“Aku memercayaimu anak kecil, kau selalu membawa rantang makan siang untuk ibumu, bukan? Aku pernah melihatmu di ujung jalan. Dan aku mengerti mengapa kau muncul di belakang di pembuangan kotoran sapi itu.” Ujar pak bos yang kini menekuk kedua lututnya membuat salah satu kakinya di depan dan yang lain di belakang. Hal tersebut ia lakukan untuk menyejajari tubuh Nial yang kecil. Keduanya diam tanpa kata beberapa saat, mereka saling berkomunikasi tapi bukan telepati. Apa yang pak bos itu katakan memang benar adanya dan pak bos sendiri tak bisa melanjutkan percakapan lebih panjang.
Nial hanya mampu terdiam dan segera berpamitan untuk kembali lagi ke danau. Beberapa saat setelah ia lama termenung ia akhirnya menjelaskan perihal aktivitas memancingnya yang sempat ia tinggalkan untuk mengantar makan siang. Ia juga menjelaskan bahwa ia bersama seorang kakek yang menunggunya di pinggir danau saat ini. Pak bos pun mengizinkan Nial untuk kembali ke danau melanjutkan aktivitasnya.
“Terima kasih pak. Nial pulang dulu.” Ujar Nial. Yang mendapatkan sahutan hangat dari pak bos itu.
“Tentu anak kecil, sebelumnya boleh kutahu siapa namamu?” Tanya pak bos lagi. Ia baru ingat untuk menanyakan nama Nial sebelum ia pergi.
“Nial. Nama saya Nial” Jawab Nial spontan. Pak bos tersenyum tipis mendengar nama itu.
“Nama yang bagus. Itu cocok denganmu.” Ungkapnya.
“Ah iya, sampai jumpa lagi Ni,” Tambah pak bos itu sambil melambaikan tangan. Nial pun segera keluar berlari lagi menuju danau.
Terik matahari lagi-lagi membakar kulit sawo matang itu. Tapi pohon-pohon hijau di sisi kiri kanan jalan menuju danau memberikan keteduhan dan rasa sejuk. Nial berlari mempercepat langkah hingga akhirnya danau pun terlihat dari arahnya kini.
Ia tiba di pinggir danau dan tidak menemukan kakek Zul di tempat semula. Ia sangat bingung dan merasa bersalah, ia memikirkan berbagai hal buruk. Lagi pula, tadi ia hanya berkata membawa rantang pada tempat ibunya bekerja. Itu artinya seharusnya ia kembali sekitar lima belas menit dari waktu ia pergi dari danau. Tapi, saat ini mentari sudah semakin terik dan menandakan bahwa ia telah pergi lebih dari satu jam. Bahkan hampir dua jam, tapi Nial benar-benar takut terjadi sesuatu pada kakek Zul.
Ia melihat orang-orang dewasa yang tadi pagi memanggang ikan-ikan itu kini telah berkemas. Tidak ada orang lagi di sana, hanya menyisakan bekas rumput yang terbakar api, juga sisa-sisa kayu yang sudah menjadi arang. Nial semakin cemas dan merasa bersalah kepada kakek Zul, ia tidak bisa menepati janji. Ia tidak berhenti begitu saja, ia mencari keberadaan kakek Zul di sekitar danau.
Di balik pohon yang tidak begitu tinggi kakek Zul telah merapikan kursi dan ikan-ikan itu, kini ia duduk menyilangkan kaki di balik pohon sambil bersandar pada pohon besar itu. Ia memeriksa sekitar, ia berharap Nial sudah datang sebelum akhirnya ia memutuskan pulang. Dan benar saja, sebelum kakek Zul beranjak dari duduknya ia melihat Nial yang berjalan terlihat mencari sesuatu. Tanpa aba-aba lagi kakek Zul langsung melambaikan tangan sambil memanggil nama Nial. Nial melihat ke arah kakek Zul dan segera menghampirinya.
“Maaf kek, sudah lama menunggu?” Tanya Nial. Kakek Zul menggeleng dan menyuruh Nial duduk dulu di sampingnya. Nial melihat ikan-ikan milik kakek Zul yang memenuhi ember. Ada dua ember hasil tangkapan kakek Zul, ikan itu besar-besar sekali. Nial sampai kagum di buatnya, kemudian ia beralih pada ember hasil tangkapan miliknya. Ia melihat ember miliknya yang tidak bertambah sama sekali, tapi ia justru tersenyum dan merasa lebih bersyukur. Itu artinya itu hasil kerja kerasnya hari ini, dan ia lebih bangga tanpa tambahan ikan dari kakek Zul. Meskipun ia tahu kakek Zul belum pernah menambahkan ikan pada ember pancingannya.
