webnovel

Lelah tak Berisik

Autor: Afida Raffi
Historia
En Curso · 10.6K Visitas
  • 50 Caps
    Contenido
  • valoraciones
  • NO.200+
    APOYOS
Resumen

Hanya karena sesuatu tidak terlihat bukan berarti tidak terjadi. Harapan tidak pernah muncul dari jiwa yang bahagia, kerap kali ia muncul karena pernah jatuh dan terhina. Tentang syukur dan penerimaan yang hanya bisa di rasakan oleh jiwa-jiwa yang tulus memahami dan sabar meskipun selalu tidak di pahami.

Chapter 101

Buku-buku yang bersampul cerah berjejer rapi di dalam rak berwarna putih tulang. Bagian sampul gelap masih tergeletak di atas meja persegi panjang yang menempel pada dinding ruangan. Buku-buku itu masih menunggu rak kosong untuk di bereskan. Seperempat buku lama telah tersusun rapi di atas kardus tebal di bawah rak, siap untuk dibawa ke perpustakaan khusus buku-buku lama.

Buku bersampul hitam pekat, menarik perhatian untuk dibaca. Judulnya pun tak kalah menarik, selain warna sampul yang terlihat berbeda dari yang lain. Hal itulah yang laki-laki itu rasakan ketika berada di Helsinki beberapa bulan lalu. Ia membuka halaman buku yang di beri tanda, ia membaca beberapa kalimat yang ia beri warna cerah di bawahnya. Terlihat kontras dengan tulisan dari tinta buku yang berwarna gelap dan kertas buku yang berwarna cukup cerah.

Lembar demi lembar telah ia lewati dengan beberapa garis bawah yang ia tinggalkan di bagian bab nya. Sebenarnya ia telah menyelesaikan bacaannya beberapa pekan terakhir dan ia mulai membuka halaman-halaman yang di garis bawah. Beberapa kalimat yang di baca membuatnya berhenti dan berkali-kali mengembuskan nafas berat. Namun kemudian ia akhirnya tersenyum di akhir kata.

Meletakkan kembali buku bersampul hitam itu mengembalikannya di tempat semula. Ia beranjak mendekati salah satu jendela ruangan yang mengarah pada jalan raya. Terlihat semua bangunan bertingkat berada di depannya tertata rapi kiri dan kanan. Sebuah truk besar lewat di jalan beraspal hitam di antara kedua bangunan itu. Mobil-mobil bermerk pun tak kalah saing, mereka ikut meramaikan jalan dengan plat-plat nomor cantik. Jalanan itu kini telah melihat kesuksesan masyarakat pribumi yang mulai Hedon. Di balik itu semua tersimpan banyak cerita masa lalu yang keras. Perjuangan berkelas, tak takut perang-perang itu menghunus leher – leher yang berani menatap para manusia yang mengekplorasi segala jenis sumber daya negara.

Menusia kini semakin cerdas membuat berbagai kecerdasan – kecerdasan baru. Inovasi-inovasi baru dan hampir seluruh kehidupan akan beralih menjadi kehidupan digital. Itulah pemandangan sisi dunia maju, sekarang melihat sisi jendela yang lain. Terdapat beberapa pohon yang di tebangi, banjir banyak terjadi. Penyerapan air berkurang sedangkan curah hujan turun tanpa sedikitpun adanya perubahan. Menyebabkan daya tampung tanah tak bisa menyerap volume hujan yang berkali-kali menghujam. Tidak ada yang salah dengan hujan, zaman – zaman sebelumnya ia turun tak ada yang salah. Tidak ada musibah yang menimpa manusia tapi kini manusia yang berulah membuat alam tak seimbang. Mereka yang kehausan tak ingin minum segelas air, mereka ingin menimbun air seolah mereka tak akan pernah mati.

Sangat di sayangkan pemandangan hijau berganti coklat dan gersang. Satwa-satwa liar itu entah ada dimana dan bagaimana nasibnya. Alih-alih main hujan ketika hujan turun, orang-orang takut dan gelisah ketika hujan turun dengan derasnya. Seperti yang telah terjadi sebelum – sebelumnya mereka takut banjir lagi. Hujan bukanlah hal yang paling di tunggu lagi, anak-anak tidak lagi mandi air hujan dan basah-basahan bersama teman-temannya mereka hampir terlihat seperti phobia. Gemerlap lampu – lampu dan kecanggihan – kecanggihan penemuan baru itu membuat anak-anak itu diam di rumah. Tanpa bermain satu sama lain, tapi asyik menekan-nekan layar benda persegi panjang nan selalu tergenggam itu.

