webnovel

Kenapa baru sekarang

"Suntuk banget muka." Yudistira mendengus, mengabaikan kawan lamanya yang sekarang sibuk terkekeh.

"Kenapa sih tuan muda?"

"Berisik lo."

"Hahahahaha astaga Yudistira, orang kaya tuh banyak tekanan ya?."

"Kampret lo ah."

"Ck, kenapa sih?"

"Gue abis di tolak cewe." Yudistira mendengus melihat temannya yang norak menyemburkan minuman mahalnya, laki-laki berambut cepak itu tertawa sembari memegangi perutnya.

"Ck…ck..ck.. memangnya nama Wardana masih belum bisa bikin lo naklukin cewe-cewe tajir itu?"Yudistira menyesap winenya dengan kesal, ia kembali mengingat penghinaan yang di berikan oleh Dya dan juga saudaranya.

"Gue harus dapetin itu cewe, gimanapun caranya."Melihat tekad temannya, Ru hanya bisa mengulum senyum. Laki-laki itu kembali menyesap minumannya sebelum membisikan sebuah rencana ketelinga Yudistira.

"Kalau memang harus, paksa aja." Yudistira melirik butiran obat yang di sodorkan kepadanya.

"Satu butir aja udah bisa bikin panas sebetulnya, tapi kalau-kalau lo butuh persiapan lebih nih gue kasih lima butir."Yudistira masih bergeming, laki-laki itu memang ingin memiliki Dya demi mendapatkan kekuasaan mutltak keluarga Wardana. Tapi cara yang temannya sarankan terlalu bertentangan dengan setitik nurani di hatinya.

"Ya gue sih terserah lo mau make apa enggak ahahahaha."

"Ck, gue simpen buat jaga-jaga." Jawab Yudistira sembari memasukan obat perangsang ke dalam saku jasnya.

"Hahahaha terserah, jangan kasih tau gue kalau lo udah pake obatnya."

"Kampret!" maki Yudistira sembari membiarkan temannya bergabung bersama sekumpulan orang di lantai dansa.

***

"Ah, kamu udah datang. Masuk Medda, masuk. Saya udah nunggu kamu dari tadi." Dewanata berseru riang menyambut Medda yang datang sembari menundukan kepala.

"Gimana perkembangan Arjuna dan Dya?" tembak laki-laki itu langsung.

"Eng, baik tuan. Kami janjian untuk liburan di villa minggu ini."

"Hahahahaha benar-benar kabar bahagia." Ucap Dewanata dengan riang.

"Saya akan pura-pura ikut sampai villa, setelah sampai saya akan pura-pura sakit dan izin pulang duluan. Biar non Dya sama tuan Arjuna bisa berduaan."

"Oh jangan, kamu ikut aja."potong Dewanata cepat.

"Juna pasti akan langsung pulang kalau begitu caranya, anak itu kan belum benar-benar tertarik sama Dya." Dewanata mengelus dagunya pelan.

"Enggak apa-apa, saya kasih kamu cuti minggu ini. Kamu ikut liburan bareng Dya sama Juna di villa."

"Tapi tuan.."

"Stt… enggak ada tapi. Hubungan Juna sama Dya itu udah ada kemajuan, sebelumnya Juna mana mau beramah tamah sama perempuan lain selain kamu." Dewanata berdehem begitu menyadari kalimatnya yang ambigu.

"Pokoknya minggu ini kamu ikut liburan sama mereka, tapi inget kamu harus sering-sering buat moment untuk Dya dan Juna terus laporin ke saya. paham?"

"Paham.. tuan."

"Oke sekarang kamu bisa kembali ke kamar kamu."

"baik tuan, saya permisi."

Dewanata masih tersenyum meski Medda sudah meninggalkan ruangannya lima belas menit yang lalu, laki-laki itu memandangi figura foto istri pertamanya dengan sayang.

"Akhirnya ada satu hal baik yang bener-bener bisa aku kasih ke Arjuna, Di.." Dewanata membelai potret istri pertamanya dengan sendu.

"Kalau kamu masih di sini, kamu juga pasti akan langsung menyukai Dya. Dia anak yang baik dan terpelajar, cocok sekali dengan Arjuna." Dewanata menghela napas, dadanya sesak karena rasa bersalah dan juga penyesalan yang tidak bisa kunjung padam.

"Aku janji Di, aku janji akan selalu kasih yang terbaik untuk Arjuna meski aku tau enggak ada yang jauh lebih baik untuk anak itu selain kamu."

