Aya kembali lagi dirumah Citra, karena sering kesini, Aya sampai tidak bisa membedakan antara kenyataan dan mimpi. Tapi jika melihat langit gelap yang bukan malam, Aya tahu sekarang dirinya berada di alam mimpi.
Aya membuka pintu perlahan entah untuk yang keberapa kalinya didalam mimpi. Mimpi ini adalah mimpi dimana Aya melihat Farhan memukul Citra dan saat Aya mencoba menahan Farhan, maka Aya akan terbangun.
Suara pecahan kaca terdengar, Aya segera berlari kearah dimana Farhan dan Citra berada.
"Farhan!" Teriak Aya sembari berlari berusaha menghentikan Farhan. Lagi, semua percuma. Seakan Aya tidak terlihat dan tidak terdengar, Farhan tetap berhasil memukul Citra.
Disaat itulah Aya pasti terbangun dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya.
*
Sudah semenjak terakhir kali Aya menelfon Citra, ketika Citra sedang mengalami nyeri haid. Sejak saat itu juga Aya tidak memimpikan kejadian apapun lagi.
Aya berusaha mengingat setiap inci mimpinya tentang Citra untuk menemukan petunjuk. Tidak ada subjek lain selain Citra dan Farhan dalam mimpi Aya. Tapi bagaimanapun juga, Aya tidak bisa menemukan keberadaan dari Farhan ataupun Citra. Mereka seperti hilang ditelan bumi. Hilang tanpa jejak dan tanpa kabar.
Sudah tepat seminggu Citra tidak masuk kantor dan setiap Aya datang kerumahnya tidak ada satu orangpun disana. Aya dan Wati bergantian datang kerumah Citra untuk mengecek.
Mungkin Aya harus datang kerumah pak RT untuk mendesaknya mengatakan apa yang terjadi dan kemana keluarga Citra pergi.
Sudah ratusan kali Aya menelfon nomor hp atau telfon rumah Citra, tapi tak kunjung diangkat atau mendapatkan respon dari salah satu pesannya. Aya hampir menyerah jika Wati tidak terus menyemangatinya.
Citra adalah teman Aya yang sangat berarti bagi Aya. Bahkan setelah tahu Aya memiliki kutukan mimpi, Citra tidak peduli dan masih tetap berkeliaran di samping Aya.
Aya takut jika menghilangnya Farhan dan Citra adalah efek dari jam tangan pemberian ayahnya.
Ngomong-ngomong tentang jam tangan pemberian ayahnya yang tertinggal di rumah Tian. Jam tangan itu belum Tian kembalikan padanya. Tapi tidak apa, tanpa jam tangan itupun, sekarang Aya tidak memimpikan kejadian kematian apapun.
"Ya, ayok makan siang tim. Kita udah reservasi tempat nih." Aya tersenyum ketika Meira menepuk bahunya.
"Ayok, kita reservasinya dimana?" Aya mengambil hp beserta tasnya, kemudian berjalan bersama Meira menyusul Vano dan Yuda yang sudah menunggu mereka didepan lift.
"Yuda yang pesen, coba tanya aja. Katanya sih spesial." Kini Angel ikut berjalan disamping Aya, memeluk lengan Aya, tidak tinggal diam Meira juga melakukan hal yang sama.
"Ngapain kalian gandengan gitu? Kayak anak kecil tau gak?" Ucap Yuda begitu melihat Aya datang membawa dua orang yang bergelayut di tangannya.
"Biarin. Kita suka sama mbak Aya kok kamu yang repot." Sahut Angel.
"Idih." Ucap Yuda menjauh dari ketiga wanita di timnya.
"Gak papa kan Ya, kalau kita suka sama kamu? Soalnya kita beruntung banget ada di timnya mbak Aya. Gak mau pindah tim lagi." Tanya Meira sedikit tidak enak hati.
Aya tertawa tertahan. "Boleh. Asal jangan suka ke arah yang begituan ya?"
"Enggak, Angel sukanya sama gue kok." Semua orang menatap Vano terkejut, ketika Vano menarik Angel untuk dirangkulnya.
"Pantes aja suasananya aneh pas aku pergi sama mereka. Aku ikut mobilmu aja ya Yud." Putus Aya segera diikuti Meira. "Aku juga."
Aya, Meira dan Yuda segera masuk lift ketika pintu lift terbuka, Yuda segera menutupnya ketika Angel dan Vano hendak masuk.
"Loh kok kita ditinggal?"
"Kalian naik lift yang lain aja." Ujar Yuda sambil menekan tombol tutup berulang kali. Hingga akhirnya lift membawa mereka turun.
