webnovel

Déjà Vu (1)

Ciudad de México

Pertama kali aku menginjakkan kakiku di rumah megah mewah ini, aku merasa pernah ke tempat ini sebelumnya.

"Kak Luna!!!" Seorang gadis manis menghampiriku lalu menghajarku dengan pelukan yang kuat. "Aku sangat merindukanmu!" teriaknya, semakin mengencangkan pelukannya.

Aku bergeming. Bingung. Siapa gadis ini? Aku tidak pernah bertemu dengannya tapi kenapa ia bilang ia merindukanku seperti sudah sangat lama kami tidak jumpa?

"Mia!" bentak Kevin yang berada di belakangku.

Sontak Mia mengendurkan pelukannya lalu melepasnya. "Maaf," gadis yang bernama Mia itu menyengir lebar.

"Kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku bingung.

"Belum," jawabnya bimbang sambil menilai reaksiku. "Kak Kevin pernah menceritakanmu," terangnya penuh antusias.

"Adikku memang seperti itu. Sok kenal kepada siapapun," ujar Kevin menjawab kebingunganku.

Oh rupanya Mia adalah adik Kevin. Mengapa aku baru tahu hal ini dan kenapa adikknya tidak datang pada acara pernikahan kakaknya?

Tidak lama kemudian, beberapa orang keluar menyambut kami. Biarku tebak, mereka pasti keluarga Kevin dan kedua orang yang saling menggenggam tangan itu pasti kedua orang tuanya Kevin karena mereka terlihat paling tua dari yang lainnya. Benar saja dugaanku. Dua diantara mereka adalah orang tuanya dan yang lainnya adalah kakak-kakak Kevin. Saudara Kevin cukup banyak, tidak sepertiku yang hanya memiliki satu saudara.

Kevin memperkenalkanku pada keluarganya. Aku merasa kikuk dan canggung. Seharusnya Kevin memberitahuku terlebih dulu bahwa aku akan bertemu keluarganya, tidak mendadak seperti ini.

Pria paruh baya tinggi tegap berambut hitam dengan bola mata hijau laut itu adalah ayahnya Kevin, James. Dan wanita di sebelahnya itu istrinya yang tak lain adalah Ibu Kevin, Andrea. Mereka sangat tampan dan cantik, tidak heran jika anak-anaknya menuruni ketampanan dan kecantikan orang tuanya.

Dan mataku berpindah memandangi kedua kakak lelaki Kevin. Anak tertuanya adalah Davin lalu Revan. Kevin anak ke tiga dan Mia satu-satunya anak perempuan dari pasangan James dan Andrea.

Kakak tertuanya Davin, sudah menikah dengan wanita bernama Felicia dan mempunyai 2 anak yang menggemaskan sedangkan Revan sepertinya dia belum menikah. Mungkin saja dia sudah punya kekasih. Dan yang terakhir Mia, gadis remaja manja yang cantik dan menggemaskan.

Aku termasuk sulit untuk mengingat nama orang jika jumlahnya lebih dari 3, tapi kali ini aku bisa mengingat nama dan wajah mereka dengan baik. Mereka sangat ramah. Tadinya aku berpikir bahwa mereka akan bersikap dingin kepadaku tapi nyatanya tidak. Mereka keluarga yang baik.

Aku merasakan ada hal aneh yang tidak bisa kuungkapkan saat memasuki rumah ini. Rumah ini seperti memiliki ikatan kuat.

"Kau kenapa?" tanya Kevin khawatir melihat keringat bercucuran dari pelipisku.

"Hah?" Aku terperengah. Otakku kembali normal, perasaan aneh itu hilang seketika. "Aku tidak apa."

"Kau yakin Luna?" Andrea ikut menatapku dengan khawatir.

"Aku baik-baik saja. Mungkin hanya sedikit lelah," ujarku sedikit merasa tidak enak.

"Kalau begitu istirahatlah." ujar Andrea sambil tersenyum lembut.

"Maaf," kataku, menunduk karena merasa tidak enak di kesan pertama yang seharusnya berkesan baik.

Andrea menepuk-nepuk pundakku "Maaf? Oh ayolah sayang. Jangan canggung seperti itu, aku ini Mommymu. Pergilah istirahat." Andrea mengedipkan matanya lalu berbicara pada Kevin, "Bawa istrimu ke kamar."

Kevin mengangguk ramah lalu ia membawaku pergi menaiki anak tangga menuju sebuah kamar.

"Ini kamarku," katanya datar.

