webnovel

Wedding & Honeymoon (3)

Kami hanya sehari berada di kapal, selanjutnya Kevin membawaku pergi ke kota yang penuh hiruk pikuk. Bangunan kota ini tidak terlalu modern dan lebih bernuansa ke bangunan tradisional kuno. Kevin mengajakku untuk melihat pameran photography dan melihat acara pelelangan lukisan yang terkenal.

"3 juta dolar!"

"Ada lagi?"

"10 juta dolar."

"Ya siapa lagi yang berani menawarkan harga lebih tinggi?"

"15 juta dolar."

Semua menunggu pelelang yang menawarkan harga lebih tinggi. Tidak ada jawaban dan lukisan itu terjual seharga 15 juta dolar kepada seorang wanita tua.

Aku melongo tidak percaya. Hanya sebuah lukisan wanita tak berbusana karya Ino Boyd terjual dengan harga 15 juta dolar? Oh ayolah, lukisan itu tidak ada indah-indahnya. Lukisan itu hanya memamerkan lekukan tubuh seorang wanita yang bertelanjang dada memapangkan payudaranya yang terekspose. Bagiku itu hanyalah sebuah gambar pornografi yang ada di majalah dewasa.

Acara pelelangan pun selesai.

"Benar-benar tidak masuk akal. 15 juta dolar untuk gambar porno?" gerutuku pelan pada diriku sendiri saat kami berjalan keluar dari gedung pelelangan.

Kevin tertawa kecil. Rupanya ia mendengar gerutuanku. "Bukan gambar porno sayang. Lukisan itu punya nilai seni yang tinggi. Jadi wajar harganya bisa semahal itu."

Belakangan ini Kevin memang sering memanggilku sayang. Panggilannya itu terkadang membuat perutku geli mendengarnya dan entah kenapa aku tidak bisa menolak saat Kevin memanggilku dengan sebutan sayang.

Nilai seni yang tinggi atau otak mereka sudah tidak waras? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. "Aku sama sekali tidak melihat nilai seni itu. Yang aku lihat hanyalah gambar porno dan yang lebih gilanya lagi, lukisan itu dibeli oleh seorang wanita," ucapku setengah kesal.

"Apa salahnya kalau wanita yang membeli lukisan itu?" Kevin tidak bisa menyembunyikan kegeliannya terhadapku yang terus mengoceh soal lukisan di pelelangan.

"Entahlah. Hanya saja tidak wajar jika seorang wanita yang membeli lukisan porno seorang wanita."

"Mereka tidak memandang itu lukisan porno atau tidaknya. Mereka memandang nilai seni yang tinggi dari lukisan itu. Nilai estetika." Kevin mencoba menjelaskan padaku seperti sedang memberi penjelasan terhadap anak kecil.

"Tarserah! Bicara denganmu sama sulitnya bicara dengan kuda!" omelku.

Kevin hanya tertawa melihat reaksiku. Kami terus berjalan, aku mengikuti langkahnya di sampingnya, tidak tahu kemana tujuan selanjutnya.

Berjalan kaki terlalu lama akan terasa lelah tapi tidak jika jalanan di penuhi oleh para pedagang dan pembeli. Sepanjang jalan aku selalu memperhatikan apa yang kulihat. Tempat ini bisa di sebut seperti pasar dan bangunannya yang bercat warna-warni tapi lebih dominan pada warna merah dan oren menyala. Mungkin apabila bangunan-bangunan sepanjang jalan tidak bercat warna-warni akan tampak seperti pasar biasa, kenyataannya tempat ini cukup indah dengan warna nyalanya. Kevin menggenggam tanganku dan mengunci jari-jariku diantara jarinya. Ia bilang khawatir kalau aku tersesat karena tempat ini cukup ramai atau lebih tepatnya ia takut kalau aku kabur seperti sebelumnya.

Matahari mulai terbenam. Langit menjadi merah gelap. Meskipun hari sudah tidak terang lagi, tempat ini tidak luput dari keramaian seolah-olah setiap detik pasar ini selalu ramai. Oh aku baru sadar, sudah lama aku tidak merasakan keramaian seperti ini.