*
Aya mengambil semua makanan yang ingin ia makan hingga penuh dalam satu piring dan segera membawanya dengan hati-hati ke meja dimana anggota timnya sudah menunggu.
Aya tidak ingin usaha Yuda sia-sia dengan membawa mereka kemari, tempat dimana kita bisa makan sepuasnya. Maka Aya akan mengambil sebanyak yang Aya bisa.
Aya terpekik ketika salah seorang tak sengaja menyenggolnya dan membuat minuman yang dibawa orang itu mengenai kemeja putih yang dipakainya.
"Maaf." Aya mendesis sebal ketika kemeja putihnya kini memiliki noda merah yang sangat ketara.
"Kalau punya ma.." Ucapan Aya terhenti ketika melihat orang yang menatapnya penuh rasa bersalah adalah bos Genie, Kevin. Kekesalan Aya berganti dengan senyuman teramah yang pernah Aya tunjukkan.
Aya tidak boleh marah kepada klien pentingnya.
"Kenapa tidak jadi marah?" Sepertinya bos Genie ini menyadari Aya yang hampir saja mengeluarkan makian.
"Oh, pak Kevin kebetulan sekali bertemu disini." Aya buru-buru mengganti topik pembicaraan.
"Panggil Kevin saja." Apa Aya tidak salah dengar? Maksud Aya kenapa? Hubungan mereka bukan sesuatu hal yang bisa saling memanggil secara akrab.
"Apa?"
"Kamu sedang makan siang?" Tanya Kevin yang tentu saja sudah tahu jawabannya karena Aya membawa sepiring penuh makanan. Kevin bahkan tidak percaya, Aya akan menghabiskan semua makanannya dengan tubuh kurus itu.
"Ya seperti yang bapak lihat."
"Kalau begitu biar saya traktir, saya ingin minta maaf tentang perkataan kasar saya waktu kita baru pertama kali bertemu." Kevin ingat bahwa perkataannya saat bertemu Aya pertama kali sangatlah membuat Aya terkejut, dilihat dari raut wajah Aya saat itu.
"Maaf pak, mungkin lain kali, saya sedang bersama tim saya." Aya melirik meja dimana timnya sudah menunggunya untuk makan.
"Bagus, sekalian saja ajak mereka. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf saya karena bawahan saya yang bertindak semaunya kepada timmu." Kevin tidak menyerah.
"Pak maaf sekali, hari ini kami makan dengan kartu perusahaan jadi kami harus manfaatkan, jarang-jarang perusahaan memberi kesempatan seperti ini. Tapi lain kali kita pasti akan menagih itu. Bapak tenang saja." Aya tetap menawarkan hari lain untuk mentraktirnya dan timnya, Kevinpun mengangguk setuju.
Aya menganggukan kepalanya, hendak pergi dari sana, namun Kevin menahan tangannya dan melepaskan jasnya untuk Aya gunakan.
"Bajumu tembus pandang, setidaknya pakai jas ku."
Jantung Aya terhenti seketika merasakan ada jas lain yang lebih dulu sampai dibahunya.
"Saya rasa tidak perlu. Biar saya saja yang urus kekasih saya. Permisi."
Aya menatap Tian yang merangkulnya pergi dari sana, jantung Aya berdebar-debar ketika menatap sorot kemarahan yang keluar dari Tian.
Aya memang gila!
Semua tim Aya tersenyum kikuk ketika Tian bergabung duduk ke meja, kecuali Yuda yang masa bodoh dengan kedatangan Tian.
"Pergi lo, bikin gak nyaman." Usir Yuda. Namun Tian malah menghela nafas kasar, terlihat menahan kemarahan. Sedangkan Aya menunduk lesu, menunggu Tian yang mungkin akan marah padanya.
"Gue makan disini juga gak sama lo kok. Ada assisten sama klien gue disini." Ucap Tian kini beralih pada Aya, menarik kursi Aya hingga menghadapnya.
Tian membenarkan posisi jasnya yang dikenakan Aya.
"Jangan mau dipakein jas orang lain. Aku gak suka." Aya menahan tawanya dikala melihat bibir Tian yang manyun lima senti itu.
Setelah memastikan jas yang dipakai Aya rapi, Tian pergi kembali ke meja dimana assisten dan kliennya menunggu.
Semua orang dalam tim menatap Aya menggoda, setelah melihat ke-uwu-an yang mungkin jarang mereka lihat.
Sedangkan Aya, menatap punggung Tian yang menjauh dengan jantung yang kembali berdebar-debar.