"Ini sekolahan loh, Bro. Gue tau lo kapten futsal, citra lo bakal buruk kalo berantem di sini."
Rian langsung menghempaskan tubuh anak tersebut begitu saja. Berpikir jika ucapan Romeo ada benarnya, Rian pun berbalik badan dan mengambil bola yang tadi ia lemparkan. Ia lantas menoleh ke arah Romeo untuk sejenak dan mendengkus pelan sembari mulai meninggalkan anak laki-laki tersebut sendirian.
'Sialan. Kalo bukan di sekolah, udah abis lo sama gue,' batin Rian, sembari terus melangkah meninggalkan Romeo.
Romeo mengembuskan napas pelan dan menatap ke arah depan, di mana Jasmine dan juga Kirana pergi meninggalkannya.
'Jasmine punya cowok?' batinnya, mengingat ucapan Rian yang mengatakan jika ia membuat perhitungan melalui Jasmine. Romeo dibuat galau oleh kenyataan pahit tersebut.
Ia mulai berjalan perlahan melewati koridor dan menuju kelasnya. Di tengah perjalanannya ia tersenyum manis karena memikirkan sesuatu yang telah lalu. Anak itu mengeluarkan satu benda dari saku celananya.
'Gue bener-bener nggak tau kenapa gue bisa sesuka ini cuman gara-gara nih bulpen,' batinnya, tergelitik mengingat bagaimana ia bisa menyukai Jasmine. 'Tapi kalo sekarang lo punya orang yang lo suka juga nggak apa-apa. Yang penting Jasmine Bahagia, gua juga bakal Bahagia.'
Ia menatap benda kecil tersebut dan terus tersenyum cerah, hingga sebuah suara datang dan membuatnya langsung kembali memasukkan benda kecil tersebut ke dalam saku celananya.
"Romy, kamu ngapain masih di sini?" tanya seorang gadis dengan tersenyum cerah pada Romeo.
Dengan tampang kosong Romeo hanya terus berjalan dan menatap ke depan. Anak itu tak mengatakan apa pun dan bahkan tak berminat untuk menjawab pertanyaan gadis dengan rambut panjang nan poni yang tengah berjalan di sampingnya tersebut.
Gadis itu merasa sedikit canggung dan mulai menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal sama sekali. Ia merasa malu karena sapaannya tak mendapat respon baik dari Romeo, teman sekelasnya sendiri.
"Em …, kamu udah ngerjain PR Bahasa-"
"Udah," sahut Romeo dengan cepat, memotong ucapan gadis itu tanpa menoleh padanya.
"O-Oh, kirain belum." Gadis itu menolehkan wajahnya dan meringis tanpa suara. Ia merasa sangat malu dan canggung, namun masih saja tak mau berhenti berusaha untuk mendekati Romeo. "Em, ka-kalau kamu belum sarapan-"
"Udah juga." Romeo kembali menyahut dan kini mulai menghentikan langkah, membuat gadis yang mengikutinya itu ikut berhenti dan menatap Romeo dengan jantung yang berdebar kencang.
Mendengar si gadis yang terus mengatakan banyak hal yang menurut Romeo tak penting, ia pun langsung menatap ke arah gadis itu dengan tatapan dinginnya. Anak itu menatap tepat ke netra si gadis dan langsung mengembuskan napas berat, membuat gadis itu semakin merasa canggung dalam situasi tersebut.
"Julia, gue tau kita udah temenan dari lama."
"H-hah?" Kalimat Romeo membuat Julia membelalakkan mata.
"Tapi lo bisa nggak, jangan manggil gua Romy?" Pertanyaan Romeo membuat Julia tersenyum hambar dan mulai menunduk. "Di sini semua orang kenal gue sebagai Romeo, bukan Romy. Gue nggak mau inget masa lalu, di mana gue dikenal sebagai Romy."
Romeo menunduk dan menunggu reaksi Julia. Karena melihat Julia yang justru diam dan kebingungan, Romeo pun langsung memegang kedua bahu Julia dan kembali meminta agar gadis itu tak terus-terusan memanggilnya dengan nama lain.
"Lo bisa 'kan, Ya?"
Dengan tegang gadis bernama Julia tersebut mulai mengangguk. Ia merasa sedikit takut dengan tatapan tajam Romeo yang menurutnya mulai menakutkan. Dalam hati gadis itu merasa sangat sedih dengan sikap Romeo yang berubah menjadi dingin dan tak berperasaan begini, namun ia juga merasa jika kali ini bukanlah waktu yang tepat untuk berdebat soal hal itu. Julia tak mau jika sampai hubungannya dengan Romeo justru menjadi renggang dan semakin sulit lagi.