Aku melangkah masuk ke dalamnya. Kamarnya bernuansa cokelat kayu. Dinding dan lantainya lebih dominan dengan bahan kayu mahoni yang kokoh. Langit-langit kamar ini bisa berganti tema dengan hanya menekan remot kontrolnya. Kali ini langitnya mengikuti warna dinding kamar. Berapa banyak uang yang ia keluarkan untuk kamar super mewah ini? Apartemen masih belum ada apa-apanya di bandingkan kamar ini.

Kevin duduk di sebelahku di tepi ranjang kemudian ia merebahkan tubuhnya.

"Kemarilah," kata Kevin menepuk-nepuk ranjang di sisinya.

Aku menghela panjang, mulai kesal. Dia ingin bercinta lagi? Dahiku mengerut.

"Aku tidak akan bercinta denganmu. Tidak sekarang. Buang pikiran mesummu itu," omelnya.

Kau yang mesum!

Akhirnya kurebahkan tubuhku di sampingnya. Kami menatap langit kamar. Mataku mulai terasa berat. Aku menoleh ke samping. Kevin sudah tidur. Dia pasti lelah karena perjalanan kami yang hampir 9 jam lebih menuju kemari.

Aku menatapnya dengan rinci mulai dari atas. Rambutnya hitam pekat. Ia memiliki hidung yang mancung dan bibir tipis yang menggoda. Rahangnya menambah kesempurnaan di wajahnya. Dan jangan lupa, ia juga memiliki bulu mata yang lentik seksi melebihi diriku.

Orang-orang bilang tampannya Kevin menyerupai Dewa Yunani tetapi aku tidak pernah melihat wajah Dewa Yunani jadi opiniku tidak sama dengan mereka. Ketampanannya yang dimiliki Kevin tidak menyerupai siapapun, dia tampan. Satu-satunya tampan. Bukan hanya Kevin yang tampan. Kedua kakak dan ayahnya juga tampan. Mereka semua tampan.

*****

Author’s POV

"Di mana Luna?" tanya Andrea akhirnya. Ia sedang memasak beberapa menu untuk makan malam dibantu dengan anak perempuan yang sedang merengut membuat hiasan kue. Kevin tadi sedikit membentak Mia karena Mia tidak bisa menahan diri ketika bertemu Luna.

"Tidur. Dia kelelahan," ujar Kevin singkat, bersandar di pintu lemari es sambil menggigit apel merahnya.

Kevin merasa senang karena keluarganya bisa berkumpul di rumah ini. Rumah ini adalah rumah milik bersama. Andrea, James, dan Mia yang menempati rumah ini. Davin dan Revan mereka tinggal di New York dan Boston. Minggu ini jadwal berkumpul keluarga intinya jadi tidak heran mengapa anak-anaknya datang kemari sekaligus mereka ingin sekali bertemu Luna.

Tidak ada keluarga yang datang ke acara pesta pernikahan Kevin. Sebenarnya mereka ingin hadir tapi Kevin tidak mengizinkan mereka hadir. Itu hanya pesta sederhana bagi Kevin dan ia tidak ingin melihat keluarganya melakukan hal yang idiot seperti Mia lukakan pada Luna. Kevin merasakan kebingungan Luna saat Mia keceplosan bicara.

"Kau masih belum memberitahu yang sebenarnya ya?" Andrea menelaah menelusuri wajah anaknya yang tampan. Sebenarnya tadi Andrea sangat ingin menghajar Luna dengan pelukan tapi ia harus menahan diri. Andrea tidak ingin anak pemarahnya kesal.

Wajah Kevin mendatar. Kevin ingin sekali memberitahu Luna tapi ia terlalu takut dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Ia tidak ingin mengambil resiko.

"Belum. Dia masih memandangiku sebagai orang asing," ucap Kevin sedih.

Andrea juga ikut sedih atas apa yang menimpa anaknya. "Aku merasakan demikian. Kau harus lebih bersabar. "

"Aku mencoba."

Setiap Luna menatap Kevin, Kevin selalu melihat dirinya sendiri asing, penuh kebenciN, terkadang takut di mata Luna.

"Jangan mudah marah dengannya, dia bisa takut. Kau harus bersikap lembut agar dia tidak ketakutan," ujar Andrea menyiapkan menu terakhir. Semua makanan sudah siap. Mereka tinggal merapikan diri untuk makan bersama.

"Mom, jangan mendikteku." Kevin tersinggung dengan ucapan Ibunya.

"Kau memang pemarah!" timpal Mia. Mia masih kesal pada kakaknya. "tadi kau memarahiku padahal aku tidak sengaja!"

"Aku tidak memarahimu." Kevin tersenyum geli saat adik kesayangannya merengut seperti itu. Mia sangat manis kalau sedang merengut, pikir Kevin. Mia telah selesai menghias kuenya.

"Sudah jangan bertengkar," Andrea menengahi.

