61 Apa yang terjadi?

Dering ponsel menggema didalam ruang gelap, kamar yang masih belum tersentuh sinar mentari pagi akibat gorden tebal yang menutupi jendela belum terbuka.

Tubuh yang tertutup selimut mulai bergerak gelisah karena suara berisik yang mulai memekakkan telinga, Adisri tubuhnya sempurna tertutup selimut hingga ujung kepala.

Tanpa menyibak selimut yang sempurna membungkus tubuh, tangan gadis itu terjulur meraba meja nakas yang ada disamping ranjang, terus bergerak berusaha meraih ponsel yang terus berdering tanpa jeda.

"hallo?" ucapnya malas ketika posel itu ia letakkan diatas telinga, tentu saja dengan selimut yang masih menutup seluruh tubuhnya hingga kepala.

Suara yang sudah familiar terdengar diseberang sana, "heem, oke, tunggu sebentar" jawab Adisri dengan mata yang masih enggan terbuka karena kantuk yang masih dirasakannya.

Meskipun rasa malas masih menguasai tubuhnya, Adisri mulai menyibak selimut yang sedari tadi menjadi tamengnya, demi mengikuti perintah yang baru saja ia dengar dari lelaki di ujung telepon.

Mata yang sedari tadi begitu rapat ia jaga, akhirnya terbuka lebar ketika ia menoleh kearah samping, berharap sosok yang ia cari masih tidur disisinya.

Adisri terdiam, ia masih setengah sadar setelah bangun tidur, karena sosok yang ia cari tak ada disisinya, bola matanya secara otomatis bergerak menatap ke arah pintu kamar mandi yang ada disampinnya.

Tentu saja kamar mandi itu kosong, karena pintunya terbuka lebar, dan kakak sepupunya yang ia cari tak mungkin ada didalam sana bukan!

"tunggu ya mas, kayaknya kak Lita ada dibawah" sambung Adisri bicara pada Leo ditelepon, sambil melangkah turun dati ranjangnya, dan mulai berjalan keluar kamar.

Dengan malas Adisri mulai menuruni anak tangga satu persatu, matanya awas menatap kearah meja makan yang langsung ia jumpai saat turun, Adisri terdiam mencoba meraih kesadaran sepenuhnya, ruang makan yang ia lihat terlalu kosong dipagi hari bukan?

Pagi! itu hanya bagi Adisri yang baru saja bangun dari tidurnya, namun waktu tak berpihak padanya, nyatanya saat bola mata itu berputar melihat kearah jam diding dan meraba jarum jam, ia cukup kaget dan tercengang, hanya dalam hitungan detik kesadarannya penuh seketika.

"what! jam sepuluh!" pekiknya, dengan mata yang terbuka lebar, "mas Leo telepon ke kafe aja oke, aku kesiangan, bye" cerocos Adisri memberi jawaban pada Leo yang masih menunggu diseberang sana, tanpa mendengar respon Leo, Adisri langsung menutup panggilan itu.

"kak Lita keterlaluan enggak bangunin aku!" teriak Adisri kesal pada sosok yang bahkan sudak tak ada disana, ia bergegas meraih handuk yang ada di gantungan dan langsung masuk kedalam kamar mandi.

***

"halo, Adis!" ucap Leo kesal, bicara pada sepupu iparnya di telepon, bagaimana tidak kesal, Adisri memutus panggilan secara sepihak, dan ia masih belum bisa bicara dengan istrinya sejak panggilan pertamanya kemarin.

Leo mendengus kasar, seluruh tenaganya seolah terkuras habis menahan rasa frustasi, kepalanya jatuh bertumpu pada kedua tangannya yang ia sandarkan diatas tembok pembatas balkon ruang merokok yang disediakan kantor.

Kepalanya terlalu pening memikirkan segala kemungkinan yang terjadi, ia hanya berharap jika Lita tidak menceritakan keadaan rumah tangganya pada tante Shella dan Om Aryan, atau harapan terakhirnya jika tante Shella bisa mengerti dengan posisinya saat ini.

"mas!" ucap Indah sambil menyentuh pundak Leo yang masih merunduk.

Leo tidak menyadari kehadiran Indah, sebelum tangan perempuan itu menyentuhnya dan suara Indah lembut menyentuh pendengarannya.

Leo mengangkat wajahnya yang sempat bersembunyi dibalik tekukan kedua tangannya, dan terpaksa menyunggingkan senyum tipis diujung bibirnya saat menatap Indah.

"ada apa? sejak tadi pagi kamu murung begitu" tanya Indah, sambil mengusap rambut Leo yang tertiup angin.

