-Menikmati setiap sentuhannya bukan berarti aku mencintainya.- -Luna.
"Mr. Sanders bilang anda harus menunggu di ruangannya. Ia sedang ada keperluan di luar sebentar," ujar sekretaris Kevin dengan senyum pura-pura ramah.
Dia menyuruhku datang cepat-cepat dan sekarang apa yang kudapat?! Sabar Luna. Sabar.
Tidak ingin menatapnya lama-lama aku segera masuk ke ruangan kerja Kevin. Menunggunya datang. Jujur saja kalau Kevin tidak mengancamku, aku malas untuk menemuinya. Pekerjaanku masih banyak.
DRAKKK!!!
Aku tergelonjak ketika mendengar suara bantingan pintu besar. Tiba-tiba seorang pria berambut putih menghampiriku dengan mata sendu.
"Mrs. Sanders?" tanyanya. Matanya memerah.
Aku mengangguk pelan sedikit ketakutan. Siapa dia?
"Saya mohon Mrs. Sanders tolong maafkan kesalahan saya. Tolong jangan libatkan keluarga saya. Saya rela di hukum apapun asalkan keluarga saya baik-baik saja. Tolong jangan sakiti istri dan anak saya. Saya mohon." suaranya menyedihkan. Pria berambut putih itu berlutut padaku memeluk betisku erat.
Aku bingung dengan apa yang dikatakannya dan aku berusaha menjauhkannya dari kakiku sesopan mungkin tapi ia tidak mau mengubah posisinya.
"Tolong saya. Di dunia ini hanya mereka yang saya miliki. Saya terpaksa mengambil uang perusahaan untuk biaya sekolah anak saya. Maafkan saya Mrs. Sanders. Tolong jangan sakiti mereka. Bunuh saja saya," isak pria itu tak ada hentinya.
"Kau!!!" Kevin tiba-tiba datang dan menyeret kasar pria itu.
Kevin menghempaskan tubuh pria itu hingga pria itu tersungkur ke lantai lalu meninjunya berkali-kali. Aku langsung menjerit melihat itu.
"Kevin hentikan!!!!" teriakku, namun Kevin tidak menghiraukanku.
"Berani-beraninya kau!!!" wajahnya penuh amarah.
Kevin kembali menghantam wajahnya dengan kepalan tangannya yang keras. Pria itu tidak melawan, dengan sekuat tenaga ia bangkit dengan memar di wajahnya dan berlutut pada Kevin. Melakukan hal yang sama padaku tadi. Ia kembali memohon sambil menangis tidak peduli dengan rasa sakit yang baru dialaminya.
"Maafkan saya. Saya tidak bermaksud. Saya hanya minta tolong agar anak saya di bebaskan."
Kevin menendang tubuhnya lalu menarik kemejanya ke atas hendak memukulnya lagi.
Aku menahan tangan Kevin. "Aku mohon Kevin hentikan!!"
Kevin melepaskan cengkeraman dari kemaja pria itu. "Kau tahu apapun yang kau lakukan tidak ada gunanya. Kau harus menerima akibat dari perbuatanmu! Aku tidak akan membiarkan pengkhianat bebas dariku," geram Kevin kesal.
"A-a-nda boleh membunuh saya asalkan istri dan anak saya di bebaskan. Saya mohon." suara pria itu melemah.
Kevin melangkah maju hendak menghajarnya tapi kuhalangi dengan tubuhku.
"Minggir Luna," geramnya dingin dengan tatapan tajam.
"Aku mohon keluar dari sini. Aku akan membicarakannya dengan Kevin," kataku pada pria itu yang sudah pucat.
Pria itu mengiyakan dan keluar dari ruangan ini. Sekarang hanya ada aku dan Kevin.
Kevin saat ini mengerikan. Ia tampak seperti iblis. Aku tidak berani bicara pada Kevin tapi aku juga tidak tega melihat pria tadi dihajar.
"Apa?!" bentaknya saat aku menatap matanya ragu.
"Aku tahu dia salah karena telah mengkhianatimu, tapi kau tidak harus memukulnya Kevin dan jelaskan padaku apa yang kau lakukan pada keluarganya?"
"Aku memukulnya karena dia berani menyentuhmu Luna!"
"Dia tidak menyentuhku. Dia memohon minta anak dan istrinya di bebaskan Kevin," ujarku berusaha setenang mungkin. Aku tidak ingin menambah emosinya yang masih berkoar.
