Jean memandang salju yang turun dengan pandangan sendu. Ia tidak bicara apa-apa selama beberapa menit, hingga glow wine di gelasnya habis.
"Aku punya hadiah ulang tahun untukmu..." Ia meletakkan gelasnya dan mengeluarkan sebuah kotak dari balik jaketnya. "Aku tahu, pasti Caspar sudah memberikan hadiah-hadiah yang sangat mahal, karenanya aku tidak akan mencoba memberikan hadiah berupa barang yang mahal. Pasti nggak akan bisa dibandingkan..."
Finland tertegun melihat kotak di atas meja. Mereka tidak pernah bersama ketika Finland ulang tahun karena Jean sibuk dengan pekerjaannya, tetapi ia akan selalu mengirim bunga. Ini adalah kali pertama Jean memberikan sendiri hadiah ulang tahun untuknya. Sebenarnya kehadirannya di sini saja sudah cukup bagi Finland.
"Kau tidak perlu memberi hadiah macam-macam..." kata Finland sambil tersenyum. "Bunga seperti biasa, sudah cukup."
"Ini adalah hadiah ulang tahun yang kubelikan untukmu saat aku pertama kali pindah ke Paris, tapi aku tidak sempat memberikannya karena kita tidak pernah bertemu saat kau berulang tahun, dan entah kenapa aku jadi senang memilikinya di apartemenku. Waktu itu aku berjanji pada diriku sendiri akan memberikannya kepadamu kalau kau tiba di Paris. Karena sekarang kau sudah berhasil datang ke sini, aku mau menyerahkannya kepadamu sebagai tanda selamat datang. Welcome to Paris... Bukalah."
Finland membuka kotak itu pelan-pelan. Ia terharu karena Jean sudah menyimpan hadiah untuknya selama 4 tahun.
Perlahan denting suara musik terdengar mengalunkan La Vien Rose dari kotak kecil cantik itu.
Ahhh, ternyata Jean memberikan Finland sebuah kotak musik.
"Te... terima kasih... Ini cantik sekali." kata Finland.
"Billie Yves bilang, lagunya yang sangat kamu sukai itu, 'You Are Enough' terinspirasi dari La Vien Rose. Memang kedengarannya tidak mirip sama sekali, tapi lagunya itu memang berhubungan. Aku pikir kamu juga pasti akan suka..." kata Jean sambil tersenyum.
"Kau benar. Aku suka sekali." Finland mengelus-elus kotak musiknya dengan perasaan sayang. "Terima kasih, ya..."
"Aku belum selesai..." kata Jean kemudian. "Kamu ingat nggak berapa hadiah yang biasanya aku kasih untuk ulang tahunmu?"
"Uhmm... kamu biasanya kan kirim bunga," Finland mencoba mengingat-ingat, "Maksudmu berapa tangkai bunga?"
Jean mengangguk.
"Hmm... kamu selalu menyelipkan satu mawar putih dan sisanya bunga mawar merah." Finland merogoh ponselnya, "Aku masih ada fotonya kok. Aku bisa hitung..."
Jean tertawa mendengarnya. "Tidak usah. Berarti kamu nggak memperhatikan kalau bunga yang aku kirim setiap tahunnya bertambah satu, sesuai dengan umurmu."
Finland menekap mulutnya karena terkejut. Selama ini ia hanya menerima bunga hadiah ulang tahun dari Jean tanpa memikirkan apa-apa. Berarti tahun lalu Jean mengirimnya 23 tangkai bunga, dan tahun sebelumnya 22 tangkai... Ia tak memperhatikan sama sekali. Dikirimi bunga saja, ia sudah sangat berterima kasih.
"Tahun ini aku punya 24 hadiah untukmu," kata Jean kemudian. "Semuanya hadiah yang kusiapkan untukmu selama dua minggu ke depan. Glow wine ini adalah hadiah pertama. Kotak musik hadiah kedua. Mulai besok aku akan memberikan hadiah-hadiah berikutnya di sepanjang perjalanan kita. Jadi selama dua minggu ini kita akan seperti berburu harta karun... Setiap harinya akan ada kejutan untukmu... haha..."
Mata Finland membelalak sangat besar ketika mendengar penjelasan Jean. How exciting! Betapa serunya ulang tahunnya sekarang dan perjalanan dua minggu mereka! Walaupun ia mendapatkan hadiah-hadiah sangat mahal dari Caspar, rasanya hadiah yang diberikan Jean lebih personal dan dipikirkan dengan baik. Finland tak sabar menerima hadiah-hadiah berikutnya...
