Aya terbangun dikala sinar matahari menerpa. Badannya sedikit kaku, setelah menyadari jendela kamarnya terbuka dengan lebar semalaman. Membuat suhu tubuhnya sedikit naik dari biasanya.
Hati Aya menjadi tenang melihat Tian masih tertidur dengan nyenyak di sofa yang terletak di samping ranjangnya. Rasanya Aya tidak tega membangunkan wajah yang kelelahan itu.
Tidak biasanya Tian tidur disana, karena biasanya Tian selalu tidur di samping Aya bahkan ketika Aya menolak dengan keras.
Aya membiarkan Tian tidur lebih lama lagi selagi dirinya mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kerja. Setelah merasa penampilannya cantik, Aya menghampiri Tian dan mengguncang tubuhnya. Tak butuh waktu lama, Tian menggeliat bangun dari tidurnya.
"Yan bangun, mandi dulu sana udah siang." Tian tersenyum lembut kepada Aya.
"Kayaknya ada dua potong baju kerja pubya kamu dilemari deh Yan, coba kamu cari aja. Aku turun dulu." Setelah memeastikan Tian sudah memasuki kamar mandi. Aya segera menuju ke dapur untuk membuat sarapan sederhana.
Hanya nasi goreng dengan telur mata sapi yang menghiasi piring, tak lupa mencampur bakso pada nasi goreng Tian dan sosis pada nasi gorengnya.
Tian datang bersamaan dengan Aya yang selesai menyajikan dua buah piring nasi goreng diatas meja makan.
Penampilan Tian terbilang sangat rapi seperti biasa, mungkin karena dirumah Aya banyak sekali barang-barang Tian, seperti pomade dan barang kelaki-lakian lainnya yang Aya tidak mengerti.
"Aku tahu kamu bosen sama sosis, jadi aku campur bakso yang punya kamu." Ujar Aya meletakkan piring berisi nasi goreng bakso kehadapan Tian.
"Makasih Sayang." Aya tersenyum, rasanya menggelitik saat Tian mengucapkan kata-kata itu. Tian bisa membayangkan, jika suatu hari nanti Aya akan membuatkannya sarapan seperti ini setiap pagi.
Makan berdua seperti ini salah satu momen yang di sukai Tian, hal sekecil apapun jika bersama Aya, itu sangat berarti baginya.
"Aku mau coba punya kamu dong Yan."
"Kenapa? Mau bakso?" Tanya Tian heran, mungkinkah Aya juga bosan dengan sosis.
"Enggak ih, gue mau coba punya lo soalnya nasi goreng punya gue rasanya aneh. Takutnya nasi goreng lo juga gini." Tian terkekeh, lalu membawa setumpuk nasi diatas sendok dan menyuapkannya pada Aya.
"Mulutnya." Peringat Tian mendengar Aya menggunkan kata yang tidak disukainya.
"Ih kok enak. Punya aku kok aneh." Ucap Aya disela-sela kunyahannya.
"Itu gara-gara sosisnya." Aya mendelik mendengar ucapan Tian. "Kok sosisnya yang disalahin."
Dengan kesal Aya menyumpalkan nasi goreng miliknya kedalam mulutnya hingga penuh. Akibatnya Aya kesusahan mengunyah dan tersedak.
Aya buru-buru berlari ke wastafel untuk memuntahkan seluruh isi perutnya. Tian berdiri di belakang Aya sembari memukul pelan punggung Aya, berusaha membantu Aya melegakan perutnya.
Aya segera mencuci mulutnya. Rasanya Aya sudah tidak nafsu makan lagi.
"Kamu hamil Ya?" Aya meninju perut Tian dengan cepat. Di umurnya yang sudah matang ini Aya masih menjaga kesuciannya dengan baik.
Tian malah tertawa terbahak-bahak saat mendapat tatapan tajam dari Aya.
"Udah sana duduk. Aku bikinin roti isi aja ya. Perut kamu gak boleh kosong, karena ada calon bayi kita." Aya benar-benar ingin melempar Tian keluar dari rumahnya, jika Aya memiliki kekuatan sebesar Hulk.
Aya memperhatikan punggung lebar Tian yang bergerak untuk membuatkannya roti isi. Aya ingin berlari memeluk punggung itu.
Seketika Aya menampar pipinya sendiri. Fokusnya beralih pada nasi goreng bakso milik Tian. Aya memasukkan sesuap nasi goreng itu kedalam mulutnya.
