webnovel

sang mantan yang bijak

Alvin kritis?

Sakit apa sebenarnya Alvin? Apakah aku harus menghubunginya? Tapi aku tak mau membuatnya menaruh harapan lagi padaku. Tapi mau tak mau aku harus menanyakannya kepada Rany.

(Sakit apa dia, Ran?) 

(Menurut Dokter yang menanganinya, awalnya pak Alvin  demam tinggi selama berhari-hari. tak makan dan tak minum membuatnya komplikasi, Bu. Pak Alvin sudah tak sadarkan diri beberapa jam yang lalu.)

Tak lama dia mengirim juga gambar Alvin yang sedang terbaring lemah, kurus tak berdaya.

Ya tuhan Alvin koma, melihat fotonya aku sungguh tak tega. Jujur ini membuatku shock untuk kedua kalinya hari ini. Apakah aku harus mengabaikan Alvin yang koma? Apakah benar Alvin Bukan urusanku, bukannya status dia masih suamiku bahkan satu bulan lalu hubungan kami masih baik-baik saja. Ah, perasaanku mulai goyah.

Jelas saja, siapa yang tak khawatir kalau mendengar kata koma, bisa saja sesuatu yang berbahaya sedang terjadi lalu kemudian Alvin tak terselamatkan. Ah, tapi bukankah aku sedang menghindarinya? Aku harus tetap menghindarinya.  Akan ada banyak yang mengurusnya. Nanti aku akan kerahkan beberapa anak buah untuk merawatnya 24 jam total. Tiga orang sudah sangat cukup.

Sayangnya beberapa kolega yang tak mengetahui hubunganku dengan Alvin sedang di ambang perceraian menghubungiku satu-persatu. Menanyakan keberadaanku dimana, lalu terus bertanya bagaimana kondisi Alvin. Mungkin mereka sudah mengetahui beritanya bahwa Alvin sakit dan sekarang koma.

Tapi jawaban apa yang harus aku beri sementara aku sendiri belum tahu sedetail apa kondisinya. Mereka semua menguatkan hatiku agar tetap sabar dan tenang. Diperlukan oleh mereka seperti ini, dalam hati aku jadi merasa bersalah.

Apakah Aku pulang saja ke indonesia saat ini. Ah, sisi hatiku yang lain menolak, namun sisi lainnya lagi jatuh iba. Terus begini membuat ku gamang. Kenapa aku jadi tak menikmati liburanku.

Sore itu aku menjadi pusing. Candaan teman-temanku sudah tak terasa begitu lucu di telingaku. Hati seperti terbelah. Oh, kenapa aku masih sebegitu perdulinya kepada Alvin. Bagaimana mau memenjarakannya atas tindakannya menggelapkan uang perusahaan, mendengarnya sakit saja,  pikiranku langsung kacau.

Di depan Rany seolah-olah aku tegas, dan depan kedua mertuaku aku seperti baik-baik saja. Padahal hatiku sangat sakit, dilema dan banyak perasaan tak terdefinisi yang membuatku kacau. alvin, tahukah kamu, begitu sulitnya aku untuk melupakanmu. Bahkan di depan menara Eiffel ini, wajahmu masih terus membayangiku.

Belum lagi kekhawatiranku terhadap Sinta mulai muncul. Mungkin kemarin aku terlalu tegas, tapi sisi kewanitaanku sebagai kakak tetap saja muncul.  Terbesit bayang-bayang Sinta. Sebenarnya aku tak tega. Apakah ia nyaman disana. Ia harus makan pizza setidaknya dua hari sekali, Ikan salmon panggang bumbu bawang kesukaanya. Dan rencana kuliahnya pun harus tiba-tiba berhenti. Jahatkah aku?

Ah, mengingat itu semua membuatku sedih. Harus dengan apa aku melupakan semua ini. Ya, tekadku bukankah sudah kuat, harus melupakan semua dan memulai hal baru dalam hidupku. Disini dalam perenungan, justru membuatku galau luar biasa.

Mungkin ini bagian terberat dalam melupakan semua hal yang telah terjadi. Seperti pohon ubi jalar yang sedang dicabut akarnya dari bumi, dari sumber kehidupan dan kekuatannya. Sakit memang, tapi pohon itu tetap harus dipanen, diambil buahnya agar memberi manfaat kepada yang lain.

Mungkin benar aku harus pergi bersama Brian, menghabiskan waktu di London bersama dengannya. Membuang candu dari calon mantan suami dan mantan adik dengan melakukan hal-hal baru disana. Akan sangat menyenangkan bersama Brian yang seru dan humoris itu. Ya, semoga aku cepat melupakan dua orang itu di hati ini.

Aku segera membalik badan,  berkumpul di meja bersama mereka kembali.

"Jadi, naik apa kita lusa?"  tanyaku pada Brian. seolah tidak ada masalah.

"Tenang … nanti aku akan carikan tiket bus dan kereta yang bagus untuk perjalanan kita," jawabnya.

Baiklah sepertinya dia ingin mengurus semuanya. Aku tak menolaknya, budaya barat memang tidak sopan jika menolak pemberian yang ditawarkan oleh orang lain.

