"Jadi siapa dalang dari penculikkannya?" tanya Kevin tidak sabar ketika Zak baru sampai di ruang kerjanya.
Sudah lebih dari tiga bulan Kevin mencari tahu siapa otak di baliknya penculikkan Luna. Tapi hasilnya nihil. Orang-orang suruhan yang menculik Luna itu tidak ada yang mau mengaku kepada siapa mereka bekerja. Meskipun Kevin mengancam mereka dengan nyawa, mereka tetap tutup mulut. Lihatlah, betapa setianya orang-orang bodoh itu hingga Kevin geram lalu membunuh mereka.
"Kau membunuh mereka semua, bagaimana bisa aku mencari tahu siapa otaknya," geram Zak.
Kevin tersenyum licik. "Mereka merepotkan."
"Mereka satu-satunya kunci kita. Aku sudah kehabisan akal mencari otaknya," ujar Zak, "tapi dari info yang kudapatkan, mereka pernah menculik wanita lalu dijual organnya." Zak menggidikan bahunya.
"Begitu kah?"
Setelah pembicaraan itu, Kevin tidak pernah lagi mencari tahu siapa otak dari penculikkan Luna. Berita yang Zak berikan membuatnya malas. Toh yang penting Lunanya sudah bersamanya dan Kevin tidak akan membiarkan Luna dalam bahaya.
***
"Kau bisa menyelesaikannya? Jika butuh bantuan jangan segan memintaku."
Aku mengangguk. "Terima kasih atas tawarannya Alex. Tapi sungguh aku bisa menyelesaikannya kau tidak perlu khawatir. Aku tidak akan merusak setengah hasil kerjamu."
"Aku hanya menawarkan diri agar kau tidak repot karena 2 jam lagi aku harus pergi untuk presentasi," ujarnya ramah.
"Sekali lagi terima kasih."
Aku sudah memulai program magang di perusahaan manufaktur. Perusahaan ini memang belum terlalu maju, masih berkembang. Dan hari ini adalah hari keduaku berada di sini. Alex adalah rekan kerjaku dan dia akan mengawasiku selama aku berada di sini sekaligus dia dipercaya oleh pihak kampus untuk membimbingku dan menilai hasil pekerjaanku.
Aku bersyukur Alex yang mengawasiku. Ia begitu ramah dan sabar menghadapiku. Dia mudah berbaur dengan orang baru. Untungnya bukan atasan dari timku yang membimbingku. Mungkin aku tidak akan betah jika atasanku yang membimbingku karena ia sangatlah galak. Hari pertama aku bekerja di sini saja sudah diomelinya habis-habisan.
Saat kami sedang sibuk masing-masing, Mrs. Leonna datang ke ruangan kami dengan raut wajah juteknya. Dia adalah atasan yang baru kuceritakan.
"Meetingnya ditunda atau bisa jadi terancam dibatalkan begitu saja padahal perusahaan kita sudah menunggu lama," ujar Mrs. Leonna tanpa basa-basi.
"Mengapa bisa begitu? Kita tidak punya banyak waktu lagi," kata Alex. Dia tampak kesal. Aku tahu dia sudah menyiapkan presentasinya dengan sangat baik makanya dia kesal.
"Pemilik perusahaan itu bilang tidak terlalu tertarik dan dia ada urusan penting hari ini."
"Tapi dia belum melihat presentasi kita sama sekali bagaimana bisa dia bilang tidak tertarik?!"
Aku hanya diam duduk memandangi ruangan ini yang sedikit menegang.
"Aku tidak tahu. Yang jelas banyak yang mengantri untuk bekerja sama dengannya. Tapi aku yakin di sini ada seseorang yang bisa membantu kita membujuk pemilik perusahaan itu atau tidak tim kita bisa kehilangan pekerjaan." Mrs. Leonna berpaling menatapku sinis.
Mengapa ia malah menatapku? Aku tidak tahu apa-apa.
"Kau yang bernama Luna,kan? ikut aku keruanganku," perintahnya.
Aku mengikuti keruangannya, bingung. Apa ini ada hubungannya dengan perusahaan itu? Tapi apa hubungannya denganku?
