21 dua puluh satu

Seperti biasa kalau hari libur, Ruxe, Ryder, Rawzora, dan Rayyora akan melek didepan televisi untuk menunggu siaran kartun apa saja. Sekarang ini jadwal siaran kartun upin dan ipin yang nongol di tv. Mereka antusias dan tak malu pada umur, bagi mereka kartun lebih menyenangkan daripada Film dan sinetron. Peran antagonis yang begitu licik membuat mereka bergidik ngeri jika menonton film/sinetron.

Biasanya mereka berlima yang nonton, tapi karena Rayyen tidak keluar-keluar dari kamar jadi hanya mereka berempat.

Terkadang Rayyora marah pada Ruxe yang begitu bising mengejek tokoh kartun kesukaannya, hal itu membuat mereka bertengkar tiada henti. Mereka akan berhenti bertengkar jika Rayyen mematikan tv, tapi karena saat ini Rayyen tidak ada, terpaksa Rawzora dan Ryder yang menghentikannya.

"Kalian ini bertengkar terus, gak capek apa? Aku jadi ga ketawa melihat adegan kak Ros yang marah-marah tadi sama adik-adiknya." Ucap Rawzora kesal. Dari kartun Upin dan Ipin mulai, Yora dan Ruxe beradu mulut terus menerus tiada hentinya.

"Iya, besok-besok kalian tidak usah ikut menonton. Setiap nonton upin dan ipin kalian selalu bertengkar." Tambah Ryder yang tak kalah kesalnya pada Rayyora dan Ruxe.

Rayyora menatap kedua temannya. "Kenapa kalian salah'kan aku? Ruxe yang mulai duluan. Dia mengejekku tiada hentinya." Rayyora melipat kedua tangannya di dada. Ia menyenderkan tubuhnya ke senderan sofa lalu wajahnya ia palingkan dari teman-temannya.

"Memang benar kok. Seleramu aneh." Kata Ruxe pada Yora, kemudian cowok itu menatap kedua temannya. "Kalian tau? dia bilang bahwa si Ijat itu keren, darimana kerennya? Masa hanya karna berbeda dengan yang lain, dibilangnya itu keren. Yang ada dia aneh."

Yora kembali menatap Ruxe. "Biar saja, dia baik kok. Dia gak seperti tokoh kesukaanmu, banyak bicara, membodohi orang lain, pelit. Mail itu, sama sepertimu."

"Dia mana ada banyak bicara, dia itu pandai bicara. Bukan pelit, tapi dia tau susahnya mencari uang. Bukan membodohi orang lain, tapi karna dia berusaha dengan caranya sendiri. Dia berpikiran dewasa, memikirkan segala sesuatunya dengan matang. Dia pintar, bukan?" Ruxe tidak mau kalah. "Kalau kau hidup seperti Ijat di Bumi ini, aku yakin bahwa kau hanya dianggap seonggok tai. Kau tak bisa disini jika kau tak pandai bicara." Tambahnya lagi.

Rayyora tertawa sarkastis. "Jadi Kau pikir itu benar?"

"Tentu saja itu benar."

"apa kau selalu mengejek apa yang menjadi kesukaanku?"

"Tentu, karena kesukaanmu selalu aneh, jadi aku pantas mengejeknya."

"Kau pikir apa yang kau suka selalu bagus?"

"Stop! Kalian ini selalu begini, padahal nantinya kalian akan menikah juga, jadi berubahlah! Lagian, Bagusan Meimei, dia lebih pintar dari teman-temannya." Ucap Ryder menghentikan perkelahian kecil Rayyora dan Ruxe.

Rawzora menggeleng. "Kali ini aku yang tidak setuju dengan pendapat mu. Upin Ipin dan kak Ros lebih keren lagi daripada Meimei.

"Apaan? Kasar, cerewet, suka memarahi adiknya, itu kau bilang keren?"

"jadi menurutmu apa yang keren dari Meimei? Apa karena dia mempunyai mata cipit sepertimu?"

"Aku menyukainya karena dia pintar, lembut dan lucu, tidak seperti kak Ros yang kasar dan cerewet."

"kak Ros tidak kasar!" Kata Zora tidak terima.

"Apanya yang tidak kasar?" Ryder tak mau kalah.

"Hei! Kalian menyuruh kami berhenti bertengkar, tapi malah kalian yang bertengkar? Lucu sekali kalian ini." Ucap Ruxe sarkastis.

"kalian kenapa? Setiap nonton kartun itu selalu saja ribut. Semua orang punya pandangan dan pendapatnya masing-masing, jadi kalian harus saling menghargai. Padahal menurutku lebih keren si Rembo, ayamnya tuk Dalang." Ucap Rayyen tiba-tiba. Dia keluar dari kamarnya dengan berpakaian rapi.

