webnovel

ketemu bekas mantan

Asisten rumah tangga ku benar-benar gercep. Mereka sudah mengemasi barang-barang Sinta yang super banyak itu. Aku tak marah barang milik Sinta dibawa. Toh itu memang barang miliknya. Hampir semua barang itu mahal, semoga bisa dijual untuk biaya hidup nantinya dikala ia kesusahan.

Aku juga sudah memberikan uang kepada orang tuanya Sinta. Uang itu bisa digunakan untuk merenovasi rumah mereka yang berada di tepian sungai itu, agar tak terlihat kumuh sehingga Sinta bisa betah tinggal di sana.

Biarlah kurawat kasih sayang itu memang pada akhirnya harus kembali ke tempat asalnya. Tuntas sudah tugasku merawat dan menyayanginya selama ini. Mungkin sudah waktunya dia kembali kepada orang tua aslinya.

Security rumah ini sudah menarik paksa gadis itu masuk kedalam mobil. Sinta berontak, melolong menangis, menjerit tapi tak bisa menolak karena memang tak ada tempat lagi disini untuknya. Mobil itu kemudian melaju dengan cepat.

Aku menarik nafas lega. Satu Masalah telah terselesaikan. Sekarang harus membereskan satu masalah lagi yang sampai sekarang masih bersimpuh di kakiku sejak tadi. ini yang akan berat, aku harus tegar….

Keesokan harinya, aku berencana untuk menenangkan diri dan harus berusaha untuk melupakan Alvin. Dengan rencana saya harus meninggalkannya untuk beberapa hari. siapa tahu aku dapat melupakan semua yang terjadi antara kami selama ini. aku berencana untuk pergi keluar negeri. pagi-pagi sekali aku berangkat dari rumah disaat Alvin masih tertidur pulas. Aku pergi tanpa memberitahunya terlebih dahulu, aku hanya memberitahu Asistenku, Rany.

Setelah sampai di bandara aku pun masuk kedalam pesawat, dari jakarta menuju perancis. Setelah melakukan penerbangan selama beberapa jam, akhirnya sampai juga di tempat tujuan.

Hari ini aku menatap menara Eiffel dengan manisnya. Aku datang disaat yang tepat bulan dimana memasuki musim salju, sehingga sepanjang jalan aku bisa melihat hujan salju yang turun. Salju yang bertumpuk. sempurna dan indah. Pemandangan ini cukup membuat mood dan emosi ku jauh lebih baik. Ini memang yang kucari sekarang ini.

Disini aku bersama beberapa teman yang menetap di perancis. Mereka teman-teman masa lalu dari masih jaman SMA dan kuliah. Beruntung mereka memang sudah sering nongkrong bersama dan saling kenal sehingga membuatku sangat terhibur.

Canda-candaan khas indonesia tak mereka lupakan dan itu terkesan lucu di telingaku karena aksen mereka yang sudah mulai kebule-bulean tidak lagi  seperti dahulu yang masih medok betawi dan jawa.

Aku menyeruput cappucino sore hari sembari memandangi angsa-angsa kecil di kolam itu. Menatap julangan menara Eiffel yang begitu romantis di mataku. Banyak sekali pasangan muda-mudi yang datang kesini untuk berlibur.

Aku dan Alvin tentu saja sering kemari. Ah, sudahlah kenapa aku menyebut namanya. Bukankah aku kemari untuk melupakan semua kenangan bersama dia. Aku kembali bergabung dengan mereka, bersama mereka itu lebih baik. Kami mengobrol dan bercanda bersama. Besok lusa aku harus pergi ke London, manfaatkan saja waktuku dengan mencari topik pembicaraan yang sedang hit bersama mereka.

"Apakabar Alvin dan Sinta eh, Ren?" Tanya Airin sahabat sebangkuku saat masih SMA. Dia banyak tahu hal tentang aku, sayangnya dia belum tahu soal  pernikahanku yang bereada di ujung tanduk sekarang ini.

Aku tergagap, saat matanya menanti jawabanku.

"Mereka…. mereka…. Seperti biasanya, sibuk dengan hobi dan aktivitasnya saat ini, waktunya belum pas untuk aku ajak berlibur seperti sekarang ini,"  jawabku mencoba menjawab secara umum.

"Sinta pasti sudah akan berkuliah, kan?" Aku melihat foto kalian saat merayakan Akhir sekolah SMA nya,"  lanjut meta.

Aku segera meminum coklat cappucinoku, menenangkan diri berharap tak ada pertanyaan lebih jauh lagi.

"Oh iya, kamu sudah tahu belum, Ren. Brian mengalami kecelakaan bersama keluarganya tiga bulan yang lalu, anak dan istrinya tidak bisa diselamatkan." Tiba-tiba Farah memberitahu hal yang membuatku kaget.

