Jakarta Selatan, Gedung V.Disg Corporation
Briena mulai memasuki gedung tempat dia bekerja setelah barusan diantarkan oleh Ares. Hari ini Briena tampil cantik dengan balutan kemeja warna putih serta celana kain warna hitam yang di lengkapi belt warna coklat melingkar indah di pinggang rampingnya. Dengan tangan yang membawa Brand Prada itu, Briena dengan anggun melangkahkan kaki jenjangnya kearah pintu mahoni warna coklat yang menghubungkan ruangannya dengan ruangan sekretarisnya.
"Ave, ke ruanganku sekarang juga! perintah Briena sebelum membuka pintu tersebut, menoleh pada perempuan yang sudah menjadi sekretarisnya selama 3 tahun sejak perusahaan itu di bangun.
"Baik, Bu," sahut Ave dengan patuh.
Briena berjalan menuju kursi kebangsaannya, membuka-buka berkas di hadapannya sebelum menyalakan computer di ruangannya. Beberapa menit kemudian Ave masuk dengan membawa tablet di tangannya, perempuan itu sudah hafal kalau Briena pasti akan memnyuruhnya membacakan jadwal untuk hari ini.
"Apa jadwalku hari ini?" tanya Briena menatap datar pada sekretarisnya itu, suaranya setegas tatapannya.
"Pagi ini, Ibu ada janji dengan Bu Arum terkait dekorasi rumah beliau di kawasan Jakarta pusat, lalu rapat dengan bagian dekor, setelahnya video call dengan klien kita dari Malaysia. Waktu makan siang hingga jam pulang nanti jadwal Anda kosong," jelas Ave.
"Baiklah, kau boleh keluar," perintah Briena saat dirasa tugas Ave sudah selesai. Namun perempuan itu masih berdiri kaku di hadapannya seperti ingin menyampaikan sesuatu. "Ada apa lagi?" tanya Briena menatap bingung Ave.
"Ibu tahu klien kita yang bernama Bu Wayan Dista?"
"Iya, wanita tua berumur 70 tahun yang tinggal di Bali, 'kan?" sahut Briena.
"Beliau.... Ave diam sejenak. Beliau ingin...." kembali Ave menggantung kalimatnya.
"Ada masalah apa dengan Bu Dista? Katakan yang jelas, Ve, jangan berbelit-belit," potong Briena, perempuan itu tahu kalau ada masalah terkait kliennya itu. Buktinya Ave terlihat gugup saat menyampaikan berita terkait Bu Dista.
"Bu Dista ingin bertemu dengan Anda secara langsung tanpa melalui perantara asisten, Bu. Beliau juga tidak suka komunikasi lewat Vicall," jelas Ave akhirnya.
Briena mengerutkan keningnya samar. "Bertemu secara langsung? Maksudmu saya harus ke Bali? Briena menatap tajam sekretarisnya yang mengangguk. Ve, saya sudah bilang kalau klien tidak boleh seenaknya seperti itu. Kau tidak bilang kalau desain bisa dikirim via email dan seperti sebelum-sebelumnya klien yang objeknya jauh bisa melakukan diskusi lewat video call," bentaknya marah.
"S-saya s-sudah bilang, Bu, tapi Beliau tetap keukeh ingin bertemu langsung dengan Anda," jawab Ave takut-takut.
Briena menghela nafasnya guna mengontrol emosinya yang menyeruak. "Kenapa tidak dia saja yang ke Jakarta?" tanya Briena menurunkan volume suaranya.
"Beliau sedang sakit, Bu, tidak diperbolehkan untuk naik pesawat. Lagipula Beliau ingin Anda mensurvei langsung bangunan yang akan di desain oleh Anda nanti."
Briena diam sejenak, memikirkan solusi untuk masalah ini. Berapa profit yang kita dapat jika kita bekerjasama dengan beliau?" tanyanya kemudian.
"Kurang lebih 89 milliyar, Bu, jawab Ave. Sebelumnya, bukankah Ibu sudah menandatangi kerjasama di awal pertemuan dengan Asisten Bu Dista. Kalau Ibu membatalkan proyek tersebut, Ibu harus membayar penalty 47% dari harga yang sudah di janjikan," terangnya kemudian.
"Sebenarnya saya bisa saja membatalkan proyek ini, tapi latar belakang Bu Dista jelas tidak bisa dianggap remeh. Anak pertama seorang jurnalis yang terkenal di Indonesia. Anak kedua sebagai Direksi di salah satu stasiun TV swasta di Jakarta dan anak ketiga, seorang politikus. Ok, anak ketiga tidak terlalu berpengaruh, tapi anak pertama dan kedua jelas akan berpengaruh pada kelangsungan V.DISG kedepannya. Ketidaknyamanan dan kepuasan klien bisa saja mereka tuangkan dalam bentuk kritikan di media," terang Briena berfikir keras.
Keputusan final tentunya dia harus terbang ke Bali untuk menangani proyek tersebut. Briena memang tidak jarang bertemu klien yang seenaknya seperti ini dan untuk beberapa alasan dia harus mempertahankan proyek ini selain karena denda penalty tersebut. "Baiklah, pesankan aku tiket pesawat ke Bali untuk beberapa hari kedepan. Ingat, Ve, jangan sampai keberangkatanku ke Bali menganggu jadwalku yang lainnya," perintah Briena. "Kau boleh keluar," imbuhnya mengijinkan Ave untuk keluar ruangannya.
"Eh, Bu ada lagi. Asisten Pak Vian tadi menelfon, katanya Pak Vian ingin bertemu dengan Anda di apartemen Anda," ujar Ave.
"Di apartemenku? Telpon asisten Vian sekarang dan bilang kalau aku tidak mau bertemu dengannya di tempat privasiku. Katakan saja kita akan bertemu di Djournal Coffee," balas Briena.
"Maaf, Bu, saya sudah bilang seperti itu dan berniat menggantinya di café lain, tapi Pak Vian tetep ngotot ingin bertemu di apartemen Ibu," ujar Ave menjelaskan.
"Kau boleh keluar," perintah Briena tanpa memberi jawaban. Dikeluarkannya ponsel putih dari dalam tasnya lalu mendial nomor calon suaminya.
"Ada apa?" tanya suara diseberang tanpa basa basi
"Apa maksudmu dengan pertemuan di apartemenku? Kita bisa bertemu di café atau di tempat manapun," ujar Briena jengkel.
"Aku ingin tempat yang lebih privat."
"Kita bisa ke restaurant yang terdapat private room-nya"
"Sudahlah, Bi. Kau tidak perlu mendebatkan hal yang tidak perlu. Pilihannya hanya ada 2, apartemenmu atau apartemenku."
"Aku tidak sudi menginjakkan kakiku di apartemenmu," ketus Briena.
"Baiklah, kalau begitu sehabis makan siang aku akan ke apartemenmu," ujar Vian sebelum mematikan sambungannya.
"Tunggu saja sampai kau lumutan," omel Briena lalu dengan kasar melempar ponselnya kembali ke dalam tas.
Makasih kalian semua sudah dukung cerita ini. Maaf jarang menyapa kalian, tapi plis dukung anak-anak saya ya.
Please, give me a power stone .
Jangan lupa juga kasih bintang dan review cerita saya yang lain, supaya anak-anak saya terkenal dan banyak yang baca.
Semoga Mas Vian dan Mbak Briena bisa naik rangking. Dukung mereka dengan memberi komen, like, atau power stone.
Thank you semua, ayam flu(๑♡⌓♡๑)
PYE! PYE!