Tanpa memperdulikan jawaban teman temannya, dia berjalan santai menuju pintu, hendak pergi keluar.

Rayyora bangkit dari duduknya. "Rayyen! Mau kemana?"

Rayyen menoleh. "mau keluar sebentar."

"Kami ikut, ya."

"Tidak perlu, aku ingin sendiri." Cowo itu membuka pintu lalu dengan gerakan santai dia menutup pintu itu kembali.

Mereka semua menatap kepergian Rayyen.

"Dia berubah." Ucap Rayyora. Gadis itu menatap pintu bekas kepergian Rayyen.

"Dia tidak berubah, mungkin dia hanya ada masalah." Ucap Rawzora.

Rayyora menoleh ke arah tiga temannya. "Apa ada hubungannya dengan gadis itu?"

"Maksudmu Bella?" Kata Zora memastikan.

Rayyora mengangguk pelan. "Iya. Jika ada masalah dia pasti akan cerita, tapi kenapa sekarang ia hanya diam saja seolah ingin menyembunyikannya sendiri."

"Menurutku, mana mungkin Rayyen melakukan kesalahan seperti itu. Dia lebih tau banyak hal daripada kita, jadi mana mungkin dia melakukan kesalahan seperti itu."

"Tapi masalahnya sampai sekarang kita belum menemukan sandi perak itu'kan?"

"Iya sih." Jawab Rawzora pelan, dan seketika itu keadaan menjadi hening. Tidak ada yang bersuara lagi diantara mereka. Semuanya langsung sibuk dengan pikiran masing-masing.

••••

Bella pov's

aku merutuki kebodohanku sekarang. Entah bagaimana caranya aku bisa berada di Mall yang waktu itu pernah aku datangi bersama Farhel dan R5.

Untung saja pengunjung Mall hari ini sepi. Jadi aku tidak perlu merasa malu terlihat bodoh karna jalan sendirian. Sebenarnya aku mau ke toko topeng waktu itu. Aku beniat untuk membeli topeng Babi yang diberikan Rayyen padaku dulu.

Aku bisa menempelkan topeng itu di dinding, dan memandanginya jika aku merindukan Rayyen.

Tanpa sadar aku telah sampai. Gambaran dimana aku berlari membuka pintu kaca dengan cepat, dan wajah dongkol Rayyen di belakang membuatku tertawa miris. Semua tak lagi sama, disaat perasaan berharap menghampiriku, dia menghilang dan bahkan membenciku.

Bahkan kakiku tak sanggup melangkah, rasanya seperti aku akan memasuki ruang yang memiliki secuil memori tak pantas untukku ingat.

Rasanya sedih, bingung, bersalah, dan entahlah. Jika aku tahu begini, aku tidak akan mengajaknya ke rumahku, aku tidak akan mengajaknya ke perpustakaan itu. Aku tidak ingin dia menciumku jika aku tahu keadaan jadi seperti ini. Aku ingin bertemu dengannya sekali saja, dan bertanya apa salahku? Apakah karnaku dia tidak masuk sekolah lagi? Kenapa? Apakah karna membenciku?

Aku sering menanyakan kabarnya pada Rawzora, tapi gadis itu bilang Rayyen baik-baik saja walaupun sedikit aneh. Dia bilang Rayyen sering memainkan piano dengan nada kasar, dan menyembunyikan diri di dalam kamar. dan itu membuatku terus menerus bertanya ada apa dengannya, apa yang membuatnya jadi seperti ini.

Aku menatap toko topeng didepanku sekali lagi. Rasanya aku tidak pantas untuk memasukinya hanya karna ingin mengambil suatu kenangan berharga di dalamnya. Rayyen bukan untukku. Lagi, segali lagi Tuhan memberikan sosok yang tidak bisa bersamaku. Aku sudah yakin sejak dulu, Tuhan akan marah dan menghukumku. Dia menghukumku dengan cara seperti ini, kembali merasakan sakit yang sama. Yang bisa aku lakukan hanya melupakan dia sebelum aku tidak bisa melepasnya.

Aku tertawa miris sekali lagi, menatap toko itu sekali lagi, kemudian berbalik dan pergi dengan cara berlari. Aku ingin berlari dan melupakan semuanya.

BRUK!!

"Aw!!" Aku meringis Saat tubuhku jatuh ke lantai. Aku menabrak seseorang.

Aku mendongak ke atas, untuk melihat sosok yang ku tabrak. Kuharap sosok itu tidak marah dan mau mengerti.

Aku mengernyit, mengerjapkan mata berkali-kali. Aku menangkap wajah yang tak asing lagi, wajah yang sedaritadi aku pikirkan. Wajah itu hanya datar.

