"Karena itulah, Shifa, Mama meminta kamu datang. Sehari-dua hari saja, kamu bermalam di sini. Keisha pasti mau mendengarkan ucapanmu, Shifa. Selama ini, cuma kamu yang bisa menenangkan dia."
Shifa Kurnia—23 tahun, adik kandung Keisha—mendesah pendek dengan senyuman tipis di bibir kala mendengar keluh kesah sang ibu lewat sambungan telepon.
"Mama mohon, Shifa, papamu baru bisa pulang dua hari lagi. Mama—"
"Baiklah, Ma," ujar Shifa. "Sore nanti Shifa akan bicarakan dengan Mas Jaya, dan bila diizinkan, pagi besok Shifa akan ke sana."
"Terima kasih, Sayang."
"Ma," ujar Shifa lagi, "jangan terlalu diambil hati dengan sikap Bang Keisha."
Mutiya mendesah panjang, menghela napas dalam-dalam. Dia ingin saja menuruti kata-kata orang lain atau seperti ucapan putri bungsunya barusan itu, tapi Mutiya tidak bisa. Ia tidak bisa tidak mengacuhkan putra sulungnya itu. Atau katakanlah semua ini naluri dari seorang ibu.
"Ya udah, Ma. Untuk sekarang, Mama jangan banyak pikiran dulu, ya. Sampai jumpa besok."
Lagi-lagi Mutiya mendesah dengan tatapan nanar, ia mendekapkan ponsel itu ke dadanya. Di luar, hujan sepertinya belum akan reda.
Mutiya mendengar suara pintu pagar dibuka seseorang. Mungkin itu Keisha, pikirnya. Dan buru-buru Mutiya menyeka air mata yang masih membekas di pipi. Setelah itu, ia melangkah menuju ruang depan.
Benar, itu Keisha yang pulang dengan tubuh basah kuyup.
Mutiya membuka pintu depan, lalu menyapa sang anak, "Kamu sudah pulang Kei? Mau Mama buatkan teh hangat?"
Keisha menghentikan langkahnya di atas teras depan rumah, melirik sekilas pada sang ibu. Lalu menggeleng, dan lantas meneruskan langkahnya. Tapi pemuda itu tidak masuk lewat pintu depan sebab tubuhnya yang basah, ia melangkah ke samping kanan rumah dan terus menuju pintu samping belakang sembari menuntun sepedanya.
Mutiya menghela napas, mencoba untuk tetap bertahan dengan keheningan sikap sang anak kepadanya.
Tapi, kali ini Mutiya sedikit bisa merasakan ada perubahan pada Keisha. Meski sedikit, tapi itu sudah lebih dari cukup sebagai penyemangat bagi Mutiya untuk terus memberikan perhatian pada anak sulungnya itu.
Ya, gelengan kepala pemuda itu tadi satu pertanda bagi Mutiya. Mungkin curah hujan mampu mendinginkan kepala dan hati Keisha sehingga ia mau menjawab pertanyaan sang ibu meski dengan hanya gelengan kepala saja.
Memang terasa hening bagi Mutiya, namun tidak sebeku yang sudah-sudah.
Di ruang makan Mutiya sengaja menemui sang anak yang muncul dari arah dapur.
"Kalau kamu lapar, Kei," ujar Mutiya. Satu tangannya berada di atas tudung saji di atas meja makan. "Mama sudah menyediakan lauk-pauk untuk makan siang."
Hanya lirikan mata pemuda itu saja yang bisa terlihat, tertuju pada tudung saji di atas meja. Tanpa sepatah kata pun, Keisha melangkah menuju kamarnya. Kemudian kembali keluar dari dalam kamar dengan sebuah handuk di tangan, Keisha menuju kamar mandi yang berhadapan dengan dapur.
Mutiya menghela napas lebih dalam. Tidak mengapa, pikirnya. Keisha pasti berubah, seperti dulu lagi.
Sementara sang anak sulung berada di dalam kamar mandi, Mutiya lantas membuatkan segelas teh hangat yang mungkin akan diabaikan oleh Keisha seperti yang sudah-sudah. Tapi, Mutiya berharap untuk sekali ini pemuda itu mau menikmat teh manis hangat yang ia sediakan, nanti.
*
Keisha duduk melamun di teras depan rumahnya, di atas sebuah kursi plastik. Di hadapannya, ada sebuah gelas berisi teh manis. Air teh itu sendiri sudah sedikit sejuk dan tersisa setengah dari ukuran gelas bening itu sendiri.