Langkah kami berhenti di sebuah gedung yang menjulang paling tinggi diantara gedung lainnya di pinggir pantai. Pantai di pinggir kota. Kevin menuntunku masuk dan ia bicara pada resepsionis dengan bahasa yang tidak aku mengerti, ia mengambil kunci dan kemudian masuk ke kamar lantai 28 yang telah Kevin pesan. Kamar ini menghadap pantai. Indah.

Kami tidur lebih awal. Aku bersyukur ia tidak menyentuhku malam ini, maksudku dia tidak menelanjangiku. Dia hanya menyuruhku harus tidur lebih awal atau dia akan melucuti seluruh pakaianku jika aku tidak menuruti perintahnya. Kevin begitu bossy. Ia tidak suka ada penolakan. Apa yang ia perintahkan harus dituruti atau tidak dia akan melempar ancaman dan ia akan terus mengomel.

Lengannya melingkari pinggulku saat aku tertidur. Posisi tidurku tidak pernah menghadapnya, aku lebih suka membelakanginya saat tidur karena aku masih merasa canggung ketika mataku terbuka nanti melihatnya di depanku.

Jari-jari bergerak dari hidung turun ke bibirku kemudian sebuah jempol mengusap-usap bibirku. Aku ingin sekali membuka mata tapi aku masih terlalu mengantuk hingga sebuah suara yang tidak asing lagi membawaku ke alam sadar.

"Luna bangun," tangannya mengguncang-guncang tubuhku pelan.

Perlahan kubuka mata. "Hmm?"

"Kita harus pergi."

Mataku menelusuri jam dinding yang terpampang di atas sebrang ranjang. Pukul setengah dua belas malam. Aku langsung memutarkan kedua bola mataku. "Kau gila?"

Dia memberikan tatapan yang dingin. Cukup dengan tatapan yang ia berikan aku mengerti maksudnya, cepat dan jangan membantah.

"Ya ya ya. Baiklah," kataku kesal. Aku langsung bangkit dan bermaksud ingin mengganti pakaianku. Pakaianku ini terlalu santai untuk pergi keluar.

"Tidak perlu ganti. Ayo." Kevin langsung menarik tanganku tanpa memberi kesempatan untukku membantah. Aku mengikuti langkahnya dari belakang dan tangannya masih menggenggamku. Aku benar-benar tidak tahu kemana ia akan membawaku.

Kevin menggiringku sampai ke pantai. Aku merasa terkejut dan juga heran melihat banyak orang yang bergumpulan sesak di tengah malam seperti ini tidak ada cahaya sama sekali. Sampai kami di bibir pantai, ia menuntunku menaiki perahu kecil dan Kevin mulai mendayung. Tidak hanya kami yang naik perahu, ada beberapa perahu juga dengan orang-orangnya mendayung agak jauh dari bibir pantai. Dari tadi aku sudah bertanya pada Kevin tetapi ia tidak mengubrisku malah mengacuhkanku. Dia menjengkelkan.

"Mengapa kita disini?!" Aku kembali bertanya saat ia berhenti mendayung berharap kali ini dia tidak akan mengacuhkanku. Wajahnya tidak terlihat jelas, hanya samar-samar karena tidak ada cahaya sedikitpun.

"Lihat ke belakangmu," perintahnya.

Aku bertanya dan itu bukan jawaban.

"Lihat ke belakangmu!" kali ini suaranya membentak.

Terdengar suara bisikan-bisikan takjub di sekitar perahu-perahu yang ada di sekeliling kami.

Aku menegok ke belakang dan itu berhasil membuat seluruh tubuhku gemetar karena takjub. Awalnya Aku melihat banyak bintik-bintik cahaya berterbangan tapi semakin lama bintik-bintik cahaya itu membesar, berterbangan mendekati kami semua -semua orang yang menaiki perahunya masing-masing-. Sebagian dari mereka bersorak kecil. Tidak hanya tubuhku yang bergemetar, aku juga bisa merasakan orang-orang yang melihat apa yang kulihat ikut bergemetar juga.

