webnovel

Sandi Perak

Bila saja mataku tidak melihatmu waktu itu, pasti kisah cintaku dengan sepupuku tak akan pernah berakhir. Bila saja aku tidak menciummu waktu itu, pasti cerita pahit tentang kita tak akan pernah terjadi. Bila saja kau jujur padaku, pasti cerita panjang tentang kita tak akan pernah ada.... Aku mencintaimu, tapi ada pembatas yang sangat besar diantara kita.. Andai kau Manusia.. NB: Dilarang keras menyalin tanpa seizin penulis! untuk sandi perak season 1 tamat di bab 69 ya :)

Poppy_N_Zu · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
150 Chs

dua puluh dua

"mampus!!" Bella menepuk keningnya. Dia terlambat datang ke sekolah karena tadi Farhel tiba-tiba sakit, jadi dia harus merawatnya sebentar sebelum berangkat ke sekolah.

Dia mau masuk lewat gerbang depan, tapi satpam berkepala botak tidak mengijinkannya masuk.

"Pak, aku boleh masuk'kan? Pasti bolehlah yakan? Cuma telat 15 menit aja, kok." Ucapnya dari luar pagar, seperti narapidana yang berada di jeruji.

Satpam itu mendelik kaget. "15 menit kamu bilang hanya 'cuma'?"

Bella mendecak kesal. Dia merogoh saku bajunya, kemudian mengeluarkan selembar uang seratus ribu. "pak, ada uang rokok, aku kasih kalau bapak mau buka gerbangnya."

Satpam berkepala botak itu mendelik sekali lagi. "Set dah bocah, masih kecil udah pande nyuap-nyuap. Enggak bisa!" Keukeuhnya.

Bella mengernyit. Biasanya jika satpam berkumis yang jaga gerbang, cara ini pasti berhasil, karna sebenarnya dia memang sering telat.

Gadis itu merogoh saku bajunya lagi. "Mungkin satu kurang, gimana kalo dua." Dia menunjukkan selembar uang yang sama lagi.

Satpam botak bernama M. Aryo cahyadi di badge namanya itu, menarik nafas kasar. "bagaimanapun, kamu tidak bisa masuk." Dia berbalik, kemudian berjalan pergi meninggalkan Bella seperti orang bego.

"PAK ARYO! BUKA PINTUNYA, AKU ADA ULANGAN HARIAN MATEMATIKA." Teriak Bella seperti orang gila.

Bella melirik kekanan dan kekiri, tak ada orang. "Sialan memang." Ia berbalik hendak pulang, tapi empat langkah kemudian dia berbalik lagi. "Pintu belakang. Tak bisa lewat air, apipun jadi." Dan seketika itu dia nyengir menuju belakang sekolah yang lumayan jauh jika jalan kaki.

Sumpah serarapah, caci makian yang ditujukan untuk satpam botak tadi belum juga hilang dari mulutnya. Terkadang dia tersandung batu sangking semangatnya ia mengatai Satpam botak itu.

Kalau bukan karena ulangan harian matematika sama pak Jewo, aku lebih memilih di rumah, merawat Farhel satu harian penuh.

Langkah Bella hampir berhenti ketika matanya menangkap punggung milik sosok yang sangat ia kenal. Sosok itu hanya diam sambil memandangi pagar usang yang tadinya ingin cepat-cepat dia Panjat.

Dengan ragu ia memanggil nama sosok itu. "Rayyen? Sedang apa kau disini?" Ucapnya sedikit takut-takut. Dia takut Rayyen menolak kehadirannya seperti sebelumnya.

Telinga Rayyen terusik, ia refleks membalikkan tubuh saat telinganya mendengar suara Bella. Sekarang, hal yang sangat dia takutkan terjadi, berhadapan dengan Bella sangat ia hindari.

Rayyen tak bergeming, dia tidak menjawab pertanyaan Bella tadi, dia hanya memasang wajah datar tak berniat menjawab. Tampak jelas dari sorot matanya dia terlihat terpukul. Dia terlambat karna terlalu lama mondar-mandir tidak jelas di apartnya tadi.