"Mrs. Sanders saya tahu siapa anda. Mungkin anda bisa membantu kami dengan membujuk suami anda agar tidak menunda meeting dengan perusahaan ini," ucapnya lembut dan formal. Dia tidak jutek seperti tadi.
Suamiku? Jadi yang dimaksud dari tadi adalah perusahaan milik Kevin?
Aku tersenyum kecut mendengar ia bicara lembut dan formal padaku. Bukankah sebelumnya ia sangat dingin padaku? Lalu kenapa sekarang menjadi lembut? Apa karena dia baru mengetahui bahwa aku istrinya? Inilah manusia bersikap baik hanya karena melihat status sosialnya.
"Maaf Mrs. Leonna, saya rasa Kevin Sanders adalah orang yang sangat profesional. Saya tidak bisa membujuknya mencampurkan masalah perusahaan dengan hubungan kami," kataku, tersenyum licik.
"Tapi perusahaan kita akan merugi besar dan timmu akan kehilangan pekerjaan. Setidaknya bantu kami. Saya mohon."
Aku menimbang-nimbang permohonan Mrs. Leonna. Aku tidak rela hanya karena Kevin menunda jadwal meetingnya tanpa alasan, timku kehilangan pekerjaan. "Baiklah. Saya akan mencoba tapi saya tidak bisa berjanji akan hal ini."
"Terima kasih banyak Mrs. Sanders." Bibirnya sangat terlihat sedang memaksakan senyumannya.
"Luna. Luna saja. Anggap saja anda belum mengetahui siapa saya sebenarnya," ujarku sedikit menyombongkan diri. Aku sedikit dendam padanya soal kemarin dia yang mengomeliku habis-habisan.
Dia mengangguk lalu mempersilakanku untuk keluar dari ruangannya. Aku kembali ke ruanganku dan saat aku kembali tim di ruanganku memberiku tatapan aneh.
"Kau diomeli lagi oleh si galak?" tanya Evanna penasaran. Dia adalah rekan kerja di timku.
Si galak adalah julukan dari tim kami untuk Mrs. Leonna.
"Tidak. Hanya memvertifikasi soal kemarin," kataku bohong.
"Dia menyebalkan," timpal Alex.
Kami bertiga hanya tersenyum. Dia si galak Mrs. Leonna selalu jadi bahan omongan kami ketika seperti ini.
Aku melihat jam dinding yang terpampang besar di ruangan ini. Aku hanya punya waktu 1 jam 30 menit lagi untuk membujuk Kevin agar tidak mengundur jadwal meetingnya.
Aku pergi ke toilet untuk menelpon Kevin. Kebetulan toiletnya sepi.
Di bunyi ketiga Kevin baru mengangkatnya. "Tumben menelpon."
Tidak bisakah dia berkata 'halo' dulu saat menjawab telpon? Kevin selalu seperti ini. Tidak ada kata pembukaan saat menelpon ataupun menerima telpon.
"Kau sibuk?" tanyaku pelan.
"Tidak. Kau merindukanku?" Aku yakin ia sedang tersenyum di telpon.
Merindukannya? baru 3 jam yang lalu aku bertemu dengannya. "Tarserah. Jam 11 kau ada acara penting bertemu klien mungkin?"
"Tidak ada. Mengapa kau bertanya?" suara Kevin mulai terdengar kesal dengan pertanyaanku yang tidak jelas.
"Lalu kenapa kau menunda meeting dengan perusahaan manufaktur kalau tidak ada jadwal penting?" Aku merasa seperti wartawan sekarang.
"Kau tahu?" ia memberi jeda, "dari mana kau-"
"Aku bekerja di situ," selaku cepat. Kevin tahu aku sedang magang tapi dia tidak tahu di perusahaan apa aku magang.
"Oh. Jadi apa maksudmu? Kau ingin membujukku agar tidak menundanya?"
Sial. Dia tahu.
"Aku hanya ingin tahu mengapa kau menunda pertemuannya?" seharusnya aku berkata ya aku ingin membujukmu. Jadi jangan menunda meeting ini.
