19 Pulau Terpencil

"Baby, kenapa kau wangi sekali," bisik Leon mesra di telinga Nona. Pria itu melingkarkan kedua tangannya di perut rata milik Nona. Kepalanya ia sandarkan di bahu Nona dengan manja. Sesekali ia mendaratkan kecupan cinta di pipi mulus kekasihnya. "Aku sangat terpesona," puji Leon lagi.

"Leon, berhentilah menggodaku. Aku sedang masak. Apa kau mau makanan ini tidak matang tepat pada waktunya?" protes Nona sambil mengiris-ngiris sayuran hijau yang ada di hadapannya. "Sebaiknya kau bantu aku memasak. Kau bisa mencuci sayur itu," ucap Nona sambil menunjuk sayuran yang telah selesai ia potong-potong.

"Sekali saja," bisik Leon lagi. Pria itu mempererat pelukannya sambil memejamkan mata. Ia tidak bisa melepas tubuh kekasihnya. Rasanya setiap detiknya, kedua tangan itu ingin melingkari tubuh mungil kekasihnya. "Aku masih merindukanmu."

Nona mengangkat kepalanya. Pisau yang sempat ada di genggaman tangannya telah terlepas. Dengan gerakan cepat wanita itu memutar tubuhnya dan memandang wajah sang kekasih. Ia mengeryitkan dahi ketika wajah Leon sudah ada di hadapannya. "Apa yang kau mau?"

Leon mengukir senyuman manis. Pria itu memiringkan wajahnya dan menunjuk pipi kanannya dengan jari. "Di sini," ucapnya pelan. Jemarinya melekat di bibir Nona sebelum melekat di pipinya lagi. "Sekali saja."

Nona tertawa kecil ketika mendengar permintaan Leon malam itu. Ia mendaratkan kecupan singkat di pipi pria yang sudah menjadi tunangannya tersebut. "Apa kau sudah puas?" ucap Nona setelah bibirnya mendarat sempurna di sana.

Leon mengangguk pelan. Namun, dalam sekejap saja ekspresi wajahnya berubah. Kedua bola matanya terhenti pada bibir Nona yang merah dan basah. Debaran jantungnya tidak karuan. Hasratnya memuncak hingga Leon tidak lagi bisa mengontrol dirinya. Sudah bertahun-tahun Leon menahan dirinya. Untuk malam itu, ia ingin menikmatinya sekali saja. Ya, Leon selama ini belum pernah merasakan manisnya bibir sang kekasih. Nona terlalu menutup diri dan mencegah Leon jika ingin berbuat lebih terhadap dirinya. 

"Baby ... aku mencintaimu," ucap Leon mesra sambil mengusap lembut pipi Nona. Pria itu mendekat hingga membuat tubuh Nona terjepit di sana. Nona tidak memiliki jalan lain karena belakang tubuhnya sudah ada meja. Leon memegang pinggang Nona dan menarik tubuh wanita itu ke dalam dekapannya. Tanpa banyak kata lagi, ia mendaratkan bibirnya di bibir Nona. Membuat Nona terperanjat kaget.

Kedua tangan Nona ada di depan dada Leon dan berusaha untuk mendorong pria itu agar menjauh. Tapi, sentuhan Leon malam itu memang sungguh aneh. Ada rasa unik yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Leon menciumnya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Nona merasa tidak di paksa sama sekali. Ia justru bisa menikmatinya dan mulai belajar untuk membalasnya. Nona tidak keberatan sama sekali ketika ciuman pertamanya harus ia berikan kepada Leon. Calon suami yang akan menikahinya beberapa bulan lagi.

***

Nona terbangun dari mimpi indahnya. Ya, memang mimpi seperti itu seharusnya menjadi mimpi indah. Tapi tidak untuk sekarang. Mimpi itu hanya bisa ia rasakan beberapa tahun yang lalu saat dirinya dan Leon masih berstatus sebagai kekasih. Saling mencintai, menyayangi dan membutuhkan. 

Nona mengucek kedua matanya secara perlahan. Ruangan itu sangat temaram. Nona tidak bisa melihat jelas keadaan yang ada di sekitar kamar tersebut. Sambil memegang kepalanya yang terasa sakit, Nona kembali mengingat apa yang terjadi padanya.