Payung-payung kini tak lagi menghindari manusia dari hujan. Tapi payung itu kini di buat untuk menaungi rumah. Setiap rumah memiliki payung khusus dengan desain agar aman dari hujan. Hujan akhirnya tertampung dalam satu wadah besar khusus yang dibuat sebagai ganti dari pohon yang kini kehadirannya telah cukup langka sekali. Mereka mulai memutar otak lagi dengan mengolah air yang jatuh untuk bisa di gunakan sebagai air ganti kolam renang, mandi juga perlu alat khusus untuk di minum. Orang-orang kembali memutar otak untuk mendapatkan penyerapan yang banyak setelah mereka menghabiskan penyerap alami yang di tebang habis tanpa ampun hanya demi membuat tempat tinggal yang tinggi-tinggi dan kehidupan yang serba Hedon.

***

“Sepatumu bagus sekali!” Seru seorang anak di antara gerombolan anak-anak yang memakai kaos kelas ekstrakurikuler dengan rapi, mereka tertawa bersamaan ketika melihat ke arah anak yang baru saja datang dari arah halaman depan kelas. Anak itu berjalan menahan malu dan kesal, kini ia tertunduk menatap sepatunya yang penuh lumpur. Warna sepatu itu sudah hampir tak putih lagi. Ia hanya bisa pergi ke samping sekolah dan membersihkan sepatunya di sana sebelum masuk kelas.

Dia anak baru di sekolah ternama ini beberapa bulan lalu. Itulah yang membuatnya diam tak mau membalas apa yang mereka lakukan sejak awal Nial masuk di sekolah ini. Tak ada yang bisa ia lakukan selain diam dan membersihkan sepatu itu. Setelah selesai dibersihkan ia akhirnya masuk kelas dan duduk di bangkunya. Anak bertubuh gemuk itu menghampirinya dan mulai mengolok-oloknya lagi.

“Kau seharusnya tidak pantas berada di sini. Bukankah seharusnya kini kau berada di sawah ya... Menanam pagi untuk kau jual pada kami. Agar aku bisa membeli sepatu baru dan juga bertahan hidup ..” Tawa itu kembali menghiasi kelas. Hanya geng mereka yang tertawa, murid yang lainnya malas ikut campur. Mereka memilih diam agar aman.

Mereka adalah geng anak-anak yang terlahir dari keluarga berada. Pakaian yang serba mewah dan segala kebutuhan yang tak pernah kurang. Keluarga mereka adalah orang ternama dan terpandang. Tak hanya karena uang tapi orang tua mereka juga terpandang karena jabatan. Mereka adalah kumpulan anak-anak yang tak pernah merasakan sedihnya berangkat sekolah kehujanan apalagi harus melewati jalan terjal tak beraspal.

Di hari-hari biasanya mobil-mobil mewah selalu tiba di sekolah setelah pukul tujuh pagi. Meskipun mereka tau jam masuk sekolah harusnya tepat pukul tujuh. Tapi mau bagaimana lagi orang yang kurang beruntung biasanya mau mengubah sedikit peraturan demi beberapa lembar uang. Dan mau mengubah banyak peraturan demi kepentingan pribadi dan merugikan yang lainnya. Hal itulah yang terkadang terjadi diam-diam di antara kami. Dan selaku siswa biasa yang biaya sekolah kami saja mengandalkan nilai dari hasil belajar kami belum mampu bersuara untuk menyerukan keadilan.

Hari ini adalah hari Jum’at yang mana hari ini pelajaran di mulai pukul delapan. Kegiatan hari Jum’at berbeda dengan hari Senin hingga Kamis, karena hari ini kegiatan kami hanya pengembangan bakat dan minat dan ini hanya berlangsung selama seratus lima puluh menit ke depan. Bel masuk akhirnya berbunyi geng anak-anak pembully itu pergi dan masuk kelas minat mereka. Setelah kepergian mereka barulah ada satu dua suara dari anak-anak lain yang terdengar.Seorang anak laki-laki mendekat ke arahnya.

“Selamat pagi. Aku Zein, aku anak baru di sini. Salam kenal ya” Anak laki – laki berkulit putih itu tersenyum lebar membuat matanya sedikit sipit. Ia sangat ceria dan sepertinya sangat mudah bergaul dengan orang baru.

