webnovel

Broken White

Kirana Agniya menghadapi masalah klasik bagi perempuan yang berusia hampir 30 tahun. Dia diharapkan segera menikah, tapi trauma di masa lalu membuatnya enggan berkomitmen. Kirana dijodohkan dengan Birendra Wijaya, lelaki yang dua tahun sebelumnya menolak perjodohan mereka. Kini, pria itu mendadak ingin menikah dengan Kirana. "Kenapa Mas tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Kirana. "Memangnya, kenapa tidak bisa?" pria itu justru balik bertanya. Kirana tak berniat menolak perjodohan ulang. Namun, dia harus tahu mengapa calon suaminya bisa berubah pikiran. Mungkinkah dia hanya pelarian? *** "Kenapa Bos memilih dia?" "Karena dia sepertinya juga tidak mungkin jatuh cinta kepada saya," tutur Rendra. "Jadi, tidak akan ada pihak yang terluka saat ikatan itu berakhir."

Sekarani · perkotaan
Peringkat tidak cukup
282 Chs

Kamu Terlihat Bahagia

Kirana terus memandangi cincin pertunangan yang tersemat di jarinya. Sambil tetap tersenyum dengan begitu manis, dia mengangkat tangannya, membuat cincin tersebut semakin berkilau karena beradu dengan cahaya matahari.

"Kamu terlihat bahagia," komentar Rendra yang diam-diam mengagumi senyuman Kirana.

"Saya suka banget sama cincinnya. Cantik!"

Jawaban Kirana membuat Rendra menyadari satu hal. "Oh, jadi kamu terlihat bahagia karena suka cincinnya. Saya pikir karena barusan saya lamar."

Mereka sedang duduk berdua di bangku taman yang ada di halaman belakang rumah Kirana. Acara pertunangan yang sangat sederhana baru saja selesai dan pasangan ini dipaksa orangtua mereka untuk menghabiskan waktu berdua.

Sesuai permintaan keluarga Kirana, acara hari ini benar-benar hanya dihadiri keluarga inti. Rendra datang bersama orangtua dan adiknya, sedangkan Kirana juga cuma didampingi kedua orangtuanya.

Kirana sebenarnya memiliki seorang kakak lelaki dan adik perempuan. Namun, kakaknya yang bekerja di Jakarta tidak bisa datang. Adiknya yang sedang hamil besar dan tinggal bersama suaminya di Palembang juga tidak dianjurkan dokter bepergian jauh menjelang waktu persalinan.

Satu-satunya orang lain di luar keluarga yang ikut menjadi saksi momen pertunangan Rendra dan Kirana adalah Bobby. Dia hanya bisa mengatakan siap saat sang bos memintanya jadi fotografer dadakan.

Bobby memang bisa dibilang multitalenta. Tentu bukan tanpa alasan dia digaji tinggi untuk mendampingi Rendra selama bertahun-tahun, kan?

Hari ini, Kirana mengenakan gaun putih selutut yang memiliki potongan simpel dengan lengan pendek yang panjangnya mendekati siku. Modelnya klasik, tapi begitu cantik dan pas untuk Kirana.

Riasan Kirana pun tampak sederhana dengan pilihan lipstik warna merah bata. Begitu pula dengan gaya rambutnya yang jauh dari kata ribet.

Pilihan busana Rendra juga terbilang simpel. Dia hanya mengenakan kemeja putih gading dengan lengan panjang yang digulung rapi hingga mendekati siku, dipadukan celana abu-abu terang.

"Tentu saja saya juga senang karena dilamar pria kaya. Harusnya saya cepat-cepat bikin status di media sosial dan mengumumkan kalau mulai hari ini resmi jadi tunangannya Birendra Wijaya, tapi untuk apa?" kata Kirana sambil tersenyum menatap Rendra.

Rendra membalas tatapan Kirana yang duduk di sampingnya sambil tersenyum juga. "Untuk pamer, kan? Biasanya orang-orang sangat suka memamerkan momen bahagia semacam ini. Konten paling populer adalah pamer foto cincin tunangan."

Ucapan Rendra membuat Kirana tertawa ringan. "Iya, bener. Hampir semua temen saya kayak begitu waktu mereka tunangan atau menikah. Hahaha...."

"Jadi, kenapa kamu nggak melakukan hal serupa? Biar seperti yang lainnya."

Pandangan Kirana kembali tertuju pada cincin yang menghiasi jari manis kirinya. Ekspresi cerianya mendadak berubah sendu.

"Tidak ada yang pantas dipamerkan. Saya dan Mas cuma bertunangan, kan? Tidak ada jaminan bahwa kita benar-benar akan menikah dan hidup bahagia setelahnya."

Kata-kata Kirana membuat Rendra terdiam. Perasaan bersalah yang begitu besar kembali mengusik hatinya.

Merasa bingung dengan bagaimana harus menanggapi ucapan terakhir Kirana, Rendra memilih untuk beranjak dari bangku taman.

"Jadi, mau ke mana kita setelah ini? Kafenya Satya?" tanya Rendra kemudian.