"Ya ampuuunn... seru sekali, Jean. Terima kasih... Terima kasihhh...!!" Finland tak dapat menahan kegembiraannya dan memeluk Jean dengan antusias. Ia tak pernah merasakan begitu bahagia di hari ulang tahunnya. Sebagai anak dari keluarga miskin ia tak pernah merayakan ulang tahunnya, apalagi mendapat hadiah. Jean benar-benar membuatnya merasa terharu...
Jean tertawa kecil, ia sangat senang karena hadiahnya berhasil membuat Finland bahagia. Ia pun tidak sabar memberikan hadiah-hadiah selanjutnya di sepanjang perjalanan mereka.
"Mau masuk ke Sacre Coeur?" tanyanya kemudian. Finland mengangguk dan menghabiskan glow wine-nya.
Mereka lalu berjalan bergandengan ke atas dan melihat-lihat keindahan basilika megah itu. Salju turun semakin deras dan setengah jam kemudian keduanya pun sudah berjalan pulang. Finland tak tega berlama-lama di luar karena Jean tidak mengenakan sarung tangan dan topi.
Finland memasak pasta untuk makan malam bagi mereka dan keduanya makan sambil mengobrol tentang tempat-tempat yang akan mereka kunjungi berikutnya.
"Besok kita mengunjungi Louvre seharian. Itu menjadi hadiah ulang tahun ketiga dariku. Lalu kita ke Istana Versailles, itu juga perlu seharian karena cukup jauh kalau naik kereta. Masuk ke Versailles menjadi hadiah keempat. Kemudian kita ke Disneyland Paris, hadiah kelima dariku, itu juga perlu seharian. Lalu hari Minggu kita bisa lihat Notredame, Menara Eiffel dan menyusuri kanal dengan kapal, setelah itu kita bisa ke rumah ibuku untuk makan malam bersama. Kebetulan Maman* sedang di Paris. Aku mau sekalian mengambil mobil biar kita bisa ke Colmar naik mobil keesokan harinya."
"Wahhh... semuanya sangat menyenangkan! Terima kasiihhh!" Finland sangat senang mendengar rencana perjalanan mereka dan hadiah-hadiah dari Jean untuknya. Ia juga senang dapat bertemu dengan ibu Jean dalam kunjungannya ke Paris kali ini.
Ia hanya satu kali bertemu Rosalind Marchal, ibu Jean, di Singapura dan sangat kagum dengan kecantikannya. Walaupun wajahnya terlihat dingin, Rosalind Marchal waktu itu memperlakukan Finland dengan baik. Di usianya yang menginjak hampir 50 tahun, ia masih terlihat sangat cantik dan sibuk dengan berbagai kegiatan amal para sosialita. Jean sendiri mengaku ia sangat jarang bisa bertemu ibunya.
"Mau menonton film sebelum kita tidur?" tanya Jean saat membereskan piring bekas makan malam mereka. "Ada film horor baru yang seru di Netflix."
"Boleh," kata Finland. Ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat sedih sepanjang hari ini. Ia akan merindukan hal-hal yang mereka senang lakukan bersama seperti nonton sambil ngemil wortel favorit Jean, dan tentunya ia akan merindukan berbagi cerita dengan Jean setiap hari tentang apa yang ia alami.
Jean menyiapkan semangkuk irisan wortel untuk mereka dan sebotol port yang dibawakan Finland untuknya dari Lisbon, dengan dua buah gelas. Ia memutar sebuah film dan bersama Finland menikmati nonton TV sambil ngemil irisan wortel dan minum port.
"Ceritanya menakutkan sekali...." komentar Finland setelah film usai. Ia menghela napas lega, karena akhirnya ketegangan selama 90 menit berakhir juga. "Padahal aku pikir film horor jenis begini tidak akan membuatku takut."
"Sutradaranya memang genius," kata Jean setuju. "Aku juga tidak bisa menebak endingnya tadi. Bagus banget. Kalau sampai aku terjun ke dunia akting, aku mau belajar dari sutradara seperti ini."
"Kau dapat tawaran akting lagi?" tanya Finland.
"Semakin lama semakin banyak. Waktu ke Seattle beberapa bulan lalu, aku mampir ke Los Angeles dan bertemu beberapa sutradara juga. Banyak cerita menarik yang sedang dikembangkan. Aku mungkin akan memikirkan pindah ke Amerika untuk menapaki karier di industri film." Jean mengangkat bahu, "Aku masih belum tahu. Hidupku di Paris sudah cukup nyaman. Tapi aku tidak mau terlena dengan zona nyaman. Tadinya aku mau menunggu sampai kau selesai kewajiban kerja tiga tahun di Singapura dan kemudian kita bisa bertualang bersama, bikin video traveling, tapi ternyata kau tiba-tiba menikah dengan Caspar. Jadi, aku rasa apa pun rencanamu ke depan, pasti akan ada di seputar kehidupan dia. Aku tidak bisa lagi mengharapkan kita untuk traveling bareng keliling Eropa dan bikin video..."