"Mom.." panggil Kevin pelan. Andrea menatap Kevin, dalam tatapannya bertanya ada apa. "Luna pernah menamparku saat aku menciumnya di hari kedua kami bertemu."

Mia yang mendengar itu langsung tertawa keras sedangkan Andrea sedikit terkejut. Kevin merasa bodoh telah menceritakan hal ini pada kedua wanita yang ia cintai, seharusnya Kevin tidak menceritakannya. Kevin tahu reaksi Mia akan seperti ini, menertawainya seperti idiot.

"Aku tebak, pasti kau menciumnya saat Luna tidak tahu siapa kau." Andrea terkekeh. Kali ini ibunya ikut menertawainya. Kevin merasa sedang di permalukan.

"Aku tidak bisa menahannya saat bertemu dengannya. Seperti aku ingin melahapnya habis detik itu juga," ujar Kevin terang-terangan.

"Kau harus sedikit bersabar kak. Jangan ngegabah. Wanita manapun pasti akan melakukan hal yang sama ketika ada seorang pria yang tidak ia kenal menciumnya begitu saja. Kontrol dirimu," kata Mia, menasehati. Wajahnya serius.

"Sejak kapan kau jadi penasehat?" ledek Kevin.

"Luna, kau sudah bangun!" Andrea mengeraskan suaranya memberi kode kepada kedua anaknya agar berhenti bicara. Andrea menghampiri Luna lalu memberi sapaan ciuman di pipi.

Kevin tidak menyadari keberadaan Luna sejak tadi. Wajah Kevin agak panik berharap Luna tidak mendengar pembicaraannya. Kevin memperhatikan Luna, ekspresi Luna sedikit canggung dan sial dua kancing baju Luna bagian atas terbuka membuat Kevin ingin melucuti pakaiannya detik itu juga, andai saja tidak ada Andrea dan Mia.

"Kalian memasak?" matanya menelusuri makanan yang berjajar di meja. Andrea dan Mia mengangguk bersamaan.

Kevin menelan salivanya menatap bagian kancing yang terbuka. Ia harus menahannya, gumam Kevin.

Mia yang menyadari apa yang sedang Kevin pikirkan, mencubit lengan Kevin. "Kau tak akan melakukannya di depan kami kan?" sindir Mia yang suaranya hanya bisa di dengar oleh Kevin.

Kevin terlonjak dengan sindiran adiknya.

"Seharusnya tadi aku membantu." Nadanya rendah merasa tidak enak.

"Kau bisa membantu kami besok pagi." Andrea mengedipkan matanya.

End of Author POV

***

"Mengapa kau tidak membangunkanku?" Aku menyenggol sikutnya menatap Kevin kesal. Seharusnya ia membangunkanku dan menyuruhku membantu Andrea. Aku tampak seperti menantu yang pemalas karena tidak membantu memasak.

"Kau sangat pulas. Aku tidak tega." Bibirnya membuat garis tipis dan rahangnya mengeras.

"Sial! Aku tidak tahan!" Kevin dengan cepat mencium bibirku panas dan memaksa. Aku berusaha mendorongnya menjauh. Dia benar-benar gila.

"Ehm."

Kevin menghentikan ciumannya ketika mendengar suara dehaman. Mia berdiri di dinding dekat jendela, memandangi kami bergantian.

"Sejak kapan kau di situ?" Suara Kevin setengah membentak.

Mia menggidikan bahunya tersenyum jahil. "Sejak kakakku tidak tahan?" suaranya pecah menjadi tawa.

Wajahku merona merah karena malu. Ini semua gara-gara Kevin! Gerutuku. Kevin mengacak-acak rambutnya salah tingkah.

Tadi itu Kevin benar-benar nekat menciumku di ruang tengah di mana tidak berapa lama lagi yang lain akan berkumpul di sini. Memalukan. Untungnya saja hanya Mia yang melihat, jika mereka semua yang melihat aku benar-benar tidak sanggup berada di sini lebih lama lagi.

Mereka sudah datang.

"Kakek ayo mulai!!" Gracia menarik tangan kakeknya dengan antusias mendekati sebuah piano besar dan beberapa alat musik lainnya.

"Ayo! Ayo! Ayo!" teriak Ethan sangat bersemangat sambil menepuk-nepuk kedua telapak tangannya.

Aku tidak mengerti mengapa si kembar Ethan dan Gracia begitu bersemangat.

"Daddy ayo kemari!!" teriaknya lagi saat Ethan, Gracia, dan kakeknya James berada di tengah alat musik.

Davin menghampiri mereka dan Revan mengikuti Davin dari belakang.

"Kau juga. Bergabunglah bersama mereka," sambar Andrea, mendorong paksa Kevin mendekati mereka.