"Ah, iya. Kita mau pergi, ya? Saya hampir lupa," balas Kirana yang sepertinya tidak sadar jika Rendra baru saja sengaja mengalihkan topik pembicaraan secara tiba-tiba.

"Ke tempat lain aja, deh. Kafe bagus di Jogja, kan, nggak cuma tempatnya Mas Satya aja," kata Kirana lain.

"Oke, terserah kamu."

Rendra kembali tersenyum kepada Kirana yang masih duduk di bangku taman. Kirana pun membalasnya dengan senyuman yang terasa begitu meneduhkan.

Interaksi Rendra dan Kirana menarik perhatian Bobby untuk segera memotretnya meski dari jarak yang cukup jauh. Sekretaris andalan Rendra itu kemudian melihat hasil jepretannya dan merasa begitu bangga karena bisa mengabadikan momen manis yang menurutnya sangat langka.

"Ternyata mereka serasi banget, ya. Saling pandang kayak gitu aja bikin jiwa jombloku meronta-ronta...."

Bobby menoleh ke samping kanannya dan mendapati Adisty Wijaya, adik Rendra satu-satunya, juga sedang memperhatikan dua sejoli yang baru saja bertunangan itu.

Adisty menghela napas, seolah punya beban hidup yang sangat berat. "Apa-apaan ini? Mas Rendra udah mau menikah untuk kedua kalinya dan aku bahkan belum pernah pacaran sama sekali sejak lahir. Dunia sungguh nggak adil. Kapan aku punya pasangan dan menikah juga?" keluhnya.

"Mbak Adisty baru saja genap berusia 20 tahun bulan lalu. Apa yang salah jika masih sendiri di umur semuda itu?" komentar Bobby.

Gadis itu kembali menghela napas. "Mas Bobby nggak paham gimana rasanya menjadi satu-satunya orang yang masih jomblo di antara teman-temanmu. Iya, kan?"

Bobby tampak berpikir sejenak, lalu menganggukkan kepala beberapa kali.

"Saya paham, kok. Kayaknya saya juga satu-satunya orang yang belum punya pasangan di antara teman-teman saya, tapi saya merasa baik-baik saja."

"Bukannya Mas Bobby seumuran Mas Rendra?"

Bobby agak syok mendengar tebakan Adisty. Meski begitu, dia masih bisa tersenyum dan berkata, "Saya lima tahun lebih muda dari Pak Rendra. Apa saya terlihat sudah setua itu?"

"Ups...," Adisty merasa tak enak hati, khawatir ucapannya menyinggung hati Bobby.

Adisty lalu buru-buru membenahi perkataannya. "Dewasa! Bukan tua, tapi dewasa!"

Bobby diam-diam menyangsikan kata-kata Adisty. "Mendampingi Pak Rendra memang bukan pekerjaan yang mudah. Mungkin itulah mengapa saya jadi terlihat lebih 'dewasa'," ucapnya dengan memberi penekanan pada kata terakhir.

"Eh, Mas! Mas Bobby! Itu cepetan dipotret juga!"

Tiba-tiba Adisty menepuk-nepuk lengan Bobby, meminta pria itu kembali memusatkan perhatiannya kepada Rendra dan Kirana.

Dari kejauhan, Rendra tampak sedang mengulurkan tangan kirinya kepada Kirana yang masih betah duduk di bangku taman.

"Ayo, kita pamit ke orangtua," ajak Rendra.

Kirana terlihat tidak yakin. Ini bukan pertama kalinya mereka akan berpegangan tangan, tapi kenapa Kirana merasa ragu untuk sekedar menyambut uluran tangan Rendra?

Perhatiannya lalu tertuju pada cincin yang melingkar di jari manis pria itu. Sebuah pertanyaan langsung muncul di kepalanya.

"Bagaimana rasanya memakai cincin murah? Mas sekarang nggak ngerasain gatal atau gimana, kan?" tanya Kirana kemudian.

"Hah?" Rendra bingung tiba-tiba mendapatkan pertanyaan seperti itu.

Tanpa sadar, Rendra menarik uluran tangannya untuk memeriksa cincin dengan aksen bergelombang di jari manisnya itu.

Saat itulah Kirana melakukan hal yang membuat Rendra sangat terkejut. Dia meraih tangan Rendra yang sebelumnya diulurkan kepadanya, lalu segera beranjak berdiri.

"Mas nggak perlu khawatir. Biarpun murah, saya memilih cincin buatan tangan karya pengrajin lokal dengan kualitas terbaik," kata Kirana.

Rendra tertegun melihat Kirana yang lagi-lagi tersenyum kepadanya. Hari ini perempuan itu memang banyak tersenyum.

Namun, Rendra tidak menyangka jika senyuman Kirana sekarang bisa membuat dirinya berdebar-debar. Dia bahkan seperti lupa caranya bernapas.

Jika Rendra bertanya kepada Bobby tentang apa yang terjadi pada dirinya saat ini, mungkin hanya akan ada satu jawaban. Rendra jatuh cinta.

Selamat jatuh cinta, Rendra!

Sekaranicreators' thoughts