Finland tahu Jean sangat cerdas, dan ia sudah mengira Jean akan memikirkan hal ini sebelum Finland sempat membicarakannya. Ia sedikit merasa bersalah karena menikah secara tiba-tiba dan merahasiakannya dari Jean. Ia menyesal bahwa rencana-rencananya dan Jean di masa depan harus gagal karena pernikahannya.
"Aku minta maaf, aku tidak bermaksud menyembunyikan pernikahanku darimu..."
"Aku yang salah, Finland. Aku tidak mengira bahwa Caspar akan seserius itu denganmu dalam waktu yang demikian cepat. Tadinya aku pikir aku masih punya waktu." Jean tiba-tiba terdengar sangat serius. "Aku menyukaimu sejak tahun pertama kuliah. Tapi aku tahu diri, jadwalku yang sangat sibuk tidak cocok untuk punya kekasih. Karena itulah aku tidak mau mengikatmu sebagai pacar. Tapi aku berusaha sebisa mungkin untuk selalu membantumu. Aku juga berusaha menjagamu supaya tidak dipermainkan laki-laki yang tidak serius, seperti Anthony Wu dulu... Tadinya aku pikir, kalau kita sudah tidak sibuk, secara sendirinya kita akan berakhir bersama. Kita sudah punya banyak rencana untuk dilakukan di masa depan... Kau pindah ke Paris dan kita traveling bareng untuk bikin video traveling..."
"Jean..." Finland menatap Jean dengan mata berkaca-kaca. "Aku tahu... Aku tadinya juga berpikir begitu. Aku menyukaimu dari pertama melihatmu. Kau adalah satu-satunya orang yang mengerti aku dan sangat baik kepadaku. Tetapi, sejak kita bersahabat, aku menahan diri dan membunuh perasaanku kepadamu. Aku lebih membutuhkanmu sebagai sahabat dan keluargaku... aku tidak membutuhkan kekasih. Kekasih bisa menyakiti hati dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hubungan yang kita miliki ini, ikatan batin kita ini, lebih dalam daripada kekasih. Aku tak mau kehilanganmu kalau hubungan cinta sepasang kekasih itu berakhir. Cuma kau yang baik kepadaku. Saat semua orang menyakitiku, aku selalu bisa mengadu kepadamu. Tetapi kalau kita pacaran dan kau membuatku patah hati, kepada siapa aku bisa mengadu? Siapa yang aku miliki di dunia ini selain dirimu, Jean?"
Finland tahu bahwa Jean mencintainya, dan dulu ia pun mencintai Jean. Tetapi setahun terakhir ini Finland sadar bahwa ia tak ingin mengambil risiko kehilangan sahabatnya jika hubungan cinta di antara mereka berakhir. Itulah sebabnya, dalam hatinya, ia menyayangi Jean seperti keluarganya sendiri, karena ia tak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini.
"Aku tahu..." Jean mengangguk. "Aku mengerti. Saat aku melihat kalian bersama, aku tahu bahwa kau mencintainya dan kalian terlihat bahagia. Aku ikut bahagia untuk kalian."
Ia memeluk Finland dengan haru. "Karena itulah, sekarang aku mau mengejar mimpiku yang lain, Finland. Aku akan melupakan cintaku padamu, dan mengejar karier di Amerika sebagai aktor. Aku merelakanmu pergi, menjalani hidupmu yang baru, dan aku mendoakan kalian selalu berbahagia..."
Kali ini Finland tak dapat menahan air matanya. Ia menangis terisak-isak. Sepertinya Jean pun memang ingin melupakannya demi kebaikan mereka bersama. Ia tahu Jean mencintainya, namun dengan sikap ksatria Jean mundur dan mendukung hubungan Finland dan Caspar, walaupun hal itu pasti membuatnya sakit.
Dalam hatinya Finland semakin memantapkan hati untuk memberikan ramuan penghilang ingatan kepada Jean. Memang lebih baik jika Jean melupakannya, supaya ia tidak terlalu menderita karena kehilangan Finland.
.
.
*Maman = Mama (bahasa Prancis)
Maaf ya update-nya agak lama. Beberapa hari terakhir saya fokus menulis bab2 terakhir "Ludwina & Andrea" supaya ceritanya bisa tamat dengan baik.
Pfeww... susah bangetttt lho, bikin ending yang memuaskan semua pihak.
Anyway, yang belum baca "Ludwina & Andrea" bisa disimak novelnya. Siapkan tisu yang banyak, karena ceritanya mengharukan, tapi janji... endingnya bagus kok dan tidak menyakiti hati pembaca.
xx - Vina