"Perusahaan itu tidak menguntungkan untukku," jawabnya dingin. Sombong sekali dia.
"Kau bahkan belum melihat hasil kerja kami. Setidaknya beri satu kesempatan, setelah itu tarserah padamu."
"Tanpa melihat hasil kerja kalian aku sudah tahu apa yang akan terjadi. Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Tidak ada untungnya bekerja sama, malah perusahaanku yang akan merugi. Ini dunia bisnis Luna, jika ada yang membuatmu merugi untuk apa diambil?" ujar Kevin. Aura seorang pebisnisnya begitu terasa.
Jawabannya terdengar seperti membatalkan perjanjian bukan menunda.
"Jadi sebenarnya kau menunda atau membatalkan meetingnya?" aku hampir saja berteriak di telpon.
"Aku baru saja memberitahu sekretarisku untuk membatalkannya," jawabnya lagi, dingin. "Kau menelpon hanya untuk ini? Apa atasanmu menyuruhmu menelponku untuk membujukku?" tanyanya seperti sedang kesal.
"Tidak ada yang menyuruhku membujukmu," kilahku. "Masalahnya adalah timku bertanggung jawab mengenai meeting ini dengan perusahaanmu. Jika kau menunda ataupun membatalkannya, aku akan kesulitan untuk membuat laporan penelitian tentang perusahaan ini."
Aku menunggu jawaban selanjutnya. Kevin terlalu lama diam.
"Meskipun kau istriku, aku tidak peduli kau kesulitan membuat laporanmu atau tidak. Aku bekerja profesional Luna. Aku tetap akan membatalkannya. Jadi itu urusanmu bukan urusanku. Aku sama sekali tidak peduli," ujarnya acuh.
Dadaku seperti ditusuk pisau olehnya. Kata-katanya yang tajam membuatku tercekat dan terluka. Tidak bisakah dia berkata manis meskipun menolak bujukanku? Siapapun pasti sedih mendengarnya berkata seperti itu dengan nada dinginnya.
Setelah jeda lama di telpon aku mulai bicara lagi. "Kau benar," jawabku singkat. Suaraku hampir tertelan, aku tidak tahu dia mendengarnya atau tidak dan aku hampir menangis mengulang ucapan Kevin di hatiku.
"Kau sudah selesai menelponku?"
Kevin benar-benar tidak berperasaan sekarang. Setelah ia berkata tajam ia malah bertanya aku sudah selesai atau belum.
"Sudah," balasku dengan hati gemetar karena menahan kesal. Kututup telponnya lalu kuhapus air mataku yang sudah keluar. Untuk apa aku menangisinya!
***
"Mengapa aku harus ikut?" tanyaku jengkel. Suasana hatiku sedang buruk dan Alex malah memaksaku untuk ikut dengannya.
"Si galak menyuruhmu ikut. Lagipula kau akan sangat membantu kami. Kau hanya perlu menulis beberapa keluhan yang dimaksud nanti. Kau kan pendengar yang baik." Alex menarik tanganku membawa ke parkiran.
"Naik motor?" aku mengernyit.
"Kita tidak punya banyak waktu. Akan kebih cepat sampai jika naik motor," ucap Alex sambil menaiki motor ninja merahnya. "Pakai helm ini."
Aku tidak bisa menolak lebih jauh. Saat sampai di tempat tujuan aku sangat terkejut. Mengapa Alex menbawaku ke kantor Kevin? Bukankah Kevin membatalkan meetingnya? Aku masih ingat jelas pembicaraan kami di telpon tadi. Sampai saat ini pun aku masih ingin menangis mengingat ucapannya yang pedas itu.
"Bukannya..."
"Si galak baru menerima email bahwa meetingnya tidak jadi di tunda makanya kita harus cepat," potong Alex.
Kami berlari kecil menuju ruangan meeting. Karena terlalu terburu-buru saat aku membuka pintu ruangan, aku hampir terjatuh tapi Alex di belakangku dengan cepat menahan tubuhku agar tidak tersungkur ke lantai.