Bella kesal, dia sakit hati karna pertanyaannya tidak di jawab. "Serasa aku angin kentut. Setidaknya, jika kau tidak berniat membalas pertanyaanku, jangan tatap aku seperti itu. Kau membuatku ingi memelukmu."

Tidak ada jawaban dari Rayyen. Cowo itu hanya menatap Bella diam, tanpa niat memalingkan tatapannya kearah lain. Sebenarnya, tanpa Bella ketahui, Rayyen sedang menahan dirinya. Jika satu kata saja, atau satu pergerakan kecil saja yang dibuat cowo itu, dia bisa langsung memeluk Bella. Makanya, dia akan memilih diam sampai gadis itu pergi. Sekarang, tubuh Bella benar-benar menjadi magnet baginya.

"Aaaa, aku lupa. sekarang kau sudah berubah menjadi Trambell bisu. Tak guna bicara denganmu, toh rasanya seperti bicara dengan batu." Bella berjalan melewati Rayyen, dia menghampiri pagar yang ingin dia panjat. Dia memanjat dengan hati-hati dan turun dengan hati-hati pula. Dia takut seragam sekolahnya kotor karna hari ini jadwal seragam putih-putih.

Setelah berada dalam lingkungan sekolah, dia melangkahkan kakinya untuk masuk. Tapi tiba-tiba dia berhenti, kemudian membalikkan tubuhnya untuk melihat Rayyen. Matanya bertemu lagi dengan cowo itu. Rayyen masih berada diluar pagar, itu berhasil membuatnya menggeleng tak percaya.

"WOI, RAYYEN. SAMPAI KAPAN KAU MEMBATU DI SITU? CEPATLAH MASUK. DASAR KAU, SESAKIT APAPUN KAU BUAT AKU, AKU TETAP TIDAK BISA MENGABAIKANMU!"

Setelah berucap seperti itu Bella langsung pergi.

Bella melirik jam tangannya. Dia mendengus ketika melihat eskalator sudah berhenti. Sekilas info, sekolah Bella memiliki empat lantai, jadi menggunakan jasa eskalator. Eskalator akan berhenti dan menjadi tangga biasa ketika pelajaran sudah berlangsung, dan kembali menyala saat istirahat dan pulang sekolah. Ada lift, tapi khusus untuk guru.

"KESIALAN APALAGI INI? KENAPA ESKALATOR SUDAH BERHENTI! KELAS KU DI LANTAI TIGA!" Dia berteriak kesal lagi. Entah mengapa, daritadi rasanya dia ingin berteriak ke semua orang lalu mengatakan 'woi kalian semua, aku patah hati!' Tapi dia masih punya urat malu.

Dengan perasaan dongkol, dan berharap Rayyen ada di belakangnya, dia menaiki eskalator itu seperti tangga biasa. Sengaja ia memperlambat langkahnya, tapi batang hidung Rayyen tak juga tampak.

Tok tok tok

Bella mengetuk pintu lalu masuk. Tanpa basa-basi dia langsung menemui pak Dody yang sedang menulis di papan tulis. "Pak." Panggilnya.

Pak Dody menghentikan kegiatannya. Semua pandangan seisi kelas langsung tertuju padanya. "Kamu lagi, Bella?"

"Maaf pak, tadi saya ada halangan." Ucapnya.

Pak Dody melihat kearah jam dinding yang terletak di dinding belakang kelas. "Kamu telat hampir 1 jam? Bagaimana bisa kamu masuk?"

"Tadi satpamnya baik, pak." Apanya yang baik? Macem penjaga pintu neraka gitu.

Tiba-tiba pintu terketuk, kemudian menampakkan sosok Rayyen yang berada diambang pintu. Bella, pak Dody dan semua murid di dalam kelas langsung menatap kearahnya. Rayyen melangkah masuk menghampiri Bella dan pak Dody.

"Kamu juga terlambat?" Pak Dody bertanya pada Rayyen ketika ia sudah berdiri di samping Bella.

"Iya. Maaf'kan saya." Cowok itu menjawab datar. Tapi nada bicaranya tetap menunjukkan bahwa dia laki-laki yang berkelas, punya tutur kata yang baik untuk orang yang dianggap lebih tua darinya.