"Oh iya Ya, ini jam tangan punya kamu." Ucap Tian sembari meletakkan sepiring roti isi dan jam tangan ke hadapan Aya secara bersamaan.
Aya mengambil roti isi dan melahapnya dengan rakus jika benar-benar tidak ingin terlambat ke kantor, karena jam tangannya menunjukkan waktu yang semakin siang.
"Ayo Yan. Udah siang ini." Ujar Aya menarik Tian sembari mengambil tas kerja mereka yang tergeletak di sofa ruang tamu. Setelah selesai memakai sepatu, Aya segera memberikan tas milik Tian dan jam tangannya.
"Kok dibalikin ke aku?" Tanya Tian penasaran.
"Lebih baik kamu aja yang bawa Yan. Aku takut jika jam ini yang menyebabkan Citra hilang tanpa kabar sampai sekarang. Akhir-akhir ini aku udah gak mimpiin hal lain lagi. Kecuali tentang mimpi cincin itu."
Aya merasa tenang, saat Tian menerima jam tangan itu dan memasukkannya ke dalam saku kemejanya.
*
Aya memutuskan sambungan telfon dari Tian. Barusan Tian mengabari bahwa salah satu kliennya mengalami kejadian penusukan oleh pihak lawan.
Aya menggeleng, ada-ada saja masalah didunia ini. Hanya karena masalah hutang piutang menjadi kasus percobaan pembunuhan.
Sekarang Aya mulai bosan menunggu Tian di dalam mobil yang terparkir di parkiran rumah sakit. Saat menjemput Aya dan mendapatkan telfon, Tian banting stir membawa Aya pergi kerumah sakit dan ingin mencari tahu apa yang terjadi.
Saat tahu apa yang terjadi, Tian menelfonnya dan meminta Aya menunggu saja di dalam mobil. Tapi Aya bosan.
Aya melihat lampu kerlap-kerlip yang datang dari luar rumah sakit. Aya bisa melihat cafe yang buka. Mungkin Aya akan menunggu Tian disana daripada bosan didalam mobil.
"Aku tunggu di cafe depan rumah sakit." Aya mengeja perlahan mengikuti jarinya yang mengetik pesan kepada Tian. Aya tidak bisa bayangkan kekesalan Tian karena Aya menghilang begitu saja tanpa kabar.
Aya membuka pintu mobil, tak lupa mengunci mobil Tian dan membawa kunci itu bersamanya.
Saat Aya hendak melangkah seorang anak kecil menabraknya dan menangis karena terjatuh. Aya kira anak itu akan pergi kembali ke orang tuanya namun anak itu tetap menangis ditempatnya terjatuh.
"Adek gak apa-apa?" Aya menggendong anak itu, perlahan tangis anak itu berhenti.
"Adek kesini sama siapa?" Anak itu tidak menjawab pertanyaan Aya dan memilih memeluk Aya erat. Aya kebingungan, mencari sosok orang di sekutarnya, yang mungkin orang tua dari anak ini. Namun, Aya tidak menemukan satu orangpun yang nampak peduli dengan anak ini.
Sekarang Aya harus bagaimana?
"Adek mau ikut kakak makan cake?" Bocah laki-laki itu mengangguk antusias. Aduh, anak ini harus diajari untuk berhati-hati dengan orang asing. Beruntung Aya bukanlah orang jahat.
"Joy!" Teriak seseorang yang familiar. Itu Kevin, bos dari Genie. Rupanya dia sudah memiliki anak sebesar ini, Aya kira mereka seumuran.
"Pak Kevin."
"Oh Aya, maaf merepotkan kamu." Kevin hendak mengambil alih gendongan bocah bernama Joy ini, namun Joy justru berontak dan mengeratkan pelukan pada Aya.
"Aku gak mau ikut om." Rajuk Joy, membuat Kevin tak enak hati pada Aya.
"Saya kira anak Pak Kevin." Kevin tertawa. "Saya belum menikah. Dia keponakan saya."
"Aku gak mau ikut om. Maunya makan cake sama kakak cantik." Aya membenarkan gendongan Joy yang hampir melorot, karena Joy beberapa kali memberontak.
"Iya, tapi makannya di kamar Bunda ya? Biar om beliin dulu." Kevin mengangguk, senyum cerah terbit dari anak mungil itu.
"Maaf merepotkan Ya. Kamu bisa ikut masuk sebentar supaya anak ini bertemu bundanya dan melepaskanmu." Sebenarnya Aya enggan, namun Aya tidak memiliki pilihan lain selain menyetujuinya.