webnovel

Bench in the Park

Tidak semua orang mendapat kesempatan kedua dalam hidup, namun tak sedikit pula yang justru menggunakan kesempatan yang diberikan itu hanya untuk memuaskan nafsu keduniawian saja. Begitupula yang terjadi pada Keisha. Mengkhianati orang yang justru berperan besar dalam mengangkat kehidupan, bahkan rasa percaya dirinya. Dan saat semua sudah terlanjur terjadi, kata maaf dan penyesalan tentu tidak lagi berguna, sebab karma itu menyakitkan.

Ando_Ajo · Fantasy
Not enough ratings
402 Chs

Sebuah Peluang

"Sudahlah, Bu," ujar Delisa. "Biarkan Delima dengan kesenangannya sendiri."

"Melamun tak tentu pasal seperti itu kau bilang kesenangan?"

Sang nenek lantas mengenyakkan pinggulnya ke atas bantalan kursi. Ia meraih cangkir yang baru saja diisikan oleh sang anak.

Meskipun suara hujan cukup dapat menghibur laksana suara bising dari sekumpulan anak-anak yang sedang berebutan mainan di telinga Delima, namun gadis itu masih dapat mendengar ucapan sang nenek di ruang tengah sebab terhubung dengan beranda itu sendiri.

Delima tertawa tanpa suara dan semakin mengeratkan selimut tebal yang menutupi sekujur tubuhnya.

Lalu pikiran gadis itu kembali menghadirkan wajah Keisha, senyumnya, postur tubuhnya yang jangkung itu, semuanya.

Sang gadis mengulum senyum, kerapatan curah hujan tidak menghalangi perhatiannya pada kuntum-kuntum teratai di dalam kolam yang seolah sedang menari-nari menyambut rezeki dari langit.

Apakah dia berhasil sampai ke rumahnya? Atau kehujanan di tengah jalan?

Senyum di wajah itu semakin lebar. Bagaimanapun, Delima sangat bersyukur bahwa laki-laki itu tadi sudah mulai membuka dirinya meskipun Delima masih merasakan ego yang membatu dari laki-laki itu sendiri.

"Purnama di muka aku akan pergi."

Delima mendengar lagi suara sang nenek, ia melirik ke arah pintu yang terbuka lebar itu. Lalu, ia turun dari kursi bambu dan melangkah memasuki ruang tengah.

"Nenek akan pergi?" tanya Delima, lalu duduk di samping sang nenek, merebahkan tubuhnya ke tubuh wanita berambut putih tersebut.

Sang nenek tersenyum, lalu meletakkan cangkir keramik di tangan ke atas meja, tangan itu kini memeluk sang cucu dengan erat.

"Hanya beberapa hari saja." Ia mengecup kening sang cucu.

"Bagaimana dengan Ibu?"

Delisa tersenyum menanggapi pertanyaan sang anak. "Ibu tidak ikut, Sayang."

"Itu karena kamu yang terlalu manja," sahut sang nenek pada Delima, lalu mencubit hidungnya. "Banyak tingkah."

"Aow…" Delima mengusap-usap hidungnya. "Nenek!"

"Apa?"

"Sakit."

"Tuh kan!" pandangannya beralih pada Delisa. "Kau lihat anakmu ini, terlalu manja!"

"Kenyataannya," sahut Delisa, "Ibu yang terlalu memanjakan Delima."

"Benarkah?" tanya sang nenek pada Delima. Delima mengangguk dengan senyuman di dalam pelukan sang nenek. "Hemm… benar juga. Menjauh sana!"

"Nenek!" protes Delima.

Keluarga tiga generasi itu sama tertawa-tawa dengan keakraban dan kehangatan yang tercipta di rumah mereka tersebut.

"Kau mau ikut?"

Delima menggeleng menanggapi ajakan sang nenek.

"Tidak ada salahnya sesekali kau ikut," kata sang nenek, lagi. "Berkumpul bersama orang-orang sendiri."

"Nenek benar," jawab Delima sembari menjauh dari pangkuan sang nenek. "Tapi, bisakah nanti saja. Ermm, maksud Delima, setelah semua ini selesai. Bisakah?"

"Kamu bertemu laki-laki itu lagi tadi?" tanya Delisa.

Delima mengangguk malu-malu, tersenyum lagi kala melirik sang nenek di sampingnya. Dan merebahkan tubuhnya ke pangkuan sang nenek, lagi.

"Kamu itu!" sang nenek tertawa halus sembari menepuk pelan bahu sang cucu. "Kau lihat anakmu ini!" ujarnya kepada Delisa. "Entah sifat siapa yang dia tiru? Sedikit-sedikit tersipu, sedikit-sedikit malu-malu. Heran!"

Delisa tertawa halus. Ia meraih cangkir keramik miliknya, lalu mereguk teh madu mahkota dewa di dalam cangkir tersebut. Ia cukup sadar, sifatnya dan sifat sang ibu boleh dikatakan lebih berani dari Delima sendiri. Terlebih lagi dalam urusan yang menyangkut laki-laki.