"Aku tidak peduli. Pria tadi mungkin bersalah tapi tidak dengan anak dan istrinya. Jangan libatkan mereka," lanjutku.
"Itu bukan urusanmu!" suaranya meninggi.
Aku memilih diam tak berani komentar lebih jauh. Sebaiknya aku bicarakan ini nanti ketika emosinya melunak.
Sikapnya sungguh jauh berbeda dengan semalam.
Dia akan melukai siapapun yang menganggu atau mengkhianatinya.
Kalimat Ally terngiang di telingaku. Ally benar dan Kevin telah melakukannya di depan mataku. Kevin tidak hanya melukai pria tadi, ia juga melibatkan keluarga pria tadi yang tidak bersalah. Aku tidak habis pikir mengetahui sisi Kevin yang lain.
Aku menghela nafas berat. Hidup ini memang tidak bisa adil.
"Kau kenapa?" tanya Kevin setelah cukup lama kami diam.
Tampaknya emosi Kevin melunak. "Aku masih kepikiran kejadian tadi." dan kejadian yang akan menimpaku jika kau tahu.
"Sudah kubilang itu bukan urusanmu. Jangan ikut campur." ia berusaha pelan tapi suaranya lebih terdengar setengah membentak.
Ucapannya terkadang menyakitkan ketika marah. Aku merasa kesal sekarang tapi aku tidak boleh menampakkan kekesalanku atau emosinya akan muncul kembali.
"Lebih baik aku kembali ke kantor," ujarku dingin.
Aku bangkit berdiri. Tangan Kevin menarikku hingga membuatku duduk di pangkuannya. Dengan cepat ia membungkam bibirnya dengan bibirku. Kevin memperdalam ciumannya di bibirku. Saat aku mulai kehabisan nafas, bibirnya beralih ke leherku. Mencium, menggigit, dan menjilat leherku.
Aku menjauhkan tubuhku darinya. Berdiri dari pangkuannya saat ia puas melampiaskan hasratnya. Kevin tampak tidak senang dan aku tidak peduli.
"Pergilah," usirnya dingin.
Aku membelalak. Dia mengusirku? Aku tertawa hambar dalam hatiku. Jadi dia menyuruhku ke kantornya hanya untuk di bentak dan melampiaskan hasratnya lalu mengusirku? Brengsek! Dia memperlakukanku seperti wanita jalang yang bisa dipanggil dan diusir sesukanya.
Dengan langkah kesal aku pergi dari kantornya tidak peduli dengan tatapan para staf Kevin yang mereka berikan padaku.
*****
"Kau tidak kembali ke kantor magang?" tanya Kanya lalu menyeruput minuman bersoda miliknya.
Aku menggeleng tidak selera. "Kantornya sedang mempersiapkan pesta jadi aku bebas."
Mulutnya membentuk huruf O. Kanya sepertinya bingung topik apa yang harus dibicarakan melihat aku yang sedang malas.
"Bagaimana magangmu di sana? Apa Austin merecokimu?" tanyaku dengan senyum culas.
"Austin tidak ada hentinya masuk ke ruangan kerjaku membawa banyak makanan. Dia bilang aku akan konsen jika banyak makan tapi dia membuat berat badanku menambah," celoteh Kanya.
Aku terkekeh. Wajah Kanya saat bercerita lebih seperti anak kecil yang sedang di ganggu. Kecerian dari wajahnya tak pernah pudar. Aku iri dengan hidupnya.
"Kau beruntung." aku mengedipkan sebelah mataku.
Aku merasakan ada seseorang yang menepuk bahuku dari belakang, kemudian orang itu memberikan sebuah kertas biru muda yang dilipat kecil.
"Luna. Barusan ada seseorang yang menitipkan kertas ini padaku," ujarnya.
"Terima kasih," kataku lalu ia pergi.
Aku mencoba membuka lipatan kertas itu.
"Surat dari siapa? pengagum rahasimu?" ejek Kanya.
Aku mengangkat kedua bahuku. Dan mulai membaca surat yang ditulis tangan dengan rapih.
Jika kau mengenalku dengan baik. Setelah kau membaca note ini, temui aku di Garden Caffe dekat kampusmu.