“Maaf kek, Nial pergi cukup lama. Oh iya, ikan-ikan ini harus kita bawa ke pasar untuk di jual kek. Sayang sekali jika terlalu lama berada di sini, nanti tidak segar lagi.” Ujarnya. Kakek Zul menatap ikan itu dan menatap terik matahari yang menyengat.
“Tapi bagaimana dengan terik matahari itu Ni?” Ujar Kakek Zul.
“Tidak masalah kek. Nial sudah terbiasa” Jawab Nial cepat. Kakek Zul tertawa ringan mendengar ucapan Nial. Ia menepuk-nepuk pundak Nial dan berdiri di ikuti oleh Nial. Mereka kemudian membawa barang-barang itu menuju pasar.
“Semangatmu itu jangan sampai kendur, Ni” Ungkap kakek Zul ketika telah meninggalkan danau beberapa langkah.
“Akan Nial tarik lagi nanti kek” Jawab Nial tertawa. Kakek Zul pun ikut tertawa di samping Nial.
Mereka tiba di pasar dan membawa ikan itu pada salah seorang penjual ikan. Mereka memilih untuk menjual ikan pada penjual ikan lain agar bisa mendapatkan uang utuh. Beda lagi jika mereka menjual sendiri untungnya mungkin bisa lebih banyak tapi memakan waktu yang cukup banyak pula. Mereka berdua tidak keberatan dengan harga lebih murah saat menjual ikan daripada di jual sendiri, kakek Zul bilang biar sama-sama dapat untung.
Akhirnya mereka berhenti di salah satu toko penjual ikan yang berbeda dari kemarin. Kakek Zul bilang ini toko penjual ikan langganannya, ia biasa menjual ikan-ikan hasil tangkapannya di sini. Pantas saja keduanya terlihat akrab seolah teman lama dari percakapan mereka.
“Selamat siang, Tan! Aku membawa ikan pancinganku!” Seru kakek Zul.
“Seperti biasa ya. Kau membawa cucumu” Jawab kakek yang berkacamata tebal itu sembari membenarkan posisi kacamatanya.
“Hari ini aku bersama teman cucuku.” Balas kakek Zul.
“Oh iya? Kukira cucumu. Lalu, di cucumu? Bukankah ia yang biasanya ikut?” Tanya teman kakek itu. Wajah tuanya terlihat begitu jelas, dengan baju pendek putih serta sarung yang ia kenakan.
“Dia ada di kota, ada acara keluarga. Lagi pula, rumah anak ini tidak jauh dari rumahku. Jadi kuajaklah ia sekalian untuk memancing” Jawab kakek Zul.
“Oh.. begitu. Siapa namamu anak kecil?” Tanya kakek itu mendekat ke arah Nial. Sambil membawa ikan-ikan itu mendekat pada timbangan.
“Nial kek” Jawab Nial sambil memperhatikan ikan-ikan itu di timbang.
“Ikan hasil tangkapanmu memang banyak. Tapi, ikan laut lebih banyak di cari orang.” Ujar teman kakek Zul.
“Bagaimana dengan mujair?” Tanya kakek Zul lagi.
“Itu ikan mahal. Tapi sulit menemukan ikan itu di sungai kampung kita” Ujar teman kakek Zul.
“Jika ada, apa kau mau membelinya?” Tanya kakek Zul lagi. Temannya terdiam sejenak dan berpikir.
“Nanti kulihat dulu ikannya bagaimana.” Sahutnya sambil memberikan uang bayaran ikan itu pada kakek Zul.
“Baiklah. Kita lanjutkan nanti” Balas kakek Zul kemudian keduanya berpamitan untuk pulang. Seperti kemarin uang hasil tangkapan itu kakek Zul bagi dua. Kali ini Nial menolak, ia hanya mau menerima upah dengan jualan ikan yang ia peroleh. Niatnya, ia tak mau merepotkan kakek Zul yang teramat baik padanya. Kakek Zul sempat memaksa tapi Nial tetap menolaknya dengan halus, akhirnya kakek Zul menyerah.
Sebelum pulang ke rumah, Nial mengajak kakek Zul untuk membeli pancingan untuknya. Yang langsung mendapat persetujuan dari kakek Zul. Keduanya melangkahkan kaki menuju toko yang menjual pancing. Sebelum tiba di sana Nial melihat seorang anak lelaki yang lebih besar darinya kira-kira sudah seusia masa remaja SMP. Ia mengenakan baju yang sama lusuhnya dengan baju Nial di tambah dengan celana pendek yang terlihat beberapa jahitan bekas tambalan bagian yang robek.
Anak laki-laki itu terlihat bergembira sambil membawa pancing yang tidak begitu panjang di tangannya. Ukurannya tidak sebesar pancingan kakek Zul, pancing itu cocok sekali untuk anak laki-laki itu. Zul juga membutuhkan itu, ia semakin tidak sabar untuk segera tiba di toko itu.