"Apa kalian berkencan di sekolah? Sampai kalian tidak mendengar suara bel dan akhirnya terlambat?" Guru Fisika itu melangkah menuju bangku guru, kemudian duduk dengan tenangnya sambil memperhatikan Bella dan Rayyen.

Bella dan Rayyen hanya diam, tak ada yang mau menjawab. Bukannya tak bisa menjawab, tapi karna Bella menunggu Rayyen yang menjawab, sedangkan Rayyen menunggu Bella yang menjawab. Begitu saja terus sampai ubanan.

Pak Dody tersenyum. "Berarti benar? Karna kasus seperti ini sering terjadi."

"Kenapa Rayyen tidak mau jawab? Tadi dia bisa ngomong." batin Bella.

"Itu tidak benar, pak. Untuk apa berkencan di sekolah? Itu namanya ga modal." Ucap Bella cepat sebelum pak Dody berbicara lagi. Dan sebelum dia blushing.

"CIEEEE BELLA DAN RAYYEN, CIEEE. JADI BETULAN YA KALIAN PUNYA HUBUNGAN?" Celetuk Darren dari belakang. Cowok itu memancing murid lainnya.

"GAK RELA YA. RAYYEN MILIK KITA BERSAMA." Kata Rina. Dia melotot kearah Darren, tanda dia tidak setuju ucapan cowok itu.

"BENER TU RIN, RAYYEN PUNYA KITA BERSAMA. BELLA JANGAN SERAKAH YA. NANTI KITA GA TEMENAN." Sahut Melly yang di setujui cewek-cewek lainnya.

"MASIH ADA AKU KOK. BIAR AJA RAYYEN UNTUK BELLA." Ucap Karrel. Cowok manis yang senyumnya aduhai, walau begitu bagi para cewe-cewe doi masih kalah dibandingkan Rayyen, Ruxe, Ryder dan Farhel.

"MATI AJA SANA." Kata Alona. "BERISIK, KAMPUNGAN TAU GAK."

"APAAN SIH KAU ALONA? BIARIN AJALAH, DARIPADA KAU DI TOLAK TERUS-TERUSAN SAMA FARHEL. KATANYA CANTIK, TAPI CUMA DIANGGAP TEMBOK. DUH, KASIHANNYA." Kata Melly. Dia memang tidak pernah suka Alona. "MEMALUKAN." Tambahnya lagi yang mengundang tawa seisi kelas.

"Milik bersama dari hongkong." Kata Rayyora tanpa berteriak. Tapi ucapannya berhasil membuat mereka yang tertawa terdiam. "Rayyen tidak akan pernah jadi milik Bella ataupun milik kalian. Tutup mulut kalian dan jangan berisik." Tambahnya. Tatapannya terus menuju kearah Bella dan Rayyen yang ada di depan kelas. Dia menggeram sambil mengepalkan tangan kanannya. 'Sudah ku duga, ini akan terjadi. Gadis itu.... tak pernah ku maafkan jika sesuatu terjadi pada Rayyen.' batinnya

"YAH, NENEK LAMPIR. BISA BERSUARA JUGA? KAMI PIKIR BISU." Jawab Melly. Ucapannya disambut tawa riuh seisi kelas.

Rayyora memutar bola matanya. Dengan gerakan berkelas dia menatap Melly tajam. Dia tersenyum mengejek. "Lihat dirimu itu, memalukan. Kelakuanmu mencerminkan bahwa kau gadis yang lahir dari kalangan rendahan."

Semuanya terdiam. Perkataan Rayyora ngena banget di hati Melly. Ruxe tidak berniat menghentikan Rayyora, bisa-bisa dia kena hina juga.

Melly mengepalkan tangannya. "Mending aku, aku tidak aneh sepertimu. Bahkan dirimulah yang dari kalangan rendahan, lihat rambutmu itu, kau mengecatnya dengan warna ungu seperti anak alay. Lihat wajahmu itu, kau seperti manusia kebanyakan operasi."

