Shifa mendekati pintu kamar Keisha yang dalam keadaan tertutup, ia mengetuk pintu itu beberapa kali.
"Bang? Abang…? Bang Keisha?"
Sekian detik berlalu namun Shifa tidak mendengar suara apa pun dari balik pintu itu. Ia mencoba menekan handle pintu tersebut.
Clack!
Terbuka. Pintu itu ternyata tidak terkunci sama sekali. Shifa mendorong daun pintu agar terbuka lebih lebar.
"Abang?"
Tapi Shifa tidak melihat siapa-siapa di dalam kamar tersebut. Shifa menyalakan lampu kamar, ia masih ingat di mana posisi stop kontak lampu kamar berada. Di dinding sebelah kiri.
Click!
Yup! Keisha tidak ada di dalam kamar. Kamar itu sudah terlihat rapi terutama pembaringannya.
Shifa memutar tubuh, kembali melangkah keluar sembari mematikan lagi lampu kamar itu, menutup lagi pintu tersebut. Ia melangkah menuju dapur di mana sang ibu akan bersiap-siap untuk memasak.
"Bang Keisha nggak ada di kamarnya, Ma."
Mutiya menghela napas dalam-dalam, memandang anak perempuannya itu.
"Sepedanya juga tidak ada," ujar Mutiya. "Mungkin abangmu pergi ke danau itu lagi."
"Tapi ini kan masih terlalu cepat untuk pergi ke sana, Ma. Bukankah biasanya Bang Keisha pergi ke danau itu pada sore hari?"
Mutiya mengendikkan bahu, lalu ia teringat lagi perubahan sikap Keisha sore kemarin. Mutiya tersenyum.
"Mama juga bingung sebenarnya… Dua hari ini, Keisha selalu pergi ke danau itu lebih awal."
Shifa meraih sebuah wadah plastik, lalu menggunakan wadah itu untuk tempat sayuran yang dikeluarkan sang ibu dari dalam kantong plastik.
"Apa mungkin Bang Keisha punya kenalan baru?"
Mutiya melirik Shifa, Shifa tersenyum sembari mengendikkan bahu.
"Mungkin saja ada gadis yang bisa membuat Bang Keisha seperti itu, kan?"
Sang ibu tertawa halus, menggeleng-gelengkan kepala. Tapi, apa benar? Jika memang demikian, tentulah Mutiya ikut merasa bahagia.
"Eeh, tapi mungkin kamu benar, Shifa."
"Mungkin?"
Mutiya mengangguk, dua tangannya begitu cekatan membersihkan sayuran itu. Memilih daun dan batang sayuran yang lebih muda, menempatkan bagian yang akan dimanfaatkan ke dalam wadah yang tadi diambilkan oleh Shifa, dan membuang sisanya ke dalam kantong plastik.
"Sore kemarin," ujar Mutiya kemudian. "Keisha pulang dalam keadaan basah kuyup—"
"Lhoo, memangnya di sini hujan ya, Ma, kemarin?"
Mutiya mengangguk lagi. "Hujan lebat."
"Hoo…"
"Mama nggak tahu pasti, Sayang… tapi, Mama rasa Keisha sedikit berubah—maksud Mama, lebih baik aja, gitu."
"Berubah?" ulang Shifa dengan kening mengernyit.
"Mama mengintip dari jendela ruang depan, abangmu itu duduk di teras, dia melamun sambil tersenyum-senyum."
"Hah?"
Mutiya mengangguk-angguk, lagi. Shifa tersenyum lebar.
"Apa Shifa bilang…" Shifa tertawa halus. "Nggak salah lagi, Ma. Pasti Bang Keisha lagi jatuh cinta. Shifa yakin itu."
***
Jam sembilan pagi. Meski cuaca cukup cerah namun suhu di lingkungan itu terasa lebih sejuk. Sisa-sisa hujan sore kemarin masih terlihat jelas, tergenang di beberapa titik di tepi ruas jalan, seperti kubangan kerbau atau babi tapi dalam ukuran yang lebih kecil.
Udara terasa jauh lebih segar, aroma tanah basah, sungguh dapat membuat ketenangan yang nyata di dalam kepala dan dirimu. Terlebih lagi ketika Keisha meninggalkan jalan beraspal memasuki sebidang tanah berumput sebelum memasuki jalan setapak untuk masuk ke dalam hutan belantara.
Sayangnya, Keisha tidak mengenakan jaket. Hanya kemeja biru bergaris dan berlengan pendek itu saja yang menutupi badannya, dan celana blue jeans di bagian bawah.