"Kau baik-baik saja?" tanya Alex, membantu menyeimbangi berat tubuhku dengan tangannya di pinggangku.
Aku mengangguk. "Terima kasih," ucapku. Aku menjauhkan tangannya dari pinggangku saat aku menyadari ada Kevin dan beberapa orang yang melihat kami. Kevin hanya menatapku seperti tatapan srigala.
Aku dan Alex menghampiri mereka. Duduk di kursi kosong. Mata Kevin terus menusuk tubuhku. Aku mengabaikan Kevin yang sejak tadi memandangiku bagai mangsa serigala. Aku masih sakit hati dengan ucapannya di telpon. Aku lebih memilih fokus pada topik yang sedang di bicarakan di ruang meeting ini dan sesekali menulis hal-hal yang penting.
Setelah dari pihak perusahaan kami selesai mempresentasikan proyek kami, Kevin memberi beberapa sanggahan dan menjelaskan kekurangan proyek dari perusahaan kami. Ia menjelaskan begitu detail dan dingin. Aku bisa merasakan orang yang berada di ruangan ini sangat segan terhadap Kevin. Ia begitu serius dengan wajah dinginnya.
Aku menatap seorang wanita di hadapanku, ia memandangi Kevin dengan cara yang berbeda tidak seperti yang lain yang memandanginya takut-takut. Wanita itu terlihat sangat kagum saat Kevin berbicara di depan. Dia sangat cantik dan ternyata dia adalah sekretaris Kevin. Uh, Kevin selalu memperkerjakan orang-orang yang memiliki pesona luar biasa. Aku menggeram kesal
Meetingnya berjalan lancar. Tidak ada kendala yang begitu sulit. Hanya ada dua kendala, aku masih tidak terima ucapan Kevin di telpon dan aku ingin segera pergi dari sini. Beruntung Alex mengajakku segera kembali ke kantor.
"Tapi aku lapar. Kita makan dulu? Aku traktir," ajak Alex di parkiran, duduk menyamping di motornya dan aku masih berdiri di hadapannya.
"Tuan Kevin," sapa Alex tiba-tiba.
Aku langsung menoleh ke belakang. Untuk apa dia di sini? Kevin menyajarkan jaraknya dengan diriku. Sepasang matanya menatap Alex, motor, dan aku bergantian. Ekspresinya tampak kesal.
"Sekretarisku harus mengatur jadwal pertemuan selanjutnya dan aku butuh temanmu untuk membantu sekretarisku," ujar Kevin dengan wajah datarnya.
Kenapa tidak sekretarisnya saja yang datang menemui kami? atau kenapa sekretarisnya tidak mengirim email saja?
Dahi Alex mengerut. Dia tampak bingung.
"Tidak perlu menunggu temanmu. Aku yang akan mengantarnya kembali ke kantor," tambahnya, tanpa sengaja bermaksud mengusir Alex.
Alex pun pergi kembali ke kantor tanpaku, tanpa banyak komentar.
"Kau kemari naik motor? Berboncengan dengan pria itu?" tanya Kevin setelah kami berada di ruang kerja Kevin. Dia berbohong. Kevin tidak perlu sekretarisnya mengatur jadwal pertemuan denganku. Itu hanyalah alasan Kevin.
Aku mengangguk. Jangan lupa bahwa aku masih sakit hati dengannya.
"Aku membelikanmu mobil. Mengapa kau berboncengan dengan pria itu?! Kemana mobilmu hah?!" omelnya.
Aku tercekat mendengar omelannya. Tidak sadarkah dia di telepon membuatku hampir menangis dan setelah itu dia membentakku? Seharusnya dia minta maaf karena ucapannya dan seharusnya aku yang membentaknya, bukan dia!
"Motor lebih cepat dan kami sangat terburu-buru," ucapku pelan, menatapnya was-was.
"Sangat terburu-buru sehingga kau sengaja hampir jatuh dan membiarkan tangan pria sialan itu memegang pinggangmu?" Matanya berkilat marah dengan tatapan tajam dan dingin. "dan apakah saat kalian berboncengan, tubuhmu menempel padanya dengan lenganmu melingkarinya?" tuduhnya.
