"Gue sahabat Lo! Gue sahabat dari kecil Lo! Gue Naya, yang dipaksa memanggil diri gue sendiri dengan panggilan 'Gue' bukan 'aku'. Naya yang sering buat Lo kerepotan, sering nyusahin Lo, dan ngebuat Lo kesal." Teriak Naya sambil menunduk, diteriakkannya diiringi tangisan dan kekesalan mengapa Dito hilang ingatan.
Nafasnya pun tersengal-sengal karena nafsunya tak bisa dikendalikan lagi. Dari sana tiba-tiba Dito tersenyum miring, lalu kedua matanya menatap langit-langit rumah sakit.
"Lo lebih dari sahabat gue, Nay! Semua yang Lo katakan itu gak ada benarnya. Gue selalu ada buat Lo itu karena ketulusan, bukan keterpaksaan." Ucap Dito santai yang langsung membuat kedua mata Naya membulat hebat.
Tak hanya mata Naya yang membulat hebat, mata Seno pun lebih membulat dengan ucapan Dito barusan.
Dalam tangisan yang menyakitkan itu, Naya menoleh ke wajah Dito. Ia benar-benar tidak mengerti dengan keadaan yang dilaluinya sekarang.
"Lo harus ingat, dan Lo juga harus tekankan hal ini di dalam diri Lo. Lo itu gak pernah nyusahin gue. Karena dengan adanya Lo, gue jadi ngerasa hidup gue lebih sempurna." Lanjutnya dengan tatapan yang masih diarahkan ke langit-langit ruangannya.
"L-lo gak hilang ingatan?!" Tanya Naya yang berusaha bangkit dari lantai dan keterpurukannya.
Dito pun menoleh ke arah Naya yang sudah berdiri sempurna di sampingnya. Ia menggeleng sambil tersenyum tipis, ketulusan Naya dalam menangis yang merasa kehilangan membuatnya luluh dan tersentuh. Sehingga ia merasa tidak rela untuk mengerjai Naya lebih dari itu.
Senyuman tipis dari sahabatnya itu tidak membuat Naya luluh, ia malah geram dengan kejailan yang dilakukan sahabat kecilnya ini. "Dito!!" Naya terus memukuli Dito dengan kain milik Mauren. Tangis kesedihannya berubah menjadi tangis bahagia.
Dito tertawa sambil berusaha menghindar dari amukan Naya. Meskipun pukulan dari kain, tapi ia tetap menjauhi itu. Keributan pun terjadi di ruangan Dito, membuat Seno mendecih tak suka. "Ternyata pura-pura." Hatinya kembali merasakan panasnya api cemburu yang sangat membara, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke dalam mobil.
"Lo mancing-mancing gue ya. Dasar, sahabat penipu!" Cerca Naya dengan sangat puas. Sedangkan Dito menjawabnya dengan kekehan yang terdengar sangat gurih.
"Lagian Lo gak teliti sih, masa iya Lo percaya gitu aja gue hilang ingatan. Kan sebelumnya gue nelepon Lo, emang aneh!" Dito balik mencerca.
Naya duduk sambil memasang wajah cemberut, "Kan gue syok duluan denger pertanyaan Lo tadi, untung aja gue gak manggil Dokter untuk ngcek ulang keadaan Lo. Bisa-bisa, malu gue." Tatapan sinisnya menusuk tajam tepat ke retina milik Dito.
Mendengar itu Dito kembali tertawa sambil menepuk-nepung dahinya beberapa kali. Tapi karena tawanya yang over, ia langsung menggenggam kuat kakinya yang terasa nyeri. Melihat itu Naya acuh dan tak mau dibohongi lagi.
Dito semakin meringis dan terus mengeratkan genggamannya, sehingga air matanya menetes tak bisa ditahan.
"Dit, Lo beneran?!" Naya memastikan.
Tapi semakin ke sini, urat-urat leher Dito semakin terlihat. Sehingga Naya kembali panik dan berusaha mencari bel yang biasa ada di sekitar pasien. Setelah bel itu ditemukan, Naya memencet belnya dengan harapan agar Dokter segera datang memeriksa sahabatnya ini.
Tak lama dari itu Dokter dan satu suster masuk dengan terburu-buru, Naya mundur dan hanya bisa menatap Dito dari jauh. Jantungnya kembali berdetak tak karuan, ia terus memejamkan matanya berharap Dito baik-baik saja.