"Ayo kita duduk dan nikmati band keluarga kita bernyanyi," ujar Andrea tidak sabar.

Aku duduk di sofa. Kanan kiriku ada Andrea dan Mia, sebelah Mia ada Felicia. Kami duduk dan menunggu mereka bermain.

Mereka akan bernyanyi? dan Kevin juga? Aku merasa geli membayangkan Kevin bernyanyi. Seorang Kevin yang dingin datar bisa bernyanyi? Aku terkikik dalam hatiku.

Gracia dan Ethan berlari kecil menghampiri kami. Gracia duduk di pangkuan Ibunya sedangkan Ethan lebih memilih duduk di pangkuanku. Aku tersenyum dan melingkarkan lenganku di perut Ethan. Ethan begitu tidak sabar. Mereka akhirnya mulai memainkan alat musik. Kevin memainkan Piano, Revan dengan gitarnya, Davin dan James tidak memegang alat musik apapun.

What I got to do to make you love me?

What I got to do to make you care?

What do I do when lightning strikes me?

And I wake to find that you're not there?

Bait pertama dinyanyikan oleh Kevin. Mereka menyanyikan lagu Sorry Seems To Be The Hardest Word by Blue.

Mataku membeku memandangi Kevin yang sedang memainkan jari-jarinya di tun piano sambil bernyanyi. Wow, aku tidak menyangka Kevin bisa bernyanyi dan memainkan piano begitu indahnya. Dan makna liriknya saat Kevin bernyanyi begitu dalam seperti perasaan yang ia ungkapkan lewat lagu.

Aku tertegun. Terpukau. Keluarga ini sungguh harmonis. Ada rasa iri terselip di hatiku mengetahui Kevin mempunyai keluarga yang harmonis dan kompak.

Suara meriah tepuk tangan mengakhiri nyanyian mereka.

"Tante suara daddyku bagus kan?" tanya Ethan memamerkan cengiran khas anak-anak. Aku mengangguk dan membalasnya dengan senyuman.

"Suara kakek lebih bagus dari pada daddymu, kid." James menggendong Ethan dari pangkuanku.

Tiba-tiba cahaya lampu di ruangan ini menjadi sayu temerang lalu di ikuti suara musik yang pelan.

"Dansa?" tawar Kevin sambil mengulurkan tangannya.

Revan menghempas tangan Kevin. "Bertukar pasangan!"

"Kau tidak punya pasangan," cibir Kevin kesal.

"Itu sebabnya aku ingin bertukar pasangan. Um, atau lebih tepatnya mengambil pasangan?" Revan terkekeh. "Kau bisa berdansa dengan Mom, Mia, Felicia, ataupun Gracia. Tinggal pilih."

Kevin akhirnya mengalah dan lebih memilih berdansa dengan Andrea.

Aku berdiri dan menerima uluran Revan. Tangan kiri Revan berada di pinggulku dan tangan kanannya mengunci jari-jari kiriku sedangkan tangan kananku berada di bahunya. Kami bergerak kanan-kiri-maju-mundur menyesuaikan irama musik yang pelan.

"Ini pertama kalinya aku berdansa dengan adik iparku." Revan mulai memecahkan keheningan. Aku hanya membalasnya dengan senyuman, bingung ingin mengatakan apa.

"Kau pendiam," Revan terkekeh. "Katakan, bagaimana penampilanku?"

"Keren," ujarku, bergerak mundur.

"Hanya itu?"

"Wow? Apa yang ingin kau dengar dariku? aku speechless."

Revan mendorongku menjauh, aku berputar lalu ia meraihku kembali. "Kau sangat tampan, menakjubkan, aku menyukai penampilanmu?" katanya penuh percaya diri.

"Itu berlebihan."

"Tapi semua wanita pasti mengatakan aku tampan, keren, menakjubkan, aku menyukaimu. Mereka para wanita bahkan berebut ingin berdansa denganku, hanya kau saja yang tidak. Aku harus memaksamu dulu untuk berdansa."

"Semua wanita mengatakan itu padamu?"

Revan mengangguk

"Tapi kenyataannya kau tidak punya pasangan dansa. Kau memaksaku," ejekku.

"Aku punya jika aku mau," ujarnya angkuh. "sekarang ini aku ingin membuat suamimu cemburu."

Aku memutar bola mataku padanya. "Kalian sama menyebalkanya."

Kami pun tertawa. Sudut mataku melirik Kevin, ia sedang mengawasiku dengan ekspresi yang mematikan. Tidak lama, James menghampiriku. Meminta bertukar pasangan.

"Berhati-hatilah berdansa dengan orang tua, ia merepotkan," sindir Revan di telingaku. James mendengarnya, ia melototi Revan. "Aku tidak serius, hanya bercanda Dad."