Aku diam. Dia menuduhku. Ucapannya seolah aku ini wanita gampangan. Tega sekali dia.
"Demi Tuhan aku rela tidak jadi menunda meetingnya demimu tapi apa yang aku dapat? Kau datang ke kantor membiarkan tangan pria itu di pinggangmu!" Wajah Kevin memerah karena marah.
Hatiku semakin panas. "Mengapa kau tidak jadi membatalkannya? Kau bilang di telepon bahwa kau tidak peduli dan ini urusanku bukan urusanmu. Ucapanmu di telepon tadi sangat kasar dan sekarang kau malah menuduhku," balasku tenang. Aku tidak sanggup mengucapkannya dengan nada marah karena aku merasa air mataku akan jatuh. Jika aku membalasnya dengan amarah maka air mata ini tidak bisa kukendalikan lagi. Aku tidak ingin menangis di hadapannya.
Kevin hendak membuka mulutnya. Aku tahu ia akan membentakku lagi. Sangat terlihat dari wajahnya.
"Jangan membentakku!" teriakku sebelum ia mengucapkan satu kalimat yang mungkin akan lebih menyakitkan. Ia mengatup bibirnya rapat-rapat mendengar teriakanku. Dan pada akhirnya air mata membanjiri pipiku. Aku menangis di hadapannya. Kevin bungkam menatapku.
"Aku ingin pulang," pintaku lemah masih menangis.
Tangan Kevin hendak meraihku tapi aku mundur beberapa langkah darinya. Aku tidak ingin dia menyentuhku setelah apa yang ia tuduhkan padaku.
Ekspresi Kevin menegang lalu ia mengusap-ngusap rambutnya dengan kasar. "Soal di telepon tadi aku tidak bermaksud berbicara kasar padamu. Sebelum kau menelpon, sebenarnya aku ingin meneleponmu mengajakmu makan siang bersama. Tapi kau menelponku hanya untuk membahas kerjasama perusahaan di mana aku sedang ingin mengajakmu keluar. Kau merusak moodku saat meneleponku hanya untuk hal semacam itu," jelasnya.
Jadi alasan dia menundanya adalah karena ia ingin mengajakku makan siang bersama? Kuakui jika aku tidak meneleponnya mungkin aku tidak akan sakit hati melainkan senang karena Kevin mengajakku makan di luar, tapi aku tetap tidak peduli. Dia menuduhku. Tuduhannya sangat menyakitkan.
"Kau juga menuduhku," desisku sambil menghapus air mataku dengan punggung tanganku.
Kevin menghela panjang. "Aku hanya kesal Luna. Kesal melihat ada pria lain menyentuhmu. Aku tidak suka milikku di sentuh orang lain. Mengertilah," ucapnya rendah.
Kevin cemburu? Rasanya tidak mungkin. Cemburu tanda cinta. Aku memang miliknya bukan berarti dia mencintaiku, bukan? Tapi pertengkaran ini bagaikan pertengkaran pasangan yang saling mencintai.
"Kau yang seharusnya mengerti. Tadi aku dan Alex sangat terburu-buru karena kau bukanlah tipe orang yang suka menunggu, kami tidak ingin telat. Dan kau seharusnya mengerti, aku tadi benar-benar hampir terjatuh. Alex berniat membantu," terangku dengan suara yang semakin lirih.
"Aku tahu," ucapnya berat.
"Kau tahu tapi kau tetap mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan." Aku berusaha mengendalikan air mataku yang ingin jatuh lagi, tapi pertahananku runtuh.
"Aku hanya tidak bisa mengendalikan diriku saat mengingat pria itu menyentuhmu," Kevin mendekatiku, tangannya menangkup wajahku. "Maafkan aku. Kekesalanku membuatmu menangis," ujarnya, kemudian ia mengecup bibirku lembut. "berhentilah menangis," lalu ia menyeka air mataku.
Aku mendongak menatap matanya. Ia melembut. Hatiku luluh begitu saja padahal tadi aku kesal setengah mati sampai menangis.