Sebelum aku mengucapkan satu kata, dia berbalik dan melangkah pergi dengan langkah lebar. Tak ada terlihat di wajahnya itu niat untuk membantuku bangkit dari posisi yang memalukan ini. Dengan cepat aku bangkit, kemudian berlari untuk mengejarnya sebelum ia hilang untuk yang kedua kalinya.

"Rayyen, tunggu!" Teriakku. Yang dipanggil terus berjalan tanpa berniat berhenti. Bahkan dia tidak mau menoleh.

Aku mempercepat langkahku, tak peduli banyak orang yang melihat dan menganggapku gadis aneh. Setelah berhasil mendekatinya, aku langsung menarik tangannya untuk menyuruhnya berhenti melangkah.

Dengan cepat dia menarik tangannya kembali. "jangan pernah menyentuhku sesukamu lagi."

Sempat ada sepercik sakit hati ketika ia menarik tangannya cepat dariku, tapi itu tidak penting untuk sekarang ini. "Kau kenapa? Kau marah padaku?"

"Aku pergi." Dia berjalan untuk pergi, tapi aku berhasil menangkap tangannya lagi.

"Rayyen jawab pertanyaanku dulu!" Kataku tegas.

"Lepaskan aku!" Perintahnya tak kalah tegas.

"Rayyen, aku mohon." Kali ini aku tidak mau melepasnya, jika aku melepas tangan yang aku genggam sekarang ini maka tangan ini akan pergi lagi.

Rayyen melirik dingin ke arahku. "Jika aku menjawab pertanyaanmu maka itu nggak akan cukup bagimu." Dia menghempaskan tangannya agar terlepas dari tanganku.

"kenapa kau seperti ini? Kau takut aku berharap lebih karena kejadian waktu itu? Percayalah aku tidak akam pernah berharap lebih, aku hanya ingin kita kembali seperti dulu, teman."

"jika kau menganggapku teman, maka anggap kita musuhan mulai sekarang. Jika kau mempunyai perasaan terhadapku, maka hilangkan itu dari sekarang. Cukup seperti itu lebih baik, memang tidak lebih baik untukmu, tapi itu lebih baik untukku. Setidaknya kau mengerti aku untuk kali ini saja, dan untuk yang terakhir kalinya." Rayyen melangkah pergi, tapi aku tidak bisa menahannya lagi.

Tubuhnya menjauh bersamaan dengan harapan semu. Semuanya mungkin berakhir sekarang. Dia menyuruhku untuk menganggapnya musuh, maaf aku tidak bisa. Dia menyuruh melupakannya jika aku punya perasaan, mungkin itu sulit tapi akan aku coba. Kau memang laki-laki baik Rayyen, kau menyuruhku pergi sebelum aku tidak bisa pergi.

Ada sesuatu yang jatuh dari mataku, aku memegangnya dan ternyata itu air mata. Aku tertawa, tertawa pahit. Tak lama kemudian aku Terisak, yang bisa aku lakukan hanya memandangi jatuhnya air mataku ke lantai.

Sakit rasanya Ketika dijauhi oleh sosok yang berharga dalam hidupmu. Apalagi alasannya menjauh tidak ada. Bukannya tidak ada, aku yakin pasti ada, hanya saja aku tidak tau. Dan apa mungkin aku berhenti jika aku tidak tahu alasannya? Itu mustahil, itu bukan aku jika aku berhenti. Aku akan berhenti jika semua ini jelas, aku akan benar-benar berhenti jika aku tau semua alasannya.

Semua di muka Bumi ini ada alasan.

**

Author pov

Di balik tembok kaca Mall, Rayyen bersendar menahan rasa sakit di dadanya. Tadi dia tidak sengaja bertemu dengan gadis yang sangat ia hindari. Rasanya sakit sekali saat dia melihat tatapan kecewa gadis itu, ingin sekali ia mengatakan 'tolong, jangan tatap aku dengan tatapan kecewa itu' tapi itu tidak mungkin ia katakan. Tujuannya datang ke tempat itu hanya untuk berjalan-jalan setelah tadi dia membeli beberapa buku, Tapi siapa sangka akan bertemu gadis yang nyaris ia cintai itu.

Tubuhnya bergetar, dan tanpa sadar jatuh terlutut. Tiba-tiba kepalanya terasa panas ketika bayangan wajah gadis itu terus terputar di kepalanya. "Apa yang terjadi padaku?" Ucapnya sambil memegangi kepalanya sendiri.

Orang-orang yang berlalulalang menatap aneh kearahnya. Ingin membantunya tapi takut, wajahnya sangat asing. Banyak juga gadis-gadis yang mulai mencuri pandang kearahnya. Tapi tiba-tiba rasa sakitnya mendadak hilang.