Hujan belum berhenti sama sekali, menyisakan gerimis kecil yang sesekali diiringi embusan angin.
Meski demikian, Keisha sama sekali tidak merasa kedinginan padahal ia hanya mengenakan pakaian yang lebih pantas digunakan saat berada di lapangan sepak bola.
Ada senyum tipis yang begitu manis terukir di sudut bibir pemuda tersebut. Apa yang ada di dalam pikirannya itulah yang menghadirkan sesuatu yang berbeda di diri pemuda itu sendiri.
Ya, soal gadis bernama Delima itu.
Ada yang unik pada diri gadis tersebut, pikir Keisha. Tapi ia belum mengetahui sama sekali di mana letak keunikan itu selain wajah Delima yang begitu manis dan sedap dipandang mata—bahkan, tanpa polesan make-up.
Pencari madu, hah? Tanya Keisha dalam hati. Tapi apa iya seperti itu? Tidak, kurasa tidak.
Kalaulah memang dia sendiri yang mengumpulkan madu itu dengan tangannya, itu malah terlihat aneh. Kenapa aku tidak melihat bekas sengatan lebah satu pun di tubuhnya? Wajah, tangannya itu, atau kakinya yang indah itu?
Astaga… apa yang aku pikirkan?
Tanpa disadari oleh Keisha, Mutiya telah mengawasinya dari balik jendela ruang depan.
Mutiya sedikit terheran-heran dengan perubahan sikap putra sulungnya yang sedang duduk di teras depan dan menghadap ke arah jalan.
Tersenyum?
Entah sudah berapa lama Mutiya tidak melihat sang anak tersenyum bahkan dengan sangat manis. Lalu, apa atau siapa yang bisa membuat Keisha menjadi seperti yang sekarang disaksikannya itu?
Terlalu banyak pikiran berandai-andai di dalam kepala Mutiya. Apa pun itu, ia bersyukur karenanya. Mungkin, itu pula yang menyebabkan Keisha tidak bersikap sedingin yang sudah-sudah. Bahkan air teh manis yang telah ia sediakan itu akhirnya diminum oleh sang anak. Juga, dengan hidangan makan siang yang tadi.
Mutiya tersenyum, menghela napas lebih dalam sembari mengurut dadanya sendiri. Setelah itu, ia berlalu dari ruang depan tersebut sebelum Keisha menyadari dan itu mungkin akan membuat dia kembali bersikap dingin.
*
Mutiya melihat seorang wanita muda memasuki pekarangan rumahnya ketika wanita setengah baya itu baru pulang dari pasar sekitar pukul delapan pagi. Ia mempercepat laju sepeda motor matiknya hingga mencapai pagar depan rumahnya.
"Shifa?"
Sosok yang baru saja mencapai teras depan rumah itu memutar tubuh. Ia tersenyum.
Mutiya membawa masuk sepeda motornya ke pekarangan depan dan memarkirkan kendaraannya tersebut tepat di ujung teras. Bergegas ia turun dan menghampiri Shifa.
Shifa menyambut tangan sang ibu yang terjulur kepadanya itu. Keduanya saling berpelukan.
"Ma…"
"Terima kasih kamu sudah mau datang, Sayang." Mutiya menangkup pipi anak perempuannya itu dengan air muka yang penuh keharuan serta mata yang berkaca-kaca. "Terima kasih," ujarnya seraya memeluk, lagi.
"Mas Jaya mengizinkan Shifa," ujar perempuan muda tersebut. "Mama baru pulang dari pasar?" Tatapannya tertuju pada dua bungkusan plastik yang tergantung di sepeda motor.
Mutiya mengangguk. Lantas meraih kedua bungkusan plastik tersebut. Shifa membantu sang ibu dengan membawa satu bungkusan. Keduanya lantas memasuki rumah di mana Shifa dibesarkan hingga menikah dan pindah bersama suaminya.
"Di mana Bang Keisha?" tanya Shifa ketika mereka sudah berada di dalam rumah.
"Mungkin masih di dalam kamarnya."
Keduanya langsung menuju dapur guna meletakkan dua bungkusan yang berisi bahan-bahan untuk nanti dibuat menjadi menu makan siang dan makan malam ke atas sebuah meja kayu di dapur tersebut.