Rayyora tertawa garing. "Rambut alay? Dasar bodoh, bahkan kau mengaku dirimu pintar, tapi kau tak tau mana yang asli dan yang palsu. Rendahan? Wajah operasi? Cih, apa aku terlihat rendahan?" Rayyora bertanya pada teman-teman Melly, tapi teman Melly hanya diam. Mereka tak berani mengatakan Rayyora rendahan karna barang-barang gadis itu bermerk semua. "Kau boleh memanggil dokter untuk memeriksa wajahku, jika kau tak percaya ini asli. Tapi sebaliknya, aku ingin dokter mengatakan sudah berapa kali kau mengoperasi hidungmu itu."

Melly marah. "DASAR KAU. KAU SOK TAU BANGET YA. KAU....."

"Sudah-sudah. Kenapa jadi kalian yang ribut? Kalian mau dengar saya mengintrogasi mereka tidak?" Kata Pak Dody menghentikan perkelahian Rayyora dan Melly.

"MAU PAK!!!!" Jawab mereka serentak.

"Jadi, setau saya kalau anak jaman sekarang udah rindu, dimana aja bisa. Ya atau tidak?" Pak Dody bertanya pada semua murid yang ada di ruangan. Dan mereka serentak menjawab.

"IYAa PAK!!!."

"Kalian tadi ngapain aja berdua?" Tanya pak Dody lagi.

"Mending bapak beri saja kami hukuman daripada mempermalukan kami seperti ini." Kata Bella mulai kesal. Dulu, dia tidak berani mengatakan ini, tapi karna sekarang dia bukan manusia, keberaniannya meningkat. Sedangkan Rayyen hanya diam menghadapi guru yang ada di depannya itu.

"Ouh, kamu minta hukuman? Kalo gitu kamu bersihin toilet sana. Dan kamu Rayyen? Kamu mau hukuman juga?"

Rayyen mengangguk.

"hormat bendera sampai jam pelajaran saya berakhir. Padahal kamu murid kesukaan saya. Kamu pintar, banyak yang suka, perawakan tenang, dan juga sopan. Tidak seperti si Bella ini, Jadi saran bapak jangan banyak berteman dengan Bella apalagi berpacaran dengannya. Dia ini, nilai Fisikanya tidak pernah lewat dari 70." Kata pak Dody.

"Yah, pak. Bapak jelasinnya yang gampang-gampang. Tapi kalau ngasih soal yang rumitnya kayak akar serabut." Jawab Bella tak terima.

"Buktinya, Rayyen, Rawzora, Rayyora, Ruxe, dan Ryder bisa dapat nilai A+ dari saya."

"Mereka berlima ini, alien kesasar pak. Jangan samain sama mereka."

"Sama-sama manusiakan? Sama-sama makan nasikan? Yang ada kamunya yang malas belajar."

Bella terdiam bukan manusia pak tambahnya dalam hati.

"Pak, Kalau Rayyen hormat bendera nanti dia hitam. Kalau ketampanannya hilang gimana?" Ucapan polos salah satu murid cewek yang duduk di tengah-tengah berhasil membuat sorakan murid-murid cowok menggelegar. Kelaspun menjadi ribut kembali.

"Tenang-tenang. Kalian jangan berteriak! nanti mengganggu kelas sebelah." pak Dody menghentikan murid-muridnya.

"Pak, toilet selalu bersih jadi apalagi yang mau saya bersihin? Mending saya ikut hormat bendera aja sama Rayyen." Kata Bella. Dia mulai malas berhadapan dengan guru di depannya itu.

Pak Dody berpikir sejenak. "Di luar panas, kalau kamu pingsan?"

"Kalau pingsan ya ke UKS, masa langsung ke UGD." Kata Bella santai.

"Terserah kamu. Jadi silahkan keluar karna saya mau mengajar kembali." Pak Dody menunjuk pintu.

Bella berjalan ke bangkunya untuk meletakkan tas, begitu juga dengan Rayyen. Dan setelah itu mereka langsung pergi ke lapangan untuk menjalankan hukuman.

Sesampainya di depan tiang bendera, mereka langsung hormat tanpa mengucapkan satu katapun. Sempat terjadi keheningan, seperti mereka berdua tak pernah saling mengenal sebelumnya.