Melihat Julia menganggukkan kepalanya, Romeo pun tersenyum tipis nan hambar. Ia langsung menepuk bahu Julia sekilas dan pergi meninggalkannya. "Siap-siap noh, dah mau upacara," ujarnya di selah jalan.
***
Upacara telah selesai dan anak-anak kini mulai memasuki kelasnya masing-masing, beberapa juga masih berkeliaran karena ada rapat mendadak yang diumumkan saat upacara tadi. Dengan adanya rapat guru, tiga gadis itu pun langsung menuju ke kantin untuk mengganjal perut, karena beberapa dari mereka bertiga ada yang belum sempat sarapan.
Cindy hanya terus memainkan ponsel dengan sebelah tangannya yang menggaet lengan Jasmine, Kirana melipat tangan di atas perut dan berjalan dengan tampang songongnya, sedangkan Jasmine berjalan dengan normal dan mulai menarik anak rambutnya ke belakang telinga. Mereka menjadi pusat perhatian karena Kirana yang merupakan bintang sekolah. Hari di mana gadis dengan rambut panjang bergelombang itu dihukum karena memakai seragam ketat dan juga make up tebal di hari pertama ia sekolah membuatnya menjadi artis dadakan di sekolah. Berit aitu tersebar dengan cukup cepat dan membuatnya seringkali menjadi pusat tatapan aneh dari penghuni sekolah, bahkan sebagian gadis-gadis menatapnya dengan tatapan dingin dan risih. Beruntung Cindy dan juga Jasmine tak terlalu memedulikan hal tersebut dan terus berteman baik dengan Kirana.
"Di kantin ada apaan, ya?" gumam Kirana di selah jalannya.
"Ada makanan, lah, Na. Ya, kali di kantin ada semen sama batako?" Jasmine merasa heran dengan pertanyaan temannya tersebut.
Kirana berdecak pelan dan mengembuskan napas pelan, ia lantas teringat jika dirinya nanti ada jam olah raga usai jam istirahat. Hal itu membuat Jasmine bahkan Cindy yang sedari tadi terlihat tak peduli, pun kontan tertawa cukup renyah. Kirana cemberut dan marah karena teman-temannya menertawakan hal yang menurutnya sangat sial tersebut.
Cindy menoleh dan berkata, "Lagian kelas lo napa kagak protes awal semester aja, sih? Jam segitu kan panas buat olah raga."
"Udah, egok! Emang dasar tuli aja tuh guru-guru." Kirana semakin emosi mengingat jam pelajaran usai istirahat nanti.
Jasmine terkekeh pelan dan mengingatkan agar Kirana tak mengatakan hal yang buruk mengenai guru-guru. "Kualat lo, ntar," lanjutnya.
Kirana hanya bergumam dan tak menanggapi lebih lanjut. Sementara Cindy mulai menggoda dengan mengatakan jika nona muda yang manja tersebut mungkin akan memerlukan banyak sunscreen untuk menghalau sinar UV dari matahari agar tak langsung mengenai kulitnya. Mendengar hal itu Kirana spontan menjulurkan tangan dan menarik rambut pendek Cindy dari belakang.
"Anjir! Rontok ntar rambut gue, Pe'ak!" Cindy marah-marah.
Kirana tertawa renyah dengan nada yang sedikit menyeramkan. "Tenang. Nona mud aini punya banyak uang buat beliin babu ini wig yang banyak."
"Kurang ajar, lo!" Jawaban Kirana membuat Cindy mulai naik pitam.
Jasmine menghela napas dan langsung melangkah memasuki kantin. Ia tak mau melerai dua manusia itu, karena yakin jika ia melakukannya maka ia juga akan ikut terseret dalam pertengkaran dan dibuat bingung dengan pilihan antara satu teman dengan teman yang lain.
Cindy dan juga Kirana terus berjalan masuk dengan masih bertengkar, sedangkan Jasmine tengah mencari tempat kosong untuk ia dan dua temannya duduk. Setelah menemukan bangku yang kosong, ia hampir duduk di kursinya, namun justru langsung diserobot oleh seorang gadis berambut panjang nan berponi.
Jasmine mengerutkan keningnya. "Sorry, tapi gue mau duduk sini sama temen-temen gua," ujarnya, meminta agar gadis itu pindah karena Jasmine takut ia akan terganggu oleh Cindy dan juga Kirana yang tengah bertengkar.
Dengan tatapan dinginnya, gadis berponi yang baru saja duduk itu mendongak. "Emang ada tulisan nama lo sama temen-temen lo di sini?"
"Hah?"
*****
Kamar Tukang Halu, 06 Juni 2022