Jantungku berhenti sesaat. Betapa terkejutnya aku. Tulisan tangan di surat ini sangat familiar. Aku mengenal betul siapa pemilik tulisan ini.
Tidak mungkin.
"Kanya aku harus pergi."
"Ada apa?" Kanya menatapku bingung.
Aku tidak menghiraukannya. Aku bergegas meninggalkan kampus dan pergi menemui pemilik surat ini. Surat ini membuatku lupa bahwa aku membawa mobil dan aku sudah terlanjur naik taksi.
Dengan langkah terburu-buru aku turun dari taksi dan memasuki Garden Caffe.
Sepi. Tidak ada siapapun terkecuali pelayan caffe ini.
"Hai."
Suara lembut itu datang dari belakangku. Aku tercekat mendengar suara lembut itu lalu aku memutar tubuhku menghadap pemilik suara itu.
Waktu serasa berhenti detik itu juga. Denyut nadiku juga serasa berhenti ketika mataku menangkap tatapannya.
"Hai," ulangnya lagi dengan senyuman hangat.
"............."
Aku masih tertegun, mematung tidak percaya.
Katakan ini mimpi indah Luna.
"Hai," ulangnya untuk yang ketiga kalinya. Kali ini nadanya bukan seperti sapaan tapi pertanyaan.
"Hai," kataku pada akhirnya dengan wajahku yang terlihat idiot.
Dia tertawa melihat ekspresiku lalu dia maju satu langkah memperhatikan wajahku dengan seksama.
"Seharusnya kau langsung memelukku ketika melihatku bukannya mematung seperti itu." dia tertawa lagi.
Lihat! Tawa hangat dari bibirnya yang sudah lama tak kulihat dan wajah ramahnya yang melekat pada dirinya kini ada di hadapanku. Ini nyata dan bukan mimpi. Ya Tuhan jantungku ingin copot seketika.
Aku memeluknya setelah ia berkata seperti itu. Dia membalas pelukanku. Tangannya mengelus punggungku dan aku merasakan kecupan mendarat di puncak kepalaku. Pelukan kami berlangsung cukup lama dan berakhir dengan sebuah kecupan di bibir. Rasanya masih sama seperti dulu.
"Mengapa kau bisa berada di sini?" tanyaku tidak sabar.
Dia tersenyum. "Membuat beberapa kejutan?"
Mataku tidak bisa berhenti menatapnya. "Beberapa kejutan? Kejutan pertama surat itu, benar? Lalu kejutan selanjutnya?"
"Kejutan selanjutnya aku bekerja di negara ini dan artinya aku akan menetap di sini." bibirnya tersenyum lebar.
Aku nyaris menyemburkan teh hijau dari bibirku, terkejut dengan apa yang ia ucapkan. Ini berita baik dan buruk.
Kedua alis Adam menyatu. Kurasa ia menyadari ada sesuatu yang aneh padaku dan aku pun menyadari itu.
"Kau serius?!" tanyaku pura-pura antusias, menutupi sikap anehku tadi.
"Ya. Sebenarnya aku sudah dua minggu berada di negara ini tapi seminggu kemarin aku berada di New York dan begitu aku sampai di sini aku langsung ingin bertemu dengan wanita kesayangkanku," ujarnya lembut tak lupa dengan senyuman di bibirnya.
Jadi benar. Di klub pada malam itu adalah Adam.
Pipiku memerah. "Wanita kesayanganmu?"
Adam melipat kedua tangannya di atas meja. Ia sedikit mencondongkan kepalanya dan menatap mataku lekat-lekat.
"Iya wanita kesayanganku. Kau kesayanganku."
Wajahku sekarang seperti kepiting rebus. Telapak tanganku menampar pipinya pelan.
"Jangan membuatku salah tingkah!" gumamku.
Adam tertawa dan lagi ia membuatku merona malu. Aku pun ikut tertawa bersama.
Sudah lama sekali kami tidak seperti ini. Oh Tuhan aku sangat merindukannya. Biasanya setiap hari kami seperti ini dan sudah lebih setahun kami tidak seperti ini.
Aku sangat antusias melemparkan banyak pertanyaan padanya. Apa saja kegiatannya sehari-harinya di sana selain bekerja dan ia dengan sangat sabar menceritakan semua hal yang aku lewatkan tanpanya.
"Giliranmu yang bercerita," ujar Adam dengan senyum menawannya.