"enggak ada apa-apa" jawab Leo sambil membenarkan posisinya berdiri tegak dihadapan Indah.

Alis Indah berkerut, manik matanya melukis rasa tidak percaya dengan ucapan lelaki dihadapannya yang sepagian ini berusaha memaksakan tersenyum padanya.

"jangan terlalu khawatir, aku baik-baik saja" sambung Leo berusaha meyakinkan Indah, sambil mengelus pucuk kepala perempuan yang sedang mengandung anaknya.

Tentu saja Indah tidak tahu jika saat ini Lita tidak ada di Jakarta, dan semalam pun Leo tetap memilih tidur dirumah dibandingkan di apartemen, walaupun tidak ada sang istri disana.

***

"hei, kenapa kau tidak ke kantor untuk absen?" pekik Angel setelah membuka pintu hitam back office toko Jakarta Pusat dan meluap kan omelan untuk adik bengalnya yang ia pendam sejak dikantor.

Angel tak lagi ragu dimana ia bisa menemukan adiknya, karena memang selama Manager toko kepercayaannya cuti, adiknya lah yang backup semua pekerjaan Lita.

"dengar ya, aku bisa memaklumi mu hanya selama kau backup tugas Lita, tidak untuk seterusnya kau bersikap seenaknya begini" oceh Angel sambil menjatuhkan bokongnya tepat di kursi sebelah Alex, yang sedang fokus melihat tabel-tabel laporan yang ada di komputer.

Tak ada respon atau jawaban dari Alex, ia terlalu bosan meladeni omelan kakaknya setiap hari, bahkan hari ini saat moodnya sedang buruk, ia sengaja tak datang ke office karena menghindari perdebatan dengan kakaknya, tak disangka, wanita bar-bar baginya itu malah datang ke tempat kerjanya.

"hoo... tumben diem aja, biasanya kalau diomelin jago ngeles, gitu dong fokus sama kerjaan" sambung Angel sambil menatap lekat kearah Alex yang masih fokus dengan komputer.

"kalau kamu sungguh-sungguh bertanggung jawab dengan pekerjaan, papah enggak perlu khawatir lagi untuk nyerahin posisinya ke kamu, nanti" Angel masih tenggelam dengan kekagumannya pada sang adik, sambil memandang lembut wajah samping kiri Alex.

"tunggu deh, ada noda dipipi kamu" ucap Angel sambil bangkit dari duduknya, dan perlahan menyentuh tulang pipi Alex yang nampak biru di wajah putih adiknya.

"akh!" pekik Alex, merasakan sapuan jemari sang kakak menyentuh luka memar akibat tonjokkan Leo kemarin.

Tentunya Angel tak tahu apa-apa awalnya, namun setelah mendapati Alex yang kesakitan membuatnya sadar jika warna yang disentuhnya adalah luka memar, terlebih disudut bibir Alex tergores luka sedikit robek mengakibatkan sudut bibir kirinya terlihat lebih merah.

Kedua manik Hazel yang serupa itu saling menatap, namun tersirat arti berbeda dari kedua pandangan yang terjadi.

Alex gugup menatap wajah sang kakak yang kini hanya berjarak satu jengkal dari wajahnya.

Sedangkan Angel sangat khawatir mendapati wajah babak belur adiknya, "apa yang terjadi? kenapa dengan wajahmu?"

"ck, namanya juga cowok" decak Alex sambil meraih tangan Angel yang masih menyentuh pipi kirinya. Dan kembali fokus menatap pekerjaannya di komputer, Alex sengaja menghindar, berharap kakaknya tidak mengajukan pertanyaan lain.

Raut wajah Angel berubah kesal, tangannya berkacak pinggang, "kau bukan anak kecil lagi untuk memulai perkelahian, dan wajah jelekmu menjadi semakin jelek dihiasi memar begitu, tauk"

Alex mendengus, "mulai lagi ngomelnya, harusnya tuh adiknya disayang kalau luka-luka" protes Alex sambil melirik kearah Angel yang sudah kembali duduk dikursi sebelahnya.

"untuk apa aku harus bersikap begitu? aku tahu pasti kamu yang memulai perkelahian, dasar pembuat onar" ketus Angel, sambil mengeluarkan laptop dari tasnya.

Omongan Angel mungkin terasa pedas ditelinga, namun jauh dilubuk hatinya ia ikut terluka melihat keadaan adiknya. Sambil sesekali melirik kearah Alex, hati Angel tak tenang, walaupun adiknya bengal dan susah diatur, tapi adiknya bukannya orang yang suka berkelahi dengan orang lain.

avataravatar
Next chapter