"Berdirilah, Kau membuat semua orang melihat kearahmu." gadis itu menyodorkan tangannya untuk membantu Rayyen berdiri.

Rayyen tidak mau mendongakkan kepalanya untuk melihat gadis yang sedang berdiri di hadapannya itu. Dia lebih memilih untuk memandang ke arah bawah, tentu saja dia tanda dengan suara gadis itu. Suara itu milik Bella. Pantas saja rasa sakit di dada dan kepalanya mendadak hilang.

"Ku bilang berdiri." Kata gadis itu lagi.

"Apa yang kau lakukan? Pergilah!" Cowok itu tetap tak mau bergerak sedikitpun.

"Aku tidak mau. Ayo berdiri!" Keukeuhnya.

"Dari mana kau tau aku disini?" Cowo itu tetap tidak mau menatap gadis itu.

Bella tertawa getir. "Ck, Aku melihat Semua orang memandangimu dari sana, jadi ayo berdiri."

"Pergilah--" kini Rayyen Mandongakan kepalanya. Menatap gadis itu dengan tatapan memohon.

Bella diam sejenak, matanya menatap marah. "Rayyen! Lupakan dulu kebencianmu terhadapku, yang terpenting sekarang kau berdiri dulu."

"Pergilah, Bella. Ku mohon--- jika kau pergi aku akan berdiri." Rayyen memegang kepalanya lagi, bahkan sampai meringis kesakitan.

"Tidak, kasih tau dulu alasannya kenapa aku harus pergi."

"Pergilah."

"Rayyen! Kenapa kau begitu keras kepala, heh? Apa salahku sampai kau begini? Kasih tau aku maka aku akan pergi."

"Pergilah dan anggap semua yang terjadi tak pernah terjadi. Hapus nama Rayyen sebagai orang yang pernah kau kenal. Kau tidak punya otak atau tidak punya telinga? Kau tidak pernah mengerti apa yang aku katakan." Ucapnya masih dengan posisi yang sama, tapi tatapan matanya begitu memohon. Mata biru miliknya terlihat layu.

Mulut Bella ingin menyerocos lagi, ia tak mau kalah. Tapi sebelum ia berucap satu kata lagi, dia merasakan ada satu Tetes cairan yang Jatuh tanpa permisi. Kata yang ingin ia ucapkan akhirnya ia telan kembali. Yang dia lakukan selanjutnya hanya berbalik, kemudian berlari, menjauh sebisa kakinya melangkah.

Rayyen memandangi tubuh Bella yang berlari menjauh. Yang bisa ia lakukan hanya menggumamkan kata maaf. Dia terduduk di lantai, rasa sakit di dadanya kembali datang. Sebenarnya dia ingin gadis itu berada didekatnya, tapi keadaan tak memperbolehkan mereka berdekatan.

Kenapa jadi seperti ini? Awalnya semua baik-baik saja. Sekarang aku berperang melawan diriku sendiri.

Maafkan aku, Bella.

Maaf

Andai saja waktu itu aku bisa menahan diri untuk tidak menciummu. Mungkin, kita masih bisa berteman. Cara hilangnya detak jantung tidak bisa di prediksi dan tidak sama setiap Trambell. Jantung ini akan berdetak sesukanya. Aku hanya menghindarimu untuk kebaikan kita berdua. Aku ta

tidak mau suatu saat nanti kau harus mati demiku. Aku penerus kerajaan, mereka yang ada di Istana akan memaksamu bertanggung jawab atas hilangnya detak jantungku.

Aku ingin menjelaskannya padamu, tapi apa kau akan mengerti?

apa aku akan baik-baik saja setelah menjelaskannya padamu?

Apa Jantungku tidak Berdetak jika aku berbicara sangat lama padamu?

Apa Jantungku tidak Berdetak jika berdekatan sangat lama padamu?

butuh waktu beberapa menit untuk menjelaskan itu, dan itu sangat sulit.

____

Bella POV's

Aku merebahkan tubuhku di pinggir tempat tidur agar bisa menggantungkan kakiku ke bawah. Ingatan tentang kejadian di Mall dengan Rayyen tadi membuatku meringis. Melihat wajahnya, melihat keadaannya membuatku ingin memeluknya, tapi itu tidak mungkin ku lakukan. Menyentuh tangannya saja aku tidak boleh, apalagi memeluknya.

Rasanya aku dilahirkan di dunia ini hanya untuk merasakan masalah yang tiada habisnya. Kalau tidak tentang percintaan pasti kematian, dan juga kebencian. Kalau di suruh memilih, aku lebih baik memilih dilahirkan menjadi Ruzh daripada manusia, karna menjadi manusia terlalu rumit untuk menjalani lika-liku kehidupan.

