23 dua puluh tiga

Tanpa ketukan, tanpa salam, Bella masuk ke kamar Farhel untuk melihat keadaan cowo itu. "kau sudah baikan?" Tanyanya.

Farhel yang masih tergeletak lemas di tempat tidur hanya tersenyum lembut menyambut kedatangan gadis itu. "Kau baru pulang? Kau telat tiga jam dari jam pulang sekolah, darimana?" Tanyanya balik ketika melihat Bella belum mengganti seragam sekolah.

"Aku bertanya padamu dan kau bertanya balik padaku? Aku pikir itu hanya kebiasaan burukku." Ucap gadis itu sambil berjalan kearah Farhel, kemudian duduk di sisi tempat tidur, di samping cowo itu. "Aku tadi pergi sebentar, membeli beberapa buku."

Farhel meraih tangan Bella, dia menggenggam tangan itu lembut. "Aku pikir, aku tidak akan pernah lagi merasakan perhatianmu, ternyata aku salah, aku masih bisa merasakannya. Maafkan aku karna pernah berperilaku kurang ajar padamu, aku melakukan itu karena aku ingin kau mencintaiku seperti dulu lagi. Ternyata kelakuanku itu malah membuatmu tambah menjauh. Aku menyesal sekali, maafkan aku."

Bella balas tersenyum. "Waktu itu aku hanya kesal karena kau melakukan hal yang menjijikan padaku. Tapi aku tau kok, kau tetap laki-laki yang baik."

"Tapi menciumi lehermu enak juga." Farhel tersenyum simpul. Bibirnya yang pucat tidak menghilangkan senyum manisnya, ada lesung yang tetap mempertahankan senyum manis itu.

"Jangan bilang kau ingin mengulangi kelakuan burukmu lagi."

"Aku tidak akan melakukan hal bodoh itu lagi, aku kapok. Aku tidak mau kau membenciku lagi."

Bella mengangguk, kemudian ia teringat sesuatu. "Rhel, aku baru ingat, tadi kata Rawzora dia dan empat kawannya akan datang kesini untuk menjengukmu."

"Mereka baik, mau repot-repot menjenguk."

"Teman." Bella hanya mengucapkan satu kata itu.

Farhel menatap Bella, dia tampak ragu. "Bell, aku ingin mencium keningmu. Apa boleh?"

Bella ingin tertawa tapi dia menahanya. "kelakuan burukmu sekarang sudah hilang, bahkan sekarang kau minta izin dulu."

"Waktu itu, aku seperti itu karena mengikuti saran gila kawan-kawanku."

"Ya, aku tau kau pintar. Tapi kau masih payah dalam taktik merebut hati wanita." Bella teringat kata-kata taktik. Rayyen pernah mengatakan padanya bahwa dia masih payah dalam taktik melarikan diri. Mengingat seseorang yang tak bisa kau miliki, rasanya seperti... ah, entahlah, rasanya seperti ditekan ke inti bumi.

Gadis itu menunjuk keningnya. "Ciumlah disini, mungkin kau akan sembuh setelahnya."

Bibir Farher mengulum senyum sebelum ia mendaratkan bibirnya ke kening Bella. Bahkan, tak ada yang lebih bahagia dari ini pikirnya. Tapi, siapa sangka, perasaan bahagia Farhel itu tak pernah di inginkan oleh sosok yang baru saja berdiri di ambang pintu, menyaksikan cium kening yang seharusnya tak pantas itu.

"Sudah cukup." Suara wanita yang sangat mereka hapal, melenyapkan rasa bahagia Farhel yang baru saja mekar lagi di hatinya setelah sekian lama menguncup dan layu. Farhel menyudahi cium kening itu, dia hanya menatap diam sosok wanita yang memilih berdiri di ambang pintu.

"Farhel, mama pikir kalian berdua akan menyadari kesalahan yang kalian buat setelah kalian mengerti apa itu arti kekasih. Mama membiarkan kalian, mama yakin suatu saat kalian akan mengerti bahwa hubungan kalian tidaklah di perbolehkan. Tapi ternyata mama salah, kalian tidak akan pernah mengerti."

"Mama tau?" Tanya Farhel.

"Tidak tau? Orang tua mana yang tidak tau dengan sikap anaknya yang begitu mengidolakan seorang gadis. Dulu Kamu selalu menulis 'Farhel dan Bella sepasang kekasih sejati' di belakang bukumu, Kamu menulis itu di semua buku-bukumu. jadi mana mungkin mama tidak tau. Mama hanya pura-pura tidak tau, menurut mama suatu saat kalian akan mengerti. Tapi apa? Kalian tidak mengerti juga?"