“Salam kenal juga. Aku Nial kelasku berada di ujung koridor. Bagaimana denganmu? Aku tidak pernah melihatmu di kelasku.” Nial mengingat – ingat wajah teman sekelasnya.

“Kelasku berada di sebelah kelasmu persis di bagian kanan. Aku sudah tau dirimu meskipun tidak sekelas.” Ia tersenyum lebih lebar lagi. Membuat Nial ikut tersenyum.

“Oh ya. Tapi mengapa aku baru melihatmu di kelas minat ini? Bukankah sudah sebulan lalu kelas minat ini di kelompokkan” Nial sedikit kebingungan.

“Benar. Dan aku pindah kelas minat, awalnya aku sekelas dengan mereka.” Ujar Zein menatap pintu kelas sebagai isyarat yang ia maksud adalah geng para pembully itu.

“Sangat tidak menyenangkan sekelas dengan mereka.” Tambah Zein yang mendapatkan anggukan dari Nial.

Keduanya memilih duduk bersama karena Nial memang suka duduk di depan dan tidak ada yang mau berteman dengannya kecuali Zul dan Kia tapi keduanya tidak bisa masuk hari ini. Karena ada acara keluarga dadakan yang membuat keduanya tidak masuk. Kebetulan juga keduanya adalah saudara sepupu. Zein mengikuti kelas minat dengan baik ia bisa mengimbangi anak-anak yang sudah lebih lama bergabung dengannya. Ia anak yang cerdas aku melihatnya dari bagaimana ia belajar dan menjawab soal-soal.

También te puede interesar

Monster di Batavia

Berakhir dalam 11 - 12 Chapter terakhir. Kisah ini, adalah kisah dari sebuah harapan. Kisah ini juga kisah dari sebuah perjuangan. Kisah dari sebuah cita, kisah dari sebuah asa. Kisah dari seorang gadis bernama Anna, yang kehilangan ingatannya di tengah para penjajah VOC yang bisa merubah wujud mereka. Terbagi dalam tiga babak besar, dimana pada awal tiap babaknya akan di gambarkan keseluruhan alurnya dalam satu puisi singkat. Kisah ini mengangkat catatan sejarah bangsa dalam genre cerita fantasi yang mendebarkan. Mengambil setting di tiga masa berbeda, kisah ini akan membawa pembaca untuk bertualang dan menyaksikan koneksi dari perjuangan para pahlawan Nusantara. Cuplikan : "Di mana ini!?" kata pikirannya mengacau. ... Blap! Blap! ... tiba-tiba dua lampu pijar bersinar. "... Het feest!! ... kita sambut bersama ... ANNA!!" Kemudian ... desahan makhluk yang belum pernah ia dengar ... Slurrpp!! "... AAAAA!!!" "Jangan takut gadis manis, tulangmu tak akan kami sisakan sedikit pun"  "Tidak!" " ... mari kita lihat seperti apa rasa yang dimiliki daging lembutmu ... " "HHYYAAAAAAAA ... TIDAK TIDAK! ...  JANGAN ... JANGAN MENDEKAT! SANA PERGI ...  TIDDAAAAAKKKKKK!!!" Batavia 1628, sebagai salah satu wilayah jajahan VOC kota bergaya eropa ini berubah menjadi tempat yang sangat mencekam. Kemudian tepat di suatu bangunan megah yang berada di tengah kota, digelarlah suatu pesta dansa tepat saat pertengahan malam. Bulan bersinar bulat, tarian dan musik klasik pun mulai diputar, dan seketika lampu ruangan itu dimatikan. Saat itulah panggung mencekam Batavia dibuka....