"Kenapa bisa telat?" Tanya Bella. Dia mulai bosan memandangi bendera merah putih yang terkibar-kibar karna anging diatas sana. Tapi Rayyen hanya diam, cowo itu tetap hormat sambil mendongakkan kepalanya melihat bendera.

"Apa kau benar-benar bisu untukku, Rayyen?" Tanya Bella lagi sambil melirik kearahnya. Rayyen tetap tidak mau menjawab, seolah-olah Bella tidak ada di sampingnya.

"Oke, Kau emang bisu. Kuharap itu benar-benar terjadi." Bella kembali menatap kearah Bendera.

Keadaan kembali hening karna Bella memilih diam. Gadis itu tiba-tiba menunduk lalu melihat kearah ujung sepatunya, dia malas melihat kearah bendera karna matahari mulai silau. Dia melirik Rayyen, memperhatikan wajah cowok itu yang sangat sempurna dibawah terik matahari. Entahlah, tangan ingin sekali menyentuh hidung milik cowok itu.

"RAYE!" Panggilnya tiba-tiba. Membuat Rayyen sedikit terkejut.

"Kenapa kau berisik sekali?" Rayyen bicara sangat pelan, Bella nyaris tak mendengarnya.

"Oh, ya Tuhan! Dia tidak bisu ternyata." Bella memandang penuh binar kearah cowo itu. Bahkan gadis itu langsung melupakan tangan hormatnya. Rayyen hanya membalas dengan diamnya dan tetap tidak menghiraukan.

"Rayyen, kenapa kau dingin padaku?" tanyanya lagi, dan lagi Rayyen hanya diam.

"Jawab aku!" Paksa Bella. Gadis itu mulai kehilangan kesabaran.

"Apa kau bisa tidak menggangguku lagi? selalu kau, selalu kau, selalu kau, dan dimana-mana selalu kau." Rayyen menoleh kearah Bella dengan tatapan... entahlah, entah tatapan apa itu. Yang jelas Bella menangkap tatapan benci dari mata Rayyen.

"Aku tidak pernah mengganggumu. Kau saja yang menganggapku mengganggumu." Jawab Bella tak terima.

"Sudah kubilang berkali-kali anggap kita tidak pernah saling mengenal."

Bella tertawa pahit. "Manabisa, orang yang pernah saling mengenal tiba-tiba memutuskan untuk tidak saling mengenal."

"kalau begitu jauh-jauh dariku."

"kalau itu, aku yang tidak bisa." Jawab Bella enteng.

"Kenapa? Apa susahnya?"

"Karna aku sudah menganggapmu penting. Jadi mana mungkin aku mengabaikanmu saat mataku melihat tubuhmu. Kecuali kau mengambil kedua bola mataku." jawab Bella, dan Rayyen kembali diam tak berniat membalas.

"Rayyen, sebenarnya apasih tujuanmu ke Bumi?"

"Itu bukan urusanmu." Kata Rayyen penuh penekanan. Dia berusaha tenang padahal di dalam otaknya selalu mengucapkan kata, apakah tidak apa-apa seperti ini? apakah Jantungku akan baik-baik saja? apakah jarak kami terlalu dekat? apa sebaiknya aku pergi? Tapi aku tidak mau pergi.

Bella mendengus. "Aku hanya bertanya, santai aja kalik. mana tau aku bisa membantumu."

"Membantu? Bahkan aku saja tidak dapat menemukannya."

Bella membulatkan matanya. "Menemukan? Menemukan apa?" tidak ada jawaban dari Rayyen, cowok itu hanya merapikan rambutnya yang tertiup angin. "Rayyen, jawab aku!!" Bella tidak mau menyerah, dan lagi dia masih di abaikan. "Apa kau mencari gadis yang sudah di tentukan untukmu?" cowok itu tetap diam. "Benarkah???"

"Benarkah, Rayyen?" Tanya Bella lagi. Dia tetap tidak mau menyerah. Dan Rayyen tetap tidak mau menyerah atas kebisuannya.

"Bagaimana teka-tekinya? Mungkin aku bisa membantu."

