webnovel

curahan hati antara aku dan Brian

"Tapi, semua kembali ke kamu, Ren. Mungkin pada saat kamu bisa berpikir jernih, bisa direnungkan lagi apa yang sebaiknya kamu lakukan dan tidak harus kamu lakukan."

"Ya, aku memilih melepas sejenak tentang mereka dengan pergi kesini. Tapi aku sudah mengajukan gugatan cerai, Bri. meski kadang tak yakin, benarkah aku akan berpisah dengan Alvin. saat ini Alvin sakit parah, ia sedang koma, tapi aku harus memutuskan untuk tak peduli."  Tesss. ah, bulir-bulir itu berlarian keluar dari netraku tanpa bisa ku bendung.

Brian menggenggam tanganku. mencoba menenangkanku yang mulai terguncang mengingat semuanya.

"Nggak apa-apa, menangislah Rena. Kamu sedang terluka. Ada aku yang siap membantu kamu kapanpun." 

Ia merangkulku dari samping. Menguatkanku. Seketika hangat menjalari tubuhku. Aroma parfumnya membuatku nyaman dalam peluknya. Perjalan kereta menuju London masih akan panjang. Ia membiarkanku beberapa lama terdiam dalam dekapannya. Aku diam.

Pandanganku menerawang keluar jendela kereta ekslusive ini. Salju-salju turun makin banyak, masih sangat indah di mataku, seperti kapas putih yang beterbangan turun ke bumi. Pepohonan yang satu persatu terlewati seolah tersenyum menyapaku, bangga tubuhnya diliputi oleh salju-salju yang mulai banyak memenuhi daun dan ranting-rantingnya. Ya, aku berpikir seperti itu sebagai wanita asia yang jarang melihat fenomena alam ini. Kecuali sesekali, ketika kesini bersama Alvin.

Aah, alvin lagi …!

"Seandainya anak dan istri kamu bawa, Bri. Pasti lebih seru dan rame?" Ungkapku.

Entah kenapa aku tak ingin mengatakan kalau aku sudah tahu. Aku perlu berpura-pura belum tahu kabar agar tak tersinggung. Mendengar pertanyaanku, Brian lekas meminum kopi coklat yang tadi baru dihidangkan pramugari  tangan kirinya tetap merengkuhku.

"Mereka sudah pergi, Ren. Sudah tiga bulan ini …" ia membuang pandangan keluar.

Kali ini pemandangan yang kami lihat adalah sebuah keramaian di kota Arras. Orang-orang berlalu lalang memakai mantel tebal dan payung-payung besar menutupi hampir seluruh tubuh. Lampu-lampu sore yang mulai menyala menambah semakin romantis pemandangan kota bersih di depanku. Terkadang kereta masuk ke dalam terowongan bawah tanah kemudian tak berapa lama muncul lagi ke permukaan membuat penumpang sedikit silau menghalau cahaya. Kami belum melewati laut yang panjang, perjalanan masih jauh menuju kota Ashford sebelum akhirnya berhenti di London.

Aku mencoba diam, tak melanjutkan tanya. Menunggu apakah ia tak keberatan untuk bercerita padaku.

"Apakah kamu belum tahu, Ren? Mereka sudah pergi jauh. Jauh sekali, dan tak akan mungkin kembali,"  ucapnya datar.

Namun aku merasa ada nada kesedihan dari getar suaranya.

"Maksud … kamu, Bri?" Aku bertanya pelan, tak ingin mengintimidasi jawaban kepadanya.

"Jika kamu terluka karena tersakiti oleh orang yang masih hidup. Akupun saat ini terluka, tersakiti karena mereka yang aku jaga hidupnya harus pergi secara tiba-tiba…" aku bangkit dari rengkuhan hangatnya. Duduk dan menatapnya.

"Ya, Ren. Anakku, dan  istriku, meregang nyawa di hadapanku, tanpa aku bisa menyelamatkannya. Mereka pergi cepat sekali, pergi disaat aku memiliki keyakinan akan hidup bahagia sampai tua bersama mereka. Mereka pergi karena aku, meski bukan mauku. Bahkan sampai saat ini aku dihantui perasaan bersalah, aku seperti seorang pembunuh. Aku yang menjaga mereka, tapi aku yang membuat mereka mati."  Suara Brian mulai berat. Ia berkata dengan tatapan merenung.

Aku tak lagi memandang wajahnya. Memilih menatap kursi di hadapanku, juga pramugari yang berlalu lalang. Menjaga perasaannya.