"Tidak ada hal yang menarik yang perlu kuceritakan."
"Semua tentangmu menarik untukku. Jadi ayo ceritakan. Kau tidak boleh curang. Aku sudah cerita panjang lebar dan sekarang giliranmu," rayunya.
"....Aku pernah salah memaki orang dan ternyata yang kumaki adalah dosenku. Sejak saat itu dosenku selalu menatapku sinis bahkan ia berusaha membuatku untuk mengulang semester lagi. Ah dia begitu dendam..."
Adam mendengarkan ceritaku dan sesekali ia terkekeh.
"....... Joe. Aku baru tahu bahwa dia adalah pamanku. Aku tinggal bersamanya. Dia menyenangkan dan juga menyebalkan. Kau tahu ketika Joe membawa teman-temannya mereka mengira aku ini adalah perempuan simpanannya. Orang-orang di sini sangat menjengkelkan..."
Aku sesekali menyeruput tehku. Kami masih saling menatap.
"...... Katya namanya. Dia anak rektor di kampusku. Cantik. Dialah orang yang satu-satunya memahami budaya ketimuranku dan kau tahu, Katya pernah bilang ingin menjodohkanku dengan ayahnya yang umurnya 2x lipat dariku. Ia akan senang kalau punya ibu tiri sepertiku dan aku langsung menyumpal mulutnya dengan sapu tanganku....."
"Temanmu itu konyol."
Adam tak henti-hentinya menertawakanku. Bibirku merengut kesal ditertawakan terus olehnya.
Puas dengan tawanya, ia berdeham.
"Dan apakah ada pria yang mendekatimu selama kita tidak bertemu?" tanyanya penuh keraguan.
Ini untuk pertama kalinya Adam menanyakan hal seperti ini. Adam sedikit cemburu. Biasanya aku harus bersusah payah memancingnya untuk cemburu.
Tidak mendekatiku tapi ada pria yang menyentuhku. Menyentuhku secara sah.
Perlu beberapa detik untuk menjawabnya. Pertanyaan itu membuatku kalut dan nama Kevin terngiang di otakku. Ada perasaan amat aneh yang kurasakan. Bayangan yang akan terjadi pada diriku dan Adam.
Lupakan pikiran negatifmu Luna. Lupakan Kevin hari ini. Dia tidak akan tahu. Sekarang lampiaskan saja rindumu pada kekasihmu yang amat kau cintai.
Aku menyemangati diriku sendiri.
"Jika aku bilang tidak ada maka aku berbohong." aku memaksakan senyumku.
*****
"Jadi bosmu memfasilitasi semuanya termasuk rumah?" tanyaku, bersandar pada pohon beringin besar dan menatap lurus ke pemandangan danau. Aku sengaja membawanya kemari. Aku tidak ingin ada yang melihatku. Bisa timbul bencana besar jika ada yang melihatku.
Adam menceritakan bagaimana ia bisa di tugaskan untuk bekerja di sini. Itu berkat bosnya yang selalu mendukungnya dan juga kukuhnya dalam bekerja. Wanita manapun pasti salut dengannya. Lahir sebagai Yatim Piatu dan dibesarkan di panti asuhan tidak membuatnya menyerah. Meskipun ia tidak mempunyai keluarga namun sikapnya seperti orang yang tak kurang kasih sayang.
Adam mengangguk. "Kapan-kapan akan kuajak kau ke rumah."
Jeda diantara kami cukup lama. Tanganku membelai rambut Adam, ia sedang merebahkan kepalanya di pahaku.
"Aku merindukanmu," gumam Adam. Tangannya menuntunku turun ke bibirnya dan ia memberi kecupan-kecupan pada jemariku.
"Aku juga."
"Terima kasih."
Aku memicingkan mataku. Terima kasih untuk apa?
Adam beranjak duduk. "Terima kasih sudah sabar dan setia denganku. Aku mencintaimu," sambungnya.
DUARR!!
Perkataannya menampar diriku. Setia? Ha ha ha. Di dalam hatiku aku tertawa menyedihkan.
Kau mungkin akan menarik kata-katamu jika mengetahui yang sebenarnya Adam. Maafkan aku.
Aku tidak ingin Adam mengetahui statusku. Tidak sekarang. Aku merindukannya. Aku tidak mau melewatkan kesempatan bersamanya hari ini.