"Itu adalah lampion. Orang-orang asli sini setiap 3 tahun sekali selalu mengirim doa dengan menulis sebuah surat lalu menerbangkan masing-masing lampion mereka berharap doa mereka sampai ke langit," jelasnya dengan antusias tanpa aku meminta penjelasannya terlebih dulu.

Aku menoleh padanya. "Kenapa tidak setahun sekali saja?" tanyaku penasaran.

"Aku juga tidak mengerti," jawabnya mengangkat kedua bahunya. Otot-otot pipiku terangkat ke atas sehingga membuat seulas senyuman di bibirku.

Mataku kembali memandangi lampion-lampion yang berterbangan sekitar kami. Keindahan yang lain. Aku merasa bahwa dunia ini benar-benar indah, hanya saja kita sebagai manusia harus pandai-pandai mencari letak keindahan itu karena letaknya tersembunyi.

Lama kami membeku akan kilauan cahaya yang berterbangan. Cahaya itu lambat laun kembali menjadi titik-titik kecil di langit menjauhi kami dan lenyap, seolah langit telah menelan kilauan cahaya yang indah tersebut. Meskipun cahaya-cahaya itu lenyap, aku masih bisa merasakan keindahannya.

Kami kembali ke bibir pantai meninggalkan perahu kami. Pantai ini semakin ramai, aku pikir setelah lampionnya lenyap mereka akan pulang ternyata tidak. Mereka malah membuat api unggun raksasa dan api unggun itu di kelilingi para penari tradisional yamg dibarengi oleh lagu yang seirama dengan tarian mereka. Orang-orang bersorak riang ketika berada di puncak lagu yang membuat kami ingin ikut menari. Oh, aku merasa ingin meloncat-loncat saat itu juga.

"Kau haus?" Matanya menyipit.

"Hah?" Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas karena dentuman musiknya sangat keras di tambah lagi dengan sorakan mereka.

"Kau haus?!!!" ulangnya. Nadanya meninggi mencoba mengimbangi suaranya dengan musik yang keras agar aku bisa mendengarnya.

Aku mengangguk. Tubuhku kini mengikuti irama musik itu sedikit berloncat-loncat.

"Tunggu disini!"

Aku kembali mengangguk. Kevin pergi membeli minuman lalu kembali dengan tangan yang memegang sebotol air mineral. Ia menyodorkan minuman itu. Aku meminumnya lalu Kevin meminum air sisaku.

Tiba-tiba ada seorang wanita menghampiri Kevin. Wanita itu kurang lebih seumuran denganku. Anehnya dia memakai bikini. Aku tahu ini adalah pantai tapi yang benar saja, ini sudah tengah malam dan dia memakai bikini? Kevin menyambut wanita itu. Mereka berbicara dan aku tidak bisa mendengar pembicaraan mereka dengan jelas. Tubuh wanita itu bergerak manja dan tatapan Kevin tidak lepas dari tubuhnya. Entah kenapa, detik itu juga aku ingin mencongkel mata Kevin agar ia berhenti menatap wanita itu seolah-olah ia ingin berada di dalam celananya. Tapi ketika tubuh wanita itu bergelayut manja padanya, wajah Kevin menjadi kaku dan datar. Oh kali ini aku sedikit bernafas lega melihat ekspresi Kevin padanya yang sekarang mengacuhkan wanita itu. Wanita itu menatapku lalu ia pun akhirnya pergi dengan kesal.

"Siapa dia?" tanyaku kesal, menatap lurus berjalan kembali ke Hotel. Aku memutuskan untuk pulang karena moodku kacau.

"Aku tidak kenal," jawabnya singkat.

"Benarkah?"

"Well, dia hanya menawarkan dirinya seperti one night stand?" nadanya lebih ke pernyataan dari pada pertanyaan. Oh apakah sekarang ia sedang menyombongkan diri? Dia berkata seperti itu tanpa malu sama sekali dan mengapa hatiku terasa panas.

"Mengapa kau tidak menerimanya?" tanyaku asal.