"Berhentilah menangis," ulangnya lagi. "kau jadi buruk rupa jika terus menangis," ejek Kevin sambil mengusap pipiku yang basah dengan jarinya.
Aku memukul dada bidangnya pelan. "Jangan mengejekku. Aku masih kesal." Bibirku merengut bak gadis kecil tidak dibelikan permen.
"Kau pikir aku tidak kesal?" omelnya lembut.
Hening.
"Aku lapar." Kevin memecahkan kebisuan yang kubuat.
"Kalau begitu ayo makan. Aku juga lapar," kataku.
Kevin menatapku ragu-ragu. "Tapi aku ingin memakan masakanmu "
"Pesan makanan saja, nanti malam aku baru bisa memasak. Aku harus kembali ke kantor."
"Kau tidak harus kembali ke kantor hari ini. Tadi aku sudah menelepon kantormu. Jadi, ayo pulang dan masak untukku. Kejadian hari ini membuatku tidak mood bekerja."
Kevin benar. Bukan dia saja yang tidak mood melanjutkan kerjaannya tapi aku juga. Akhirnya aku menyetujui keinginannya.
***
Posisi tubuhku miring menghadapnya. Aku memandangi Kevin yang sedang tertidur pulas di sebelahku. Tadi siang dan malam ini dia begitu lahap memakan masakanku, tidak seperti biasanya.
Aku mengingat kejadian di kantornya tadi. Mengingat itu aku merasa bodoh. Itu hanyalah pertengkaran kecil mengapa bisa aku sampai menangis seperti itu.
Jika mengingat aku menangis hanya karena itu, aku merasa sangat malu pada Kevin. Dia pasti berpikir bahwa aku wanita yang cengeng. Memalukan.
Aku terlalu larut memandangi Kevin sampai beragam pikiran muncul dibenakku. Pikiran tentang dia, tentang pernikahan ini, dan masa depan hidupku. Terkadang saat aku melamun, ucapan Kevin terngiang.
Karena sejak awal kau milikku. Aku ingin kau menyadari itu.
Kalimat itu sangat mengusik. Aku tidak mengerti ucapannya. Sejak awal kapan? Pertanyaan itu masih kusimpan. Aku enggan bertanya lebih jauh padanya waktu itu. Aku lelah.
Setiap hari aku tidak pernah berhenti berpikir tentang ikatan pernikahan yang menurutku aneh. Sampai kapan pernikahan ini akan berlanjut? Bagaimana nanti dengan masa depanku? Bagaimana jika Kevin sudah menemukan seseorang yang sangat ia cintai? Akankah aku dibuangnya begitu saja seperti barang? Mengapa sepertinya sekarang aku tidak rela jika ia menemui cintanya? Memikirkan semua ini kepalaku jadi sakit.
Aku mengubah posisi tidurku menjadi duduk. Aku haus. Kulangkahkan kakiku menuju dapur, mengambil segelas air dingin lalu duduk di kursi bar.
Sebenarnya kehidupan apa yang aku inginkan? Bukankah Kevin pria sempurna? Seharusnya aku beruntung menikah dengan pria seperti Kevin. Dia tampan, mapan, dan menggoda. Banyak wanita yang iri padaku. Lalu apalagi yang aku inginkan darinya? Aku mengacak rambutku frustasi. Mengapa aku menjadi aneh.
Jalani saja kehidupanmu sekarang Luna. Ini sudah menjadi takdirmu! aku membantin.
Aku kembali ke kamar tapi tidak menemukan Kevin. Aku mencarinya. Ternyata Kevin sedang di ruang kerjanya menelpon seseorang, di tengah malam seperti ini?
Aku mengintip dari pintu yang sedikit terbuka sambil mendengarkannya menelpon. Lebih tepatnya menguping.
"Ya sayang. Sebutkan saja apa keinginanmu."
Aku mengernyit. Sayang?
Siapa orang yang di panggil sayang oleh Kevin?
"Baiklah. Sekarang kau tidur, ok? Aku juga mencintaimu," ujar Kevin begitu lembut lalu menutup telponnya.
Sayang?
Aku juga mencintaimu?
Siapa dia?