"Ada sedikit pergeseran dari apa yang sudah dibenarkan, jadi saya harap anda tidak bergerak berlebihan lagi ketika lukanya belum benar-benar baik." Ungkap Dokter setelah memeriksa Dito.
Pantas saja kaki Dito sakit, sejak kedatangan Naya, kaki Dito terus bergerak lebih. Terlebih ketika dirinya menertawakan Naya.
Naya bernafas lega setelah Dito kembali tenang, lalu ia memukul Dito lagi dengan peringatan agar Dito tidak tertawa berlebihan lagi. Dito hanya mengangkat jempolnya sambil memejamkan matanya kuat.
Jika di ruangan Dito sudah terlihat damai, berbeda dengan kondisi orang tuanya. Mereka sibuk menyiapkan baju Dito setelah menutup dagangannya di pasar. Sejak tadi ibu Dito terus menangis tak tenang, sedangkan ayahnya terus menenangkan pikirannya agar tidak ikut menangis dan bisa meluluhkan kefokusannya untuk berkendara menuju rumah sakit.
Dagangan mereka terbilang sedang ramai, mereka rela menutup dagangannya karena ingin menemui anaknya yang dikabarkan mengalami kecelakaan.
Kekhawatiran itu pun dirasakan oleh Dito, ia menunggu orang tuanya lumayan lama. Bahkan datangnya lebih dulu Naya daripada orang tuanya. Tapi ia tidak berpikiran aneh, dan tetap menunggu kedatangan pahlawannya.
"Nay, ko Lo bisa datang ke sini. Bukannya gue udah larang Lo datang ke sini sendirian?!" Tanya Dito yang berusaha mengalihkan pikirannya.
"Gue gak ngelanggar larangan Lo, ya! Gue datang ke sini dianter sama orang lain." Jawab Naya.
Dito mengernyit, "Orang lain? Siapa itu?!" Tanyanya lagi.
"Seno!"
Tiba-tiba jantung Dito berdetak sesaat. Mendengar itu rasanya Dito ingin marah, tapi ia berusaha damai dan tidak menunjukkan amarahnya. Ia hanya terdiam dan mengangguk acuh.
"Kenapa, Lo?!" Heran Naya.
"Hah?! Enggak, gue heran aja. Gak ada yang lain apa selain Seno?!"
Belum saja Naya menjawab, kedua orang tua Dito datang dengan tangisan yang melemahkan. Melihat itu, Naya bangkit dan mundur agar dirinya tak menjadi penghalang untuk orang tuanya Dito.
"Kamu gak papa, 'kan?!" Tanya ibu Dito.
"Mami ini, udah tau kaki sama kepalnya di perban gini, masih nanya kamu gak papa. Dito kecelakaan Mi, yang parah kaki sama kepala." Jawab Dito yang memang sering bercanda dengan orang tuanya.
Mendengar itu, satu tepukan kecil mendarat di pipinya. Ayahnya merasa geram dengan Dito yang tak bisa mengondisikan keadaan untuk bercanda.
"Bisa-bisanya … " Naya menggelengkan kepalanya.
Melihat anaknya sudah mampu bercanda, mereka merasa sedikit lega dan baru menyadari adanya Naya di sana.
"Naya?! Kamu gak kenapa-napa?" Tanya ibu Dito.
Naya menggeleng, "Alhamdulillah enggak Bu, kebetulan Naya sedang ada di kosan waktu Dito kecelakaan." Jawabnya.
"Mami! Bukan ibu." Tegur Dito yang mendengar Naya masih memanggil ibu.
Ketiga orang di sana menoleh ke arah Dito dengan ekspresi beda-beda. Naya menyerongkan senyumnya dan menuruti memperbaiki teguran Dito.
"Alhamdulillah enggak MAMI, kebetulan Naya sedang ada di kosan waktu Dito kecelakaan." Ucap Naya sambil menekankan di kata 'mami'.
Dito menyeringai, tapi seringaian itu terhenti ketika perutnya bergemuruh kelaparan.
"Kamu lapar?! Ibu sudah bawakan makanan. Kita makan bersama, ya?!" Ajak ibu Dito sambil mengelus lengan Dito dan Naya.