"Ma, apa salahnya jika menikah dengan sepupu sendiri? Banyak yang ngelakuin itu."

Wanita itu menggeleng. "Tidak. Itu tidak boleh."

"Hanya mama yang bilang itu tidak boleh."

"Mama bilang itu tidak boleh. Akhiri hubungan tak pantas ini sebelum kalian menyesal." Kata wanita itu tajam.

"Aku tidak peduli. Aku mencintainya. Aku tidak peduli apapun kata mama. Aku benci kalian yang melarangku bersama Bella." Kata Farhel tak kalah tajamnya.

"Kalau kamu menikah dengan Bella, lalu apa kata temen-temen mama?"

"Itu kan hanya mama yang bilang."

Wajah wanita itu merah padam. Dia tau, sekeras apapun dia, Farhel lebih keras. "Farhel! Jika kalian tetap melanjutkan hubungan terlarang ini, mama akan menjodohkan kamu dengan Deilna, anak teman mama."

"Ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi." Ucap Farhel enteng.

"Itu lebih bagus dari pada kamu melakukan hal konyol. Mencintai sepupu sendiri? Itu memalukan. Pokoknya besok kamu harus ketemu dengan Deilna, dia cantik, lebih cantik dari Bella."

"Ma. Cantik tidak bisa membuatku jatuh cinta padanya."

"FARHEL! SADARLAH! MAMA MENYAYANGIMU DAN JUGA BELLA. APA KAU MAU KESALAHAN TERBESAR TERULANG KEMBALI. APA KAU MAU SEPERTI ORANG TUA BELLA? MEREKA MENIKAH! PADAHAL MEREKA SEPUPU. MEREKA MELAWAN, DAN TAK MAU MENDENGAR. HIDUP MEREKA MENDERITA PADAHAL BANYAK UANG, MEREKA MENDERITA KARENA KESIALAN YANG TERUS BERDATANGAN! HINGGA MEREKA MEMILIH BERPISAH DAN AKHIRNYA MATI DENGAN CARA YANG TRAGIS. KALIAN TIDAK BOLEH MELAWAN TAKDIR!"

Wanita bernama Moza itu tak tahan lagi. Dia harus keras melawan anaknya jika ingin menang. Bahkan dia tak peduli dengan rahasia keluarga itu. Dulu, dia mencintai papanya Bella. Mengejar laki-laki itu semampunya dan penuh perjuangan, tapi laki-laki itu tak pernah melihat kearahnya sedikitpun dan malah mencintai orang lain. Laki-laki itu tetap pada cintanya, cinta yang sangat dalam, tapi sayangnya cinta itu terlarang.

Tapi, mau bagaimana lagi? Cinta ya tetap cinta. Sekuat apapun kita mengusirnya, dia tidak akan pernah mau pergi. Papa Bella tetap menginginkan pernikahan itu, berjuang setengah mati untuk mendapatkan restu. Moza tetap mengejarnya sebelum jari manis itu sudah dilingkari cincin emas yang sangat didambakan semua orang.

Dia terus berlari memperjuangkan cinta itu, tak peduli banyak pecahan kaca yang menusuk kakinya, dia terus berlari. Dia tak mau berhenti, sampai pada akhirnya ada sosok yang memukul pundaknya sambil berkata ''segunung, ataupun sebanyak air di lautan kau memberikan cintamu padanya, dia tetap tak akan pernah menerimamu. Dia mencintai gadis itu, dan kau tak bisa mengubahnya. Lebih baik berhentilah mengejarnya, berbaliklah dan genggam tanganku, ayo kita berlari kearah yang sama untuk mengejar kehidupan yang lebih bahagia. Aku mencintaimu, dari dulu aku hanya berlari di belakangmu, mengikutimu, dan siap siaga jika kau terjatuh. Sekarang, aku tak tahan lagi, kau sudah cukup di perjuangan yang akan melukaimu dan membuang-buang waktumu ini. Aku tidak bisa seperti abangku yang kau cintai itu, tapi aku bisa memberikan senyuman terbaikku setiap pagi dan memberikan cinta seumur hidupku, aku juga akan mengungkapkannya setiap kali kau membuka matamu dari tidur. Menikahlah denganku, bahagialah denganku. Tunjukkan pada abangku bahwa kau bisa bahagia tanpa harus bersamanya, tunjukkan padanya kau sudah bahagia, sedangkan dia masih terus berjuang untuk mendapatkan restu yang entah sampai kapan bisa ia dapatkan itu." Itu kata-kata papa Farhel.