Sehingga, ketika pemuda itu sampai di bangku kusam yang ada di tengah-tengah taman di tepian danau kecil itu, Keisha sedikit merasa kedinginan. Baju kemejanya terlihat sedikit lembab, jalan setapak di tengah hutan yang ia lewati tadi masihlah basah, dan titik-titik air di dedaunan kini diserap oleh bahan kemejanya.
Bangku itu sendiri pun masih dalam keadaan lembab saat Keisha memilih untuk duduk di atas bangku tersebut setelah memarkirkan sepedanya.
Angin sepoi-sepoi basa berembus, dan itu sanggup membuat tubuh Keisha menggigil. Ia mengusap-usap kedua bahunya sembari berharap gadis itu muncul dan menyapanya seperti kemarin.
Satu jam, dua jam, tiga jam… berlalu begitu saja, dan Keisha masih duduk menunggu di bangku itu.
Lewat tengah hari, cuaca sama sekali tidak berubah, hal ini semakin menyiksa Keisha dalam suhu yang sejuk.
Duhai angin, berhentilah berembus ke arahku!
***
"Mau ke mana lagi kamu, Sayang?" tanya Delisa kepada anak gadisnya itu. "Ke danau itu lagi?"
Delima mengangguk manja. Ia telah memisahkan kulit-kulit buah mahkota dewa yang masih basah dari kulit-kulit yang sudah setengah kering di atas dua tampi berbentuk persegi.
Sang ibu sedang memindahkan kulit-kulit buah mahkota dewa yang sudah kering sempurna dari penampi lainnya ke dalam dua buah toples.
"Bukannya kamu pernah bilang sama ibu, laki-laki itu selalu datang sekitar pukul tiga sore?"
Delima menganguk lagi, lalu bergelayut manja di bahu sang ibu.
"Kemarin dia justru datang pagi-pagi."
Delisa melirik sang anak yang tersenyum kepadanya. "Benarkah?"
Lagi-lagi gadis itu mengangguk. "Mungkin… dia mulai menyukaiku, Bu."
"Ada-ada saja kamu itu," Delisa tertawa halus sembari mencubit hidung sang anak.
"Aa, Ibu…" rengek Delima dan pura-pura merajuk. "Kenapa sih, Ibu selalu mencubit hidungku?" tanyanya sembari mengusap-usap hidungnya.
Delisa tak dapat menahan tawanya, ia menjulurkan tangan, memeluk anak satu-satunya itu.
"Mau Ibu kasih tahu satu rahasia?"
Delima memandang ke dalam bola mata sang ibu, lalu mengangguk.
"Hidung kamu, selalu mengingatkan Ibu pada ayahmu, Delima."
"Hah?"
Delisa tersenyum manis. "Sama persis seperti hidung ayahmu."
"Hoo… pantas saja Ibu suka nyubitin hidungku."
Delisa mengangguk sembari tersenyum, pelukannya semakin erat terhadap Delima.
"Tapi kamu benar," ujar Delisa.
"Soal?"
"Soal laki-laki itu. Ibu memang tidak banyak pengalaman dengan golongan mereka, Delima… tapi, semua laki-laki sama. Jika ada hal yang bisa membuat mereka tiba-tiba berubah, itu hanya ada tiga hal saja."
"Tiga hal?" ulang Delima.
Delisa menganguk, lagi. "Sesuatu yang berhubungan dengan kekayaan, atau mungkin kekuasaan, dan terakhir… wanita."
Dalam hal ini, tentulah soal wanita, pikir Delima. Dan wanita itu, sudah barang tentu adalah dirinya sendiri.
"Apakah Ibu berpikir bahwa jalan yang aku pilih ini akan dikabulkan Tuhan, Bu?"
Delisa menghela napas dalam-dalam, mengeratkan pelukannya di tubuh sang anak, lalu tersenyum meski begitu tipis.
"Meskipun kemungkinannya sangat kecil," ujar Delisa, "tapi Ibu tidak ingin melihat kamu gagal, Sayang. Apalagi sampai harus kehilangan dirimu. Entah apa yang akan Ibu lakukan nanti bila hal buruk terjadi padamu."
"Bu…"
Delima membenamkan wajahnya di dada sang ibu, mengeratkan pelukannya sendiri di tubuh wanita yang sejatinya sudah berusia 37 tahun tersebut—meski penampilannya terlihat seperti sang anak, baik wajah juga lekuk tubuhnya.
"Jangan merasa senang dulu, Delima," ujar Delisa seraya mengusap punggung dan rambut sang anak. "Jangan terlena dengan hal yang kecil. Pastikan saja semuanya benar-benar mengarah pada keinginanmu sebelum semuanya terlambat."
"Iya, Bu. Delima pasti akan mengingat pesan Ibu."