Tapi, tak ada gunanya bagiku untuk mengeluh. Setidaknya dulu aku punya orang tua, kakek, nenek, dan Farhel. Aku pernah bahagia, walaupun kebahagiaan itu hanya sebentar.

Kupandangi semua yang ada di kamarku, mataku berhenti di sebuah kulkas yang dulu sengaja ku beli untuk menyimpan makanan atau jajananku.

Aku bangkit dari tempat tidur, kemudian berjalan menuju kulkas yang sengaja ku beli berwarna merah. ku buka pintunya lalu terlihatlah jajanan dan makanan yang aku sendiri tidak tau sudah berapa lama mereka ada di kulkas ini. Aku bingung mau di kemanain semua jajanan ini, ada coklat, roti selai, minuman, buah-buahan, susu, permen, es krim, manisan dan banyak lagi.

Dulu setiap membuka kulkas, aku selalu selera untuk memakan semuanya, tapi sekarang menyentuhnya saja aku tak berniat. Mungkin kalau ku letakkan di kulkas dapur pasti ada yang mau makan, atau aku kasih sama pembantu yang ada di rumah ini, pasti mereka mau.

Aku berjalan ke laci meja belajarku untuk mencari 2 kantung pelastik yang besar, setelah dapat aku kembali ke kulkas lalu memilih makanan yang menurutku masih layak untuk dimakan, mungkin sisanya akan ku buang.

*

Aku berjalan pergi ke dapur, setelah sampai di depan kulkas dua pintu, aku segera membukanya. Bayak makanan juga ternyata. Dan pada akhirnya kuputuskan untuk pergi ke kamar pembantu di rumah ini.

Tok tok tok

Aku mengetuk pintu sebanyak tiga kali, lalu dengan cepat pintu berwarna coklat berukiran bunga ini terbuka. Wanita yang aku ketahui berumur 40 tahun tersenyum padaku.

"Ada yang bisa saya bantu, non?" Ucapnya lembut dengan senyuman khas wanita sunda.

Aku tersenyum untuk membalas senyumnya. Kemudian aku menunjukkan dua kantung plastik yang ada di kedua tanganku. "Ini bik, aku mau memberikan ini. Kebetulan aku ingin mengganti makanan yang baru di kulkasku." ucap ku berbohong.

dia segera mengambil dua Kantung plastik yang aku sodorkan. Senyumnya tak pernah hilang dari wajahnya. Walaupun rambut hitamnya mulai memutih, itu tetap tidak menghilangkan wajah manisnya. "Terimakasih ya, non."

"Bagi-bagi sama pekerja yang lain ya, bi. Tidak banyak sih tapi cukuplah untuk mengganjal perut malam-malam begini."

"Iya non, pasti."

Setelah itu aku pergi ke dapur, kemudian duduk di kursi meja makan. Rasanya rumah sepi, kemana Farhel dan kak Zio? Kamar Farhel berada di lantai dua, tapi biasanya jika jam segini dia sering berkeliaran di lantai bawah untuk mencari makanan.

Aku berdiri, kemudian bejalan untuk menaiki tangga. Bertamu ke kamar Farhel bukan ide yang buruk. Aku ingin melihat bintang dari kamarnya, kalau dari balkon kamarnya rasanya enak jika melihat bintang, karna di bawah balkonnya ada taman dan kolam berenang.

Setelah sampai di depan pintu kamarnya, tanganku siap-siap mengetuk, tapi tangan ini ku tarik kembali. Bagaiman jika dia sudah tidur? Tapi aku tak akan tau jika tak mencoba.

Tok tok tok

Aku mencoba mengetuk sebanyak tiga kali. Aku menunggu, namun pintu tak terbuka juga. Mungkin benar dia sudah tidur. Aku berbalik hendak pergi, tapi sebelum aku melangkah suara pintu kamar Farhel terbuka, refleks membuatku berbalik lagi.

Dia muncul dengan mengenakan kaus biru malam dan celana Ponggol hitam. Dia menaikkan satu alisnya keatas ketika melihatku.

"Ada perlu apa tuan putri?" Ia tersenyum manis, menampakkan lesung pipinya yang membuatku iri setengah mati.

Aku membalas senyumnya. "Aku pikir kau sudah tidur?"

"Tidur? Ini masih jam 10 malam, seharusnya aku yang bertanya padamu, Bella."

"Aku belum mengantuk."

"Lalu? Kau kesini untuk memintaku menemanimu?" Tebaknya.

"Sepertinya begitu. Aku ingin meminjam balkonmu sebentar, apa kau Mengijinkannya?"

"Oh tentu, kebiasaanmu tidak pernah hilang. Ayo masuk." Ajaknya sambil menarik tanganku.