Bella tersentak mendengar itu. Bukannya dia tidak tau, dia tau, lebih tepatnya baru tau beberarapa tahun yang lalu setelah dia membongkar box diary milik mamanya. Dan membaca diary itu penuh dengan air mata. Mamanya dulu bersahabat dengan mama Farhel, jadi kisahnya lengkap tanpa terkecuali.

"Maaf tante, Bella memotong pembicaraan tante dan Farhel. Sebenarnya kami tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kami sudah mengerti arti sebuah kekasih, Kami juga sudah mengerti bahwa kami tidak bisa saling mencintai. Kalau soal ciuman di kening tadi hanya sebuah ciuman antara sepupu, tidak ada maksud lain. Lagi pula Farhel sudah mempunyai kekasih, kekasihnya itu adalah sahabat Bella, dia sangat cantik dan juga baik. Namanya Rawzora, Jadi tante tidak perlu menjodohkan dia dengan anak teman tante itu. Farhel dan Rawzora saling mencintai kok" Ucap Bella sambil mengusahakan senyumnya.

Moza melirik Bella, tampak jelas di mata itu air mata sedikit lagi ingin jatuh, terjun bebas ke lantai. "Kamu tidak lagi bohong?"

"Tidak tante, Bella serius. bahkan kami sudah mengerti bahwa kami tidak bisa bersama."

"Kalau memang benar pertemukan aku dengan gadis yang bernama Rawzora itu."

"Oke. Segera, Bella janji."

"keluarlah, temui teman Farhel yang sedang menunggu di ruang tamu." Wanita itu pergi meninggalkan mereka berdua. Punggungnya bergetar, mungkin mengingat masalalu membuatnya sedih. Dan terjawablah, mengapa papa Bella mewasiatkan anaknya untuk tinggal bersama Moza, itu tadi, karna laki-laki itu tau bahwa wanita itu tangguh dan tak mudah menyerah.

Farhel mencubit lengan Bella pelan. "tadi kenapa kau ngomong gitu? Tadi itu aku lagi berusaha untuk meminta restu." Ucap Farhel sedikit ngambek.

"Farhel, kenapa kau tidak mengerti sih? Aku lebih baik mengatakan seperti itu daripada kau dijodohi dengan gadis yang bernama Deilna itu. Mungkin yang datang itu R5, aku mau temui mereka dulu untuk mengajak mereka kesini."

Farhel mengangguk, kemudian Bella melangkah pergi.

Kaki Bella memasuki ruang tamu dengan santai. Dia senang teman-temannya mau datang, tapi itu beberapa detik yang lalu, sekarang dia hampir jatuh tersungkur melihat Rayyen duduk di salah satu sofa ruang tamu.

Ke-kenapa anak itu juga ada disini? Batinnya.

"Bell, bagaimana keadaan Farhel?" Rawzora langsung berdiri dari duduknya ketika melihat kedatangan Bella.

Bella tersenyum melihat wajah Rawzora yang begitu mengkhawatirkan Farhel. "sudah lumayan membaik."

"Syukurlah." Ucap Rawzora lega.

Bella melirik sebentar kearah Rayyen yang duduk diam mematung sambil menatap lurus kedepan, entah apa yang di tatapnya, yang jelas itu objek yang paling aman.

"Kalian mau minum apa?" Tanya Moza yang tiba-tiba datang. Air matanya sudah hilang.

"Tidak usah repot-repot tante." Sahut Rawzora sambil tersenyum ramah.

"Namanya juga tamu, harus dikasih minum, dong."

"kami minta air mineral saja tente." Kata Rawzora lagi.

"Kok air mineral sih? Yasudah tante buati jus saja ya? sekalian nyiapin makanan juga."

"Tidak usah tan, mereka hanya sebentar." Ucap Bella cepat-cepat.

"Kamu ini. Tamu ya harus diberi makanan dan minum."

"Oiya, ini Rawzora pacarnya Farhel yang Bella bilang tadi." Ucap Bella sambil menunjukkan kearah Rawzora.

Mamanya Farhel memandangi Rawzora dari ujung rambut sampai ujung kaki, kemudian dia tersenyum cerah. "cantik, pantas saja Farhel bisa melupakanmu. Kalau begitu pergilah temui Farhel di kamarnya, tante mau siapin makanan dulu." Ucap wania itu lalu pergi.

