Meskipun kesal, tapi Seno cinta. Ia tak bisa menolak permintaan Naya dan akan tetap pergi mengantarnya ke rumah sakit untuk menjenguk Dito.
"Bisa-bisanya bos perusahaan ternama jadi diperbudak seperti ini. Seno, Seno." gerutunya sambil menyetir mobil.
Sesampainya di depan kosan Naya, Seno keluar dari mobil dan berniat menjemput Naya. Tapi Naya sudah keluar rumah duluan, dan berdiam diri di depan pintu mobil. Seno mematung, lagi-lagi ia diacuhkan seperti itu. Kedatangannya tak disambut dan tak sesuai dengan ekspektasinya tadi.
"Ngapain masih di situ?!" kesal Naya.
Seno menoleh, "Terus kamu ngapain masih berdiri di sana?!" tanyanya balik.
"Aku belum diizinin masuk mobil." Jawab Naya simple. Akhirnya Kekesalan Seno mulai pudar dengan kesopanan Naya yang enggan masuk mobil sebelum dipersilahkan olehnya.
Dengan cepat Seno membuka pintu mobil untuk Naya, lalu mempersilahkan kan masuk. Naya tak memberikan senyumannya, hanya saja ia mengucap kata 'terimakasih' dengan datar. Seno menerima itu, memang sangat sulit baginya untuk mendapatkan senyuman Naya.
Tanpa berlama-lama lagi Seno melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, ia tak mau jika ada kecelakaan setelahnya. Sangat sulit untuk mengajak Naya naik mobil bersama seperti itu, jadi Seno mengambil kesempatan ini untuk berdekatan dengan Naya.
"Mau beli cemilan?!" Seno menawari.
Naya mengernyit hebat, "Apa?! Cemilan?!" tanyanya yang langsung diangguki oleh Seno. "Dalam kegentingan seperti ini kamu masih bisa nawarin aku beli cemilan?! Ini lagi urgent, Seno!" tatapan Naya seperti elang yang siap menerkam Seno kapan saja.
Seno sedikit tersentak, lantas ia tergugup dan mencari topik lain untuk merubah tatapan Naya yang menusuk.
"Plis, untuk saat ini aku gak mau banyak hambatan. Aku mau kamu fokus saja mengemudi dan jangan ajak aku bicara lagi!" seru Naya dengan tegas.
Akhirnya Seno menyerah, ia mulai melajukan mobilnya di kecepatan tinggi. Meskipun tidak mau melakukan itu, tapi ia menjaga kepercayaan Naya agar masih mau berada di dekatnya, dan peluang untuk mendapatkannya semakin besar.
Berbagai belokan, Seno ikuti sesuai alur. Mobil yang menghalanginya pun ia salip agar terus berada di paling awal. Hingga tak sadar rumah sakit yang ditujunya sudah terlewati jauh sehingga mereka harus memutar balik dan kembali ke jalan yang semula.
"Coba kalau fokus," sindir Naya yang langsung membuat kedua mata Seno mengerjap sesaat.
"Pasti gak akan kena macet seperti ini!" lanjutnya.
Sindiran Naya membuat Seno geram. Naya tidak tau perasaan Seno seperti apa ketika dirinya diacuhkan olehnya demi pria lain. Seno pun menatap Naya dengan tatapan yang menyeramkan. Ia tak mengalihkan pandangan itu sedetik pun, bahkan mengedip pun tidak Seno lakukan.
"Lebih baik kita berjalan kaki saja ya, Mauren!" ucap Naya sambil berusaha membuka pintu mobil. Tapi pintu mobil itu tak kunjung terbuka, Seno sudah menguncinya dan Naya tidak bisa membukanya sembarangan karena ada kodenya.
Mobil Seno sudah dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga apa yang bisa dilakukan di mobil biasa, tak bisa dilakukan di mobil Seno. Seno yang melihat itu tersenyum miring, tatapannya tetap seperti tadi dan tidak teralihkan oleh apapun.
Naya menyerah, ia kembali bersandar dengan keras dan menatap ke arah depan. Dari sini Naya mulai merasa tak nyaman ditatap seperti itu oleh Seno. Beberapa kali ia mencari cara agar dirinya bisa berlaga seperti biasa, tapi itu tak berhasil. Seno sudah menangkap basah gerak-gerik Naya yang memang tidak nyaman diperhatikan seperti itu.
"Maju tuh mobilnya!" Naya memberitahu Seno tanpa sekalipun menatap wajahnya. Bisa-bisa ia malu jika meminta agar Seno menghentikan tatapannya itu.
