bisiknya lembut namun penuh nafsu.
"Tidak Kev... Umph.. Kev hen..umph." Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku dengan sempurna karena Kevin membungkamku dengan menciumi bibirku penuh nafsu.
Malam itu Kevin benar-benar melakukannya. Apa yang aku khawatirkan terjadi. Kevin telah menyentuhku. Aku tidak bisa memberontak, tenagaku selalu kalah besar dengannya. Akhirnya aku pasrah karena tidak ada lagi yang bisa kulakukan.
Hal pertama yang kulihat pada pagi hari saat aku terbangun adalah Kevin dengan dada telanjangnya tidur di sebelahku. Tubuh telanjangku terbaluti oleh selimut. Badanku terasa pegal dan sakit atas kejadian semalam.
Aku mengingat apa yang semalam ia lakukan. Awalnya aku terus memberontak saat Kevin menyentuhku tapi lama kelamaan tubuhku berkhianat dengan akal sehatku. Tubuhku menerima sentuhan demi sentuhan yang Kevin permainkan apalagi saat aku merasakan puncak kenikmatan. Aku begitu lepas dan menikmatinya.
Tidak! Jangan ikuti nafsu setanmu Luna. aku menggelengkan kepala memperingati diriku sendiri.
.
.
Kevin masih tidur dan aku baru selesai memasak sarapan. Aku berinisiatif untuk memasak karena di kapal ini hanya ada kami berdua. Jangan harap aku memasak untuknya!
"Sejak kapan kau bisa memasak?" Kevin duduk di bar mini sambil memperhatikanku menyiapkan sarapan. Rambutnya berantakan karena baru bangun dari tidur.
Pertanyaannya seolah-olah ia tahu bahwa aku dulu tidak bisa memasak sama sekali. "Sejak Joe mengajariku masak." Aku meletakkan sarapanku di mejaku lalu aku duduk di hadapannya.
"Mana sarapanku?" tanyanya.
"Buat saja sendiri," kataku ketus, mengacuhkannya sambil menyantap sarapanku. Aku kesal karena perbuatannya semalam dan aku lebih kesal pada diriku sendiri yang merasakan kenikmatan itu. Uh.
"Oh baiklah. Lagi pula sarapanku sudah siap sejak tadi," tuturnya, tersenyum licik.
Masa bodoh.
Ketika aku sedang mencuci piring bekas makanku, dari belakang sepasang tangan meremas-remas pinggulku dan hembusan nafas yang teratur terasa di leherku. Kevin memutar tubuhku lalu ia menatap iris mataku.
Aku risih dengan apa yang ia lakukan. Kudorong tangannya menjauh dari pinggulku lalu membalas tatapannya dengan tatapan tidak suka. Kevin sedikit memiringkan kepalanya memperhatikan ekspresiku. Ia memejamkan mata lalu menghela pelan seperti orang pasrah dan putus asa.
"Apa kau sama sekali tidak ingat?" tanyanya dengan nada putus asa. Terpancar sebuah kekecewaan dari sorot matanya yang tak aku mengerti kenapa.
Aku mengerutkan kedua alisku bingung kemudian aku paham maksudnya. "Tentu saja aku ingat..."
Senyum Kevin mengembang terlihat seperti menemukan harapan baru tapi ketika aku melanjutkan ucapanku senyumnya memudar dengan rahangnya yang mengeras.
"..semalam kau memperkosaku," lanjutku, menyelidik ekspresinya yang tidak karuan. Apa aku salah bicara? kenapa sekarang ia lebih terlihat sedang marah.
"Begitu ya? Well, aku ingin sarapan."
Dengan cepat Kevin meraihku, lalu menciumku dengan gairah yang menggebu-gebu seolah-olah ia sedang meluapkan rasa rindunya.
Aku belum siap ketika ia menyerangku sehingga saatku melangkah mundur tubuhku hampir tersungkur tapi Kevin menahanku dengan kedua tangannya. Kevin mengerang sambil menggerakkan bibirnya dengan tangan menangkup wajahku, sementara aku hanya bisa merintih menerima semua itu.
"Kau tidak merasa familiar dengan ciuman panas kita?" hembusan nafas Kevin sangat terasa di wajahku. Tangannya menyelipkan helaian rambutku ke belakang daun telinga.
Nafasku masih terpenggal-penggal karena ciuman panasnya dan aku merasakan bibirku memanas dan basah. Pertanyaannya, ini bukan pertama kalinya dia menanyakan hal itu. Sebelumnya Kevin sudah pernah menanyakan hal ini di rumah Joe saat ia menarik dan menciumku.
'Apa kau merasa familiar dengan ciumanku?'