Sesaat ekspresinya sedikit terkejut dan kecewa kemudian senyuman nakal yang dibuat-buat muncul di bibir panasnya. "Kau mengizinkanku?"

Rasanya aku ingin berteriak dan menghajarnya dengan cercaan. Kau telah meniduriku dua kali dan kau ingin meniduri wanita lain setelahku? Brengsek. Aku bukan wanita jalang! Makiku dalam hati.

"Kau tidak perlu izinku," kataku dingin menunggu Kevin membuka pintu kamar lalu aku segera masuk. Tunggu... Apa yang baru saja aku katakan? Itu sama saja aku mengizinkannya meniduri wanita lain. Seharusnya aku tidak peduli dia meniduri wanita lain tapi setelah dia menodaiku, aku peduli. Aku bukan barang yang bisa diganti begitu saja.

"Baiklah." Sekarang ia lebih dingin dari padaku.

Apa itu? baiklah? baiklah kau akan menidurinya nanti? Hatiku tertawa jengkel. Aku ingin membunuhnya atau tidak melakban mulutnya itu.

"Tapi..." Kevin menilai reaksiku, ia ragu ingin melanjutkan ucapannya tapi kemudian ia mengucapkannya dengan nada percaya diri, "satu wanita lebih dari cukup bagiku. Aku lebih suka meniduri wanita yang sudah menjadi milikku." Kevin menarikku mendekatinya dan langsung menciumku. Ciumannya panas dan menuntut. Aku tidak punya kesempatan untuk menolak ciumannya, ia terlalu cepat.

Perutku menari-nari, dia baru saja mengatakan satu wanita cukup. miliknya.

Kevin menghempaskan tubuhku ke ranjang. Ia berada di atasku. Kedua lengan dan lututnya dijadikan tumpuan agar tidak menindihku. Bibirnya lembut menyapu leherku dan hembusan nafasnya di leherku mampu membuat milikku berdenyut cepat. Aku mendesah ketika merasakan lidahnya yang dingin dan basah menjilat leherku lalu menggigit-gigit kecil leherku. Tanganku terlentang meremas-remas sprei putih. Mataku terpejam menikmati sensasi sentuhan yang ia berikan. Jantungku berdebar kencang. Damn, aku sama sekali tidak bisa menolaknya. Sentuhannya begitu memabukkan.

"Aku yakin celana dalammu sudah sangat basah," bisiknya sensual di leherku. Mulutnya dengan mudah mengeluarkan kata-kata kotor.

Dalam sekejap kami sudah telanjang.

Aku ingin mendesah menyebut namanya tapi aku merasa malu. Kugigit bibir bawahku agar aku tidak mendesah. Tanganku meremas sprei kuat-kuat, merasakan sakit dan kenikmatan di waktu yang bersamaan. Tubuh kami ambruk karena sudah mencapai titik kepuasan. Kevin berbaring di sebelahku, menarikku dalam pelukkannya. Kepalaku bersandar pada dada bidangnya. Deru nafasnya sangat terdengar di telingaku. Tubuhnya hangat dan aromanya sangat menggiurkan. Aku mengendap-ngendap di lehernya, menghirup wanginya.

"Jangan menggodaku atau kau akan berada di ronda ke dua," godanya mengelus punggung telanjangku.

Aku mendongakan kepalaku untuk melihatnya, tidak mengerti maksud dari ucapannya.

"Mengendus di leherku. Itu membuatku terangsang sayang," katanya mencium puncak kepalaku.

Secepat itukah dia terangsang? Aku tersenyum geli padanya lalu kembali menenggelamkan kepalaku di lekukan lehernya. Rasanya tidak asing, gumamku dalam hati. Seperti aku sering melakukan ini tapi mungkin ini hanya perasaanku saja.

Aku menguap, mengantuk dan lelah. Aku pun tidur di pelukan hangatnya.

Sejenak aku tertegun. Tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Rasa nyaman yang kurasakan dipelukannya membuatku sedikit merasa aneh, seperti bukan hal yang asing lagi.