"Diamlah! Jangan berisik." Ucap Rayyen mulai kesal.

Bella menggeleng. "Tidak akan! Sebelum kau menjawab pertanyaanku." Kini gadis itu benar-benar kesal sekarang. Dia juga bukan manusia jadi untuk apa Rayyen menyembunyikan itu darinya, setidaknya dia ingin ikut membantu jika dia bisa.

Rayyen menghadap Bella, kemudian dia maju satu langkah. Wajahnya ia dekatkan ke telinga gadis itu. Dengan penuh penekanan dia berbisik. "Pertanyaanmu tidak perlu untukku jawab karna urusanku bukan urusanmu." Setelah berucap begitu Rayyen langsung menjauh dua langkah dan kembali hormat pada bendera.

Bella terkejut, gadis itu membisu sejenak. Tapi setelah tenang dia berkata lagi. "Oke, itu bukan urusanku, Jadi aku mengganti pertanyaanku. Kenapa kau menjauhiku?"

Rayyen kembali diam.

"Jawablah! Ini menyangkut diriku, jadi kau harus menjawabnya!"

"Bisakah kau melupakannya? Melupakan semua yang telah terjadi. Anggap saja kita tidak saling mengenal. Apa susahnya sih? mulutku sudah berbuih telah mengatakannya berkali-kali." Rayyen menatap Bella kembali, tatapannya tajam, ada sorot marah disana, tapi, bukan marah pada gadis itu. Ia marah pada dirinya sendiri. Ini semua Salahku.

"Bisa, tapi setelah aku tau alasannya. Katakan, katakan padaku, katakan apa alasannya!"

"Tidak semua hal itu harus ada alasannya."

"Kau melakukan itu pasti ada penyebabnya dan penyebab itu adalah alasannya. Jadi kumahon beri tau kenapa.."

"Anggap saja kita tidak saling mengenal agar kau tidak butuh alasannya."

"Oke, aku akan berhenti mengganggumu, melupakan semua yang telah terjadi, dan menganggap kita tidak pernah saling mengenal setelah kau mengatakan apa alasannya."

Rayyen tidak membalas lagi.

"KATAKAN! Aku sudah cukup sabar untuk semua ini. Kau mengabaikanku, seolah-olah aku ini parasit. Setidaknya, jika aku tau alasan kau menjauhiku, aku bisa tenang. Jika alasan itu menyakitimu, maka aku akan pergi menjauh. Dan mengatakan selamat tinggal Raye sekarang juga." teriak Bella yang sudah tidak sabar lagi, dia mulai merasa air matanya akan keluar tapi dia menahannya dengan susah payah.

Rayyen memicingkan matanya sejenak, kemudian dia menghadap kearah Bella. "Kau mau tau alasannya?"

"Ya." Kata gadis itu yang juga menghadap Rayyen. Jarak mereka hanya dua langkah.

"Aku takut jatuh cinta padamu. Aku tidak pernah mau dekat dengan perempuan manapun, karena aku takut mencintai gadis yang tidak di takdirkan untukku. Dan juga, kau sudah mengambil dua dari tiga kesempatan hidupku. Kau membuat tubuhku sakit. Berhentilah mendekatiku jika kau tak ingin aku mati. itu alasannya. Kau sudah puas?"

Lutut Bella bergetar, dia ingin tumbang sekarang juga. "Ta-tapi mana mungkin kau bisa mencintaiku."

"Apa? Tidak mungkin? apa kau sadar, heh? Kau sudah menyakitiku, kau mengganggu pikiranku. Andai saja waktu itu kau tidak menciumku seenakmu, pasti rasa sakit di kepalaku tidak akan pernah ada! Seharusnya kau tau, aku ini bukan manusia! Ciumanmu akan membekas di diriku seumur hidupku. Seharusnya kau tau itu! Gadis apa kau ini? Kau selalu membuat laki-laki yang tidak bisa bersamamu untuk mencintaimu. Kau selalu datang pada orang yang ditakdirkan tidak bisa bersamamu! Apa hidupmu memang ditakdirkan seperti ini? Apa kau memang diciptakan menjadi gadis yang membuat laki-laki sakit hati karena tidak bisa memilikimu? Apa kau kena kutukan? Apa kau sadar itu, heh? Kau telah salah datang pada Farhel dan aku. Kau telah melukai kami."