"Kau tahu bahwa aku mencintaimu," balasku setelah jeda beberapa detik.
Kemudian ia mencium bibirku lembut dan aku membalas ciumannya. Menarik bibir bawahnya dengan bibirku. Ciuman kami tidak menuntut. Tidak ada gairah untuk berbuat lebih. Hanya sebuah ciuman yang biasa kita lakukan seperti dulu.
Ada perasaan bersalah? Tentu saja. Aku tidak bisa membohonginya. Hubungan ini harus berakhir secepatnya karena jika tidak aku akan semakin melukainya. Aku tahu betul dia sangat mencintaiku dan tidak seharusnya aku bersikap seperti ini. Seharusnya aku langsung menceritakannya tapi aku tidak tega. Prilakuku yang seperti ini membuatku seperti wanita jahat. Membawanya terbang ke atas lalu tak lama lagi aku akan menjatuhkannya.
Tidak boleh berlama-lama seperti ini atau Kevin bisa mengetahuinya. Besok aku akan mengakhiri ini. Menaburkan luka dihati kami. Besok. Janjiku. Jika aku bisa mengatur sebuah luka, maka biarlah lukanya pindah kepadaku. Aku tidak peduli jika hatiku terluka berkali lipat, yang terpenting dia tidak terluka. Tapi rasanya mustahil.
Aku mendesah berat ketika memikirkan semua ini. Inikah takdir hidupku? Tidak boleh memiliki seseorang yang kucintai?
*****
Untuk pertama kalinya aku pulang terlambat dan beruntungnya Kevin juga belum pulang. Aku tidak siap dilempar berbagai pertanyaan aneh.
Aku menunggu Kevin di ruang TV sampai aku tertidur. Lalu bunyi pintu terbuka menyadarkanku. Jam 10 malam ia baru pulang.
"Aku dengar kau pulang terlambat dari biasanya. Tugasmu menumpuk?"
Pertanyaannya sontak membuatku tercekat. Darimana ia tahu bahwa aku juga pulang terlambat? Apa ia menyuruh orang untuk menguntitku?
"Um... Iya. Kau tahu aku harus mengejar materiku," jawabku setenang mungkin.
Kevin mengubah posisi duduknya menghadapku. "Aku tidak suka kau pulang terlambat," gumamnya dingin.
Tidak ada tanda-tanda atau pun aba-aba, Kevin langsung menyerangku. Menelanjangiku dan menyetubuhiku dengan gairah yang menggebu-gebu. Kali ini aku tidak menikmatinya. Aku merasa berdosa. Berdosa padanya. Entah mengapa.
Tentang apa yang kulakukan hari ini sepertinya Kevin belum mengetahuinya. Sikapnya masih seperti biasanya. Well, ini berita baik untukku meskipun hanya untuk sementara.
Dan kenapa aku seperti orang yang takut ketahuan selingkuh? Padahal aku tidak selingkuh, dia kekasihku selama 2 tahun ini dan Kevin datang 4 bulan yang lalu mengikat diriku secara paksa. Jadi aku tidak menyelingkuhi Kevin kan? Tetapi aku yang menyelingkuhi Adam. Lantas mengapa aku merasakan sebaliknya? Kenapa pula aku merasa bersalah pada Kevin. Secara hati aku tak harus merasa bersalah padanya namun hatiku tidak demikian. Perasaan bersalah itu muncul di diriku.
Ini tidak benar Luna. Kau bersalah pada Adam bukan Kevin. Kevin itu penghalang hubunganmu dengan Adam. Untuk apa kau merasa bersalah pada Kevin? Kau tidak mempunyai perasaan terhadapnya kan? Ingat, kau mencintai Adam bukan Kevin!
Tentu saja aku mencintai Adam. Dan aku mempunyai perasaan terhadap Kevin? Ha ha ha. Menikmati sentuhannya tidak berarti membuatku menyimpan rasa padanya.
Kau memang seharusnya merasa bersalah Luna. Bagaimana pun kau istri sahnya Kevin. Hari ini kau telah berbuat dosa padanya. Menyelingkuhinya.
Kau sebut aku telah menyelingkuhinya? Tahu apa kau!
Aku merasa sisi kanan dan kiriku saling berbisik menghasutku dan aku tidak tahu mana yang benar. Keduanya hanya mencoba menjerumuskanku.