18 Penculikan

Nona telah sibuk dengan layar laptop yang ada di hadapannya. Jemarinya sejak tadi tidak berhenti menekan tombol keyboard. Kedua matanya yang indah tidak teralihkan ke arah lain. Hanya ada tampilan dokumen yang ada di dalam penglihatannya. Beberapa berkas juga terlihat menumpuk seolah sedang menunggu antrian untuk mendapat perhatian dari Nona.

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Seharusnya Nona sudah pulang ke rumah. Namun, karena pekerjaannya menumpuk Nona tidak tertarik untuk beranjak dari kursi yang ia duduki. Segelas kopi yang sempat ia pesan telah dingin. Bahkan tidak lagi nikmat untuk di nikmati.

Deringan ponsel dari atas meja mengalihkan kosentrasi Nona. Wanita itu melirik layar ponselnya yang menyala dan menunjukkan panggilanmasuk dari seseorang. Dahinya mengeryit ketika melihat nomor tidak diketahui di sana. Awalnya Nona tidak peduli dan lebih memilih melanjutkan pekerjaannya. Namun, ketika panggilan ponsel itu terus saja mengganggunya Nona terpaksa mengangkat panggilan masuk tersebut. Ia berharap kalau seseorang yang menghubungi tidak hanya sekedar iseng semata.

"Hallo, siapa?" ketus Nona tanpa peduli dengan lawan bicaranya. Dia tidak peduli laki-laki atau perempuan yang kini menghubunginya.

"Sayang, Bunda ada di restoran yang dulu pernah kita kunjungi. Bunda sangat merindukan soto di tempat ini. Apa kau bisa menemani Bunda, Nak?" 

Nona tertegun. Dengan alis saling bertaut, Nona menjauhkan ponselnya dari telinga. Ia kembali memastikan kalau nomor yang menghubunginya bukan nomor Bunda Sopia yang selama ini ia simpan. Setelah cukup yakin kalau benar nomor itu nomor baru, Nona kembali melekatkan ponselnya di telinga.

"Bunda, Bunda ganti nomor?" ucap Nona dengan suara menyelidik.

"Ya. Bunda sudah lama meminta Leon untuk memberi tahu nomor Bunda yang baru. Apa Leon tidak pernah bercerita?" ucap Bunda Sopia dengan suara bingung.

"Huh, ya. Nona saja yang lupa menyimpannya," ucap Nona dengan tawa kecil. Ia tidak ingin hanya karena salah ucap saja bisa menimbulkan kecurigaan. "Nona akan segera ke sana Bunda. Kita makan sama-sama nanti ya," ucap Nona dengan bibir tersenyum indah. Jemarinya telah sibuk menggerakkan kursor di layar laptop untuk mematikan laptop tersebut.

"Baik, Sayang. Jangan lupa ajak Leon juga ya nak ...," pinta Bunda Sopia lagi.

"Baik Bunda."

Nona meletakkan ponselnya di atas meja sambil menghela napas. Kedua matanya menatap layar laptop yang telah mati. Ia menutup laptopnya dan meletakkannya di laci. Dengan wajah kusut, Nona mengusap wajahnya dengan tangan. Hari yang sangat melalahkan dan sedikit membingungkan. 

"Sampai kapan semua harus seperti ini? Aku harus mencari waktu yang tepat untuk memberi tahu Bunda soal perceraianku dan Leon. Aku tidak bisa selamanya seperti ini. Kasihan Bunda Sopia yang selalu di bohongi," gumam Nona di dalam hati.

***

Nona mengotak-ngatik ponselnya saat sudah tiba di lantai bawah. Ia tidak lagi mau memandang ke arah depan. Mobil hitam yang menjadi mobil milik Nona sudah terparkir di depan gedung perusahaan. 

"Cepat sekali sampainya," gumam Nona di dalam hati sebelum membuka pintu mobil. Tanpa menyelidik lagi, Nona masuk ke dalam mobil yang sama dengan mobil miliknya. Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan gedung perusahaan tempat Nona bekerja.

"Kita pergi ke Restoran Soto Medan," perintah Nona sebelum memasukkan ponselnya ke dalam tas. 

"Baik, Buk," jawab supir yang ada di depan.