Bella membeku, bukan, bukan karna kata-kata yang keluar dari mulut Rayyen, tapi karna tatapan Rayyen yang berbeda. Tatapan kebencian, dan kemarahan.

Gadis itu tak tahan lagi membendung air matanya. Dia berbalik agar membelakangi Rayyen, dia sengaja melakukan itu agar air matanya yang jatuh tidak terlihat cowo itu.

Dengan susah payah dia menjawab. "Kau benar. aku memang kena kutukan. Aku yang salah, aku yang tiba-tiba datang ke kehidupanmu. kau benar, Rayyen. Dulu aku juga melakukan itu pada Farhel, aku yang datang ke kehidupannya. Tapi aku tidak menyangka akan terjadi untuk yang kedua kalinya. kau harus tau, seumur hidupku hanya ada 2 orang yang benar-benar ada di hatiku, yaitu kau dan Farhel." Bella menahan isakannya. Sedangkan Rayyen tak berkata apa-apa, dia memilih diam dan mendengarkan apapun yang keluar dari mulut gadis itu.

"Kau pasti tidak pernah tau bahwa dua tahun yang lalu aku pernah melihatmu di Jerman. Kau yang membuatku lupa dengan Farhel, kau yang mengubah hidupku. Dari awal aku memang tidak pernah berharap banyak darimu, karena aku tau pada akhirnya kita pasti tidak akan bisa bersama. Maafkan aku jika aku membuat bekas di kehidupanmu. Mulai sekarang aku akan menjauh, aku berjanji. Semoga kau bahagia dengan gadismu nanti. Jangan lupa mengundangku ke Amoddraz jika kau mengadakan pesta pernikahan. Kau harus mengundangku, kau harus janji padaku, Rayyen. Setidaknya kita pernah jadi teman." sambungnya lagi sambil terisak-isak menahan tagis.

"Kau harus janji." Gadis itu memutuskan untuk pergi. Dia melangkahkan kakinya dengan berat sambil membekap mulutnya sendiri, takut Rayyen mendengar suara tangisnya.

"tunggu." Panggil Rayyen.

Bella tidak menjawab tapi dia menghentikan langkahnya.

"Sebelum kita benar-benar tidak saling mengenal, aku cuma ingin kau tau bahwa waktu di Jerman itu aku juga melihatmu. Aku baru ingat sekarang, ternyata gadis yang memakai kaus panjang berwarna biru malam itu adalah kau. Kau menunduk di sebrang jalan, kemudian berlari seolah kau telah membuat kesalahan."

Bella terisak kembali. Dia ingin berbalik dan memeluk Rayyen, tapi dia takut melukai cowo itu. "Apa kau sudah selesai? Kalau gitu aku pergi. Selamat tinggal Raye." Dia langsung berjalan kembali, kali ini lebih cepat. Dia tidak sanggup lagi untuk menahan tangisnya yang pecah. Dia berlari menuju ke toilet.

Semalamat tinggal, Raye.

Sedangkan Rayyen, dia langsung jatuh terduduk setelah kepergian Bella, itu karna dia menahan rasa sakit sedari tadi. Tadi dia memang benar-benar marah pada gadis itu, karna dia sudah tak tahan lagi menahan sakit. Tubuhnya memaksanya untuk memeluk, tapi otaknya menolak sangat keras.

Selamat tinggal, Bell. lirihnya.

•••••

"Arghhhh! Aku ini kenapa? Apa aku memang selalu begini? Sakit sekali rasanya." ucap Bella pada pantulan dirinya sendiri di dalam cermin. Dia terisak berkali-kali dan di saat itu juga dia mencuci wajahnya berkali-kali.

Lama dia berada di toilet, lalu tiba-tiba 6 orang siswi datang sambil bercanda gurau. Salah satu dari mereka memandang penuh ejek kearah Bella. "Well, aku mencium hawa seorang gadis yang sedang menangis disini." Ejeknya.