"Di mana ini? Bukankah seharusnya aku pergi ke restoran untuk bertemu dengan bunda?" gumam Nona sambil berusaha duduk di atas tempat tidur tersebut. 

Nona memutar kepalanya untuk mengenal lokasi tempat dirinya berada. Namun, semua terasa asing. Nona tidak bisa mengenal tempat itu. Ia tidak tahu kini ada di mana. Nona melihat gorden jendela yang berterbangan karena terpaan angin yang sangat kencang. Ada suara ombak yang terbentur karang di luar jendela sana. Nona penasaran dan segera turun dari tempat tidur. 

"Pantai," celetuk Nona dengan alis saling bertaut. Wanita itu terus berjalan mendekati jendela yang terbuka itu. Ia masih kurang yakin kalau kini dirinya ada di pinggiran pantai. Hingga saat Nona hampir sampai di depan jendela, suara pintu terbuka. Dengan sigap Nona memutar tubuhnya. Wajahnya berubah waspada. Ia tahu kini ia tidak ada di rumah dan seseorang sengaja melakukan hal ini padanya.

Suara sepatu terdengar dengan begitu jelas. Sosok pria berbadan tinggi muncul di ambang pintu. Pria itu mengenakan jas hitam dengan kemeja putih di dalamnya. Ia berjalan dengan begitu elegan mendekati posisi Nona berada. 

Nona menyipitkan kedua matanya agar bisa lebih jelas memandang wajah pria tersebut. Mulunya terbuka ketika Nona melihat pria itu adalah Franz. Pria bule yang sudah merenggut kehormatannya. Pria bule yang sudah merusak hidup dan pikirannya selama beberapa hari ini.

"Malam, Honey. Kau sudah bangun?" ucap Franz dengan wajah yang santai. Pria itu tidak merasa bersalah sama sekali ketika berada di dekat Nona. Padahal sudah jelas-jelas kalau Franz yang mendalangi penculikan Nona kali ini.

"Kau-" Nona menunjuk wajah Franz dengan jari. Ia tidak tahu harus berbicara apa lagi saat ini. Seharusnya memang ia lebih waspada dan mendengarkan apa yang dikatakan Leon. Franz pria berbahaya dan bisa melakukan apa saja yang ia inginkan.

"Ada apa, Honey? Kau mau marah?" Franz berlalu begitu saja melewati tubuh Nona. Ia berjalan ke arah jendela kaca berukuran besar tersebut. Franz menutup jendelanya agar angin tidak masuk. "Kenapa kau tidak menutupnya? Kau bisa sakit jika terkena angin malam seperti ini," sambung Franz lagi. Masih dengan wajah tidak bersalah.

Nona membuang tatapannya ke arah lain. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Apapun yang akan ia katakan terasa percuma. Kini ia sudah menjadi tawanan Franz Rainer. Nona kehabisan cara untuk menghadapi pria yang baru ia kenal kemarin tersebut.

"Anna sayang, kau marah padaku?" ucap Franz mesra. Pria itu menahan tawanya saat melihat wajah jutek Anna yang begitu menggemaskan. Franz tahu betapa mengumpatnya kini Nona di dalam hati. Franz juga tahu kalau Nona saat ini ingin kabur tapi tidak bisa. 

Nona mengatur napasnya hingga beberapa saat. "Tuan Franz Rainer yang terhormat. Atas dasar apa Anda membawa saya ke tempat seperti ini? Ini penculikan! Anda sudah melakukan tindakan criminal saat ini!" ucap Nona dengan gigi menggeram.

"Aku tidak melakukan tindakan criminal. Aku hanya membawa kekasihku berlibur. Apa itu salah?" jawab Franz dengan alis terangkat satu.

Nona mendengus kesal. "Mimpi Anda terlalu tinggi. Saya tidak pernah memiliki kekasih saat ini. Saya sendiri dan sangat menikmati kesendirian saya," ucap Nona mantap.

"Benarkah?" Franz memasang wajah yang dingin. Sangat menyeramkan jika di lihat dengan situasi ruangan temaram seperti itu. Pria itu mulai melangkahkan kakinya untuk mendekati posisi Nona berada.

Nona mulai bingung dan ketakutan. Ia melangkah mundur dengan tubuh gemetar. "Apa yang mau kau lakukan?"

avataravatar
Next chapter