webnovel

10

Ibu melihat ayah dari arah jendela, ibu masih belum siap untuk menemui ayah dalam kondisi pingsannya. Nial tidak bisa berbuat apa-apa lagi, melihat ibunya terdiam di sisi jendela dengan tatapan sedih yang tak dapat di sembunyikan membuat Nial berpikir tentang bagaimana caranya mendapatkan uang yang banyak agar ayahnya bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik dari ini. Ia adalah anak laki-laki, baginya segala hal baik harus berawal dari rasa tanggung jawab.

Ketua RT beranjak dari kursi paling ujung menghampiri Nial di ujung yang lain. Ketua RT mengusap punggung Nial, membuat Nial berpaling menatap balik ketua RT.

“Pundakmu jauh lebih kuat dari saya anak kecil” Ungkap ketua RT. Nial kecil tidak menanggapi apa pun, tatapannya bingung dan penuh tanda tanya. Ketua RT tersenyum tipis, ia menatap ke depan menatap dinding putih rumah sakit.

“Seusiamu dulu, saya adalah anak yang sangat malas. Berangkat dari rumah berseragam sekolah, tapi tidak duduk di kelas untuk mengikuti pelajaran. Saya dulu adalah seorang murid dengan rating Alfa terbanyak karena suka bolos. Karakter saya sangat berbeda denganmu Ni” Ujar ketua RT yang kini menghembuskan nafas berniat hendak melanjutkan kalimatnya.

“Selalu begitu hingga saya duduk di kelas sembilan. Saya akan membawa buku sembarangan sebagai modal agar terlihat serius belajar, bahkan buku satu bisa mencakup seluruh mata pelajaran selama seminggu. Bukan hanya itu, kadang pula ketika saya rindu untuk duduk di kelas saya biasanya hanya mengisi bangku saya yang sudah penuh debu karena saking jarangnya berada di kelas. Tidak mendengarkan penjelasan guru, dan jarang menulis.” Lanjut Ketua RT. Nial pun sejenak terbius dalam cerita ketua RT, ia tertarik untuk bertanya beberapa kata.

“Pak ketua RT tidak takut akan di hukum guru?” Tanya Nial. Pak ketua RT melepaskan tangannya di punggung Nial. Percakapan terus berlangsung.

“Guru-guru saya sampai bingung harus menghukum saya dengan cara apa. Pasalnya, saya selalu melaksanakan hukuman guru dengan baik dan sesuai dengan yang di harapkan. Bisa di bilang saya anak pemalas namun rajin, pemalas dalam hal belajar. Namun juga rajin dalam melaksanakan hukuman, bisa di bilang juga saya ke sekolah untuk bersih-bersih.” Jelas ketua RT. Terdengar konyol namun justru Nial semakin tertarik untuk bertanya hal lain.

“Bukankah lebih lelah bersih-bersih daripada belajar di kelas sambil mendengarkan pelajaran?” Tanya Nial lagi.

“Harusnya begitu, tapi aku berbeda. Ketika semua anak sibuk mencatat penjelasan guru, maka menurut saya lebih asyik untuk berjemur di bawah terik matahari pada jam tertentu. Bagi saya, itu sebuah tantangan sehingga saya tidak merasa itu adalah sebuah hukuman melainkan saya memiliki pikiran untuk mampu melewati itu dengan senyuman.” Jawab ketua RT. Nial dibuat semakin tidak mengerti dengan laki-laki berusia setengah abad itu. Tapi, mendengarkan ceritanya barusan membuatnya semakin penasaran bagaimana mungkin ia bisa menjabat sebagai seorang pemimpin di dusunnya.

“Lalu, bagaimana mungkin pak ketua RT bisa menjabat menjadi seorang ketua dengan sekian cerita yang menurut Nial cukup kontras?”

“Pertanyaan yang saya tunggu-tunggu. Selain penurut kamu juga cermat rupanya, Nak.” Ungkap ketua RT.

“Ini berawal dari kejujuran Ni. Saya memang pemalas, dan sering bolos dalam hal belajar. Tapi saya selalu rajin dan hampir tidak pernah mengeluh dengan semua hukuman yang saya terima dari guru-guru saya. Hingga suatu hari, saya di tuduh mencuri dan saya terbukti tidak bersalah. Tuduhan itu pun berbalik pada si penuduh dan di sanalah kepercayaan orang-orang terbangun pada saya.” Jelas pak ketua RT. Nial mendengarkan dengan saksama ia sangat terkesan dengan kalimat penjelasan terakhir ketua RT.

“Benarkah? Siapa yang menuduh Pak ketua RT mencuri?” Nial bertanya dengan tatapan antusiasnya.