Rawzora, Ruxe, Ryder, dan Rayyora langsung menatap kearah Bella dengan tatapan tidak percaya, sedangkan Rayyen hanya diam mematung sambil membuang muka.

"Orang tua Farhel tau kalau kalian pernah pacaran?" Ruxe menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Aku juga tidak tau, selama ini aku pikir tante Moza tidak tau. Ternyata dia tau, hanya saja dia pura-pura tidak tau. Sudahlah itukan hanya masa lalu. Ayo kita ke kamar Farhel." Ucap Bella mengajak teman-temannya.

Ruxe, Ryder, Rayyora bangkit dari duduknya untuk mengikuti Bella dan Rawzora yang sudah berjalan di depan, sedangkan Rayyen tetap duduk dan diam. Tiba-tiba Bella menghentikan langkahnya dan berbalik untuk melihat Rayyen yang tidak ikut dengan mereka. Bella hanya melihat Rayyen tanpa berkata apapun, Rayyora yang menyadari itu langsung buka suara.

"Rayyen, kenapa kau tidak ikut bersama kami?" Tanya Rayyora. Rayyen hanya membalas dengan diam.

"Ayo ikut!" Ajak Rayyora.

Rayyen menatap tak suka kearah gadis itu. "Bisakah kau tidak memperdulikanku sekali saja? Pergilah jangan pedulikan aku."

"Tapi Ray...."

"Sudahlah, Rayyora. mungkin dia ingin sendiri." Potong Bella, kemudian dia melanjutkan jalannya.

**

Flashback kenapa Rayyen bisa ikut kerumah Farhel.

Sebenarnya sebelum datang kerumah Farhel untuk menjenguk, tadi Rayyen tidak mau ikut.

Tadi saat pulang sekolah, Rawzora terlihat tak bersemangat seperti biasanya, itu membuat Ryder dan yang lainnya mengernyit bingung.

"Ada apa, Zora?" Tanya Ryder. Saat ini mereka sedang duduk di sofa seperti biasa di depan televisi.

Zora menoleh kearah Ryder yang ada di sebrangnya. "Kata Bella, Farhel sedang sakit. Aku mengkhawatirkan keadaannya." Ucap gadis itu tampak benar-benar khawatir.

"Sakit apa?" Tanya Ruxe.

"Katanyanya hanya tidak enak badan."

"Kalau begitu, kenapa tidak kita jenguk saja dia? Lihat keadaannya agar kau tidak terlalu cemas." Usul Ryder.

Senyum Rawzora merekah. Ia mengangguk setuju, kemudian menoleh kearah Rayyora yang sedang serius melihat kartun di tv. "Rayyora, kita jenguk Farhel ya."

"yasudah." Kata Rayyora tanpa menoleh. Tapi sedetik kemudian kartun di tv tak penting lagi. Dia menoleh cepat kearah Rayyen yang baru saja duduk untuk memainkan piano. "kau tadi kemana? Kau cabut lagi?"

"Mmmm." Jawab Rayyen tak berniat.

"Sebenarnya kau ini kenapa, Rayyen? Apa kau sudah putus asa untuk mencari sandi perak itu? Sudah seminggu ini kau tidak mau ikut dengan kami untuk mencari sandi perak itu." Ucap Ryder. Dia juga sudah tak tau harus bagaimana lagi, dia sangat mengkhawatirkan Rayyen.

"Sandi perak itu tidak ada disini, ayo kita pindah dan cari tempat lain." Rayyen menoleh pada teman-temannya. Ia tak jadi membiarkan jari-jarinya menari di atas tuts-tuts piano.

"Tidak bisa, Rayyen. Kita belum 1 tahun di negara ini, jadi kita belum bisa pergi." Bantah Rayyora.

"Tapi aku ingin pergi, sandi perak itu tidak ada disini."

"Tapi Masih banyak tempat yang belum kita kunjungi disini."

"Kalau begitu kita pindah kota saja, jangan disini."

Rayyora terdiam sejenak untuk memikirkan sesuatu. "kenapa? Apa karena kau mencintai Bella?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibirnya.

"Pemikiran bodoh macam apa itu? Mana mungkin aku menyukainya."

"Benarkah? Kalau begitu ayo ikut kami kerumah Farhel, dia sedang sakit kami ingin menjenguknya." Tantang Rayyora.