Aku masuk ke kamar Farhel. Sudah lama aku tidak datang ke kamarnya, terakhir kali setahun yang lalu. Kulihat barang-barang yang berbau bola basket memenuhi ruangan, entah mengapa dia begitu fanatiknya dengan permainan bola basket.

Farhel membuka pintu balkon, dan seketika itu angin malam menyeruak masuk.

"Bintangnya tidak terlalu banyak." Dia memandangi langit dengan tatapan sedikit kecewa.

"Iya, mungkin sedang mendung."

"Sebenarnya apa yang kau rasakan saat melihat bintang?" Dia menoleh kearahku. Aku mengikuti posisinya yang memegangi besi stenlis pembatas.

Aku mengedikkan bahu pelan. "Entahlah."

"Kau tau? Apa yang menjadi kesukaanmu pasti menjadi kesukaanku. Seperti bunga mawar dan bintang."

"Aku tau itu. Farhel, apa kau masih mencintaiku?" Tanyaku hati-hati. Aku juga memperhatikan perubahan wajahnya.

Dia diam sejenak, memperhatikan wajahku dalam lalu kemudian dia nyengir tidak jelas. "Kenapa? Kau ingin mengajakku balikan?"

Aku menyesal telah menanyakan hal ini. "Bukan itu maksudku."

"padahal aku berharap kau mengajakku balikan."

"Bukankah kau sudah melupakanku?"

"Melupakan bagaimana maksudmu? Kau pikir mudah bagiku untuk melupakanmu? Kau saja yang terlalu mudah melupakanku, tak ku sangka kau sejahat ini." dia memalingkan wajahnya ke arah bintang-bintang. Aku tahu dia sedang menyembunyikan kekecewaan.

Aku mengerutkan dahi, bukankah

kemarin Rawzora meminta izin untuk memberikan ramuan kepada Farhel, dia jadi memberikannya atau tidak?

"Aku melakukannya demi kebaikan kita. Tapi ku pikir kau sudah berhasil melupakanku, karna akhir-akhir ini aku melihat kau berubah."

"Aku hanya pura-pura." Dia menoleh kearahku lagi.

"Kau membongiku? Atau-- adakah perasaanmu berkurang padaku?"

"Tidak, Bella. Aku tidak pernah membohongimu apapun itu. Seharusnya kau tau."

"Ya, aku tau itu. Hal yang paling ku ingat darimu, waktu umur kita 9 tahun, kau menangis tiada hentinya karena pipimu di cium seorang gadis kecil dan gadis kecil itu adalah sahabatku. Aku sampai tidak tega melihatmu yang merengek berhari-hari sambil menutupi wajahmu dengan bantal. Aku sangat ingat itu." Ucapku tersenyum mengingat kejadian itu. Rasanya lucu sekali, melihat Farhel kecil yang merengek sambil berkata 'ciuman pertamaku hilang' berkali-kali.

"Aku juga mengingat itu. Aku menangis karna aku takut kau marah padaku, dan meminta hubungan kita berakhir. Semenjak kejadian itu aku membenci gadis yang menyukaiku kecuali dirimu. Dan aku sangat benci jika sahabatmu yang menyukaiku. Rasanya jijik."

"Buktinya dengan Rawzora kau tidak jijik."

Farhel mengernyit bingung. "Ha? Rawzora? Memangnya dia menyukaiku?"

"Loh? Bukannya kalian sudah jadian?" Tanyaku tak percaya. Aku pikir mereka sudah jadian sejak pengakuan Farhel di depan Alona waktu itu.

"Jadian bagaimana maksudmu?" Tanya Farhel tak kalah bingung.

"Kalau dia menyukaimu apa kau akan menjauhinya?"

"Pasti. Kan sudah ku bilang, aku tidak suka sahabatmu yang menyukaiku." Ucapnya tegas.

Ini ni yang tidak aku suka darinya. "Farhel! Sudah ku bilang buka hatimu untuk Rawzora. Apa kau mau aku membencimu, ha? Dan apasih kurangnya dia? Dia cantik, tidak ada yang bisa menandinginya di sekolah."

"Cantik, tidak bisa membuatku menyukainya." Ucapnya penuh penekanan.

Rasanya aku ingin meledak mendengar jawaban entengnya. Ingin sekali aku melempar kepalanya memakai semua bola basket yang ada di kamar ini, tapi aku sadar, aku tidak mungkin melakukan itu. Mungkin jika aku berbicara dengan lembut dia mau mendengarkanku.

Aku meraih tangannya, kemudian menggenggam tangan itu lembut. Dia langsung menatapku bingung.

"Kenapa?" Tanyanya kaget.

"Memangnya tidak boleh?" Jawabku.

"Tentu saja boleh."

"Farhel, jangan pernah kau membenci Rawzora. Dia orang yang sangat baik dan setia, tidak ada wanita di dunia ini yang setia seperti dia. Bahkan aku juga tidak bisa."

