59 Penasaran

"pak Alex gak apa-apa kan?!" ucap Dian khawatir, ia membantu atasannya berdiri sambil mengaitkan lengannya.

"aduh~duh~ bibir pak Alex berdarah!" seru gemulai Jeng Vera sedikit histeris melihat darah yang ada di sudut bibir Alex.

Alex langsung mengusap sudut bibirnya dengan punggung jari telunjuk, memastikan apa yang diucapkan staff gemulainya itu benar.

"saya enggak apa-apa kok, kalian bisa kembali kedepan" balas Alex santai setelah menyeka sedikit darah disudut bibir kirinya, seolah tidak pernah terjadi apa-apa padanya.

"tapi~ itu~ bibir pak Alex" sambung Jeng Vera terbata sambil mengarahkan telunjuk ke arah bibirnya sendiri, berniat memberi isyarat pada atasannya yang terluka.

"saya baik-baik aja, oke! sekarang lebih baik kalian keluar dan lanjutkan perkerjaan lagi" tegas Alex memberi perintah, dan kembali duduk dikursinya semula, ia sengaja menghindari tatapan para karyawannya yang terlihat khawatir dan juga penasaran tentang apa yang baru saja terjadi diantara dirinya dan suami dari manager mereka.

Para staff patuh pada perintah yang diberikan, tanpa ada kata-kata yang terucap, mereka hanya mengangguk dan langsung keluar dari ruangan secepatnya.

Meski terbersit rasa penasaran dihati mereka tentang apa yang terjadi, mereka lebih memilih diam tanpa bergosip satu sama lain.

***

"ada apa sayang? ku lihat seharian ini wajahmu murung terus setiap menatap Lita, memang apa yang kalian bicarakan tadi siang dipinggir pantai?" ucap Aryan sambil memeluk tubuh istrinya yang terlihat gelisah rebah disampingnya.

"sepertinya ada yang aneh dengan Lita, pah" balas Shella memiringkan tubuhnya menghadap kearah suaminya.

"aneh bagaimana?" tanya Aryan bingung, sambil memandang lembut kearah sang istri.

"tumben banget Lita minta diceritakan kisah tentang Shelli, mas Tara dan mba Arum" terang Shella.

"apanya yang aneh, sayang? wajar saja kalau seorang anak minta diceritakan masa lalu tentang kedua orang tuanya, kan!?" sambung Aryan sambil mengusap lembut rambut istrinya.

"padahal dulu dia tidak pernah mau mendengar kisah rumit tentang kedua orang tuanya, bahkan ia menolak untuk mendengarkan, tapi sekarang tiba-tiba saja ia minta aku menceritakan semuanya dari awal" jelas Shella lagi.

"aneh kan, pah?! terlebih setelah mendengar ceritaku, Lita jadi lebih banyak diam seharian ini" sambung Shella mengerutkan kedua alisnya ia sangat khawatir memikirkan keponakan satu-satunya.

Setelah Shella menceritakan kisah tentang orang tua Lita, ia terus mengamati keponakannya itu seharian, memang wajar jika respon Lita terlihat murung dan sedih, terlebih posisi ibunya yang menyebabkan pernikahan orang lain berantakan, pasti rasa bersalahnya teramat besar mengetahui fakta tentang orang tuanya.

"jangan berfikir negatif, wajar kalau responnya seperti itu, yang kamu ceritakan adalah kisah kelam" Aryan berusaha menghibur hati istrinya dengan memberikan kecupan ringan di dahi Shella selepas ucapannya.

***

"kak mana Handphone kakak!?" todong Adisri kepada Lita, setelah tubuhnya sukses naik dan duduk bersila diatas kasur.

"kenapa minta handphone kakak? kamu kan punya sendiri" tanya Lita heran, sambil menarik selimut menutup sebagian tubuhnya.

"mana handphone kakak!? sini kasih ke aku" kukuh Adisri sambil menodongkan tangannya kedepan Lita yang rebah dihadapannya, Adisri hanya ingin memastikan jika Lita sudah menerima telepon dari Leo yang sempat menghubunginya tadi.

"sedang diisi daya baterainya" jawab Lita, enggan memberikan apa yang diminta adik sepupunya, karena memang ia tak bermaksud untuk menggunakan ponsel selama masa pelariannya, bukan bermaksud kabur, ia hanya ingin apa yang dirasakannya terbalas pada suaminya.

"dicharger dimana? enggak ada tuh" sambung Adisri sambil matanya berkeliling melihat kearah colokan listrik yang tersedia didalam kamarnya.

Sebenarnya Adisri mulai menyadari hal aneh dari Lita, biasanya ponsel itu bagai nyawa kedua bagi setiap orang zaman sekarang, karena tak ada hentinya orang pasti akan menggunakan ponsel dalam keseharian mereka.

Namun sejak kemarin dan malam ini Adisri sama sekali tidak melihat kakak sepupunya bermain ponsel, bahkan ponsel yang biasanya selalu dibawa kemanapun kakak sepupunya berada tidak terlihat sedikitpun.

"kamu mau apa dengan ponsel kakak, hah?" tanya Lita penasaran dengan permintaan adik sepupunya yang sedikit memaksa.

"aku mau cek aktif atau enggak ponsel kakak" terang Adisri.

"kakak non aktifkan, udah malam waktunya untuk tidur" jawab Lita sambil menarik selimutnya sengaja bersembunyi di balik kain bercorak kotak-kotak biru, ia sengaja menghindari pembicaraan tentang ponsel yang sengaja ia simpan didalam kopernya sejak penerbangannya ke Bali.

