Pagi akhirnya tiba, setelah semalaman Lita mencoba untuk tidur secepat mungkin demi menghindari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan banyak dilontarkan sepupu perempuannya, bagaimana tidak, Adisri bukan hanya cerewet, dia juga perempuan yang paling kepo sedunia, terlebih jika kita tidak menjawab apa yang ia tanyakan, pasti dia akan terus mencoba memberikan pertanyaan jebakan lainnya agar rasa penasarannya terpuaskan.
Untuk menghindari rasa penasaran yang mungkin masih menyelimuti fikiran adik sepupunya, Lita bangun lebih awal dari pada Adisri, dan dengan aman langsung ikut om dan tantenya berangkat ke kafe dengan sedikit kebohongan darinya, ia mengatakan jika Adisri sudah bangun dan sedang mandi, padahal sepupunya masih tidur pulas tenggelam dalam mimpi.
Sesampainya di kafe, Lita ikut membantu om Aryan menata bangku-bangku kafe yang terbuat dari kayu, karena saat closing kafe, bangku kayu itu pasti akan ditumpuk secara terbalik, jadi dipagi hari kesibukan pertama yang selalu dilakukan om Aryan adalah menata kembali bangku-bangku itu ketempat semula.
"Lita! om bisa lakukan sendiri, kamu duduk santai saja, bangku-bangku ini terlalu berat untuk mu" ucap Aryan sambil bersusah payah mengangkat satu buah bangku dengan kedua tangannya.
"enggak apa-apa kok om, ini sih belum seberapa dibanding kardus-kardus barang ditempat kerjaku" jawab Lita yang juga sedang mengangkat satu bangku dan membawanya menuju meja kayu bundar untuk diletakkan berdampingan.
Sebelum para karyawannya datang, Aryan yang akan menata meja dan bangku kafe sendirian, tugas karyawannya adalah membersihkan atau menyeka meja dan bangku dari debu pasir yang menempel.
"Morning aji!" sapa seorang pemuda berparas tampan dengan garis wajah yang terlihat jelas jika ia warga negara Asing, rambut coklat alami yang berubah marun ketika berada dbawah sinar matahari, mata hazel yang terlihat jernih berbinar menatap orang yang disapanya.
"Hai, pagi juga Guil!" jawab Aryan sambil melambaikan satu tangannya dan menjeda tugasnya.
"sepertinya saya tak bisa menahan diri untuk berjalan kearah sini saat melihat aji sedang membereskan bangku-bangku ini" balas lelaki yang disapa Guil itu sambil berjalan mendekat kearah Aryan dan mengambil salah satu bangku kayu yang masih lumayan banyak ditumpuk dalam posisi terbalik.
"tak perlu repot-repot lah, Guil" ucap Aji merasa tak enak hati, yah karena ini bukan pertama kalinya Guil membantu Aryan, terbilang cukup sering Guil membantu Aryan mengangkat bangku-bangku kayu itu setiap pagi.
Lelaki dengan hidung mancung yang terbentuk sempurna itu selalu melakukan rutinitas paginya yang tak pernah absen dari jadwal hariannya, lari pagi berkeliling pantai Bali dan selalu diakhiri singgah di kafe milik Aryan.
"saya senang bisa membantu aji, berkat bangku ini otot-otot lengan saya bisa berbentuk begini" ucap Guil sambil menyunggingkan tawa halus.
Nampak jelas bentuk otot kedua lengannya begitu kokoh mengangkat dua bangku kayu sekaligus, seolah bangku-bangku itu seringan bulu berada dalam genggamannya.
"hai apa kabar?" sapa Guil setelah meletakkan kedua bangku yang sempat dibawanya itu ketempat dimana Lita juga meletakkan bangku.
"huh?! oh, baik" jawab Lita kikuk tanpa menoleh atau menatap Guil, dan memutar bola matanya kearah lain, untuk menghindari kontak mata lelaki yang tiba-tiba mendaratkan wajahnya merunduk di hadapannya.
"apa aku masih terlihat seperti orang aneh yang berniat jahat padamu!" ucap Guil, mengulang ucapan Lita saat pertemuannya pertama kali.
Tentu saja kalimat Guil terdengar sarkas diteling Lita, toh bukan salahnya juga jika ia merasa seperti itu, lelaki asing yang membantunya sama sekali tidak ia kenal, bahkan mungkin saja mereka bersekongkol atau berteman juga setelah mendengar bahasa yang mereka ucapkan sama persis, dan tentunya bahasa itu tak dimengerti Lita sama sekali.
Alis Lita bertaut sambil matanya menatap kearah mata hazel yang berbinar indah didepannya, wajah lelaki rupawan dihadapannya tersenyum lembut padanya.
"aku mengerti pasti kemarin kau kaget, karena kita tidak saling mengenal, tapi aku sudah tahu jika kau sepupunya Adis" sambung Guil.
"maksud mu?" tanya Lita heran dengan kalimat terakhir Guil, bagaimana bisa lelaki dengan dada bidang yang terbalut kaos training ketat itu tahu jika ia adalah sepupu Adisri.
Guil mulai menceritakan kejadian kemarin, menjelaskan hal yang tidak diketahui oleh Lita.