Pada awal perjalanan dalam kereta, aku memilih banyak diam. Aku hanya masih terus galau soal Alvin. Diam lebih baik. Hanya saja Brian orangnya yang pandai membuat suasana menjadi baik. Ia terus mengajakku ngobrol, dimulai dari hal-hal yang kecil. Sampai menawariku berbagai makanan yang bisa dipesan di kereta ini.

"Ngomong-ngomong gimana kabar suami dan adikmu! sehat?"  Tanyanya dengan senyum.

Aku terdiam untuk beberapa saat. Entah kenapa aku tak bisa menjawab santai untuk pertanyaan ini. Tapi ada dorongan kuat untuk berkata apa adanya saja. Ada emosi dalam jiwa yang seolah muncul dan ingin mengadukan segala nya pada Brian. Seperti seseorang yang kosong, sendiri, tapi hatinya hancur, lalu ia mencari teman curhat yang sepadan yang bisa menghilangkan sedikit bebannya, dan aku merasa telah menemukan tempatnya.

"Dia sudah kembali kepada orangtuanya, Bri."  jawabku. Ah, rasanya lega sudah mengatakannya.

"Kembali?" Brian menatapku tak mengerti.

"Ya, aku telah mengembalikannya,"  jawabku.

"Kembali apa maksudmu, Ren? kalian kan, kakak beradik, sementara orang tua kalian sudah meninggal dunia. Lalu kenapa,  kamu bilang Sinta telah dikembalikan?"  Tanyanya Sangat kebingungan dan terlihat penasaran.

"Iya, Bri. Aku telah memulangkan dia, karena dia hanyalah adik pungutku saja. Dulu, ibuku mengadopsinya waktu ia masih sangat kecil," jawabku agak tergagap sedikit.

"Maksud, kamu apa sih, Ren. aku tak mengerti?" 

aku diam tak menjawab, bukan tak untuk dijawab. tapi bersiap menghela nafas untuk menjelaskan semuanya.

Mungkin Brian merasa sensitif, ia diam tak melanjutkan pertanyaan. Kecuali jika aku yang kemudian bersedia menceritakan, sikap orang barat sudah tertanam dalam jiwanya. Dan memang aku ceritakan semuanya, termasuk gugatan ceraiku kepada pengadilan agama yang sampai saat ini belum ditandatangani Alvin.

Berkali-kali aku harus menarik nafas agar tak ada tangisan saat menceritakannya. Sayangnya Brian menyodorkan tisu kepadaku ketika dia melihat ada titik-titik embun yang mulai menyatu menciptakan aliran sungai dipipiku.

"Terima kasih, Bri." 

"Maaf, ya, pertanyaanku harus membuatmu bersedih, dan kamu harus menceritakan semuanya panjang padaku." 

"Nggak papa, Bri.aku justru lega sudah menceritakannya ke kamu. Kamu adalah teman yang pertama kali tahu soal ini. Aku memang sedang butuh teman cerita." 

"Wah, suatu kehormatan ku untuk mendengar  curhatan seseorang yang bukan hanya cantik, pintar dan baik hati. Tapi juga seorang pengusaha yang sukses," jawabnya mencandaiku sembari tertawa. Mungkin ia ingin aku terhibur dan tidak terlalu larut dalam kesedihan.

"Aku yang sedikit lega sekarang, punya teman cerita yang kadang gokil, kadang pinter juga nasehatin " kami tertawa bersama.

"Tapi kamu hebat, Ren. Kamu kuat dan mandiri. Sakit pasti dikhianati orang yang paling kita sayangi. Sedangkan kita punya temen, temennya di selingkuhi saja, kita ikutan sakit hati. Apalagi kamu yang mengalaminya sendiri, dan di perlakukan oleh suami sendiri, yang idealnya dia melindungimu, garda terdepan yang paling bertanggung jawab atas kebahagiaanmu."  Brian berbicara penuh kehati-hatian kembali.

"Apakah aku salah jika menceraikan Alvin dan memulangkan Sinta?" Aku butuh saran dari Brian untuk ini. Meski sudah kuputuskan terlebih dahulu.

Brian menarik nafas dan berpikir.

"Kamu tidak salah, Ren. orang tersakiti berhak bersikap tegas untuk melindungi hatinya. Mungkin itu yang terbaik untuk kamu, ya lakukan.  Hanya saja tetap harus dipikirkan masak-masak dan berhati-hati dalam bertindak, segala kemungkinan bisa saja terjadi."  Ia langsung meneguk cappucino di tangannya.

"Tapi jika kamu merasa masih membutuhkan mereka, atau salah satu dari mereka. Ya, maafkan, hubungan bisa diperbaiki dengan memastikan mereka tidak mengulanginya lagi. Karena belum tentu ke depan akan menemukan tambatan hati yang bisa cocok diajak bersama selama bertahun-tahun atau puluhan tahun kedepan nya, 'kan?" ucapnya sangat bijak.

Jujur sebenarnya aku masih membutuhkan Alvin. Dia yang selama ini berhasil menenangkan hatiku. Tiga tahun usia pernikahan dengannya, lebih banyak bahagia. Ya, karena aku mencintainya. apapun yang aku lakukan dengannya terasa menyenangkan. Hanya saja aku terlalu sakit dan tak terima melihat kenyataan terakhir, aku merasa perlu membalas mereka.