Bella tidak menanggapinya. Dia langsung berjalan untuk pergi. Tapi, siswi yang bernama Tiora itu menghadangnya.

"Aku berbicara padamu, tapi kau malah pergi?" Tanyanya angkuh.

"Kau berbicara padaku? Ku pikir kau berbicara pada dayang-dayangmu." Ucap Bella tak kalah angkuhnya.

"Kau berani padaku?" Tanya Tiora sombong.

"Kau pikir kau siapa?" Tanya Bella sambil melipat kedua tangannya di dada. Gadis itu juga memasang wajah yang tak kalah sombongnya.

Tiora tersenyum mengejek. "Kau cari masalah ternyata. Aku takut kau menyesal."

"Heh, sampah. Kau pikir kau siapa?"

"Kau tadi panggil aku apa?!." Tanya Tiora marah.

"Menjauhlah, aku sedang tidak ingin berbicara dengan sampah sekolah sepertimu." Bella mendorong Tiora yang terlalu dekat dengannya.

Tiora menatap jengkel kearah Bella. Dari dulu geng dia tak bisa berkuasa karna geng Bella yang lebih unggul. "Upsss, aku lupa bahwa dirimu di kawal oleh Farhel. Tapi menurutku sekarang Farhel tidak memperdulikanmu lagi, kau juga tidak bergabung lagi dengan Alona dkk. Jadi siapa yang kau anggarkan? R5? Ck, bahkan kau meninggalkan teman-temanmu hanya karna teman baru? Jadi menurutmu siapa yang sampah disini?"

"Kau tidak mengerti apa-apa. Jadi tutup mulut busukmu itu. Orang yang mati-matian ingin menjadi famous, ingin jadi princess sekolah, kau pikir itu apa? Orang yang seperti itu lebih rendah dari sam-pah! " ucap Bella penuh penekanan. Setelah berbicara begitu, dia langsung melangkah keluar dengan santainya.

Setelah keluar dari toilet, Bella langsung memutuskan untuk kembali ke kelas.

Dia melihat kearah bangku Rayyen, cowok itu tidak ada di bangkunya.

"Zora bolehkah aku menanyakan satu hal padamu?" Ucapnya sambil mencoret-coret bukunya di halaman terakhir.

"Emmm? Tentu saja." Zora yang sedari tadi memainkan ponselnya langsung memasukkan ponselnya ke saku, dia langsung antusias ingin mendengar pertanyaan Bella.

"Apa kau sudah memberikan ramuan yang kau bilang itu pada Farhel?" Ucap Bella berbisik di kuping Rawzora.

"Belum, Bella." Ucapnya nyengir.

"Loh? Kenapa?."

"Aku hanya tidak mau bahwa dia melupakanmu karena ramuan, bukan karena dirinya sendiri. Dan aku juga tidak mau bahwa dia akan mencintaiku karena efek dari ramuan itu, bukan dari dalam dirinya sendiri. Aku ingin cintanya murni untukku seperti cintanya yang murni untukmu."

"Lalu kemana ramuan itu?"

"Sudah ku buang ke sungai Herdas."

"aku membutuhkannya."

"Untuk apa?"

"Untukku. Aku ingin meminumnya agar aku bisa melupakan seseorang."

"Kalaupun ramuan itu ada, kau tetap tidak bisa meminumnya, karna ramuan itu di tujukan untuk Farhel."

"Kalo gitu buatkan untukku."

Rawzora tersenyum. "Aku tidak ingin membuatkannya untukmu."

Bella mengerutkan dahinya. "Kenapa? Apa kau sepelit itu?"

"Percuma aku membuatkannya, karna kau tidak akan bisa meminumnya. Kau tidak bisa memakan apapun kecuali bubuk peri. Kau harus tau itu, Bella."

"Yah, sayang sekali. Padahal aku tadi berharap pada ramuan itu." ucap Bella kecewa.

"Siapa yang membuatmu ingin meminum ramuan itu?"

"Ada. Rahasia." Bella langsung kembali pada coretan tak jelasnya.

Rayyen. Dialah yang membuatku ingin meminum ramuan itu. batinnya.

_______________________________