Tiba-tiba Farhel tertawa getir lalu mengangkat satu alisnya keatas. "Bagaimana kau bisa yakin?"

"Percayalah padaku." Ucapku sedikit kesal.

"Bukankah semua wanita sama saja kecuali dirimu?"

Aku menepuk lengannya pelan. "Hei, Berhentilah menganggapku segalanya. Aku tidak sebaik yang kau bayangkan! Kau lihat? Bahkan sekarang aku meninggalkanmu."

Dia tidak bergeming, dia hanya menatapku dengan tatapan dalamnya. Ada tersirat luka dari tatapan itu. Aku tau dia sedang terluka atas ucapanku, tapi kenyataannya memang begitu. Aku mengucapkan hal yang benar agar dia sadar bahwa aku tak sesempurna yang ada di otaknya.

"Jika kita bukan sepupu, aku yakin kau tak akan pernah meninggalkanku." Ucapnya yakin.

Kini aku yang tak bergeming atas ucapannya. Itu benar, aku tak akan meninggalkannya jika kami tidak sepupu. Aku mengangguk. "Itu benar." Jawabku akhirnya. Ku lihat ada senyum pahit yang melengkung di bibirnya.

"Takdir, Jahat. Dia menyatukan kita, kemudian memaksa kita berpisah. Sebenarnya takdir yang jahat, atau kita yang bodoh? Atau ini semua salah cinta? Dia datang tanpa mengucap salam, sehingga kita tidak tau kapan dia datang, tiba-tiba dia membesar begitu saja."

Aku tertawa mendengar ucapannya. "Bukan salah takdir atau cinta. Ini semua salah kita, kita yang bodoh. Kita tidak berusaha mengeluarkan cinta itu dengan cepat saat kita tau dia masuk tanpa permisi."

Farhel mengangguk. "Sudah kuduga. Bahkan kita malah menutup pintu agar dia tidak bisa keluar. Sekarang, setelah dia gemuk dan betah, kita malah memaksanya keluar."

Aku menatapnya. "Farhel, apa kau ingin membuatku bahagia?"

"Tentu, Katakan saja bagaimana caranya."

"Kau janji akan melakukannya?"

"Ya tentu saja, aku berjanji."

"Aku akan bahagia jika melihatmu bersama dengan Rawzora."

Farhel langsung menatap ku tajam. Aku jadi takut melihatnya seperti itu. "Permintaan macam apa itu?" Tanyanya tak terima.

Dengan takut-takut aku menjawab. "Aku bahagia jika kau bersama wanita yang baik, aku sangat bahagia Jika kau bersamanya."

"Apa itu membuatmu bahagia?"

"Ya. Aku tak bisa menerimamu lagi, tapi aku bisa memberikanmu pada gadis yang tak akan membuatmu merasa ditinggalkan untuk yang kedua kalinya."

"Kalau begitu akan ku coba. Aku tidak berjanji untuk mencintainya, hanya saja aku akan berusaha untuk menerimanya berada di dekatku walaupun aku tau dia menyukaiku. Karna mencintai seseorang selain dirimu tak mudah bagiku." Dia mengelus puncak kepalaku dengan sayang. Farhel tak pernah berubah, dia tetap menyangiku sampai sekarang.

"Kau bejanji?" Tanyaku memastikan.

"Tentu. demi dirimu, biar kau bahagia. Boleh aku memelukmu?"

"Memelukku? Untuk apa?"

"Aku merindukan wangi rambutmu." Tanpa aba-aba dia langsung memelukku. Menciumi puncak kepalaku.

Aku mencium aroma maskulin dari tubuhnya. Tubuhnya hangat, padahal cuaca di balkon sangat dingin. Aku juga mendengar detak jantungnya yang berdetak lebih cepat.

Apa?!!! Jantung??? Aku langsung cepat-cepat melepaskan pelukan Farhel dari tubuhku. Aku takut dia menyadari bahwa detak jantungku sudah tidak ada.

Tiba-tiba Kulihat Farhel mengerutkan dahinya. "Bella? kenapa--"

"Itu, itu hanya perasaanmu saja." Ucapku cepat-cepat memotong kata-katanya.

"Apa maksudmu? Aku merasakannya."

"Mungkin aku punya riwayat jantung yang lemah, jadi kau tidak merasakan detakkannya." Sergah ku cepat-cepat.

"Kau bicara apasih? tubuhmu kenapa dingin sekali? Tadi aku pikir hanya tanganmu saja yang dingin."

Ha?? Jadi dia tidak menyadari detak jantungku? Tapi dia menyadari tubuhku yang dingin. Tubuhku semakin lama semakin sempurna menjadi Ruzh.