"Kenapa aku harus ikut? Kalian saja yang pergi." Rayyen mengalihkan pandangannya ke piano. Dia mulai malas menanggapi gadis yang dijulukinya si duri ungu itu. 

"Kenapa kau tidak mau ikut? Biasanya kita selalu pergi bersama, tapi sekarang kau aneh. Kalau memang kau tidak punya perasaan apapun pada Bella pasti kau mau ikut." Rayyora tak peduli jika Rayyen tak melihat kearahnya.

"Jadi kau berpikir bahwa aku tidak mau ikut karena aku menyukai Bella? Pikiran macam apa itu?" Cowo itu menoleh lagi.

"Karena hari-hari ini kau selalu menghindar jika nama gadis itu disebut. Kau menghindar karena kau takut detak jantungmu berdetak lagi untuknya'kan?  Sudah berapa kali jantungmu berdetak untuknya Rayyen?"

"Terkadang kau sok tau ya." Rayyen mulai kesal.

"Kalau memang jantungmu tidak pernah berdetak untuknya, mana mungkin kau terlihat seperti orang menahan rasa sakit saat berada di dekatnya. Kau merasa sakit karena tubuhmu ingin berada di dekatnya namun kau memaksa untuk tidak mendekatinya. Kau pikir aku tidak memperhatikanmu? Tugasku adalah menjagamu. Apa kau lupa? Dan kau selama ini tidak pernah seperti ini, semenjak kau dekat dengan Bella, kau berubah."

"Kau salah, Rayyora." Bantah Rayyen.

"Salah? Kalau begitu buktikanlah kalau ucapanku ini memang salah. Kalau ucapanku memang salah pasti kau akan ikut dengan kami kerumah Farhel, tapi kalau ucapanku benar pasti kau menolak untuk ikut dengan kami karena kau takut tubuh dan kepalamu akan berulah lagi."

"Yasudah aku ikut dengan kalian, apa susahnya? Ucapanmu itu benar-benar tidak masuk akal."

Setelah perdepatan Rayyora dan Rayyen, mereka memutuskan untuk langsung pergi kerumah Farhel.

Flashback off

Bella, Ruxe, Rawzora, dan Ryder masuk ke kamar Farhel. Tapi tidak dengan Rayyora, gadis itu berbalik hendak pergi ke bawah menemui Rayyen.

Bruk!!

Rayyora hampir tersungkur ketika seorang cowok bertubuh tinggi menabraknya. Dia menatap tajam cowok yang terlihat terburu-buru sambil menenteng dua gitar di tangannya.

"Maaf, aku tidak sengaja." Ucap Zio sambil nyengir.

Rayyora melemparkan tatapan tajamnya. "Kau tidak punya mata. Matamu hanya kau pakai untuk melihat gadis yang tak pernah mau melihatmu."

Zio terbelalak kaget. Bahkan dia tidak tau siapa gadis di depannya itu. "Cantik, aneh, asing, dan tajam. Kau memiliki hasrat meramal ya? Walaupun ramalanmu salah. Tapi, kau boleh potong hidungku yang mancung ini kalau aku sering di tolak." Ucap Zio sambil menunjuk hidungnya. "Dan aku tidak yakin jika kau tak pernah merasakan bersedih saat orang yang kau suka hanya menganggapmu TEMAN."

"Kau tak akan pernah kehilangan hidungmu itu, karna kau memang benar, aku pernah merasakannya." Balas Rayyora.

Zio tertawa kecil. "Bagaimana rasanya? Enak? Pasti tidak enak." Dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Aku harus pergi. Siapa namamu?"

"Rayyora."

"Ora, itu panggilan yang bagus untukmu. Bye." Kata Zio sambil melambai.

Rayyora memperhatikan punggung yang berjalan pergi menjauh itu. Ada seulas senyum di bibirnya. Dia pernah bertemu dengan Zio dulu, waktu cowo itu masih anak SD yang tengil. "Kau sudah segede ini? Dulu aku melihatmu masih bocah. Bocah tengil lebih tepatnya." Dulu Zio melempar kepala Rayyora dengan Bola, karna gadis itu berdiri di gang sempit menutupi jalannya yang hendak bermain Bola. Dengan gaya tengilnyanya Zio mengusir Rayyora, dan hampir saja Rayyora menjatuhkannya ke paret. Tapi gadis itu tidak tega.

Dan pada akhirnya Rayyora kehilangan niat untuk menemui Rayyen di bawah, dia memilih masuk ke kamar Farhel untuk menjenguk cowok itu.

---

avataravatar
Next chapter