Dewanata menghabiskan waktu tiga puluh menit tambahan untuk termenung memperhatikan foto almarhum istri pertamanya sebelum akhirnya mengunci ruang kerjanya dari luar, laki-laki itu berjalan menuju kamarnya dan menemukan Briani sedang duduk di meja rias dan melakukan ritual malamnya.

"Kamu enggak tidur di sini lagi?"tanya perempuan itu ketika melihat Dewanata mengambil beberapa barang dari lemari.

"Aku tadi ke tempat Dewi." ucapan perempuan itu berhasil menarik perhatian Dewanata

"Ngapain kamu kesana?"

"Ngapain lagi? Ya ngobrolin soal rencana pesta pernikahannya Juna sama Dya dong mas."Dewanata sangat mengenal istrinya, perempuan itu tidak akan mau repot mengurus Arjuna. Terlebih lagi, permintaannya beberapa waktu lalu hanya basa basi belaka. Dewanata sudah menyewa jasa fashion staylish handal untuk mengurus seserahan yang akan keluarganya berikan untuk putri keluarga Aksara.

"Tapi Dewi tadi nanya soal Medda, ternyata pengawal pribadi Dya laporan kalau belakangan ini mereka sering quality time bertiga."

"Jangan macem-macem Bri."

"Ck, kamu nih curigaan terus. aku enggak ada bilang apa-apa, aku cuma cerita kalau Dya memang pelayan pribadinya Juna." Briani tersenyum simpul, memperhatikan raut wajah suram suaminya.

"Tapi bukan berarti kita bisa santai-santai aja loh mas, kalau keluarga Aksara terlalu curiga enggak nutup kemungkinankan kalau mereka akan cari tau soal Medda dan akhirnya keluarga Aksara akan tau hubungan unik antara Juna dan Medda."Briani memutar tubuhnya agar bisa melihat wajah keruh Dewanata dengan jelas.

"Menurut kamu apa keluarga Aksara mau melepas Dya untuk Juna setelah tau gimana obsesinya anak itu ke pelayan pribadinya sendiri?"

Briani tersenyum puas menyaksikan wajah Dewanata yang mengeras, laki-laki itu jelas terpancing dengan kata-katanya barusan. Briani memutuskan untuk mendekati suaminya, membelai dada bidang Dewanata kemudian berbisik.

"Kalau memang keluarga Aksara enggak mau melepas Dya untuk Juna, kita masih punya Yudistira kan mas. Keluarga Aksara pasti enggak akan keberatan sama Yudis, anak itu bersih dan enggak ada tanda-tanda memiliki ketertarikan enggak normal sama salah satu pelayan di rumah ini." Briani mendongkak, memandang bola mata sehitam arang milik Dewanata dengan berani.

"Enggak akan ada bedanya kan mas, mau Juna atau Yudistira. Mereka sama-sama Wardana." Briani sama sekali tidak marah ketika Dewanata mendorong tubuhnya begitu saja, perempuan itu juga tidak merasa sakit hati ketika suaminya itu menepuk area dadanya seolah ada hama yang menempel di sana. Briani tetap tersenyum, karena perempuan itu tau ia berhasil meruntuhkan kesombongan Dewanata.

"Yudistira masih menjadi Wardana karena aku masih mengizinkannya Bri, tapi kalau kamu banyak tingkah aku enggak akan pernah segan menghapus nama kalian dari daftar keluarga Wardana." Kali ini Dewanata yang maju dan mencengkram pipi istrinya dengan kasar.

"Bisa apa kamu tanpa nama Wardana hah? Jangankan menikahkan Yudis dengan Dya, nama kalian bahkan enggak akan pernah lagi di ingat oleh kelompok pergaulan kelas atas." Dewanata mengusap pipinya dengan pakaian yang ia ambil dari lemari.

"Jadi, jaga sikap kamu dan jangan bikin ulah. Jangan buat aku marah, karena sekarang aku enggak sebodoh dulu."

"Kamu seharusnya setegas ini dari dulu mas, jadi Padi enggak harus kecewa dan mutusin untuk bunuh diri." Perkataan Briani menghentikan langkah Dewanata yang sudah akan menggapai gagang pintu.

"Seharusnya kamu setegas ini dari dulu, jadi Juna juga enggak perlu kehilangan rasa hormat ke ayahnya sendiri. Seharusnya kamu setegas ini dulu, jadi aku dan Yudis enggak perlu berharap sama kamu. Kenapa baru sekarang mas, kenapa baru sekarang di saat semuanya udah terlambat." Desis Briani dengan suara lirih.