"Oh, ya?"   Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutan.

Brian adalah orang masalaluku. Dia orang baik yang selalu aku  kagumi. Kakak tingkat yang sempat  tidak jauh dari rumah masa kecilku. Setelah itu kami pindah dan tak bertemu lagi. Sampai akhirnya kami kembali dipertemukan saat kuliah dulu. Dia ambil jurusan Arsitek dan sedangkan aku Bisnis.

"Iya, Brian yang selalu kamu kagumi di jaman kuliah dulu, Ren." Farah si cewek medan itu menggodaku.

"Tak beruntung sekali nasibnya, harus kehilangan anak dan istrinya sekaligus. Aku datang saat pemakamannya. Gimana kalau besok kita datang kerumahnya?" 

"Eh, jangan. Dia nanti terganggu, diakan sedang berkabung." Aku tak enak hati juga sebenarnya. Sungkan karena pernah ada perasaan antara kami. Sayangnya tak semua teman-temanku tahu bahwa aku pernah menjalin hubungan beberapa bulan dengannya.

Selama dengan Alvin, aku penuh berjanji untuk selalu setia dan menjaga hati, menjaga pikiranku dari apapun yang bernama laki-laki lain, selain dirinya. Ini menjadikan aku selalu terbiasa menghindari laki-laki.  Aku mau dekat dengan mereka karena mereka sudah aku anggap saudara sendiri sejak lama.

"Wah, baru saja di omongin, Brian nongol juga, itu."  Teddy menunjuk ke arah seseorang yang sedang berjalan ke arah kami.

"Tau aja lu, Bri. Lagi diomongin udah nongol,"  lanjut Teddy sambil menyalaminya.

Brian menatapku.

"Rena, wah, kangen sekali sudah lama nggak ketemu, apa kabar kamu?" Brian langsung menyapaku ramah.

Ya tuhan dia masih seramah dan semanis itu. Gingsul dan lesung pipinya tak berubah.

"Baik, Bri. Apa kabarmu? Gimana sehat?" Jawabku.

"Alhamdulillah. Aku dapat kabar dari Erica, katanya kamu datang dan kalian nongkrong disini, kebetulan sekali, kantorku tak jauh dari sini." Ia tersenyum. Lagi-lagi lesung pipinya.

"Ngomong-ngomong, suami dan adikmu tidak ikut kesini, Ren?" Tanya Brian penasaran.

"Oh, enggak Bri. Mereka lagi sibuk-sibuknya aku kebetulan lagi ada urusan di London. Tapi aku mampir sini dulu lah, ya. Nemuin kalian,"  jawab ku mencoba secair mungkin.

"Iyalah kalau orang sudah sepuh itu sebaiknya sering reuni, sebab kalau nggak nanti lupa siapa nama teman-temannya pas papasan di jalan,"  candaan Brian di barengi gelak tawa yang kain. 

Brian pintar menempatkan diri itu mulai candaannya. Lumayan akan sangat terhibur suasana hatiku disini jika ada dia sebenarnya.

"Ngomong-ngomong kapan mau pergi ke Londonnya? Kebetulan aku juga ada urusan disana lusa," ucapnya santai.

Lusa pas sekali.

"Ya, lusa juga," jawabku.

"Nah, pas banget tuh Ren, Bareng Brian, ajah." meta mengedipkan sisi kiri matanya. Aku tertawa, ini emak-emak uzur satu ini nggak hilang-hilang genitnya.

"Kalau begitu, kamu pergi saja denganku, biar aman, Ren. Saat ini perjalanan kesana sedang tidak aman, penjahat sedang merajalela," ujar Brian.

Brian kamu masih sebaik itu.

"Ren, benar kata Brian, jarang banget Brian mau nemenin perempuan. Kalau bukan spesial," lanjut Erica.

Aduh, kenapa hatiku sekarang yang jadi kebat-kebit.

Ting!!

Tiba-tiba ada pesan masuk dari Rany.

(Bu, pak Alvin masuk UGD satu jam yang lalu, kondisinya sangat memprihatinkan.)  Bunyi pesan Rany sang Asistenku.

Deg!!

Mendengar namanya saja sudah nyeri, masih bersemayam dalam hatiku. Sakit apa Alvin? Maag akutnya kambuh kah? Atau darah tingginya?  Ya tuhan, baru beberapa hari aku mencoba melupakan Alvin. Bukankah kita akan segera bercerai. Sebaiknya aku harus membiasakan diri tak peduli pada keadaannya. Rany, kenapa dia harus memberitahuku.

(Sudah biarkan saja, Rany. Sekarang dia bukan urusanku lagi.) Jawabku.

(Tapi keadaannya sangat parah, bu. Kritis,) jawab Rany.

Alvin kritis?