Seno maju dengan tatapan yang masih tertuju pada wajah Naya, Naya sendiri pun bingung harus melakukan apa agar Seno mau untuk kembali melihat jalan.
"Arggghh, Seno!!" teriak Naya dengan sangat kencang, sehingga Seno menginjak remnya mendadak.
Tatapannya tertuju ke depan dengan bundaran yang terus mencari apakah ada orang yang tertabrak atau tidak, tapi setelah lama mencari ternyata tidak ada satu pun orang yang tertabrak.
"Naya!" Geram Seno dengan rahang yang mengeras.
Naya melebarkan rahangnya, lalu ia balikkan wajahnya ke arah berlawanan dengan Seno. Naya tidak takut Seno murka, yang ia takutkan adalah Seno tidak mengarahkan mobilnya ke rumah sakit dan tidak bisa menjenguk Dito.
"Seno, plis arahkan mobilnya ke rumah sakit sekarang juga!" pinta Naya dengan sangat keras.
"Atau besok dan seterusnya, aku gak akan lagi bekerja di rumahmu!" lanjutnya.
Seno nampak khawatir dengan itu, yang tadinya wajahnya sangat garang dan tegas, kini ia terlihat gelagapan tak bisa menolak permintaan Naya yang diiringi dengan ancaman.
"Terpaksa gue harus nyerah." Seno membatin.
Naya pun langsung turun dengan jutek setelah mobil Seno berhenti di depan rumah sakit. Di sana Seno terlihat seperti supir yang mengantar majikannya.
"Lagi-lagi gue harus diperlakukan seperti ini." Keluh Seno sambil melajukan mobilnya lagi menuju tempat parkir.
Di dalam rumah sakit, Naya mencari nomor kamar yang telah disebutkan oleh penjaganya. Ia terus berdoa agar keadaan Dito tidak kenapa-napa. Tapi, harapan Naya pupus ketika melihat Dito terbaring lemah dengan kondisi kaki yang terpasang gips dan kepala yang dibalut dengan kasa.
Naya histeris, ia langsung masuk ketika ruangan Dito sepi. Tidak ada Dokter ataupun suster.
"Dit! Dito! Lo gak papa, 'kan?!" Tanya Naya heboh. Tapi yang ditanyanya malah berekspresi heran. Dito mengernyitkan kedua alisnya sambil mengangkat salah satu darinya.
"Dito! Jawab!" Pinta Naya dengan nada tinggi.
Dito semakin mengernyitkan kedua alisnya, ia benar-benar tidak tau apa yang dilakukan wanita yang ada di hadapannya ini.
"Lo siapa?!" Tanya Dito datar. Wajahnya seperti orang yang sedang mengingat seseorang.
Naya syok berat, "D-dit?! L-lo gak kenal siapa gue?!" Buliran air mata menetes dari ujung matanya.
Mendengar pertanyaan itu Dito menggeleng yakin.
"Siapa?!" Tanyanya lagi.
Naya rapuh, tangisan itu membludak hebat saat Dito benar-benar tak mengenalnya. Bahkan kakinya pun tak sanggup lagi untuk menopang beban berat tubuhnya. Naya luruh bersimpuh lemah di atas lantai sambil memeluk Mauren dengan erat.
"Dito, Lo gak mungkin lupa ingatan … " lirih Naya yang dapat didengar oleh Dito dan Seno yang sedang mengintip di balik pintu ruangan Dito.
Seno yang mendengar itu tentu merasa gembira, ia bisa leluasa mendekati Naya karena Dito lupa ingatan. Dengan itu, Dito tidak akan mendekati Naya lagi kapan pun dan di mana pun.
"Nice! Gue bisa masuk dengan leluasa tanpa ada penjagaan dari si tengil itu. Ah, betapa bahagianya diriku ini. Dunia sedang ada di pihakku!" Seno membatin.
Naya menangis tersedu-sedu, ia tak bisa menerima kenyataan pahit yang mendera sahabatnya.
"Gak mungkin … gue gak mau kehilangan orang yang gue sayangi lagi. Gue udah cukup kehilangan kebahagiaan menjadi anak dari seorang ayah, gue udah cukup kehilangan kehangatan dukungan dari orang tua, dan gue udah cukup kehilangan malaikat tak bersayap. Gue gak mau kehilangan sahabat gue!" Lirih Naya yang masih terdengar oleh dua pria diantaranya.
"Gila! Sepeduli itukah Naya sama si tengil itu?! Fix, kali ini gue bener-bener cemburu!" Gerutu Seno sambil meremas kedua tangannya kuat.
"Lo siapa?!" Lagi-lagi Dito bertanya seperti itu.