"Tidak apa-apa kok, mungkin karena angin malam yang dingin. Farhel, kau tau bulan dan bintang?" Aku mengalihkan pembicaraan. Aku menunjuk kearah bulan dan bintang agar dia melihat keatas sana.

Farhel mengikuti arah pandanganku. "Kenapa?" Tanyanya.

"Aku ingin jika aku punya anak perempuan, aku memberikan namanya Bulan. Dan jika anak laki-laki, aku ingin memberikan namanya Bintang." Ucapku tersenyum sambil memandangi langit.

"Kenapa?"

"Aku ingin anakku menerangi semua orang dari kegelapan dengan cahayanya seperti Bulan, dan menjadi sosok yang di kagumi setiap orang karena keindahannya seperti Bintang."

"Nama yang bagus. Tapi harapanku bukan seperi itu, aku berharap jika suatu saat nanti aku punya anak dari wanita lain dan kau punya anak dari laki-laki lain, anak kita tidak berbeda jenis kelamin karena aku takut mereka merasakan apa yang kita rasakan."

"Harapan yang bagus, tapi menurutku anak kita nanti tidak akan melakukan hal sebodoh yang kita lakukan." Ucapku tersenyum.

Lama kami menatap kearah langit, merasakan keadaan malam yang sunyi. Tiba-tiba aku mendengar Farhel menguap, seperti biasa dia sudah mengantuk. Dia sulit melek sampai lewat dari jam 12 malam.

"Tidurlah." Ucapku menyuruhnya tidur.

"Tidak. Aku tidak ngantuk."

"Jangan bilang kau mengatakan itu karna kau ingin berlama-lama bersamaku."

"Itu benar." Jawabnya sambil nyengir.

Tanpa aba-aba aku menariknya masuk kedalam, kemudian mengunci pintu balkon. Setelah itu aku memaksanya untuk merebahkan tubuh di kasur.

"Tidurlah, selamat malam, Farhel." Aku mencium keningnya lalu menarik selimut sampai batas lehernya. "Semoga mimpimu sampai ke Bulan."

Dia tersenyum memperhatikanku. "Terimakasih, tapi Bulan terlalu jauh. Yang ada aku jebur ke empang."

Aku hanya tersenyum membalas ucapannya. Aku memutuskan untuk keluar setelah aku mematikan lampu. Farhel tidak bisa tidur dengan lampu menyala.

**

Author POV's

Di sisi lain

Rayyen melakukan hal yang sama seperti Bella dan Farhel lakukan. Dia tadi bermain piano, tapi karena dia bosan, dia pergi ke balkon untuk melihat langit.

Tapi tiba-tiba angin membisikkan bahwa gadis yang sedang ia pikirkan sedang melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan.

Gadis itu.....

Memandang langit di balkon....

Melihat bintang-bintang....

bersama laki-laki.....

Itulah kata angin yang ia dengar. Dia sempat bertanya-tanya siapa laki-laki itu, dimana mereka, balkon mana, tapi angin tak muncul lagi. Angin tak membisikkan apa-apa lagi, itu berhasil membuatnya berteriak 'JIKA TidAK LENGKAP, MAKA JANGAN BERITAHU AKU! JANGAN BUAT AKU PENASARAN! DASAR KAU ANGIN SIALAN. MATI SAJA SANA! Itulah teriakan kesal Rayyen tadi.

dan itu berhasil membuat malamny menjadi buruk.

••••

"Kau ke sekolah, Rayyen?" Tanya Ryder ketika mereka berpapasan di ruang tengah. Ryder memandangi baju seragam yang Rayyen kenakan.

Dengan malas Rayyen menghentikan langkahnya. "Kalian pergi duluan saja."

"Kalau begitu kami berangkat." Ucap Ryder lagi.

Mereka berempat pergi. Tinggal Rayyen yang mondar-mandir tidak jelas, dia berjalan sana kemari tak tau mau ngapain. Dia masih ragu antara pergi ke sekolah atau tidak.

Rayyen berjalan dari dapur ke ruang televisi, berjalan lagi ke ruang santai, ke ruang baca, ke ruang tengah, kemudian balik lagi ke dapur dan kembali lagi seperti tadi, begitu seterusnya sampai matanya bertemu dengan balkon kesayangan.

Jangan melihat kearah gadis itu. Cukup dalam satu ruangan kelas maka aku akan baik-baik saja. Aku merindukannya, aku membutuhkannya meredakan rasa sakit.

Aku akan baik-baik saja.

Aku pasti baik-baik saja.

Sekarang dia benar-benar seperti hantu.

Hantu manis.

Tapi, menyeramkan dan berduri.

Dan pada akhirnya, dia memutuskan untuk pergi ke sekolah setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan.

_______

avataravatar
Next chapter