"ish, tuh kan! aku udah duga kalau ponsel kakak masih belum aktif, tadi mas Leo nelpon aku loh, dia bilang mau nelpon kakak, aktifkan sana ponsel kakak" ucap Adisri sambil menggoncang tubuh Lita yang sudah tertutup selimut siap untuk tidur.

Namun Lita tetap bungkam berpura-pura tidak mendengar rengekan adik sepupunya.

Adisri tidak menyerah ia tahu jika Lita tidak sungguhan tidur, mustahil dalam beberapa detik orang akan langsung pulas, ia membongkar selimut kakaknya dan menggelitik Lita agar bangun dari rebahnya.

"akh! geli!" pekik Lita meronta kegelian, mencoba menahan ulah usil tangan adik sepupunya.

"makanya bangun! cepat nyalahin ponsel kakak" ucap Adisri, tangannya masih sibuk menggelitik Lita.

"iya oke! kakak akan bangun, tapi please stop gelitiknya, geli!" pekik Lita lagi dan bangun dari rebahnya.

Adisri menghentikan serangannya, dan memberi kode dengan lirikan matanya, agar Lita segera melaksanakan apa yang baru saja ia minta.

Lita menarik nafas dalam dan berjalan menuju koper yang ia letakkan di samping lemari Adisri.

ia membuka kopernya dan meraih ponsel yang sudah dua hari ia tinggalkan didalam sana.

Mata Adisri fokus mengamati gerak sang kakak. "bilangnya lagi di charger, dasar pembohong!" ucap Adisri sambil menyilangkan tangannya didepan dada.

Tentu saja Adisri belum tahu apa yang sedang terjadi, makanya dengan polosnya ia memaksa sang kakak menjawab panggilan dari orang yang paling ingin Lita hindari.

Nafas Lita kembali kasar berhembus sambil menatap lekat layar ponsel yang masih berwarna gelap, ia hanya ingin tahu sejauh mana Leo membutuhkannya, ternyata butuh waktu dua hari untuk suaminya menyadari kepergiannya, menyedihkan bukan?

"kak! kok malah bengong sih!" ucap Adisri yang sudah berdiri disamping Lita yang masih duduk berlutut didepan koper.

"bawel! udah malam tahu, paling mas Leo sudah tidur, kasihan dia kalau diganggu" ucap Lita kembali meletakkan ponsel didalam koper dan segera menutup kopernya lagi.

"kita juga harus tidur supaya besok bisa bangun pagi, oke!" sambung Lita menarik adik sepupunya berjalan menuju tempat tidur.

"ya, tapi ponselnya tetap harus diambil dong kak, kenapa ditaro di dalam koper lagi" tutur Adisri menunjuk kearah koper, namun tubuhnya pasrah ditarik sang kakak.

"ssst, jangan bawel, udah malem berisik tahu, besok pagi baru kakak aktifkan ponselnya, mending kita tidur sekarang, yah!" balas Lita dan kembali bersembunyi didalam selimut memunggungi Adisri yang masih tidak percaya dengan tingkah kakaknya barusan.

***

Leo berbaring diatas ranjang, ia hanya sendirian berada dirumahnya, istrinya pergi tanpa sepengetahuannya, ia sadar bahwa ia tak punya hak untuk marah pada Lita, hal yang wajar jika Lita melakukan tindakan ini padanya.

Ia terus berusaha menghubungi nomer istrinya, namun tetap sama seperti sebelumnya, hal itu membuatnya semakin merasa frustasi, kegelisahannya semakin besar, ia takut jika Lita menceritakan segalanya pada tante Shella dan om Aryan.

Ia masih belum siap jika Lita sungguh meninggalkannya, namun ia juga tak mampu melepas tanggung jawabnya pada Indah yang terlanjur mengandung anakya.

***

Dirumah orang tua Leo

"sudah ada Kabar lagi tentang menatu?" tanya Liam (ayah Leo) yang sedang duduk bersandar diatas kasur sambil membaca buku.

"iya, Leo bilang kalau istrinya ada diBali, ia sedang berkunjung kerumah tantenya" jawab Lenny sambil meletakkan ponsel diatas nakas samping tempat tidurnya.

"harusnya dia jaga baik-baik istrinya, kalau dulu dia segitu berkorbannya demi menikahi perempuan itu, malah berbuat hal bodoh seperti ini" ketus Liam sambil membalik halaman dari buku yang ia baca.

"hal bodoh? setidaknya ia masih punya rasa tanggung jawab dan ketulusan pada istrinya dan perempuan itu" ucap Lenny tak kalah ketus, ia langsung menjatuhkan tubuhnya ketempat tidur dan memunggungi sang suami.

"hanya tindakan bodoh yang ia lakukan selama ini, jangan sampai ia mencoreng nama baik ku dan jangan sampai scandalnya terdengar ketelinga warga disini, poligami? dia fikir, ia punya hak untuk melakukan hal itu?" lanjut Liam menekankan suaranya pada sang istri yang baru saja memunggunginya sambil mengucapkan kalimat yang terdengar sarkas baginya.

Liam adalah seorang DPRD tingkat dua, nama baiknya lebih penting dari apapun juga, dan sudah cukup baginya satu hal memalukan memiliki seorang anak lelaki yang tiba-tiba menikah diusia muda dengan mengorbankan pendidikannya dan lebih memilih bekerja diperusahaan swasta.

avataravatar
Next chapter