Dan kini Kevin menanyakan hal yang sama. Aku merasa ada yang janggal dengan pertanyaannya. Pertanyaannya seolah-olah dulu kami sering melakukan ciuman panas ini padahal aku tidak pernah berciuman seintimnya. Maksudku, kami baru bertemu 3 bulan yang lalu. Sebelum itu aku tidak pernah merasakan ciuman yang panas seperti yang ia lakukan.
Aku menatapnya kebingungan tidak mengerti maksud dari pertanyaannya. Tapi Kevin membalas kebingunganku dengan ciuman di leher dan tangannya sibuk membuka kancing bajuku satu persatu. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku sendiri. Tubuhku menginginkan sentuhannya tapi tidak dengan otakku. Tubuh dan pikiranku saling berperang dalam diriku. Tidak, aku tak bisa seperti ini. Ini lebih dari pengkhianatan. Aku tidak ingin mengkhianati Adam lebih jauh. Aku mencintai Adam. dan Kevin hanyalah keinginan nafsuku karena sentuhannya begitu menggoda, aku meyakinkan diriku untuk tidak tergoda dengan sentuhannya. Dengan cepat aku menahan tangan Kevin yang akan membuka dua kancing baju terakhirku.
"Kenapa?" Kevin memperhatikan wajahku kemudian rahangnya mengeras tidak suka penolakan dariku.
Aku tidak berani menjelaskannya. Matanya terlalu tajam untukku berkata jujur.
"A-a-aku," jawabku terbata-bata.
Kevin mengabaikannya. Tangannya melanjutkan membuka kancing bajuku yang belum terselesaikan. Bibirnya mengecup hidungku lalu turun ke bawah menjelajahi leher sampai dadaku yang sudah terekspos. Aku bisa merasakan gairahnya yang tak terbantahkan.
"Kevin."
"Ya sayang?" jawabnya. Suaranya terdengar seksi dan menggoda. Kevin tidak menatap wajahku. Ia masih sibuk menggodaku dengan tangannya.
"Hentikan." Akhirnya aku memberanikan diri untuk bicara seperti itu. Perlahan ia menjauhkan wajahnya dari dadaku untuk menatap kedua bola mataku.
"Aku tidak suka penolakan." Sebuah senyuman tipis mengerikan muncul dari bibirnya. Kevin mendekatkan wajahnya dengan wajahku, "aku menginginkanmu sekarang," ujarnya di bibir ranumku dan tangannya sibuk bermain dengan tubuhku.
Aku merasakan sekujur tubuhku menegang. "Layani aku atau kau akan mendapatkan hukuman."
Kevin sengaja tidak menempelkan bibirnya padaku hanya mendekatinya saja, ia ingin membuatku tersiksa dengan sentuhannya yang kini memabukkan.
"Memakanmu lebih nikmat dari pada memakan yang lain," bisiknya sensual.
Aku menggigit bibir bawah mendengar bisikannya yang seksi itu. Perutku seperti ada kupu-kupu terbang di dalamnya. Dan akhirnya kami berakhir di ranjang tanpa sehelai benang pun, hanya selimut yang menutupi tubuh kami. Kevin menghentikan sentuhannya dan berbaring di sebelahku di saat kami sudah mencapai puncak.
"Kau memang selalu memuaskan," bisiknya puas di pundakku, menghirup aroma tubuhku.
Aku hanya diam mengutuk diriku sendiri. Nafsuku selalu lebih kuat dari pada pikiranku. Tubuh ini selalu mengkhianatiku.
Dan shit, dia meninggalkan kiss mark di mana-mana. Aku menatap nanar pantulan diriku di cermin.
"Kau menyukai tanda itu?"
Aku terkesiap dan langsung menutupi tubuhku dengan jubah tidur. Apa dia hantu?! Selalu saja muncul tiba-tiba begitu.
"Untuk apa kau menutupi tubuhmu? Aku sudah sering melihatmu telanjang jadi kau tidak perlu malu. Lagi pula kau seksi kok ditambah lagi dengan jejak yang kutinggalkan."
Aku melototinya. Semua tanda yang ia berikan terutama di leher sulit untuk ditutupi kecuali aku memakai syal.
"Kau pria menyebalkan!" teriakku.
"Menyebalkan tapi kau menikmatinya bukan?" godanya.
Berada di dekatnya membuatku darah tinggi dan bisa-bisa aku struk karenanya. Sabar Luna, sabar.
"Hah sudahlah!" aku menghentakkan kakiku jengkel lalu bergerak ke kamar mandi.
"Kau tidak ingin mandi bersamaku?!!" serunya ketika aku baru menutup pintu kamar mandi.
Dasar otak mesum!
"Tidak! Kau mandi saja sama anjing laut!" teriakku kesal lalu membenamkan tubuhku di bathtub.