Nona mengambil botol minum miliknya yang ada di dalam mobil. Ia meneguk air di dalamnya hingga  beberapa tegukan. Tenggorokannya terasa kering. Perutnya juga sudah mulai terasa kosong. Nona memang butuh makan dan istirahat setelahnya. Ia sudah seharian bekerja.

"Bangunkan aku jika sudah hampir sampai," perintah Nona sambil meletakkan botol minumnya di depan.

Tanpa rasa curiga lagi, Nona bersandar. Ia mencari posisi nyamannya untuk istirahat. Perjalanan menuju ke restoran tersebut memakan waktu hingga setengah jam. Nona merasa memiliki banyak waktu untuk mengistirahatkan kedua bola matanya yang lelah.

Supir yang ada di depan mengukir senyuman kecil. Pria itu menambah laju mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sesekali ia melirik ke spion memastikan kalau Nona memang telah terlelap dalam tidurnya. 

Ponsel milik Nona berdering. Ponsel itu ada di dalam tas. Kali ini Nona sudah tidak lagi sadar dengan ponsel yang berdering dengan keras. Supir tersebut menghentikan mobilnya di pinggiran jalan. Ia mengambil tas Nona dan segera mengeluarkan ponsel milik wanita tersebut. Bibirnya mengukir senyuman licik ketika melihat nama Leon di layar ponsel wanita yang ada di dalam mobil tersebut.

Dengan santai dan tanpa rasa bersalah sedikitpun, pria itu membuka kaca mobil dan melemparkan ponsel Nona keluar. Ia menutup kembali jendela kaca dan meletakkan tas milik Nona di jok penumpang. Satu tangannya mengambil ponsel miliknya dari dalam saku. 

"Target sudah berhasil di amankan, Bos," ucap pria itu dengan wajah penuh kemenangan.

"Bawa ke tempat yang sudah di tentukan. Aku tidak ingin gagal kali ini," jawab lawan bicara pria itu di dalam ponsel.

"Baik, Bos." Pria misterius itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. 

***

Leon meletakkan ponselnya di atas jok mobil. Wajahnya sudah terlihat gelisah dan tidak bisa tenang lagi. Sore ini seharusnya ia yang menjemput Nona sepulang kerja. Namun, tidak tahu kenapa. Selalu saja ada halangan yang membuatnya sibuk seharian hingga tidak lagi bisa memperhatikan mantan istrinya. Dengan gigi saling menggertak, Leon menekan nomor yang selalu bisa ia handalkan. 

"Apa Nona sudah pulang?" ucapnya dengan alis saling bertaut.

"Sudah, Tuan. Buk Nona di jemput supir pribadinya beberapa menit yang lalu," jawab seseorang dari dalam telepon.

"Kau yakin mobil itu milik Nona?" ucap Leon lagi tidak percaya.

"Benar, Tuan. Saya sudah melihat plat mobilnya. Mobil itu sama dengan mobil milik Buk Nona," jawab pria di dalam telepon penuh keyakinan.

Leon tidak lagi mau banyak bicara. Pria itu mematikan sambungan teleponnya. Ia bersandar sambil memandang ke samping. "Kenapa dia tidak mengangkat teleponku? Apa dia ketiduran atau sudah tiba di rumah dan sedang mandi?" gumam Leon di dalam hati. Semenjak ada Franz di Indonesia, Leon menjadi tidak tenang saat mengerjakan pekerjaannya. Di dalam kepalanya hanya diisi nama Nona. Ia tidak ingin Nona di culik oleh Franz apa lagi sampai di bawa pergi ke negara asal pria itu. Jerman.

Leon mengotak-ngatik ponselnya lagi. Ia tidak bisa tenang sebelum mencegah sesuatu terjadi hari ini. "Aku ingin penerbangan hari ini hingga tujuh hari ke depan lebih diperhatikan. Semua akses yang berhubungan dengan Franz Rainer segera kirimkan kepadaku secepatnya," perintah Leon dengan wajah serius. Setelah selesai memberi perintah, Leon mendengus kesal. Pria itu meletakkan ponselnya di atas jok. "Nona, kau tidak boleh berada di dekat pria itu walau hanya satu detik lamanya."

 

avataravatar
Next chapter