Pagi itu, setelah selesai membantu Aryan membereskan bangku dan meja di kafe, Guil melanjutkan lari paginya, dan ketika hendak melakukan putaran kearah kafe lagi, Guil tidak sengaja berpapasan dengan Adisri saat sedang berlari melambai pada Lita untuk pamit berangkat kuliah.
Adisri anak yang supel dan ceplas-ceplos, ketika bertemu Guil, tanpa ragu ia memberinya perintah untuk menjaga kakak sepupunya menuju ke arah kafe, sambil menunjuk kearah Lita yang sedang fokus memandang kearah laut.
Namun belum sampai ia menghampiri Lita, sudah ada empat orang lelaki yang beberapa hari ini sering ia temui di pantai dan kafe Aryan, dan tanpa fikir panjang ia langsung mengucapkan kata sayang begitu, alasannya adalah agar para penggoda itu langsung pergi dan menyerah mengganggu wanita yang punya kekasih, tentu saja ia bisa bahasa yang sama dengan mereka, karena mereka dari negara yang sama seperti dirinya, Italia.
"bukankah kau berhutang terimakasih pada orang aneh ini!" goda Guil dengan sarkasnya.
"oke, maaf kalau saya sudah salah sangka padamu, dan terimakasih banyak sudah membantu saya kemarin" ucap Lita dengan nada suara setulus mungkin, setelah penyesalan dan rasa malu yang dia rasakan saat mendengar penjelasan dari Guilio.
"cuma itu saja?!" ucap Guil, berharap lebih dari sekedar kata-kata dari wanita dihadapannya.
"apalagi yang kau inginkan?" tanya Lita menaikkan alisnya, seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar, yah baru saja ia benar-benar ingin menganggap lelaki dihadapannya seorang hero, namun dengan satu kalimat yang terkesan meminta lebih, membuat Lita mengurungkan rasa simpatiknya.
Guil tertawa renyah sambil menatap wajah Lita yang berubah kesal karena ucapannya. "hahaha, nona ini benar-benar selalu berfikir negatif pada orang lain yah! memang menurut kamu, apa yang aku pinta?"
Wajah Lita memerah, tercampur rasa malu karena apa yang baru saja dikatakan lelaki bermata hazel itu benar, fikiran negatif untuk sang pria baru saja merasuk padanya.
"tenang nona, aku tak akan minta hal konyol dan aneh seperti yang ada didalam fikiranmu sekarang" senyum Guilio terlukis polos dibibirnya, tanpa ia perduli jika perempuan yang diajaknya bercanda sudah merasa kesal kembali.
"ice cream!" ucap Guilio menghapus senyum dibibirnya.
"huh?!" wajah Lita berubah bingung, lelaki kekar dihadapannya baru saja mengucapkan permintaannya bukan? atau mungkin ia salah mendengar.
"aku suka sesuatu yang manis, jadi tolong teraktir aku ice cream, coklat, cake dan semua makanan manis lainnya" sambung Guilio sambil menghitung dengan jari-jari tangannya.
Lita menghela nafas dalam, menatap lekat kearah lelaki yang masih sibuk membuat daftar permintaan padanya, "okey, akan aku berikan, kau puas sekarang! duduk dan tunggulah, akan aku siapkan untuk mu" ucap Lita bersiap untuk jalan meninggalkan Guilio dan berniat untuk masuk kedalam kafe.
"tidak! tak perlu kau buatkan semuanya, aku hanya bercanda!" ucap Guilio sambil menarik pergelangan tangan Lita bermaksud menahan perempuan itu agar tidak pergi kedalam kafe.
Iris hazel Guilio menatap lembut iris coklat Lita, tentu wajah Lita terlihat tidak senang, baginya pria tampan dihadapannya masihlah asing, dan mereka tidak cukup dekat untuk saling bercanda, namun berbeda dengan Guilio, senyumnya tetap tampak ramah tergambar disudut bibir yang dipersembahkan untuk perempuan dihadapannya.
"Guil! syukurlah kau menahan keponakanku untuk tidak mengangkat bangku-bangku kayu itu lagi, padahal sudah kukatakan ini terlalu berat untuknya, kalau suaminya ada disini pasti akan marah padaku" teriak Aryan yang berada lumayan jauh dari mereka berdua, Aryan tak tahu apa yang dibicarakan dua irang berdeda jenis kelamin itu, namun melihat tangan keponakan satu-satunya berada digenggaman lelaki yang baru ia kenal selama satu tahun ini membuatnya sedikit tidak nyaman.
Guil tersentak mendengar kalimat terakhir Aryan, ia segera melepas genggamannya dari Lita, dan salah tingkah.
Memang maksud hatinya untuk menggoda perempuan dihadapannya sekarang, namun ia tak tahu jika wanita yang membuat jantungnya berdebar kemarin sudah bersuami.
"oh, maaf! lupakan permintaanku, aku sungguh hanya bercanda" ucap Guil Kikuk, dengan senyum yang terlihat canggung.
"oke" jawab Lita pelan dan tersenyum lembut pada Guil, dan kemudian berlalu pergi masuk kedalam kafe meninggalkan Guilio.
Yah Lita merasakan perubahan sikap yang begitu kentara dari Guilio, beberapa menit tadi pria tampan itu masih percaya diri berusa dekat dengannya, namun setelah mendengar status yang secara gamblang diucapkan om Aryan, pria itu langsung menyerah begitu saja.