Tom_Ardy · Historia
4.9
95 Chs

PRAHARA DI KAHURIPAN

Pada saat Prabu Dharmawangsa Teguh Anantawikrama dari Kerajaan Medang Kemulan merayakan pesta pernikahan kedua puterinya yaitu Dewi Sri Anantawikrama dan Dewi Laksmi dengan Pangeran Airlangga dari kerajaan Bedahulu di Bali, tiba-tiba menyerbu prajurit raja Wura-wari dari kerajaan Lwaram Dalam penyerbuan itu Prabhu Dharmawangsa Teguh dan permaisuri serta seluruh menteri dan bangsawan kerajaan tewas. Istana Watu Galuh dihancurkan. Airlangga dan kedua isterinya didampingi pelayan setianya, Mpu Narottama dan beberapa pengawal berhasil meloloskan diri dan berlindung di Gunung Prawito. Tiga tahun hidup di hutan Prawito sebagai pertapa, tahun 931 Saka Airlangga kedatangan serombongan orang dipimpin oleh beberapa pendeta untuk menyampaikan keinginan rahayat Medang agar Airlangga kembali membangun kerajaan baru meneruskan dinasti Ishyana. Dengan bantuan para pendeta, reshi dan brahmana, Airlangga menyusun kekuatan membangun kerajaan Medang. Diantara para reshi terdapat Mpu Bharada penasehat spiritual mendiang prabu Dharmawangsa Teguh, dibantu oleh Ki Ageng Loh Gawe, pertapa di Gunung Anjasmara Pada tahun 931 Saka istana Wotan Mas selesai dibangun dan Airlangga diangkat sebagai raja dengan gelar Abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa. Kerajaan yang baru bernama Kahuripan. Atas jasanya membantu pembangunan kerajaan Kahuripan, Prabu Airlangga menghadiahkan tanah perdikan di desa Giri Lawangan kepada Ki Ageng Loh Gawe. Dalam kunjungannya ke Wotan Mas, Ki Ageng Loh Gawe mengajak muridnya bernama Ki Puger berusia 20 tahun. Mengetahui Ki Puger murid Ki Ageng Loh Gawe yang ikut membantu membangun Wotan Mas, Prabhu Airlangga meminta agar Ki Puger bersedia dinikahkan dengan sepupu raja yang bernama Dewi Centini Luh Satiwardhani atau Ni Luh Sati. Setahun setelah perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Aryosetho Jayawardhana. Tahun 954 Saka atau 1032 M Giri Lawangan diserbu gerombolan pimpinan Gagak Lodra. Sehari sebelum itu Ki Puger dan keluarganya pergi meninggalkan Giri Lawangan menuju ke pertapaan Kaliwedhi untuk menghindarkan Aryosetho Jayawardhana dari penyerbuan Gagak Lodra karena ia dipilih oleh para dewa sebagai cikal bakal yang kelak akan menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa. Di Kaliwedhi Aryosetho digembleng dengan keras oleh Reshi Sethowangi. Berkat ketekunannya ia memperoleh ilmu mahadahsyat ciptaan Sang Hyang Wishnu yang bernama Bhayu Selaksha dan menerima pedang sakti Sosronenggolo Setahun kemudian Aryosetho bersama Ki Puger turun gunung membantu Prabu Airlangga merebut kembali tahta kerajaannya yang direbut oleh Ratu Arang Ghupito. Berkat perjuangannya Aryosetho berhasil membantu Prabu Airlangga merebut kembali tahta kerajaannya. Dalam perjalanan dari kraton Dhaha kembali ke Kahuripan, ia dan prajuritnya berhasil menumpas gerombolan Gagak Lodra. Selesai menjalankan tugasnya Aryosetho mengajak sahabat masa kecilnya ke Kaliwedhi menjemput calon istrinya yang bernama Dyah Ayu Rogopadmi Aninditho Prameshwari alias Dewi Condrowulan. Beberapa waktu lamanya di Kaliwedhi, Aryosetho kembali ke Giri Lawangan memboyong Dewi Condrowulan yang telah menjadi istrinya dan hidup sebagai pertapa. Setelah 93 tahun pernikahannya Dewi Condrowulan di karuniai seorang putri. Namun kebahagiaan bersama sang putri yang dinantikan selama puluhan tahun hanya berlangsung selama 40 hari, setelah hari itu Dewi Condrowulan harus menyerahkan putrinya untuk diasuh oleh orang lain seperti dirinya dulu ditemukan Reshi Sethowangi di tengah hutan. Bayi tanpa nama itu diserahkan kepada Mpu Purwo, seorang pertapa sakti yang kemudian memberinya nama Ken Dedes. Ken Dedes kelak akan melahirkan keturunannya menjadi raja besar di kerajaan Singhasari dan Majapahit. Aryosetho dan Dewi Condrowulan telah berhasil menjalankan tugas yang diberikan oleh Dewata Agung sebagai pepunden cikal bakal raja-raja besar di tanah Jawa.

Uud_Bharata · Historia
5.0
3 Chs