"Brian, maksud …?" Pertanyaannya kubiarkan menggantung.

Brian terdiam.

"Iya, malam itu, tiga bulan yang lalu. Aku sudah dua hari tak tidur, karena pekerjaan yang membutuhkan waktuku lebih banyak. Aku lupa bahwa itu bisa membahayakan diriku dan juga keluargaku. Setelah menjemput mereka dari rumah temannya. Di perjalanan mobilku terperosok ke jurang tanpa aku sadar, aku tertidur sesaat. Lewat toll dalam kecepatan yang tinggi. Anak dan istriku yang tertidur di belakang terpental keluar akibat hentakan mobil yang terlalu kuat menghantam bebatuan dan cadas di dasar jurang. Mereka pergi. Aku selamat dengan tangan dan kaki dipenuhi luka, tapi tidak ada yang serius. Sementara mobil sudah hancur tak berbentuk, beruntung mobil tak terbakar sehingga aku bisa keluar dan menyelamatkan diri."  Brian menangis tapi tak ada suara ataupun isakan, hanya mata yang memerah dan berlinang air mata membasahi pipinya.

"Bri …" Aku menggenggam tangannya, berusaha menguatkannya.

"Maafkan aku, harus membuatmu mengingat kejadian itu lagi. Jangan lanjutkan jika tak nyaman. Aku turut prihatin. Semoga anak dan istrimu tenang disana."

"Tak apa, Ren. Aku memang ingin cerita ini sama kamu." Balasnya datar.

"Hanya yang aku sesalkan, kenapa mereka yang pergi, kenapa bukan aku saja. Aku rela menggantikan hidup mereka. Aku belum membahagiakan hidup istriku. Anakku yang masih kecil, harusnya masih banyak waktunya di dunia ini. Seandainya kematian bisa di tukar. Aku mau menggantikannya. Aku yang bertanggung jawab atas hidup mereka." 

"Sudah kehendak nya. Bukan salahmu, Bri…"

Aku menepuk-nepuk bahu bidangnya. Paham maksud bahwa seorang lelaki ksatria, mereka rela mati demi orang-orang yang paling dia cintai. Brian memang sangat mencintai istrinya.

Kami masing-masing terdiam. Aku tak ingin bertanya lagi untuk beberapa saat.

Kasihan Brian. Ia benar-benar kehilangan hidupnya, semangat nya. Jelas hidupnya setelah itu kosong.  Ia semangat bekerja setiap hari demi anak dan istrinya. Lalu seketika menghilang, pergi.

Aku pernah mengalami dalam posisi Brian saat itu. Aku melihat jasad ayah ku sendiri sangat mengenaskan, saat ia kecelakaan bangunan sewaktu ia sedang bekerja dulu, aku juga sangat terpukul atas kepergian beliau.

Kemudian kini, kehidupan rumah tangga Brian, tak beda jauh denganku. Akupun kehilangan suami dan adikku. Tiba-tiba tidak ada lagi di dalam rumahku. Beberapa hari setelah aku pergi ke prancis, jiwaku kosong. Ada Yang tercabut ketika bangun tidur tak melihat Alvin dan Sinta di dalam rumah ini lagi. Namun beberapa detik kemudian bayangan Alvin dan Sinta Saling membuai di sofa malam itu, membuatku gila dan hancur berkeping-keping. 

Di London. Brian menyelesaikan urusan bisnisnya pada siang hari. Sementara aku memilih pergi ke tempat-tempat yang sudah aku rindui. Ada beberapa teman yang  seharusnya aku bisa kontak dan mengantarku jalan-jalan. Tapi kali ini aku butuh menyendiri.

Berkeliling sekitaran camden town,  menikmati jajanan tepi jalan, juga membeli beberapa barang sebagai kenang-kenangan, lalu berakhir di Trafalgar square.

Sorenya Brian menjemputku untuk makan malam di The Dinner Cruise, sebuah kapal pesiar yang berlayar selama tiga setengah jam di sekitar sungai Thames. dari sini kita bisa menikmati pemandangan malam hari kota London yang romantis, makan dengan hidangan khas Eropa sembari disajikan music-music classic penuh harmoni menyentuh jiwa. 

 Suasana yang masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku lupa bahwa seharusnya malam ini aku tak memilih kesini. Suasana yang justru mengingatkanku tentang Alvin yang saat ini koma!