Hal ini kembali mengingatkan Delisa akan perkenalannya dengan Seta—ayah kandung Delima—kala malam dihiasi bulan sabit di tepian pantai.

"Kalau bukan dariku, tentu dari ayahnya," ujar Delisa, sembari meletakkan lagi cangkir itu ke atas meja ia melirik pada Delima. "Kamu mau minum, Sayang?"

Delima menggeleng manja. Sang ibu tertawa halus lagi.

"Dasar," ujarnya.

"Nek?"

"Ya?" sahut sang nenek yang sedang akan mereguk minuman di dalam cangkir di tangannya.

"Ermm… apa kakek masih hidup?"

Nyaris saja sang nenek tersedak mendengar pertanyaan Delima tersebut. Sang nenek terbatuk-batuk kecil, kembali meletakkan cangkir itu ke atas meja. Sementara Delisa tertawa halus menyaksikan semua itu.

"Apa tidak ada pertanyaan lain yang ada di dalam tempurung kepalamu itu, hemm?"

Delima tersenyum lebar, lalu menggeleng.

"Dasar!" dengus sang nenek. "Semakin lama, kau bertingkah seperti orang-orang itu, Delima. Menyusahkan saja!"

Delima juga bertanya soal ayahnya semalam, pikir Delisa. Mungkin Delia benar, Delima mungkin mewarisi banyak sifat dari sang ayah. Apa mungkin disebabkan itulah makanya Delima memilih jalan sulit untuk mendapatkan kebahagiaannya sendiri? Bahkan dengan risiko yang sangat besar?

Mungkin…

"Delima kan hanya mau tahu saja, Nek," ujar gadis tersebut.

"Sifat ingin tahumu itu yang nanti akan bisa membunuhmu, Delima."

"Nenek!" sahut Delima, sembari menjauh dari tubuh sang nenek. "Jangan ngomong kek gitu, ah!"

Sang nenek tertawa tanpa suara. "Nenek dan ibumu tidak butuh waktu lama untuk menentukan laki-laki pilihan kami. Di antara semuanya, kau sendiri yang paling aneh, Delima. Keingintahuanmu, sifat malu-malumu itu, dan jalan yang paling dihindari oleh orang-orang kita dalam memilih pasangan tapi justru itu yang kau pilih."

"Kalau aku berhasil, berarti aku adalah yang pertama dari kita semua yang mampu melakukan ini," sahut Delima dengan membusungkan dada.

"Konyol!" dengus sang nenek.

Lagi, ketiga generasi itu sama tertawa-tawa.

"Kenyataannya," ujar sang nenek, "tidak seorang pun sampai sekarang yang berhasil dengan memilih caramu itu."

"Kecuali satu orang," sahut Delisa.

Delia tertawa tanpa suara seolah menyangkal hal yang diucapkan sang anak, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Itu hanya legenda, Delisa," ujar Delia kemudian. "Hanya cerita turun temurun yang tidak bisa dipastikan kebenarannya."

"Bisa saja semua itu benar kan, Nek?" kata Delima pula. "Toh, kita terpisah pulau dan lautan dari mereka."

"Itu makanya aku bilang tidak bisa dipastikan kebenarannya," kata sang nenek, lagi. "Bisa saja benar, bisa saja tidak. Atau itu tak lebih dari sekadar bualan seseorang sepertimu yang mengkhayal sebab tak puas hati dengan apa yang dimiliki sehingga mengarang cerita agar generasi muda sepertimu tahu betapa pahitnya bila keinginan tidak tercapai."

Untuk sesaat Delima terdiam mendengar ucapan sang nenek. Bagaimanapun, ucapan neneknya itu ada benarnya juga. Tapi kemudian Delima mengangkat wajah dan tersenyum manis.

"Delima yakin," ujarnya, "legenda itu pastilah sebuah kebenaran."

Sang nenek mendesah panjang, ia menatap Delisa, namun sang anak hanya tertawa halus geleng-geleng kepala.

"Semua terserah padamu saja, Delima," ujarnya kepada sang cucu. "Aku dan ibumu hanya bisa mendukung keinginanmu, itu saja. Tapi kuperingatkan sekali lagi padamu, Delima… jangan pernah kau sesali jika nanti keinginanmu tidak terwujud."

"Itu sama saja Nenek mendoakanku untuk celaka," sahut Delima sembari merajuk manja.

Sang nenek dan sang ibu sama-sama tertawa melihat sikap tubuh gadis tersebut.

"Aku hanya mencoba realistis," kata sang nenek. "Itu saja."

"Lagipula," ujar Delisa menyambung ucapan ibunya itu kepada Delima, "orang-orang kita selalu menghindari sebuah pilihan jika pilihan itu memiliki kesempatan yang kecil untuk diraih, Delima."

"Itu betul," sahut sang nenek pula. "Kalau tidak, memangnya bagaimana lagi caranya bagi bangsa kita bisa bertahan hingga sekarang?"

Delima hanya diam saja, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Walau apa pun yang terjadi nanti, ia sangat tahu bahwa ibu dan neneknya pastilah sangat menyayangi dirinya.

***

TO BE CONTINUED ...