“Di kehidupan dewasa semua hal bisa berubah semu. Tidak ada yang bisa di percaya kecuali dirimu, setiap orang bisa saja berubah kapan pun mereka mau. Teman yang kau percaya, tetangga yang selalu kau ajak bercanda dan semua orang di sekitarmu bisa saja berubah kapan pun. Terlebih ketika kau mendapatkan hal lebih dari mereka.” Jawab pak ketua RT. Nial terdiam mendengarkan apa yang ketua RT katakan, ia tidak mengerti. Ia tidak banyak bertanya, hingga kemudian ketua RT melanjutkan kalimatnya.

“Kau dengarkan saja ucapan saya. Suatu hari nanti, ketika kamu berada di posisi itu kau akan mengerti lebih banyak dari yang saya jelaskan.” Tambah ketua RT sambil tersenyum menatap Nial. Nial hanya mampu mengangguk sebagai jawaban. Sejujurnya, memang ia tidak mengerti dengan apa yang ketua RT katakan. Benar-benar tidak mengerti! Tapi intinya, hati-hati adalah inti dari apa yang ketua RT jelaskan sedari tadi. Yah, hanya itulah kata yang mampu ia pahami secara sederhana.

Perhatian Nial teralihkan pada ibunya yang kini mendekat ke arahnya. Ketua RT bangkit dari duduknya meninggalkan Nial, ketua RT itu pun mendekat ke arah jendela melihat sejenak pada ayah Nial yang terbaring.

“Ibu, ini uang Nial” Ujar Nial sambil mengeluarkan beberapa lembar uang di balik saku celananya. Ibu terharu kemudian meneteskan air mata, ibu sudah tak sanggup menatap Nial kecilnya ia memeluk Nial sekencangnya.

“Kau tak seharusnya melakukan ini, Ni” Balas ibunya. Nial meraih tangan ibu di punggungnya dan mengepalkan uang itu di tangan kanan ibu.

“Ayah dan ibu lebih berharga dari apa pun yang Nial punya hari ini, Bu. Menatap kalian berdua sehat adalah kebahagiaan yang tak dapat di utarakan. Dan merasakan kita bersama-sama adalah hal yang selalu Nial do’akan.” Kalimat Nial tidak banyak menjanjikan hal-hal hebat. Justru mengutarakan sesuatu yang berada dalam hatinya, menjelaskan apa yang hatinya rasakan adalah hal hebat yang di lakukan oleh seorang anak laki-laki kecil. Ibu menangis tanpa suara, air matanya membasahi kedua pipinya. Nial mengusap pipi ibu lembut ia memeluk ibunya dengan erat. Ibu mengusap pucuk kepala Nial, putra kecilnya telah tumbuh dengan pribadi yang penyayang.

Perawat menghampiri ketua RT bertanya satu dua hal mengenai ayah Nial dengan membawa beberapa lembar kertas yang ia berikan coretan di atasnya. Nial dan ibu melepas pelukan, mengamati percakapan mereka yang terdengar samar.

“Baik pak, terima kasih” Suara perawat itu baru terdengar jelas di telinga Nial. Hanya itu yang ia dengar, setelah kalimat itu pun perawat berseragam putih itu kembali dengan senyuman.

“Pencatatan identitas bapak Nial sudah selesai, Bu. Untuk itu saya ingin pulang terlebih dahulu, ada beberapa keperluan yang harus saya selesaikan. Tapi tidak perlu khawatir, nanti malam akan saya usahakan saya dan istri datang lagi ke sini untuk menemani kalian.” Ungkap ketua RT dengan ramah. Setelah urusan berpamitan itu selesai ketua RT pulang dengan ambulance milik dusun yang sering di pakai sebagai kendaraan darurat.

Masih dengan aroma yang sama. Bau suntik dan beberapa obat-obatan lain tercampur memenuhi udara koridor rumah sakit. Semua wajah orang-orang itu terlihat cemas dan khawatir duduk menyandarkan punggung di kursi ruang tunggu yang terbuat dari stainless steel. Brankar dorong beberapa kali melewati Nial dan ibunya, mulai dari suara-suara khawatir yang terdengar hingga suara tangisan terisak yang mulai terdengar keras seolah hampir memenuhi koridor.

Derap langkah terburu-buru, suara sepatu fantofel milik perawat yang bergesekan dengan lantai yang bercampur dengan suara roda brankar rumah sakit memekakkan telinga setiap kali pasien baru itu datang. Ini belum satu hari namun rasanya Nial ingin segera keluar dari tempat ini. Tidak ada suka cita yang tergambar, semua tentang kesedihan dan kecemasan. Semuanya membuat Nial tidak nyaman untuk menempati tempat ini beberapa hari ke depan. Nial belum paham, itulah gambaran kehidupan dari sisi lain di kehidupan dewasa.

Siguiente capítulo